Hukum
Jamaah Sholat
Dengan
Perbedaan Niat
Ditulis
dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu
Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
Judul Asli:
“Hukmu Sholatil Jama’ah Ma’a
Ikhtilafin Niyyat”
Judul terjemahan:
“Hukum Jamaah Sholat Dengan
Perbedaan Niat”
Ditulis dan Diterjemahkan
Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin
Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
وفقه وفقهه
بسم الله
الرحمن الرحيم
Pengantar Penulis عفا الله عنه
الحمد لله رب العالمين وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن
محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله أجمعين أما بعد:
Seorang
saudara yang mulia –semoga Alloh menjaga beliau, dan memberikan taufiq pada
beliau kepada perkara yang Dia cintai dan Dia ridhoi- tentang hukum sholat
berjamaah yang mana sang imam meniatkan sholat wajib, sementara makmum
meniatkan sholat sunnah.
Saudara kita menyukai agar jawaban
nantinya ringkas berfaidah, dibangun di atas dalil yang jelas beserta
penjelasan yang terang.
Maka dengan memohon pertolongan pada
Alloh عز وجل –dan tiada upaya
dan tiada daya kecuali dengan pertolongan Alloh- saya berkata:
Bab Satu: Besarnya Kebutuhan Hamba Pada Taufiq Dari
Alloh عز وجل
Sesungguhnya
masalah sholat orang yang berniat sholat wajib di belakang orang yang bersholat
sunnah –yakni: sang makmum meniatkan sholat wajib, sementara sang imam
meniatkan sholat sunnah-, para imam besar pemilik lautan ilmu dulu dan sekarang
telah berselisih pendapat tentangnya.
Sementara
itu mereka tidak berselisih pendapat tentang shohihnya sholatnya orang yang
berniat sholat sunnah di belakang orang yang bersholat wajib. Maka kita sangat
membutuhkan hidayah dari Alloh untuk mengetahui kedua masalah ini –dan
masalah-masalah yang lain- agar kita tidak terjatuh ke dalam kebingungan di
seluruh urusan kita.
Dari Abu Dzar رضي الله عنه dari
Nabi صلى الله عليه وسلم
tentang apa yang beliau riwayatkan dari Alloh تبارك وتعالى
bahwasanya Dia berfirman:
«... يا عبادي كلكم ضال إلا من هديته
فاستهدوني أهدكم، ...». الحديث.
“Wahai para hamba-Ku, kalian semua tersesat
kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk pada-Ku, Aku akan
beri kalian petunjuk ...” Sampai
akhir hadits. (HR. Muslim (2577)).
Maka
besarnya kebutuhan hamba kepada hidayah dari Robbnya itu lebih besar daripada
kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Maka kita harus senantiasa memohon
dengan doa ini:
﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّينَ﴾ [الفاتحة: 6 - 7]،
“Tunjukilah kami ke jalan yang
lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, bukan
jalan orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang
tersesat.”
Syaikhul
Islam رحمه الله berkata: “Dan Muslimun telah berselisih
pendapat dalam perkara-perkara berita, ilmu, keyakinan dan amaliyyah, sesuai
dengan kehendak Alloh, padahal mereka semua bersepakat bahwasanya Muhammad itu
benar, dan Al Qur’an itu benar. Andaikata setiap orang dari mereka mendapatkan
petunjuk kepada jalan yang lurus dalam perkara yang mereka perselisihkan,
niscaya mereka tidak berselisih.
Kemudian
orang-orang yang telah mengetahui apa yang Alloh perintahkan, kebanyakan dari
mereka mendurhakai-Nya dan tidak menempuh jalan-Nya. Andaikata mereka
mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus dalam amalan-amalan tadi, niscaya
mereka akan mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang
dilarang.
Dan
orang-orang yang Alloh beri petunjuk dari umat ini sampai menjadi wali-wali
Alloh yang bertaqwa, sesungguhnya sebab terbesarnya adalah mereka berdoa kepada
Alloh dengan doa ini di setiap sholat, bersamaan dengan mereka mengetahui
bahwasanya mereka senantiasa amat membutuhkan kepada Alloh agar menunjuki
mereka ke jalan yang lurus. Maka dengan komitmen kepada doa ini dan perasaan
sangat butuh kepada Alloh, jadilah mereka wali-wali Alloh yang bertaqwa.”
(“Majmu’ul Fatawa”/10/hal. 108).
Maka
semata-mata kecerdasan itu tidak cukup untuk mengetahui kebanyakan dari
masalah-masalah. Bahkan taufiq dari Alloh itulah yang asasnya.
هتف الذكاء
وقال لست بنافع * إلا بتوفيق من الوهاب
“Kecerdasan memanggil
dan berkata: “Aku tidaklah bermanfaat, kecuali dengan taufiq dari Al Wahhab
(Yang Maha Memberi).”
(“Siyar A’lamin Nubala”/Adz
Dzahabiy/18/hal. 58).
إذا كان عون
الله للمرء شاملاً ... تهيء له من كل شيء مراده
وإن لم يكن عون
من الله للفتى ... فأول ما يجني عليه اجتهاده
“Jika pertolongan Alloh
untuk sang pemuda itu bersifat menyeluruh, akan tersiapkan untuknya segala sesuatu
sesuai keinginannya. Tapi jika Alloh tidak menolong sang pemuda, maka yang
pertama kali merugikan dirinya adalah ijtihadnya.”
(“Al Kasykul”/Al Baha Al
‘Amiliy/hal. 240).
Maka
kita wajib untuk mencurahkan kerja keras untuk mengetahui kebenaran dengan
dalilnya, disertai oleh sikap merunduk para Robb kita dan berdoa kepadanya
dalam keadaan berminat dan rasa takut, dan jangan sampai kita menyandarkan diri
pada rasio kita dan kehebatan akal kita.
Al
Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan sesuai dengan kadar niat
sang hamba, tekadnya, keinginannya, minatnya dalam perkara tadi itulah kadar
taufiq dan pertolongan dari Alloh سبحانه . Pertolongan dari
Alloh itu turun kepada para hamba sesuai dengan kadar tekad mereka, kekokohan
mereka, minat mereka dan rasa takut mereka. Dan ketelantaran itu menimpa mereka
sesuai dengan dengan kadar perkara tadi juga. Maka Alloh سبحانه itu hakim yang paling bijaksana dan paling berilmu, meletakkan
taufiq pada posisi-posisi yang sesuai, dan meletakkan penelantaran pada posisi-posisi
yang sesuai, Alloh itulah Yang Mahatahui lagi Maha Penuh Hikmah. Dan tidaklah
seseorang itu tertimpa bencana kecuali karena menyia-nyiakan syukur, tidak
merasa butuh dan tidak mau berdoa pada Alloh. Dan tidaklah seseorang itu
berhasil dengan kehendak Alloh dan pertolongan-Nya kecuali karena dia
bersyukur, jujur merasakan kebutuhan pada Alloh, dan berdoa. Kunci dari itu
semua adalah kesabaran, karena posisi kesabaran dalam keimanan itu bagaikan posisi
kepala dari badan. Jika kepala terpotong, badan akan binasa.” Dst.” (“Al
Fawaid”/hal. 97).
Maka
sholat mutanaffil (orang yang sholat sunnah) di belakang muftaridh (orang yang
sholat wajib) itu boleh dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana akan datang
penyebutannya insya Alloh.
Dan
yang rojih untuk sholat muftaridh (orang yang sholat wajib) di belakang
mutanaffil (orang yang sholat sunnah) itu boleh, karena dalil-dalilnya lebih
kuat, sebagaimana ditetapkan oleh sebagian imam kita.
Penjelasannya
secara ringkas adalah sebagai berikut:
Bab Dua: Bolehnya Sholat Muftaridh di Belakang
Mutanaffil
Orang
yang ingin sholat wajib, dia boleh untuk menjadi makmum bagi orang yang sholat sunnah.
Tentang masalah itu ada beberapa dalil, di antaranya adalah:
Dalil yang
pertama: Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما yang berkata:
كان معاذ بن جبل يصلي مع
النبي صلى الله عليه و سلم ثم يرجع فيؤم قومه فصلى العشاء فقرأ بالبقرة فانصرف
الرجل فكان معاذا تناول منه فبلغ النبي صلى الله عليه و سلم فقال: «فتان فتان
فتان». ثلاث مرار أو قال: «فاتنا فاتنا فاتنا» وأمره بسورتين من أوسط
المفصل.
"Dulu
Mu'adz bin Jabal sholat bersama Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian di kembali lalu mengimami kaumnya
sholat Isya. Maka dia membaca Al Baqoroh. Maka ada orang yang berpaling pergi.
Maka Mu'adz mencelanya. lalu berita itu sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau berkata: "Tukang
membikin fitnah, Tukang membikin fitnah, Tukang membikin fitnah,"
sebanyak tiga kali. Atau beliau berkata: "Pembikin fitnah, pembikin
fitnah, pembikin fitnah," lalu beliau memerintahkannya untuk
membaca dua surat saja dari pertengahan Mufashshol." (HR. Al Bukhoriy
(701) dan Muslim (465)).
Hadits
ini jelas menerangkan bolehnya sholat wajib di belakang orang yang sholat
sunnah. Itu karena
Banu Salimah mengerjakan sholat isya yang menjadi kewajiban mereka, sementara
imam mereka adalah Mu’adz bin Jabal yang meniatkan sholat sunnah, karena beliau
telah sholat Isya bersama Rosululloh صلى
الله عليه وسلم . semoga Alloh meridhoi mereka semua.
Al
Imam Abu Ishaq Al Fairuz Abadiy رحمه
الله
berkata: “Dan boleh muftaridh itu menjadi makmum bagi mutanaffil, dan boleh
juga muftaridh menjadi makmum bagi muftaridh yang lain dalam sholat yang lain
(beda niatnya, yang imamnya meniatkan Ashr, sementara makmum meniatkan zhuhur
karena terlambat karena udzur, misalkan). Ini berdasarkan riwayat Jabir bin
Abdillah رضي الله عنهما bahwasanya Mu’adz senantiasa sholat Isya di
tengah malam bersama Rosululloh صلى
الله عليه وسلم , lalu dia mendatangi kaumnya di Banu Salimah dan menjadi imam
sholat bagi mereka, maka sholat dia ini adalah sunnah, dan sholat mereka adalah
wajib. Dan juga hal itu boleh karena makmum sudah mengikuti imam dalam
amalan-amalan lahiriyyah, dan itu bisa saja meskipun niatnya berbeda.
Adapun
jika sholat kusuf (gerhana) di belakang orang yang sholat shubuh, atau sholat
shubuh di belakang orang yang sholat kusuf (gerhana), maka itu tidak boleh
karena tidak mungkin menjadi makmum sementara gerakan-gerakannya berbeda.”
(selesai dari kitab “Al
Muhadzdzab”/1/hal. 183).
Dalil
kedua: dari Abu Bakroh رضي الله عنه yang berkata:
صلى النبي صلى الله عليه و
سلم في خوف الظهر فصف بعضهم خلفه وبعضهم بإزاء العدو فصلى بهم ركعتين ثم سلم.
فانطلق الذين صلوا معه فوقفوا موقف أصحابهم ثم جاء أولئك فصلوا خلفه فصلى بهم
ركعتين ثم سلم. فكانت لرسول الله صلى الله عليه و سلم أربعا ولأصحابه ركعتين
ركعتين.
“Nabi صلى
الله عليه وسلم pernah menjalankan sholat khouf di waktu zhuhur, maka beliau
membariskan sebagian dari mereka di belakang beliau, dan sebagiannya lagi
menghadap ke musuh. Lalu beliau sholat mengimami mereka dua rekaat, lalu
mengucapkan salam. Lalu kelompok yang sudah sholat bersama beliau beranjak
mengambil posisi teman-teman mereka, lalu datanglah teman-teman mereka untuk
sholat di belakang beliau. Lalu beliau sholat mengimami mereka dua rekaat,
lalu mengucapkan salam. Maka Rosululloh صلى
الله عليه وسلم punya sholat empat rekaat, sementara para shohabat beliau punya
sholat dua rekaat.” (HR. Abu Dawud (1240) dan An Nasaiy (1550)/shohih).
Ini
juga merupakan dalil yang jelas akan bolehnya sholat wajib di belakang
mutanaffil, karena Nabi صلى الله عليه وسلم sholat dua rekaat yang
pertama sebagai sholat wajib, kemudian dua rekaat terakhir sebagai nafilah
(sunnah), dan yang di belakang beliau adalah makmum dengan niat sholat wajib.
Al
Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Nabi صلى
الله عليه وسلم adalah mutanaffil dalam sholat yang kedua, dalam keadaan para
shohabat meniatkan sholat wajib. Asy Syafi’iy dan para sahabat beliau
berdalilkan dengan hadits tadi akan bolehnya sholat muftaridh di belakang
mutanaffil. Allohu a’lam.” (“Al Minhaj”/An Nawawiy/6/hal. 130/di bawah hadits
no. (463)).
Al
Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: “Tentang sholat muftaridh di
belakang mutanaffil itu ada dua riwayat dari Al Imam Ahmad, yang pertama: tidak
sah. Ini ditetapkan oleh Ahmad dalam riwayat Abul Harits dan Hanbal, dan
dipilih oleh kebanyakan sahabat kami (Hanabilah). Ini adalah pendapat Az
Zuhriy, Malik, dan para pengikut rasio, berdasar sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
«إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه»
“Hanyalah imam itu dijadikan
untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” Muttafaqun ‘alaih.
Dan
juga karena sholat makmum itu tidak tertunaikan dengan niat sang imam (karena
makmum menginginkan wajib, sementara imam menginginkan sunnah, sementara wajib
itu lebih tinggi daripada sunnah. Itu maksud mereka). Ini menyerupai sholat
Jum’at di belakang orang yang sholat zhuhur.
Riwayat
yang kedua: sholat tadi boleh. Ini dinukilkan oleh Isma’il bin Sa’id, dan
dinukilkan oleh Abu Dawud yang berkata: “Aku mendengar Ahmad ditanya tentang
seseorang yang sholat Ashr, lalu dia datang dan lupa bahwa dia sudah sholat
Ashr. Lalu dia maju dan sholat mengimami sekelompok orang dengan sholat tadi.
Lalu dia teringat ketika sudah sholat satu rekaat, lalu dia tetap meneruskan
sholatnya tadi. Maka beliau menjawab: “Tidak apa-apa.”
Dan
ini adalah pendapat ‘Atho, Thowus, Abu Roja, Al Auza’iy, Asy Syafi’iy, Sulaiman
bin Harb, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan Abu Ishaq Al Jauzajaniy.
Dan
inilah pendapat yang lebih shohih, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Jabir bin Abdillah: "Bahwasanya Mu'adz bin Jabal
sholat bersama Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian di kembali lalu mengimami kaumnya
sholat Isya.” Muttafaqun ‘alaih.
Dan
diriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم
bahwasanya beliau sholat mengimami sekelompok shohabat beliau dalam sholat
khouf dua rekaat, lalu beliau mengucapkan salam, kemudian beliau sholat
mengimami sekelompok yang lain dua rekaat, lalu beliau mengucapkan salam.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Atsrom. Dua rekaat yang kedua adalah nafilah
(sunnah), dalam keadaan beliau mengimami orang-orang yang sholat wajib.
Dan
diriwayatkan dari Abu Kholdah yang berkata: “Kami mendatangi Abu Roja untuk
sholat pertama bersama beliau, ternyata kami dapati beliau telah sholat. Maka
kami berkata: “Kami datang untuk sholat bersama Anda.” Maka beliau berkata:
“Kami telah sholat, namun aku tak akan merugikan kalian. Lalu beliau bangkit
dan mengerjakan sholat, dan kami sholat bersama beliau.” Diriwayatkan oleh Al
Atsrom.
Dan
juga karena keduanya adalah sholat yang bersesuaian gerakan-gerakannya, maka
boleh orang yang sholat dengan salah satu niat untuk menjadi makmum untuk orang
yang sholat dengan niat yang satunya. Sebagaimana sholatnya mutanaffil di
belakang muftaridh.
Adapun
hadits yang mereka pakai sebagai dalil untuk melarang tadi, maka yang
dikamsudkan oleh isi hadits tadi adalah: “Janganlah kalian menyelisihi sang
imam dalam gerakan-gerakan. Dalil kami adalah sabda beliau setelah itu:
«فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا سجد
فاسجدوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعون».
“Maka jika sang imam ruku’ maka
ruku’lah kalian, dan jika dia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala
kalian, dan jika di sujud maka sujudlah kalian, dan jika dia sholat dalam
keadaan duduk maka duduklah kalian semua.” (HR. Al Bukhoriy (688) dan
Muslim (412) dari Aisyah رضي الله عنها ).
Oleh
karena itulah makanya mutanaffil menjadi makmum bagi muftaridh itu sah, padahal
niat mereka berbeda. Dan qiyas para ulama tadi batal dengan kondisi sholat
seorang masbuq di sholat Jum’at yang mendapati sholat sang imam kurang dari
satu rekaat, maka dia meniatkan sholat zhuhur di belakang orang yang sholat
Jum’at.”
(selesai dari “Al Mughni”/2/hal.
52).
Yaitu:
para ulama tadi saja mengharuskan untuk orang yang terlambat sholat Jum’at dan
hanya mendapati sholat sang imam tersisa kurang dari satu rekaat, maka dia
harus meniatkan sholat zhuhur di belakang imam yang sholat Jum’at. Padahal
sekarang terjadi perbedaan niat. Jika ini boleh, maka untuk kasus kita tadi
juga boleh.
Bab
Tiga: Bolehnya Sholat Mutanaffil Di Belakang Muftaridh
Boleh
juga bagi orang yang ingin sholat sunnah –sholat sunnah yang di situ
disyariatkan untuk berjamaah- untuk menjadi makmum bagi orang yang sholat
wajib. Tentang masalah itu ada dalil-dalil, di antaranya adalah:
Dalil
yang pertama: hadits Jabir bin Yazid ibnul Aswad Al ‘Amiriy, dari ayahya رضي الله عنه yang berkata:
شهدت مع رسول الله صلى
الله عليه وسلم حجته فصليت معه صلاة الصبح في مسجد الخيف. فلما قضى صلاته وانحرف
إذا هو برجلين في أخريات القوم فلم يصليا معه فقال: « علي بهما». فأتي بهما
ترعد فرائصهما فقال: «ما منعكما أن تصليا معنا؟» فقالا : يا رسول الله كنا
صلينا في رحالنا . فقال: «لا تفعلا. إذا صليتما في رحالكما ، ثم أتيتما مسجد
جماعة فصليا معهم ؛ فإنها لكم نافلة».
“Aku hadir bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم di saat beliau haji, maka aku sholat shubuh bersama beliau di
masjid Khoif. Manakala beliau telah menyelesaikan sholat beliau dan beliau
bergeser, tiba-tiba saja beliau melihat ada dua orang di akhir rombongan dan
keduanya tidak sholat bersama beliau. Maka beliau bersabda: “Bawa kemari
keduanya.” Maka keduanya dibawa menghadap beliau dalam keadaan pundak
mereka berdua gemetaran. Maka beliau bertanya: “Apa yang menghalangi
kalian berdua untuk sholat bersama kami?” Maka keduanya berkata: “Wahai
Rosululloh, kami telah sholat di rumah kami.” Maka beliau bersabda: “Jangan
lakukan itu. Jika kalian telah sholat di rumah kalian, lalu kalian mendatangi
masjid jamaah, maka sholatlah kalian bersama mereka, karena jamaah tersebut
untuk kalian adalah sholat sunnah.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Al Ahad
Wal Matsani” (1310) dan Ath Thobroniy dalam “Al Kabir” (613)/shohih).
Ini
adalah dalil yang jelas tentang disyariatkannya sholat sunnah di belakang orang
yang sholat wajib, karena kedua shohabat tadi رضي
الله عنهما telah sholat shubuh di rumah mereka, maka Nabi صلى الله عليه وسلم menetapkan bahwasanya keduanya telah sholat wajib di rumah
mereka, dan beliau memerintahkan keduanya untuk sholat bersama jamaah, padahal
jamaah tadi sedang dalam sholat wajib, dan jadilah sholat keduanya bersama
mereka adalah sunnah.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata tentang dua masalah kita: “Adapun
orang yang telah menunaikan kewajibannya, sebagai imam, atau makmum atau sholat
sendiri, maka apakah boleh dia itu mengimami sholat tersebut bagi orang yang
hendak menunaikan sholat wajibnya, misalkan: sang imam sholat dua kali? Maka
dalam perkara ini ada perselisihan yang terkenal. Tentang ini ada tiga riwayat
dari Ahmad:
Yang
pertama: itu tidak boleh. Dan riwayat ini dipilih oleh kebanyakan dari pengikut
beliau, madzhab Abu Hanifah dan Malik.
Yang
kedua: boleh secara mutlak. Dan itu pilihan sebagian pengikut beliau seperti
Asy syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy, dan itu adalah madzhab Asy Syafi’iy.
Yang
ketiga: boleh ketika ada suatu hajat, seperti sholat khouf. Dan itu adalah
pilihan kakek kami Abul Barokat (Abdus Salam ibnu Taimiyyah), karena Nabi صلى الله عليه وسلم di sebagian waktu sholat khouf bersama Shohabat beliau dua
kali. Sholat bersama satu kelompok lalu salam, lalu sholat bersama kelompok
kedua, lalu salam.
Yang
membolehkan hal itu secara mutlak, berargumentasi dengan hadits Mu’adz yang
terkenal itu, bahwasanya Mu’adz senantiasa sholat Isya di tengah malam bersama
Rosululloh صلى الله عليه وسلم , lalu dia mendatangi kaumnya di Banu
Salimah dan menjadi imam sholat bagi mereka. Dalam satu riwayat: sholat yang
pertama adalah wajib untuk beliau, dan yang kedua adalah sunnah.
Ulama
yang melarang itu tak punya argumentasi yang kokoh, karena mereka
berargumentasi dengan lafazh yang tidak menunjukkan pembahasan pada masalah
yang diperselisihkan. Seperti sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم:
«إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه»
“Hanyalah imam itu dijadikan
untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” Muttafaqun ‘alaih.
Dan
bahwasanya imam itu adalah penjamin, maka sholatnya tidak boleh kurang daripada
sholat sang makmum (sholat sunnah dianggap kurang daripada sholat wajib).
Dan
tidak ada dalam dua argumentasi tadi kekuatan untuk menolak hujjah-hujjah ulama
yang membolehkan. Penyelisihan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
penyelisihan dalam gerakan-gerakan, sebagaimana telah dijelaskan dalam lafazh
hadits seterusnya. Maka boleh saja bagi makmum untuk mengulangi sholat,
sehingga dia itu mutanaffil di belakang muftaridh, sebagaimana ini adalah
pendapat kebanyakan ulama. Ini ditunjukkan oleh sabda beliau dalam hadits
shohih:
«يكون
بعدي أمراء يؤخرون الصلاة عن وقتها، فصلوا الصلاة لوقتها، ثم اجعلوا صلاتكم معهم
نافلة».
“Nanti sepeninggalku
akan ada para pemerintah yang mengakhirkan sholat dari waktunya. Maka sholatlah
kalian pada waktunya, lalu jadikanlah sholat kalian bersama mereka sebagai sholat
sunnah.”
Dan
juga sungguh Nabi telah sholat di masjid Khoif, maka beliau melihat ada dua
orang yang tidak sholat, maka beliau bertanya “Apa yang menghalangi
kalian berdua untuk sholat bersama kami?” Maka keduanya berkata: “Wahai
Rosululloh, kami telah sholat di rumah kami.” Maka beliau bersabda: “Jika
kalian telah sholat di rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid jamaah, maka
sholatlah kalian bersama mereka, karena jamaah tersebut untuk kalian adalah
sholat sunnah.”
Dan
di dalam “Sunan”: Nabi melihat ada orang yang sholat sendirian, maka beliau
bertanya: “Perhatian, siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini
untuk sholat bersamanya!?”
Maka
sungguh telah pasti sholat mutanaffil di belakang muftaridh di sekian hadits.
Dan telah pasti juga dalil tentang bolehnya kebalikannya. Maka diketahuilah
bahwasanya kecocokan dengan imam dalam niat sholat fardhu atau sunnah
itu tidaklah wajib. Dan imam itu sebagai penjamin, sekalipun sedang sholat
sunnah.
Dan
termasuk dari bab ini adalah: sholat isya yang terakhir (di pertengahan malam),
di belakang orang yang sholat tarowih Romadhon, yang mana orang ini sholat
(isya) di belakang orang yang tarowih dua rekaat, lalu dia bangkit lagi seraya
menyempurnakan dua rekaat yang tersisa?
Maka
pendapat yang paling benar adalah: itu semua boleh, tapi tidak sepantasnya dia
sholat menjadi imam untuk orang lain pada kali yang kedua kecuali karena ada
hajat, atau mashlahah, misalnya: tidak ada di situ yang pantas untuk jadi imam
selain dirinya, atau dia memang orang yang paling berhak menjadi imam di antara
orang-orang yang hadir, karena dia adalah orang yang paling tahu tentang
Kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya, atau mereka setara dalam ilmu tapi dia lebih
dahulu hijroh, meninggalkan perkara yang Alloh dan Rosul-Nya haromkan, atau dialah
yang tertua.”
(selesai penukilan dari “Majmu’ul
Fatawa”/23/hal. 384-386).
Dalil
kedua: dari
Abdulloh bin Mas’ud رض الله عنه yang berkata –dan ini dikhukumi sebagai
ucapan Nabi صلى الله عليه وسلم- :
إنه ستكون عليكم أمراء
يؤخرون الصلاة عن ميقاتها ويخنقونها إلى شرق الموتى فإذا رأيتوهم قد فعلوا ذلك
فصلوا الصلاة لميقاتها واجعلوا صلاتكم معهم سبحة. (أخرجه مسلم (534)).
“Sungguh nanti sepeninggalku akan
ada para pemerintah yang mengakhirkan sholat dari waktunya dan hampir-hampir
mematikannya. Maka jika kalian melihat mereka telah melakukan itu, maka tunaikanlah
sholat pada waktunya, lalu jadikanlah sholat kalian bersama mereka sebagai sholat
sunnah.” (HR. Muslim
(534)).
Al
Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Maknanya adalah: sholatlah
kalian di awal waktu sehingga gugurlah kewajiban dari kalian, kemudian
sholatlah bersama mereka kapan saja mereka sholat agar kalian mendapatkan
pahala sholat awal waktu dan pahala jama’ah, dan agar tidak terjadi fitnah
dengan sebab tertinggalnya kalian dari sholat bersama pemimpin dan terjadi
perselisihan dalam kalimat muslimin. Dan di dalam hadits ini ada dalil
bahwasanya barangsiapa menjalankan
sholat wajib dua kali, maka yang kedua adalah sunnah, sementara yang wajib
telah gugur dengan sholat yang pertama. Dan inilah yang shohih menurut para
sahabat kami (ulama Syafi’iyyah).” (“Al Minhaj”/5/hal. 16).
Dan
ini jelas tentang disyariatkannya sholat mutanaffil di belakang muftaridh.
Syamsul
Aimmah Muhammad bin Abi Sahl As Sarkhosiy رحمه
الله
berkata: “Mutanaffil menjadi makmum bagi muftaridh itu boleh dengan kesepakatan
ulama, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه
وسلم: “Nanti
sepeninggalku akan ada para pemerintah yang mengakhirkan sholat dari waktunya.
Maka sholatlah kalian pada waktunya, lalu jadikanlah sholat kalian bersama
mereka sebagai sholat subhah.”
Yaitu sholat sunnah.
Dan
juga karena si makmum membangun sholatnya berdasarkan sholat sang imam
sebagaimana orang yang sholat sendirian membangun akhir sholatnya berdasarkan
awal sholatnya. Sementara membangun sholat sunnah berdasarkan takbirotul ihrom
yang diniatkan untuk sholat wajib itu boleh. Demikian pula mutanaffil menjadi
makmum bagi muftaridh itu boleh.”
(selesai dari “Al Mabsuth Fi
Syarhil Hidayah”/As Sarkhosiy/1/hal. 401).
Dalil
ketiga: Dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي
الله عنه yang berkata:
أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم أبصر رجلا يصلي وحده فقال: «ألا رجل يتصدق على هذا فيصلي معه».
“Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihat ada orang yang sholat sendirian, maka beliau bersabda: “Perhatian,
siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini untuk sholat bersamanya!?”
(HR. Ahmad (11032) dan Abu Dawud (574)/shohih).
Ini
juga dalil tentang disyariatkannya sholat jamaah sekalipun niatnya berbeda,
karena orang ini sholat wajib, sementara orang yang diperintahkan oleh
Rosululloh صلى الله عليه وسلم untuk sholat bersamanya –menjadi
makmumnya- adalah bersholat sunnah.
Al
Imam Ibnu Qudamah berkata: “Dan madzhab
tidak berselisih tentang sahnya sholat mutanaffil di belakang muftaridh. Dan
kami tidak mengetahui di antara ulama ada perselisihan tentang itu. Ini
ditunjukkan oleh sabda Nabi صلى الله عليه
وسلم : “Perhatian,
siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini untuk sholat bersamanya!?”
dan hadits-hadits yang menyebutkan diulanginya sholat jama’ah. Dan juga karena
sholat makmum itu tertunaikan dengan niat sang imam, dengan dalil andaikata dia
meniatkan sholat wajib, lalu menjadi jelaslah baginya bahwasanya waktunya belum
tiba (boleh meniatkannya sebagai sholat sunnah). (selesai dari “Al
Mughni”/2/hal. 52).
Al
Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “Adapun jika sang imam adalah
muftaridh, sementara sang makmum adalah mutanaffil, maka ini boleh berdasarkan
hadits: “Perhatian, siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini
untuk sholat bersamanya!?” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidziy
dan dihasankannya, dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dan Al
Hakim. Karena beliau saat itu mengajak bicara sekelompok orang yang telah
menunaikan sholat wajib mereka. (“As Sailul Jarror”/1/hal. 254).
Beliau
juga berkata dalam kitab “Nailul Author” (3/hal. 185): “Dan hadits ini
menunjukkan disyariatkannya masuk bersama orang yang telah masuk ke dalam
sholat sendirian, sekalipun orang yang akan masuk ke dalam sholat ini telah
menunaikan sholat dalam jamaah. Ibnur Rif’ah berkata: “Semua ulama telah
bersepakat bahwasanya barangsiapa melihat ada orang sholat sendirian karena
tidak berhasil mendapatkan jama’ah, disunnah baginya untuk sholat bersamanya
(menjadi makmum bagi orang yang sholat sendirian tadi, sekalipun dia sudah
sholat dalam jama’ah.” Dan At Tirmidziy menjadikan hadits ini sebagai dalil
tentang bolehnya sekelompok orang untuk sholat jama’ah di suatu masjid yang di
situ telah ditunaikan sholat, dan beliau berkata: Ini adalah pendapat Ahmad dan
Ishaq.” Selesai.
(insya Alloh akan kita lanjutkan
di lain kesempatan, barokallohu fikum).
Maka
sholat mutanaffil di belakang muftaridh itu disyariatkan, dengan ijma’ ulama. Sementara
sholat muftaridh di belakang mutanaffil itu juga disyariatkan, menurut pendapat
yang benar.
Ibnu
Hajar رحمه الله berkata: “Berdalilkan dengan hadits ini
–yaitu hadits Jabir tentang kisah Mu’adz رضي
الله عنهما – akan sahnya muftaridh menjadi makmum bagi mutanaffil,
dibangun di atas kisah bahwasanya Mu’adz saat itu meniatkan untuk sholat yang
pertama adalah wajib, dan sholat yang kedua adalah sunnah. Ini ditunjukkan oleh
riwayat Abdurrozzaq, Asy Syafi’iy, Ath Thohawiy, Ad Daroquthniy dan yang lainnya
dari jalur Ibnu Juroij dari Amr bin Dinar dari Jabir dalam hadits bab ini,
dengan tambahan:
هي له تطوع ولهم فريضة.
“Sholat tadi untuk Mu’adz adalah
sunnah, dan untuk mereka adalah wajib.”
Dan ini
adalah hadits shohih, perowinya perowi kitab “Ash Shohih”. Dan Ibnu Juroij
telah terang-terangan menyatakan mendengar dari Amr bin Dinar, di dalam riwayat
Abdurrozzaq, maka hilanglah tuduhan tadlis (penyamaran/
penyembunyian). Maka ucapan Ibnul Jauziy: “Itu tidak shohih,” tertolak.
Dan alasan
Ath Thohawiy yang mendukung pendapat akan ketidakshohihannya bahwasanya Ibnu
Uyainah telah memaparkan riwayat dari Amr dengan lafazh yang lebih sempurna
daripada pemaparan Ibnu Juroij tapi tidak menyebutkan tambahan tadi, maka itu
bukanlah faktor yang mencacati keshohihannya karena Ibnu Juroij itu lebih tua
dan lebih agung daripada Ibnu Uyainah serta lebih dulu daripada Ibnu Uyainah
dalam mengambil hadits dari Amr. Kalaupun tidak demikian, maka itu adalah
tambahan dari rowi yang tsiqoh hafizh yang tidak bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih hapal daripadanya, dan tidak pula tidak bertentangan dengan
riwayat rowi yang jumlahnya lebih banyak. Maka tiada artinya tawaqquf (menahan
diri) dari hukum keshohihan tambahan tadi.
Adapun
penolakan Ath Thohawiy terhadap tambahan tadi karena bisa jadi merupakan idroj
(sisipan dari rowi), maka jawab kami adalah: bahwasanya pada asalnya adalah
tiada idroj sampai tetap dan jelasnya perincian. Maka lafazh apapun yang
tergabung dalil hadits tadi, maka dia adalah bagian dari hadits tadi, terutama
jika diriwayatkan dari dua jalur. Dan perkaranya dalam kasus ini adalah seperti
itu, karena Asy Syafi’iy juga meriwayatkan tambahan tadi dari jalur lain ke
Jabir sebagai pendukung bagi Amr bin Dinar dari Jabir.
Dan ucapan
Ath Thohawiy bahwasanya tambahan tadi adalah persangkaan dari Jabir, maka itu
tertolak karena Jabir termasuk yang sholat bersama Mu’adz, maka ini dibawa
kepada bahwasanya beliau mendengar itu dari Mu’adz. Dan tidak boleh diduga
bahwasanya Jabir mengabarkan dari seseorang suatu perkara yang tidak
disaksikan, kecuali jika orang tadi memberi tahu beliau akan perkara tadi.
Adapun
argumentasi para sahabat kami untuk mendukung itu dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
«إذا
أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة»
“Jika sholat telah dikumandangkan,
maka tiada sholat kecuali sholat yang wajib.” (HR. Muslim (710) dari Abu
Huroiroh رضي الله عنه)
Tidaklah bagus karena kesimpulan
dari hadits tadi adalah larangan untuk mengerjakan sholat selain sholat yang
ditegakkan, tanpa membicarakan masalah niat wajib ataukah niat sunnah.
Andaikata benar-benar harus meniatkan sholat wajib, niscaya Mu’adz tak akan mau
sholat dua kali mengimami kaumnya karena sholat tadi tidak lagi wajib untuknya
saat itu.
Demikian
pula ucapan sebagian sahabat kami: “Tak boleh Mu’adz disangka akan meninggalkan
keutamaan sholat wajib di belakang imam yang paling mulia (Nabi صلى الله عليه وسلم) di masjid yang paling utama (setelah Makkah),” Karena ucapan
tadi sekalipun menjadi faktor penguat pendapat kita, akan tetapi bisa saja
orang yang menyelisihi kita berkata: “Jika beliau berbuat itu dengan perintah
Nabi صلى الله عليه وسلم tidaklah mustahil Mu’adz mendapatkan
keutamaan ittiba.”
Demikian
pula ucapan Al Khoththobiy: “Sesungguhnya lafazh “isya” dalam ucapan Jabir
bahwasanya Mu’adz biasa melakukanya bersama Nabi صلى
الله عليه وسلم adalah isya yang hakiki dalam sholat wajib maka tidak boleh
dikatakan bahwa beliau meniatkannya sebagai sunnah,” Karena bisa saja pihak
yang menyelisihi berkata: “Ini tidak meniadakan bahwasanya Mu’adz meniatkannya
sebagai sunnah.”
Adapun
ucapan Ibnu Hazm: “Sesungguhnya para penyelisih tidak membolehkan bagi orang
yang wajib sholat jika telah dikumandangkan iqomah untuk dia itu melakukan
sholat sunnah, maka bagaimana bisa mereka menisbatkan pada Mu’adz perkara yang
mereka anggap tidak boleh?” Ucapan ini sekaipun benar, maka dia itu kurang
sekali.
Maka
jawaban yang paling selamat adalah dengan berpegang pada riwayat tambahan tadi.
Adapun
ucapan Ath Thohawiy bahwasanya riwayat tadi bukanlah hujjah karena bukan
perintah dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan bukan pula
persetujuan dari Nabi, maka jawab kita adalah: mereka tidak berselisih
bahwasanya pendapat Shohabat jika tidak diselisihi oleh shohabat yang lain
bukanlah hujjah. Dan kenyataan di sini adalah demikian, karena orang-orang yang
sholat diimami oleh Mu’adz semuanya adalah Shohabat, dan di tengah-tengah
mereka ada tiga puluh tokoh ‘Aqib, dan empat puluh ahli Badr, sebagaimana
ucapan Ibnu Hazm. Beliau berkata: “Dan tidaklah dihapalkan dari para shohabat
selain mereka tentang tidak bolehnya amalan tadi. Bahkan telah berpendapat
bersama mereka Umar, Ibnu Umar, Abud Darda, Anas, dan lain-lain.”
Adapun
ucapan Ath Thohawiy: “Andaikata kita terima itu semua, tidaklah di situ ada
hujjah karena bisa jadi kejadian tadi berlangsung di masa diperbolehkannya
sholat wajib dua kali.” Yaitu: hadits tadi telah mansukh, maka pendapat ini
telah dibantah oleh Ibnu Daqiq Al ‘Id bahwasanya pendapat tadi mengandung
penetapan naskh dengan berdasarkan kemungkinan. Dan itu tidak boleh karena dia
harus mendatangkan dalil yang mendukung dakwaannya tadi tentang terulangnya
sholat wajib.
Sepertinya
Ibnu Daqiq tidak mengetahui dalam kitab beliau sendiri (yaitu Syarh Umdatul
Ahkam) karena beliau di situ telah memaparkan dalil yaitu hadits Ibnu Umar dan
mengangkatnya ke Nabi:
لا تصلوا
الصلاة في اليوم مرتين. ]أخرجه أحمد (4689) وأبو داود (579) بسند حسن[
“Janganlah kalian menjalankan
suatu sholat dalam sehari dua kali.” (HR. Ahmad (4689) dan Abu Dawud (579) dengan sanad hasan).
Dan
datang dari jalur lain secara mursal (terputus sanadnya) bahwasanya penduduk
dataran tinggi Madinah biasa sholat di rumah-rumah mereka, lalu sholat bersama
Nabi صلى الله عليه وسلم , lalu berita itu sampai ke beliau, maka
beliau melarang mereka berbuat itu.
Berdalilkan
dengan riwayat yang ini andaikata shohih, masih perlu diperiksa karena bisa
jadi beliau melarang mereka dari sisi karena mereka sholat dua kali dengan niat
wajib. Dengan ini Al Baihaqiy memastikan, dalam rangka menggabungkan dua
hadits. Bahkan andaikata seseorang berkata: “Larangan ini mansukh (telah
terhapus) dengan hadits Mu’adz,” maka itu tidak jauh.
Dan
tidak bisa dikatakan bahwasanya kisah Mu’adz itu sudah lama karenaperiwayat
hadits mursal tadi mati syahid di Uhud, karena kita akan menjawab: perang Uhud
itu terjadi di akhir-akhir tahun ketiga, maka bisa saja larangan tadi terjadi
di awal tahun, dan idzinnya terjadi di akhir tahun. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda pada dua orang yang tidak sholat bersama beliau:
“Jika kalian telah sholat di rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid
jamaah, maka sholatlah kalian bersama mereka, karena jamaah tersebut untuk
kalian adalah sholat sunnah.” Diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan dari
hadits Yazid ibnul Aswad Al Amiriy, dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan
yang lainnya. Dan kejadian itu berlangsung di masa Haji Wada’ di akhir-akhir
hidup Nabi صلى الله عليه وسلم.
Dan
yang menunjukkan akan bolehnya sholat tadi juga adalah: perintah Nabi صلى الله عليه وسلم bagi orang yang mendapati para pemimpin yang datang sepeninggal
beliau dan mengakhirkan sholat dari waktunya: “maka tunaikanlah sholat
pada waktunya di rumah-rumah kalian, lalu jadikanlah sholat kalian bersama
mereka sebagai sholat sunnah.”
(selesai dari “Fathul Bari”/Ibnu
Hajar/2/hal. 195-197).
Bab Empat: Pentingnya Sholat Jama’ah, Dan Bahwasanya
Pemilik Cita-cita Yang Tinggi Tidak Rela Dengan Kerendahan
Sesungguhnya
Alloh ta’ala telah menjanjikan melalui lisan Rosul-Nya صلى
الله عليه وسلم dengan pahala yang banyak dan derajat yang tinggi bagi orang yang
berjalan ke masjid untuk menunaikan sholat jama’ah.
Dari
Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم
bersabda:
«صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى الْجَمَاعَةِ
تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَفِى سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ
ضِعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ
خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ ، لَمْ يَخْطُ
خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ ،
فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّى عَلَيْهِ مَا دَامَ فِى
مُصَلاَّهُ اللهمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللهمَّ ارْحَمْهُ . وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ
فِى صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ».
“Sholat seorang pria di jamaah itu dilipatkan
daripada sholatnya di rumahnya dan di pasarnya sbanyak dua puluh lima lipatan.
Yang demikian itu dikarenakan dirinya berwudhu lalu memperbagus wudhunya, lalu
keluar ke masjid, tidak ada yang mengeluarkannya kecuali sholat. Tidaklah dia
melangkahkan satu kaki kecuali diangkat untuknya dengan itu satu derajat, dan
dihapuskan darinya dengan itu satu kesalahan. Dan jika dia telah sholat,
terus-menerus para malaikat bersholawat untuknya, selama dia masih di tempat
sholatnya: “Ya Alloh, berilah sholawat untuknya, ya Alloh rohmatilah dia.” Dan
terus-menerus salah seorang dari kalian di dalam sholat selama dia menanti
sholat.” (HR. Al Bukhoriy (647) dan Muslim
(649)).
Dalam riwayat yang lain: “Duapuluh lima
derajat” (HR. Al Bukhoriy (4717) dan Muslim (649)).
Maka
para pemilik cita-cita yang tinggi, sekalipun mereka mengetahui sahnya sholat
wajib di rumah disertai dengan dosa meninggalkan sholat jama’ah, mereka tidak
rela kehilangan keutamaan-keutamaan yang dijanjikan itu.
Al
Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Andaikata jiwa itu mulia dan
besar, dia tidak akan rela dengan kerendahan. Maka asal segala kebaikan adalah
dengan taufiq Alloh, kehendak-Nya, kemuliaan jiwa, kepintarannya dan
kebesarannya.” (“Al Fawaid”/hal. 177).
Nasihat
yang bagus dari Al ‘Allamah Ibnu ‘Aqil رحمه
الله:
“Pada suatu hari aku berpikir, maka aku melihat bahwasanya kita ini tingga di
negri amal dan laba, serta keutamaan. Maka permisalan kita adalah bagaikan ladang
pertanian. Barangsiapa bagus dalam menaburkan benih, mengurusinya, dan buminya
itu subur, minuman berlimpah, akan menjadi banyaklah pertumbuhannya. Tapi kapan
saja syarat tadi ada yang kurang, akan berpengaruh pada masa panen.
Maka
amalan-amalan di dunia, di antaranya ada yang bersifat wajib. Itupun terjadi
banyak kekurangan yang dilakukan oleh manusia. Di antaranya juga ada
amalan-amalan sunnah, dan mayoritas manusia bermalas-malasan dalam mencari
keutamaan.
Manusia
ada dua macam: orang yang tahu tapi hawa nafsunya mengalahkannya sehingga dia
menunda-nunda amalan. Dan orang bodoh yang mengira bahwasanya dirinya ada di
atas kebenaran, dan inilah kondisi keumuman manusia.”
-sampai
pada ucapan beliau:- “Maka kapankah engkau mau mencurahkan perhatian untuk
membuang niat yang palsu dari niat yang murni, juga pemeriksaan jiwa dalam
perbuatan-perbuatannya, juga menolak kekeruhan dari rahasia batin, dan
mengumpulkan bekal untuk berangkat, serta bersegera mendapatkan
keutamaan-keutamaan dan pahala-pahala yang tinggi?
Sepertinya
kebanyakan manusia datang ke Hari Kiamat dalam keadaan menyesal. Mungkin
menyesal karena kurang dalam menjalankan kewajiban, atau menyesal karena
luputnya keutamaan-keutamaan.
Maka
Alloh, Alloh, wahai orang yang paham, putuskanlah rintangan-rintangan yang
menghalangi kalian dari perkara yang penting, sebelum dirampasnya kesempatan
secara mendadak terhadap hati yang tercerai-berai dan perkara yang tersia-sia.”
(selesai dari “Al Adabusy
Syar’iyyah”/2/hal. 332-333).
Maka
barangsiapa mencurahkan kerja kerasnya untuk mendapatkan jamaah di masjid, tapi
taqdir membawanya kepada luputnya jamaah pertama karena suatu udzur, maka Alloh
tak akan merugikan usahanya, bahkan Alloh memberinya kesempatan lain untuk
berjamaah yang lain agar bisa meraih pahala yang terluputkan.
Maka
segala puji hanyalah bagi Alloh di awal dan akhir, dan Dia itu lebih sayang
pada kita dari pada diri kita sendiri, dan Dia itu adalah Dzat Yang paling
penyayang.
والله تعالى
أعلم، والحمد لله رب العالمين.
Shon’a, 6 Jumadats Tsaniyah 1435
H.