Label

Senin, 03 Oktober 2016

Perbedaan Antara Fasiq Dan Zindiq

     Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan yang dimaksudkan di sini adalah bahwasanya Zindiq dalam kebiasaan para fuqoha adalah munafiq yang ada di zaman Nabi صلى الله عليه وسلم, yang dia itu menampakkan keislaman tapi menyembunyikan agama yang lain, sama saja apakah dia itu menyembunyikan agama yang telah terkenal semacam agama Yahudi dan Nashoro ataukah agama yang lain. Atau pula dia itu Mu’aththil (meniadakan nama dan sifat Alloh) menentang adanya Pencipta, menentang akan adanya hari Kiamat dan menentang amal sholih. (“Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 471).
          Ibnu Manzhur رحمه الله berkata: “Kefasikan adalah kedurhakaan dan keluar dari perintah Alloh عز وجل dan keluar dari jalan yang benar.” (Lisanul Arob”/10/hal. 308).

          Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Kefasikan dalam adat penggunaan syariat adalah: keluar dari ketaatan pada Alloh عز وجل . Bisa jadi bermakna keluar dari Islam, kufur, dan bisa pula keluar yang bermakna kemaksiatan saja.” (“Al Jami\ Li Ahkamil Qur’an”/1/hal. 246).
والحمد لله رب العالمين

Hukum Minum Dengan Dua Tangan

بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Minum dengan Dua Tangan

الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم، أما بعد:
            Pertanyaan: apa hukum meminum dengan tangan kiri sambil tangan kanan ditempelkan ke bawah gelas? Kabarnya Asy Syaikh Al Utsaimin membolehkan itu.
            Jawaban kami dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
            Meminum dengan tangan kiri adalah harom, berdasarkan dalil-dalil yang jelas tentang masalah ini. Adapun orang yang memegang gelas dengan tangan kiri sambil punggung tangan kanan memikul dasar gelas, maka hal ini kembali pada kondisi yang dominannya. Jika tangan kanan itulah yang dominan memegang gelas, maka tidak apa-apa. Tapi jika tangan kiri itulah yang dominan dalam memegang gelas, maka dia jatuh ke dalam perkara yang harom.
            Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh berkata: “Syariat itu memandang adalah kondisi yang dominan, dan membuang kondisi yang langka dan jarang.” (“Ihkamul Ahkam”/hal. 407).
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada yang dominan dan banyak. Sementara yang langka itu masuk dalam hukum tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).
            Al Qorofiy rohimahulloh berkata: “Dan syariat itu hanyalah membangun hukum-hukumnya di atas perkara yang dominan.” (“Anwarul Buruq Fi Anwa’I Furuq”/7/hal. 460).
            Adapun alasan orang yang membolehkan cara minum semacam tadi dengan fatwa Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh, maka silakan membaca fatwa beliau secara lengkap:
            Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh ditanya: “Memakan dengan tangan kiri itu diharomkan, ataukah masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama?”
            Maka beliau rohimahulloh menjawab: memakan dengan tangan kiri karena suatu udzur itu tidak mengapa. Adapun tanpa udzur, maka dia itu adalah harom, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarangnya dan bersabda:
(إن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله)
“Sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, dan minum dengan tangan kirinya.”
            Dan Alloh ta’ala telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ [النور:21]
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Dan barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu memerintahkan pada kekejian dan kemungkaran.”
            Kemudian sesungguhnya setan itu gembira jika engkau makan dengan tangan kirimu, karena engkau menjadi pengikut dia dan menjadi orang yang menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam. Masalah ini tidaklah remeh! Jika engkau makan dengan tangan kirimu atau engkau minum dengan tangan kirimu, setan gembira dengan kegembiraan yang lebih besar daripada sekedar perkara tadi adalah suatu perbuatan. Dia gembira karena engkau mencocoki dia dan engkau menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan sabda beliau dan perbuatan beliau. Maka masalah ini tidaklah remeh.
            Oleh karena itulah maka para penuntut ilmu wajib mengingatkan masyarakat tentang hal itu. Banyak dari orang-orang kita dapati mereka ketika makan, mereka memakan dengan tangan kiri, dan mereka berkata: “Kami khawatir gelasnya akan kotor.” Padahal kondisi kebanyakan gelas sekarang adalah terbuat dari wariq (semacam polyestrin) yang tidak ada satu orangpun minum darinya setelahmu. Biarkan saja dia terkotori.
            Kemudian mungkin saja engkau memegangnya, sekalipun dia itu terbuat dari kaca, engkau pegang di bagian bawahnya, di antara jari telunjuk dan ibu jari, dan engkau minum. Kemudian jika ditetapkan bahwasanya engkau tidak mungkin memegang dengan cara ini ataupun itu, kalaupun gelasnya terkotori, cuci sajalah, bukanlah itu suatu masalah, karena selama diketahui bahwasanya memegang dengan tangan kiri adalah harom, dan pelakunya melakukan dosa dengan meminum dengan cara itu, maka perkara yang harom itu tidak boleh dikerjakan kecuali karena dhoruroh.”
            Si penanya berkata: “Jika dia memegangnya dengan tangan kiri dan meletakkan gelas tadi di atas tangan kanan?”
            Asy Syaikh menjawab: “Jika hajat mengharuskan dirinya melakukan itu, maka tidak apa-apa. Jika dia meletakkan gelas tadi di punggung tangan kanan, dan dia memegangnya dengan tangan kiri, jika hajat mengharuskan dia berbuat itu. Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu. Aku telah mencobanya sendiri. Aku memagang gelas di bagian bawahnya dan gelas itu tidak terkotori sama sekali. Kemudian jika dia terkotori, dia begitu terus selama lima menit, dan kotorannya bisa dihilangkan dengan pencucian. Perkaranya mudah saja.
            Demikian pula mengambil dan memberi dengan tangan kiri. Ini juga menyelisihi sunnah, dan hal itu dilarang.”
            Si penanya bertanya: “Akan tetapi apakah ada perkataan ulama yang membolehkannya?”
            Asy Syaikh menjawab: “Sebagian ulama berpandangan bahwasanya hal itu adalah makruh. Akan tetapi wahai Saudaraku! Aku nasihati engkau dan yang lainnya: jika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mengucapkan suatu perkataan, janganlah engkau berkata: “Apakah sebagian ulama berkata demikian?” Para ulama berfatwa dengan pemahaman, jika suatu dalil sampai pada mereka, terkadang mereka keliru dalam memahami. Dan terkadang dalil itu belum sampai pada mereka. Dan terkadang dalil itu tersamarkan.
            Bukankah hadits tentang wabah Tho’un itu tersamarkan pada para Shohabat rodhiyallohu ‘anhum semuanya? Manakala Umar rodhiyallohu ‘anhu datang ke Syam, dikatakan pada beliau: “Sesungguhnya di Syam sedang ada Tho’un.” Maka Umar berhenti dan bermusyawarah dengan para Shohabat. Beliau mendatangkan para Muhajirin, dan Anshor, lalu beliau mengajak mereka bermusyawarah sendiri-sendiri. Dan mereka semua tidak tahu hadits tadi. Akan tetapi segala pujian bagi Alloh semata, Alloh memberi mereka taufiq pada kebenaran, untuk pulang kembali dan tidak mendatangi Syam. Saat itu Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu ‘anh itulah yang meriwayatkan hadits tadi, akan tetapi beliau sedang tidak ada karena suatu hajat. Kemudian beliau datang, lalu beliau menyampaikan hadits tadi pada mereka. Hadits tadi tersamarkan pada semua Shohabat tadi, padahal kita tahu bahwasanya mereka masih terbatas di suatu tempat. Maka bagaimana setelah umat dan ulama itu tersebar?!!
            Maka kita tidak boleh membantah sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dengan ucapan: “Apakah ada perselisihan di dalam masalah ini?” “Bukankah sebagian ulama berkata demikian?”
            Jika Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda pada kita:
(لا يأكل أحدكم بشماله، ولا يشرب بشماله فإن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله)
“Janganlah salah seorangpun dari kalian makan dengan tangan kirinya, dan jangan pula minum dengan tangan kirinya, karena sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, dan minum dengan tangan kirinya.”
            Selesai pembahasan.
            Jika engkau memberikan pilihan pada seorang mukmin manapun: “Apakah engkau mencintai jalan Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam, ataukah langkah-langkah setan?” apa yang akan dia katakan? Dia akan berkata: “Jalan Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam.”
            Si penanya bertanya: “Wahai Fadhilatusy Syaikh, maksud saya adalah: bahwasanya sebagian orang menisbatkan pada sebagian ulama bahwasanya hal itu adalah tidak harom. Maka saya ingin memastikan.”
            Asy Syaikh menjawab: “Ini baik. Dan Ibnu Abbas rohdiyallohu ‘anhuma berkata:
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء، أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر
“Hampir-hampir akan turun batu dari langit menimpa kalian. Aku berkata: “Rosululloh bersabda,” dan kalian berkata: “Abu Bakr dan Umar berkata.”
Dan siapakah para ulama itu dibandingkan dengan Abu Bakr dan Umar? Padahal Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang mereka berdua:
(إن يطيعوا أبا بكر وعمر يرشدوا)
“Jika mereka menaati Abu Bakr dan Umar niscaya mereka akan terbimbing.”
            Dan beliau bersabda:
(اقتدوا باللذين من بعدي: أبي بكر وعمر )
“Teladanilah dua orang sepeninggalku: Abu Bakr dan Umar.”
            Telah ditetapkan untuk mengambil pendapat mereka berdua maka jika Abu Bakr dan Umar menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan kita mengambil pendapat mereka berdua, dikhawatirkan akan turun pada kita batu dari langit. Maka bagaimana mengambil pendapat dari selain mereka berdua?!!
            Oleh karena itu, hakikat yang sangat menyakitiku: jika seseornag berkata jika misalkan aku katakan padanya: “Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian,” dia menjawab: “Dalam masalah ini ada perselisihan.”
            Orang yang menyelisihi boleh jadi punya udzur dalam penyelisihan nash tadi karena penakwilannya, atau tidak tahunya dia. Akan tetapi aku tidak punya udzur. Dan bukanlah jika orang yang diikuti itu mendapatkan udzur maka pengikutnya juga mendapatkan udzur.”
(selesai dari “Liqoatul Babil Maftuh”/4/hal. 55).
            Dari fatwa tadi kita mendapatkan faidah sebagai berikut:
Yang pertama: makan atau minum dengan tangan kiri adalah harom, karena yang demikian itu menyerupai perbuatan setan.
Yang kedua: tidak boleh membantah dalil yang jelas dengan ijtihad sebagian ulama.
Yang ketiga: Asy Syaikh Al Utsaimin hanyalah memboleh perkara yang ditanyaka dalam soal tadi dengan syarat: orang tadi berhajat pada amalan tersebut.
Yang keempat: Asy Syaikh berkata setelah menyebutkan bolehnya amalan tadi dengan syarat adanya hajat: “Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”
Yang kelima: mencegah terkotorinya gelas karena adanya sisa-sisa makanan di tangan kanan itu bukanlah termasuk hajat yang membolehkan dia melakukan perkara tadi.
            Maka kesimpulannya: tidak ada hajat untuk berbuat apa yang disebutkan dalam soal tadi. Dan hukumnya itu tetap harom. Akan tetapi jika ditetapkan kita memang berhajat untuk melakukan perkara tadi, maka tidak mengapa.
            Dan jika kita ditanya: kenapa meminum dengan dua tangan semacam tadi diperbolehkan ketika ada hajat, padahal hukum asal meminum dengan tangan kiri adalah harom?
            Jawabannya dengan memohon pertolongan Alloh: hal itu dikarenakan larangannya tadi adalah dalam rangka menutup pintu dan memutuskan sarana penyerupaan dengan setan, oleh karena itulah maka perbuatan tadi diperbolehkan jika memang ada HAJAT atau MASLAHAT YANG LEBIH KUAT. Dan hal ini berhubungan dengan kaidah: KESULITAN ITU MENDATANGKAN PEMUDAHAN.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Suatu perkara yang dilarang dalam rangka menutup sarana kejelekan, bukan karena perkara tadi pada dasarnya adalah suatu kerusakan, dia itu disyariatkan di dalamnya ada suatu maslahat yang lebih kuat. Dan kemaslahatan itu tidak boleh disia-siakan tanpa adanya kerusakan yang lebih besar.” (“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 214).
            Dan demikian pula larangan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dari mengerjakan sholat setelah sholat Ashr atau setelah sholat Shubh dalam rangka menghindari menyerupai para penyembah matahari, lalu beliau sendiri membolehkan sholat yang punya sebab khusus itu dikerjakan pada waktu yang terlarang tadi, DIKARENAKAN KEMASLAHATANNYA ITU LEBIH BESAR.
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Larangan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam untuk sholat sebelum terbitnya matahari dan setelah Ashr adalah demi menutup sarana menyerupai orang-orang kafir. Dan beliau membolehkan sholat yang punya kemaslahatan yang lebih besar untuk dikerjakan saat itu,seperti: membayar sholat yang terluputkan, membayar sholat sunnah, sholat jenazah dan sholat tahiyyatul masjid, karena maslahat pengerjaannya itu lebih besar daripada mafsadah larangan tadi. Dan Alloh lebih tahu.” (“Zadul Ma’ad”/3/hal. 426).
            Dan apa arti HAJAT itu?
            Al Imam Asy Syathibiy rohimahulloh berkata: “Adapun HAJAT-HAJAT itu maknanya adalah: bahwasanya perkara-perkara tersebut diperlukan dalam rangka perluasan dan menghilangkan kesempitan yang biasanya akan menyebabkan kesulitan dan kesukaran jika perkara yang diinginkan tadi tidak dilakukan. Maka jika perkara tadi tidak diperhatikan, niscaya secara umum para mukallaf (orang-orang yang terbebani oleh syari’at) akan tertimpa kesukaran dan kesulitan, akan tetapi perkara tadi tidak mencapai derajat kerusakan biasa yang dikhawatirkan mengganggu kemaslahatan orang banyak.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 11-10).
            Maka kita semua wajib bersikap jujur pada Alloh: apakah kita memang sudah mencapai batasan HAJAT untuk minum dengan dua tangan seperti tadi? Ataukah kondisinya adalah seperti yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh: “Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”?
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.


Senin, 25 Juli 2016

Melemah Menghadapi Jin Yang Jahat?

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:Bagaimana Menasihati Kawan Yang Dimasuki Oleh Jin Dan Dia merasa tidak mampu melawannya?
            Jawaban dengan pertolongan Alloh: Hendaknya antum dan si pasien saling menolong, jangan melemah. Tetaplah beri nasihat dengan lembut, dan tanamkan keyakinan bahwasanya Alloh akan melindungi hamba yang berserah diri kepada-Nya.
Alloh ta’al berfirman:
﴿من يتوكل على الله فهو حسبه]الطلاق: 3[
"Dan barangsiapa bertawakkal pada Alloh maka Dia akan mencukupinya."
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: Dan tawakkal itu termasuk sebab yang terkuat yang dengannya hamba bisa menolak perkara yang tidak disanggupinya yang berupa gangguan para makhluk, kezholiman dan permusuhan mereka. dan dia itu termasuk sebab yang terkuat dalam masalah itu karena sesungguhnya Alloh yang mencukupinya. Dan barangsiapa Alloh sebagai pencukupnya dan pelindungnya, maka musuhnya tak ada harapan terhadapnya dan tak bisa membahayakannya kecuali gangguan ucapan saja yang memang harus ada seperti cuaca panas, dingin, lapar, dan haus. Adapun untuk membahayakan dirinya dengan sesuatu yang mencapai darinya keinginannya, maka tak akan terjadi selamanya. Maka Alloh membedakan antara gangguan yang dia itu secara lahiriyyah adalah gangguan untuknya padahal dia itu pada hakikatnya adalah kebaikan untuknya dan bahaya untuk pelakunya sendiri, dengan bahaya yang musuhnya merasa puas dengannya. Sebagian salaf berkata: "Alloh ta'ala menjadikan untuk setiap amalan itu balasan sesuai dengan jenisnya, dan menjadikan balasan tawakkal kepada-Nya itu kecukupan-Nya untuk hamba-Nya. Alloh berfirman:
﴿من يتوكل على الله فهو حسبه]الطلاق: 3[
"Dan barangsiapa bertawakkal pada Alloh maka Dia akan mencukupinya."
Dan tidak berfirman: "Kami akan memberinya pahala begini dan begitu" sebagaimana berfirman terhadap amalan-amalan. Bahkan Dia menjadikan diri-Nya yang suci sebagai pencukup dan pelindung hamba-Nya yang bertawakkal pada-Nya. Andaikata sang hamba bertawakkal pada Alloh ta'ala dengan sebenar-benar tawakkal dan langit dan bumi beserta seluruh yang di dalamnya membikin tipu daya untuknya,pastilah Alloh akan menjadikan untuknya jalan keluar dari yang demikian itu, mencukupinya dan menolongnya.

(selesai dari “Badai’ul Fawaid”/2/hal. 464-465).

Senin, 08 Februari 2016

Hukum Minum Dengan Dua Tangan

بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Minum dengan Dua Tangan

الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم، أما بعد:
            Pertanyaan: apa hukum meminum dengan tangan kiri sambil tangan kanan ditempelkan ke bawah gelas? Kabarnya Asy Syaikh Al Utsaimin membolehkan itu.
            Jawaban kami dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
            Meminum dengan tangan kiri adalah harom, berdasarkan dalil-dalil yang jelas tentang masalah ini. Adapun orang yang memegang gelas dengan tangan kiri sambil punggung tangan kanan memikul dasar gelas, maka hal ini kembali pada kondisi yang dominannya. Jika tangan kanan itulah yang dominan memegang gelas, maka tidak apa-apa. Tapi jika tangan kiri itulah yang dominan dalam memegang gelas, maka dia jatuh ke dalam perkara yang harom.
            Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh berkata: “Syariat itu memandang adalah kondisi yang dominan, dan membuang kondisi yang langka dan jarang.” (“Ihkamul Ahkam”/hal. 407).
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada yang dominan dan banyak. Sementara yang langka itu masuk dalam hukum tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).
            Al Qorofiy rohimahulloh berkata: “Dan syariat itu hanyalah membangun hukum-hukumnya di atas perkara yang dominan.” (“Anwarul Buruq Fi Anwa’I Furuq”/7/hal. 460).
            Adapun alasan orang yang membolehkan cara minum semacam tadi dengan fatwa Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh, maka silakan membaca fatwa beliau secara lengkap:
            Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh ditanya: “Memakan dengan tangan kiri itu diharomkan, ataukah masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama?”
            Maka beliau rohimahulloh menjawab: memakan dengan tangan kiri karena suatu udzur itu tidak mengapa. Adapun tanpa udzur, maka dia itu adalah harom, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarangnya dan bersabda:
(إن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله)
“Sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, dan minum dengan tangan kirinya.”
            Dan Alloh ta’ala telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ [النور:21]
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Dan barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu memerintahkan pada kekejian dan kemungkaran.”
            Kemudian sesungguhnya setan itu gembira jika engkau makan dengan tangan kirimu, karena engkau menjadi pengikut dia dan menjadi orang yang menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam. Masalah ini tidaklah remeh! Jika engkau makan dengan tangan kirimu atau engkau minum dengan tangan kirimu, setan gembira dengan kegembiraan yang lebih besar daripada sekedar perkara tadi adalah suatu perbuatan. Dia gembira karena engkau mencocoki dia dan engkau menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan sabda beliau dan perbuatan beliau. Maka masalah ini tidaklah remeh.
            Oleh karena itulah maka para penuntut ilmu wajib mengingatkan masyarakat tentang hal itu. Banyak dari orang-orang kita dapati mereka ketika makan, mereka memakan dengan tangan kiri, dan mereka berkata: “Kami khawatir gelasnya akan kotor.” Padahal kondisi kebanyakan gelas sekarang adalah terbuat dari wariq (semacam polyestrin) yang tidak ada satu orangpun minum darinya setelahmu. Biarkan saja dia terkotori.
            Kemudian mungkin saja engkau memegangnya, sekalipun dia itu terbuat dari kaca, engkau pegang di bagian bawahnya, di antara jari telunjuk dan ibu jari, dan engkau minum. Kemudian jika ditetapkan bahwasanya engkau tidak mungkin memegang dengan cara ini ataupun itu, kalaupun gelasnya terkotori, cuci sajalah, bukanlah itu suatu masalah, karena selama diketahui bahwasanya memegang dengan tangan kiri adalah harom, dan pelakunya melakukan dosa dengan meminum dengan cara itu, maka perkara yang harom itu tidak boleh dikerjakan kecuali karena dhoruroh.”
            Si penanya berkata: “Jika dia memegangnya dengan tangan kiri dan meletakkan gelas tadi di atas tangan kanan?”
            Asy Syaikh menjawab: “Jika hajat mengharuskan dirinya melakukan itu, maka tidak apa-apa. Jika dia meletakkan gelas tadi di punggung tangan kanan, dan dia memegangnya dengan tangan kiri, jika hajat mengharuskan dia berbuat itu. Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu. Aku telah mencobanya sendiri. Aku memagang gelas di bagian bawahnya dan gelas itu tidak terkotori sama sekali. Kemudian jika dia terkotori, dia begitu terus selama lima menit, dan kotorannya bisa dihilangkan dengan pencucian. Perkaranya mudah saja.
            Demikian pula mengambil dan memberi dengan tangan kiri. Ini juga menyelisihi sunnah, dan hal itu dilarang.”
            Si penanya bertanya: “Akan tetapi apakah ada perkataan ulama yang membolehkannya?”
            Asy Syaikh menjawab: “Sebagian ulama berpandangan bahwasanya hal itu adalah makruh. Akan tetapi wahai Saudaraku! Aku nasihati engkau dan yang lainnya: jika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mengucapkan suatu perkataan, janganlah engkau berkata: “Apakah sebagian ulama berkata demikian?” Para ulama berfatwa dengan pemahaman, jika suatu dalil sampai pada mereka, terkadang mereka keliru dalam memahami. Dan terkadang dalil itu belum sampai pada mereka. Dan terkadang dalil itu tersamarkan.
            Bukankah hadits tentang wabah Tho’un itu tersamarkan pada para Shohabat rodhiyallohu ‘anhum semuanya? Manakala Umar rodhiyallohu ‘anhu datang ke Syam, dikatakan pada beliau: “Sesungguhnya di Syam sedang ada Tho’un.” Maka Umar berhenti dan bermusyawarah dengan para Shohabat. Beliau mendatangkan para Muhajirin, dan Anshor, lalu beliau mengajak mereka bermusyawarah sendiri-sendiri. Dan mereka semua tidak tahu hadits tadi. Akan tetapi segala pujian bagi Alloh semata, Alloh memberi mereka taufiq pada kebenaran, untuk pulang kembali dan tidak mendatangi Syam. Saat itu Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu ‘anh itulah yang meriwayatkan hadits tadi, akan tetapi beliau sedang tidak ada karena suatu hajat. Kemudian beliau datang, lalu beliau menyampaikan hadits tadi pada mereka. Hadits tadi tersamarkan pada semua Shohabat tadi, padahal kita tahu bahwasanya mereka masih terbatas di suatu tempat. Maka bagaimana setelah umat dan ulama itu tersebar?!!
            Maka kita tidak boleh membantah sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dengan ucapan: “Apakah ada perselisihan di dalam masalah ini?” “Bukankah sebagian ulama berkata demikian?”
            Jika Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda pada kita:
(لا يأكل أحدكم بشماله، ولا يشرب بشماله فإن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله)
“Janganlah salah seorangpun dari kalian makan dengan tangan kirinya, dan jangan pula minum dengan tangan kirinya, karena sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, dan minum dengan tangan kirinya.”
            Selesai pembahasan.
            Jika engkau memberikan pilihan pada seorang mukmin manapun: “Apakah engkau mencintai jalan Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam, ataukah langkah-langkah setan?” apa yang akan dia katakan? Dia akan berkata: “Jalan Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam.”
            Si penanya bertanya: “Wahai Fadhilatusy Syaikh, maksud saya adalah: bahwasanya sebagian orang menisbatkan pada sebagian ulama bahwasanya hal itu adalah tidak harom. Maka saya ingin memastikan.”
            Asy Syaikh menjawab: “Ini baik. Dan Ibnu Abbas rohdiyallohu ‘anhuma berkata:
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء، أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر
“Hampir-hampir akan turun batu dari langit menimpa kalian. Aku berkata: “Rosululloh bersabda,” dan kalian berkata: “Abu Bakr dan Umar berkata.”
Dan siapakah para ulama itu dibandingkan dengan Abu Bakr dan Umar? Padahal Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang mereka berdua:
(إن يطيعوا أبا بكر وعمر يرشدوا)
“Jika mereka menaati Abu Bakr dan Umar niscaya mereka akan terbimbing.”
            Dan beliau bersabda:
(اقتدوا باللذين من بعدي: أبي بكر وعمر )
“Teladanilah dua orang sepeninggalku: Abu Bakr dan Umar.”
            Telah ditetapkan untuk mengambil pendapat mereka berdua maka jika Abu Bakr dan Umar menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan kita mengambil pendapat mereka berdua, dikhawatirkan akan turun pada kita batu dari langit. Maka bagaimana mengambil pendapat dari selain mereka berdua?!!
            Oleh karena itu, hakikat yang sangat menyakitiku: jika seseornag berkata jika misalkan aku katakan padanya: “Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian,” dia menjawab: “Dalam masalah ini ada perselisihan.”
            Orang yang menyelisihi boleh jadi punya udzur dalam penyelisihan nash tadi karena penakwilannya, atau tidak tahunya dia. Akan tetapi aku tidak punya udzur. Dan bukanlah jika orang yang diikuti itu mendapatkan udzur maka pengikutnya juga mendapatkan udzur.”
(selesai dari “Liqoatul Babil Maftuh”/4/hal. 55).
            Dari fatwa tadi kita mendapatkan faidah sebagai berikut:
Yang pertama: makan atau minum dengan tangan kiri adalah harom, karena yang demikian itu menyerupai perbuatan setan.
Yang kedua: tidak boleh membantah dalil yang jelas dengan ijtihad sebagian ulama.
Yang ketiga: Asy Syaikh Al Utsaimin hanyalah memboleh perkara yang ditanyaka dalam soal tadi dengan syarat: orang tadi berhajat pada amalan tersebut.
Yang keempat: Asy Syaikh berkata setelah menyebutkan bolehnya amalan tadi dengan syarat adanya hajat: “Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”
Yang kelima: mencegah terkotorinya gelas karena adanya sisa-sisa makanan di tangan kanan itu bukanlah termasuk hajat yang membolehkan dia melakukan perkara tadi.
            Maka kesimpulannya: tidak ada hajat untuk berbuat apa yang disebutkan dalam soal tadi. Dan hukumnya itu tetap harom. Akan tetapi jika ditetapkan kita memang berhajat untuk melakukan perkara tadi, maka tidak mengapa.
            Dan jika kita ditanya: kenapa meminum dengan dua tangan semacam tadi diperbolehkan ketika ada hajat, padahal hukum asal meminum dengan tangan kiri adalah harom?
            Jawabannya dengan memohon pertolongan Alloh: hal itu dikarenakan larangannya tadi adalah dalam rangka menutup pintu dan memutuskan sarana penyerupaan dengan setan, oleh karena itulah maka perbuatan tadi diperbolehkan jika memang ada HAJAT atau MASLAHAT YANG LEBIH KUAT. Dan hal ini berhubungan dengan kaidah: KESULITAN ITU MENDATANGKAN PEMUDAHAN.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Suatu perkara yang dilarang dalam rangka menutup sarana kejelekan, bukan karena perkara tadi pada dasarnya adalah suatu kerusakan, dia itu disyariatkan di dalamnya ada suatu maslahat yang lebih kuat. Dan kemaslahatan itu tidak boleh disia-siakan tanpa adanya kerusakan yang lebih besar.” (“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 214).
            Dan demikian pula larangan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dari mengerjakan sholat setelah sholat Ashr atau setelah sholat Shubh dalam rangka menghindari menyerupai para penyembah matahari, lalu beliau sendiri membolehkan sholat yang punya sebab khusus itu dikerjakan pada waktu yang terlarang tadi, DIKARENAKAN KEMASLAHATANNYA ITU LEBIH BESAR.
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Larangan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam untuk sholat sebelum terbitnya matahari dan setelah Ashr adalah demi menutup sarana menyerupai orang-orang kafir. Dan beliau membolehkan sholat yang punya kemaslahatan yang lebih besar untuk dikerjakan saat itu,seperti: membayar sholat yang terluputkan, membayar sholat sunnah, sholat jenazah dan sholat tahiyyatul masjid, karena maslahat pengerjaannya itu lebih besar daripada mafsadah larangan tadi. Dan Alloh lebih tahu.” (“Zadul Ma’ad”/3/hal. 426).
            Dan apa arti HAJAT itu?
            Al Imam Asy Syathibiy rohimahulloh berkata: “Adapun HAJAT-HAJAT itu maknanya adalah: bahwasanya perkara-perkara tersebut diperlukan dalam rangka perluasan dan menghilangkan kesempitan yang biasanya akan menyebabkan kesulitan dan kesukaran jika perkara yang diinginkan tadi tidak dilakukan. Maka jika perkara tadi tidak diperhatikan, niscaya secara umum para mukallaf (orang-orang yang terbebani oleh syari’at) akan tertimpa kesukaran dan kesulitan, akan tetapi perkara tadi tidak mencapai derajat kerusakan biasa yang dikhawatirkan mengganggu kemaslahatan orang banyak.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 11-10).
            Maka kita semua wajib bersikap jujur pada Alloh: apakah kita memang sudah mencapai batasan HAJAT untuk minum dengan dua tangan seperti tadi? Ataukah kondisinya adalah seperti yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh: “Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”?
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.


Sabtu, 30 Januari 2016

Hukum Membaca Mushhaf Di Dalam Sholat Malam


بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Membaca Mushhaf Di Dalam Sholat Malam


            Pertanyaan: apa hukum membaca mushhaf di dalam sholat malam?
            Maka jawabannya dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
            Kami tidak menasihati yang demikian itu karena membaca mushhaf di dalam sholat terkadang membuat sibuk dan mengurangi kekhusyu’an dalam sholat. Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anh berkata:
كنت أسلم على النبي صلى الله عليه وسلم وهو في الصلاة فيرد علي فلما رجعنا سلمت عليه فلم يرد علي وقال إن في الصلاة لشغلا.
“Dulu saya mengucapkan salam pada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beliau sholat, lalu beliau menjawab salam saya. Ketika kami pulang (dari Habasyah), saya mengucapkan salam pada beliau, tapi beliau tidak menjawab salam saya. Dan beliau bersabda: “Sesungguhnya di dalam sholat itu benar-benar ada kesibukan.” (HR. Al Bukhoriy (1216)).
            Dan boleh jadi orang yang sholat tadi sibuk dengan membuka-buka halaman mushhaf, atau ada angin dari kipas yang membolak-balikkan lembarannya sehingga membingungkan dirinya.
            Dan juga bertopang pada mushhaf di dalam sholat itu terkadang menyebabkan Muslimin malas menghapal Al Qur’an, dan itu tidak pantas.
            Tapi jika memang diperlukan maka tidak apa-apa. Hal itu juga dilakukan oleh sebagian Salaf.
            Al Qosim rohimahulloh berkata:
كان يؤم عائشة عبد يقرأ في المصحف.
“Dulu Aisyah diimami seorang hamba sahaya dengan membaca mushhaf.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushonnaf” (7216)/shohih).
            Ibnu Abi Mulaikah rohimahulloh berkata:
أن عائشة أعتقت غلاما لها عن دبر فكان يؤمها في رمضان في المصحف.
“Bahwasanya Aisyah menjanjikan memerdekakan seorang hamba jika beliau meninggal. Hamba tadi mengimami beliau di bulan Romadhon denan membaca mushhaf.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushonnaf” (7217)/shohih).
            Muhammad bin Sirin rohimahulloh berkata:
عن عائشة ابنة طلحة انها كانت تأمر غلاما أو إنسانا يقرأ في المصحف يؤمها في رمضان.
Dari ‘Aisyah binti Tholhah, bahwasanya dirinya memerintahkan seorang hamba atau orang lain untuk membaca mushhaf sambil mengimami dirinya di bulan Romadhon.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushonnaf” (7218)/shohih).
            Dari Syu’bah:
عن الحكم في الرجل يؤم في رمضان يقرأ في المصحف رخص فيه.
 “Dari Al Hakam tentang seseorang yang mengimami di bulan Romadhon sambil membaca mushhaf, beliau memberikan keringanan untuk perbuatan itu.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushonnaf” (7219)/shohih).
            Al Imam Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy rohimahulloh ditanya: “Saya sholat mengimami orang-orang, dan tidak ada orang setelah saya yang hapal Al Qur’an. Maka apakah boleh orang lain membuka mushhaf dan mengikuti bacaan saya? Dan itu adalah di sholat tarowih.”
            Maka beliau menjawab: “Untuk lafazh BOLEH, kami tidak mampu untuk mengatakan TIDAK BOLEH. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadits Ibnu Mas’ud dalam “Shohih”:
إن في الصلاة لشغلا.
“Sesungguhnya di dalam sholat itu benar-benar ada kesibukan.”
Dan Alloh berfirman:
﴿وقوموا لله قانتين
“Dan berdirilah kalian untuk Alloh dalam keadaan tunduk khusyu’.”
Yaitu: merunduk dan hina.
Maka membawa mushhaf itu termasuk kesibukan. Yang penting sholatnya adalah sah tapi makruh. Dan Alloh lebih tahu. Maka kami menasihati untuk tidak melakukan itu.”
(selesai dari kaset “Kaifa Nastaqbil Romadhon”/dari “Fatawal Imam Muqbil Al Wadi’iy”).
            Dan Fadhilatu Syaikhina Yahya bin Ali Al Hajuriy hafizhohulloh ditanya: “Di tempat kami ada seorang imam yang mengimami orang-orang dalam sholat ‘isya dan tarowih di bulan Romadhon dari mushhaf, apakah boleh dia melakukan yang demikian itu?
            Maka beliau hafizhohulloh menjawab: “Lebih baik dia tidak membaca dari mushhaf. Ibnu Hazm berdalilkan akan terlarangnya hal itu dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
إن في الصلاة لشغلا.
“Sesungguhnya di dalam sholat itu benar-benar ada kesibukan.”
            Orang yang membaca dari mushhaf akan tersibukkan. Maka lebih utama untuk sang imam itu membaca semampunya. Alloh ta’ala berfirman:
﴿فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ﴾ ] المزمل: 20[.
“Maka bacalah apa yang mudah dari Al Qur’an.”
Ini di dalam tarowih, bersamaan dengan bahwasanya sebagian Shohabat melakukan itu, dia membaca dari mushhaf di dalam tarowih.
Adapun di dalam sholat-sholat wajib, maka tidak ada seorangpun dari mereka sholat dengan memakai mushhaf, maka perbuatannya itu adalah MUHDATS (bid’ah).
(selesai dari “Asilatu Ahlissunnah Bi Taribah Saiun”/”Al Kanzuts Tsamin”).
والله تعالى أعلم بالصواب.


Selasa, 26 Januari 2016

Hukum Bermain Gendang Dan Rebana

بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Bermain Gendang Dan Rebana

Pertanyaan: apa hukum gendang? Apakah dia harom seperti alat musik yang lain?
Jawaban dengan pertolongan Alloh semata:
Thobl (Gendang) adalah benda yang telah dikenal, alat musik untuk dipukul, punya satu atau dua sisi. (“Lisanul Arob”/11/hal. 398).
            Dan bermain thobl (gendang) itu tidak diperbolehkan.
            Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إن الله حرم علي أو حرم الخمر والميسر والكوبة».
“Sesungguhnya Alloh telah mengharomkan melalui lidahku, atau mengharomkan khomr (minuman yang memabukkan), maisir (perjudian), dan kubah (gendang).”
Sufyan berkata: maka aku bertanya pada Ali bin Budzaimah –salah seorang rowi- tentang kubah, maka beliau berkata: “Thobl (gendang).”
(HR. Ahmad (2476), Abu Dawud (3696) dan Ath Thobroniy dalam “Al Kabir” (12598)/shohih).
            Abu Sulaiman Al Khoththobiy rohimahulloh berkata: dikatakan bahwa Kubah adalah nard (dadu), dan masuk di dalamnya semua watar (dawai), muzhir (semacam rebana tapi punya kerincingan) dan alat-alat permainan yang lainnya.” (sebagaimana dalam “Ma’rifatus Sunan Wal Atsar” /Al Baihaqiy/16/hal. 30).
            Al Al Qoriy rohimahulloh berkata tentang syarh hadits tadi: “Yaitu: dan Alloh mengharomkan kubah melalui lidah Rosululloh, yaitu: memukul kubah. Dan kubah adalah gendang kecil.” (“Mirqotul Mafatih”/13/hal. 246).
            Al Munawiy rohimahulloh berkata: “Dan menjualnya juga batil menurut Asy Syafi’iy. Dan mengambil harganya (uang hasil penjualannya) itu termasuk memakan dengan batil. Dan beliau mengingatkan dengan pengharoman gendang tadi, akan haromnya menjual seluruh alat-alat musik, seperti tambur dan seruling.” (“Faidhul Qodir”/3/hal. 338).
            Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh rohimahulloh setelah menyebutkan hadits tadi dalam rangkaian penyebutan dalil-dalil diharomkannya nyanyian, beliau berkata: “Dan kubah adalah gendang kecil. Ada yang mengatakan: kubah adalah barith (sejenis gitar/rebab), dan dia adalah alat untuk bernyanyi. Adapun para imam yang empat, maka mereka –semoga Alloh meridhoi mereka semua- tidak diam dari menjelaskan hukum perkara yang munkar tadi.” (“Fatawa Wa Rosail Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh”/10/hal. 173-174).
            Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh setelah menyebutkan hadits tadi, beliau berkata: “Dan hadits-hadits dan atsar-atsar yang banyak telah diriwayatkan tentang tercelanya nyanyian dan alat-alat permainan, yang ucapanku ini tidak cukup untuk menyebutkannya. Dan dalil yang kami sebutkan itu sudah cukup dan memuaskan bagi seorang pencari kebenaran. Dan tidak ada keraguan bahwasanya orang-orang yang menyerukan ditambahkannya nyanyian-nyanyian dan alat-alat permainan dalam siaran berita itu, mereka tertimpa bencana dalam pikiran mereka hingga mereka menganggap bagus perkara yang buruk, dan menganggap buruk perkara yang baik. Dan mereka mengajak pada perkara yang membahayakan mereka dan membahayakan orang lain. Dan mereka tidak menyadari bahaya-bahaya, kerusakan-kerusakan dan kejelekan-kejelekan yang dihasilkan dari perkara tadi. Dan alangkah baiknya firman Alloh ta’ala Yang berfirman:
﴿أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُون﴾.
“Maka apakah orang yang dihiaskan untuk dirinya amalan buruknya lalu dia memandangnya bagus (sama dengan orang yang terbimbing di jalan yang benar)? Karena sesungguhnya Alloh menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan membimbing orang yang Dia kehendaki. Maka janganlah jiwamu binasa karena terlalu berduka menyesali keadaan mereka, sesungguhnya Alloh Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
(selesai dari “Fatawa Ibni Baz”/3/hal. 417).
            Sedangkan duff (rebana) adalah sejenis gendang juga, tapi agak kecil.
            Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: “Dan duff adalah yang tidak memiliki kerincing. Jika dia punya kerincing, maka dia adalah muzhir.” (“Fathul Bari”/2/hal. 441).
            Dan wanita boleh memainkannya di hari raya, hari pernikahan dan hari kegembiraan tertentu yang diidzinkan oleh syariat.
عن الربيع بنت معوذ بن عفراء قالت: جاء النبي صلى الله عليه وسلم فدخل حين بني علي فجلس على فراشي كمجلسك مني فجعلت جويريات لنا يضربن بالدف ويندبن من قتل من آبائي يوم بدر إذ قالت إحداهن: وفينا نبي يعلم ما في غد. فقال: «دعي هذه وقولي بالذي كنت تقولين».
Dari ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang menemuiku ketika aku dinikahi (seseorang). Lalu beliau duduk di atas tikarku seperti posisi dudukmu di hadapanku ini. Saat itu, ada gadis-gadis kecil sedang menabuh duff (gendang kecil/rebana) sambil bersenandung menyebut-nyebut orang-orang yang terbunuh dari kalangan orangtua kami pada perang Badar. Hingga berkata salah seorang dari gadis kecil itu: "Bersama kami ada Nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi besok". Maka Nabi shollallohu 'alaihi wasallam segera berkata: "Janganlah kamu mengatakan begitu. Tapi cukup katakan apa yang kamu katakan sebelumnya". (HR. Al Bukhoriy (5147)).
            Al ‘Allamah Muhammad Abdirrohman Al Mubarokfuriy rohimahulloh berkata: “Juwairiyyatain” dengan pola kecil (dua gadis kecil). Ada yang mengatakan: yang dimaksudkan adalah: anak-anak kecil Anshor, bukan hamba sahaya. “Mereka memukul duff mereka.” Dikatakan bahwasanya para anak-anak tadi belum mencapai batasan syahwat, dan duff mereka itu tidak disertai dengan kerincing.” (“Tuhfatul Ahwadziy”/4/hal. 179).
عن عائشة رضي الله عنها: أن أبا بكر رضي الله عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه، فانتهرهما أبو بكر، فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال: «دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد». وتلك الأيام أيام منى.
Dari 'Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Abu Bakr rodhiyallohu 'anhu pernah masuk menemuinya pada hari-hari saat di Mina (Tasyriq). Saat itu ada dua anak wanita yang sedang bermain duff (rebana), sementara Nabi shollallohu 'alaihi wasallam menutupi wajahnya dengan kain. Kemudian Abu Bakr melarang dan menghardik kedua anak gadis itu, maka Nabi shollallohu 'alaihi wasallam menyingkap kain yang menutupi wajah beliau seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari 'Ied." Hari-hari itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq)." (HR. Al Bukhoriy (987) dan Muslim (892)).
            Al Imam Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata dalam membantah orang yang membolehkan rebana secara umum: “Dan telah datang dalil yang lebih pasti dari sisi sanad tentang dikhususkannya pembolehan rebana itu pada hari-hari raya dan hari pernikahan saja.” (“At Tamhid”/22/hal. 199).
            Juga di hari kegembiraan yang besar, dan dilakukan oleh wanita yang dirasa kita aman dari fitnahnya.
            Dari Buroidah rodhiyallohu ‘anh berkata:
خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم في بعض مغازيه فلما انصرف جاءت جارية سوداء فقالت: يا رسول الله إني كنت نذرت إن ردك الله صالحا أن أضرب بين يديك بالدف وأتغنى. فقال لها رسول الله صلى الله عليه و سلم: «إن كنت نذرت فاضربي وإلا فلا». فجعلت تضرب فدخل أبو بكر وهي تضرب ثم دخل علي وهي تضرب ثم دخل عثمان وهي تضرب ثم دخل عمر فألقت الدف تحت استها ثم قعدت عليه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إن الشيطان ليخاف منك يا عمر إني كنت جالسا وهي تضرب فدخل أبو بكر وهي تضرب ثم دخل علي وهي تضرب ثم دخل عثمان وهي تضرب فلما دخلت أنت يا عمر ألقت الدف».
“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah keluar di sebagian peperangan beliau. Manakala beliau pulang, datanglah seorang hamba sahaya berkulit hitam seraya berkata: “Wahai Rosulalloh, sesungguhnya saya telah bernadzar jika Alloh mengembalikan Anda dengan selamat, saya akan memukul rebana di hadapan Anda dan saya bernyanyi.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam berkata padanya: “Jika engkau telah bernadzar, maka silakan memukul rebana itu, tapi jika tidak, maka jangan.” Maka mulailah dia memukul rebana. Lalu Abu Bakr masuk, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Ali, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Umar, maka wanita itu melemparkan rebananya ke bawah pantatnya/bontotnya, lalu dia duduk di atas rebananya. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setan itu benar-benar takut kepadamu wahai Umar. Sungguh aku tadi duduk, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Abu Bakr, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Ali , dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah engkau wahai Umar, maka dia melemparkan rebana tadi.” (HR. Ahmad (23039), At Tirmidziy (3690)/shohih).
            Al Khoththobiy rohimahulloh berkata: “Memukul rebana bukanlah termasuk perkara yang terhitung di dalam bab ketaatan pada Alloh yang terkait dengan nadzar. Kondisi terbaiknya adalah bahwasanya dia itu masuk dalam bab mubah. Hanya saja manakala dia berhubungan dengan ditampakkannya kegembiraan dengan kepulangan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam ketika beliau tiba dari sebagian peperangan beliau, dan amalan tadi membuat orang-orang kafir kecewa, dan kaum munafiqin jengkel, jadilah penabuhan rebana tadi seperti sebagian pendekatan diri pada Alloh. Oleh karena itulah maka disukai penabuhan rebana dalam acara pernikahan karena di dalamnya ada penampakan kegembiraan dan keluar dari makna perzinaan yang tidak jelas. Dan termasuk yang menyerupai kasus ini adalah sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tentang menghujat orang kafir:
«اهجوا قريشا فإنه أشد عليهم من رشق النبل».
“Hujatlah Quroisy, karena hujatan (yaitu hantaman dengan syair) itu lebih keras bagi mereka daripada tembakan panah.”
(selesai dari “Aunul Ma’bud”/Abuth Thoyyib Abadiy/9/hal. 100).
            Dan tidak ada keraguan bahwasanya menabuh rebana itu khusus bagi wanita: anak kecil atau wanita yang dirasa tidak menimbulkan fitnah.
            Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: “Dan telah diketahui dengan pasti dari agama Islam bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tidak mensyariatkan untuk orang-orang sholih dari umat beliau, para ahli ibadah mereka dan para ahli zuhud mereka untuk berkumpul demi mendengarkan dan menyimak bait-bait yang dilagukan, disertai dengan tepuk tangan atau pukulan stik, atau duff (rebana), sebagaimana beliau tidak membolehkan seseorang untuk tidak mengikuti beliau dan tidak mengikuti apa yang datang dari Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), baik dalam perkara batin ataupun perkara lahiriyyah, baik untuk orang awam ataupun juga untuk orang khusus. Akan tetapi Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan para beberapa jenis permainan dalam pernikahan dan semisalnya, sebagaimana beliau memberikan keringanan pada para wanita untuk menabuh rebana dalam pernikahan dan kegembiraan-kegembiraan. Adapun para pria pada zaman Nabi, maka tidak ada seorangpun dari mereka yang menabuh rebana, ataupun bertepuk tangan, dan bahkan telah pasti dalam hadits shohih bahwasanya Nabi bersabda:
«التصفيق للنساء والتسبيح للرجال»،
“Bertepuk tangan adalah untuk para wanita, dan bertasbih adalah untuk para pria.”
Dan:
«لعن المتشبهات من النساء بالرجال، والمتشبهين من الرجال بالنساء ».
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم melaknat para lelaki yang menyerupakan diri dengan perempuan, dan para perempuan yang menyerupakan diri dengan lelaki.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy (5885) dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma).
            Dan manakala nyanyian dan menabuh rebana dan telapak tangan adalah termasukd ari amalan para wanita, dulu para Salaf menamakan para lelaki yang melakukan itu sebagai MUKHONNATS (bencong/bondan), dan mereka menamakan para lelaki yang bernyanyi sebagai MAKHONITS (para bencong). Dan ini terkenal di dalam ucapan para Salaf. Dan masuk di dalam bab ini adalah hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha: bahwa Abu Bakr rodhiyallohu 'anhu pernah masuk menemuinya pada hari-hari ‘Id dalam keadaan di samping Aisyah ada dua anak wanita Anshor yang sedang bernyanyi dengan ucapan-ucapan orang Anshor saat perang Bu’ats. Kemudian Abu Bakr berkata: “Apakah seruling setan ada di rumah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam?” sementara itu Nabi shollallohu 'alaihi wasallam tadinya memalingkan wajah beliau dari kedua gadis tadi, dan menghadapkan wajah beliau yang mulia ke dinding, lalu beliau  bersabda: "Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar. Karena setiap kaum itu punya hari ‘Id, dan ini adalah Hari 'Ied kita kaum Muslimin."
Maka di dalam hadits ini ada penjelasan bahwasanya bukanlah termasuk adat Nabi shollallohu 'alaihi wasallam dan para Shohabat beliau untuk berkumpul mendengarkan permainan tadi. Oleh karena itulah maka Ash Shiddiq menamakan hal itu sebagai SERULING SETAN. Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam membiarkan kedua gadis kecil tadi berbuat itu dengan alasan bahwasanya saat itu adalah hari ‘Id. Dan anak-anak kecil diberi keringanan untuk bermain di hari-hari Id, sebagaimana di dalam hadits:
«ليعلم المشركون أن في ديننا فسحة»،
“Agar kaum musyrikin mengetahui bahwasanya di dalam agama kita itu ada kelapangan.”
            Dan dulu ‘Aisyah punya mainan yang dengannya dia bermain, dan teman-temannya dari kalangan perempuan yang masih kecil datang dan bermain bersamanya. Dan tidak ada di dalam hadits dua gadis kecil tadi berita bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam menyimak permainan mereka, sementara perintah dan larangan itu hanyalah terkait dengan penyimakan, bukan sekedar pendengaran.”
(selesai dari “Majmu’ Fatawa”/11/hal. 565-566).
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam itu tidaklah mengingkari Abu Bakr yang menamai nyanyian itu sebagai seruling setan. Dan Nabi membiarkan kedua gadis kecil tadi karena keduanya adalah dua anak kecil yang belum terbebani syariat, menyanyi dengan nyanyian badui yang diucapkan pada hari perang Bu’ats, yang menceritakan keberanian dan peperangan. Dan pada hari itu adalah hari ‘Id. Lalu tentara setan memperluas area amalan tadi sampai pada menggunakan suara wanita cantik yang bukan mahrom, atau suara anak lelaki yang belum tumbuh jenggotnya, suaranya adalah fitnah, dan wajahnya adalah fitnah, dia bernyanyi mengajak pada perzinaan, kemaksiatan dan pada minuman khomr, disertai dengan alat-alat musik yang diharomkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam di sekian banyak hadits, sebagaimana akan datang penyebutannya, disertai dengan bertepuk tangan dan menari. Maka itu adalah bentuk kemungkaran yang tidak dihalalkan oleh satu orangpun dari pemeluk agama, lebih-lebih lagi pemilik ilmu dan keimanan.
            Dan mereka berdalilkan dengan nyanyian dua gadis kecil yang belum terbebani syariat yang mengumandangkan nasyid-nasyid badui dan semisalnya yang berisi keberanian dan semisalnya, pada hari ‘Id tanpa ada rayuan/godaan ataupun rebana ataupun tarian ataupun tepuk tangan di dalamnya.
            Mereka meninggalkan dalil yang jelas dan terang untuk mendapatkan dalil yang masih samar-samar ini. Dan itulah sifat setiap ahli batil.
            Iya, kami tidak mengharomkan dan tidak memakruhkan amalan semisal yang dikerjakan di rumah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dalam bentuk tadi. Dan kami dengan seluruh pemilik ilmu dan keimanan hanyalah mengharomkan nyanyian yang menyelisihi isi hadits tadi. Dan hanya dengan pertolongan Alloh sajalah kita mendapatkan taufiq.”
(selesai dari “Ighotsatil Lahfan”/1/hal. 257).
            Ucapan Al Imam Ibnul Qoyyim sangat benar dan bagus, hanya saja untuk ucapan beliau: “Tanpa ada rebana”, maka yang benar dalam hadits tadi adalah: para gadis kecil tadi memainkan rebana.
            Dan Al Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh dalam bantahan beliau pada orang yang berkata tentang bolehnya lelaki memainkan rebana, beliau berkata: “... hadits-hadits yang kuat di dalamnya ada idzin untuk wanita memainkan rebana. Dan para lelaki tidaklah dimasukkan ke dalam urusan para wanita karena adanya dalil umum yang melarang lelaki menyerupai wanita.” (“Fathul Bari”/9/hal. 226).

والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.