Minggu, 22 November 2015

Hukum Jamaah Sholat Dengan Perbedaan Niat







Hukum Jamaah Sholat
Dengan Perbedaan Niat





Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy



Judul Asli:
“Hukmu Sholatil Jama’ah Ma’a Ikhtilafin Niyyat”

Judul terjemahan:
“Hukum Jamaah Sholat Dengan Perbedaan Niat”





Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
وفقه وفقهه




بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Penulis عفا الله عنه

            الحمد لله رب العالمين وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله أجمعين أما بعد:
            Seorang saudara yang mulia –semoga Alloh menjaga beliau, dan memberikan taufiq pada beliau kepada perkara yang Dia cintai dan Dia ridhoi- tentang hukum sholat berjamaah yang mana sang imam meniatkan sholat wajib, sementara makmum meniatkan sholat sunnah.
            Saudara kita menyukai agar jawaban nantinya ringkas berfaidah, dibangun di atas dalil yang jelas beserta penjelasan yang terang.
            Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh عز وجل –dan tiada upaya dan tiada daya kecuali dengan pertolongan Alloh- saya berkata:




Bab Satu: Besarnya Kebutuhan Hamba Pada Taufiq Dari Alloh عز وجل

            Sesungguhnya masalah sholat orang yang berniat sholat wajib di belakang orang yang bersholat sunnah –yakni: sang makmum meniatkan sholat wajib, sementara sang imam meniatkan sholat sunnah-, para imam besar pemilik lautan ilmu dulu dan sekarang telah berselisih pendapat tentangnya.
            Sementara itu mereka tidak berselisih pendapat tentang shohihnya sholatnya orang yang berniat sholat sunnah di belakang orang yang bersholat wajib. Maka kita sangat membutuhkan hidayah dari Alloh untuk mengetahui kedua masalah ini –dan masalah-masalah yang lain- agar kita tidak terjatuh ke dalam kebingungan di seluruh urusan kita.
Dari Abu Dzar رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang apa yang beliau riwayatkan dari Alloh تبارك وتعالى bahwasanya Dia berfirman:
«... يا عبادي كلكم ضال إلا من هديته فاستهدوني أهدكم، ...». الحديث.
“Wahai para hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk pada-Ku, Aku akan beri kalian petunjuk ...” Sampai akhir hadits. (HR. Muslim (2577)).
            Maka besarnya kebutuhan hamba kepada hidayah dari Robbnya itu lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Maka kita harus senantiasa memohon dengan doa ini:
﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ﴾ [الفاتحة: 6 - 7]،
“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
            Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan Muslimun telah berselisih pendapat dalam perkara-perkara berita, ilmu, keyakinan dan amaliyyah, sesuai dengan kehendak Alloh, padahal mereka semua bersepakat bahwasanya Muhammad itu benar, dan Al Qur’an itu benar. Andaikata setiap orang dari mereka mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus dalam perkara yang mereka perselisihkan, niscaya mereka tidak berselisih.
            Kemudian orang-orang yang telah mengetahui apa yang Alloh perintahkan, kebanyakan dari mereka mendurhakai-Nya dan tidak menempuh jalan-Nya. Andaikata mereka mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus dalam amalan-amalan tadi, niscaya mereka akan mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang.
Dan orang-orang yang Alloh beri petunjuk dari umat ini sampai menjadi wali-wali Alloh yang bertaqwa, sesungguhnya sebab terbesarnya adalah mereka berdoa kepada Alloh dengan doa ini di setiap sholat, bersamaan dengan mereka mengetahui bahwasanya mereka senantiasa amat membutuhkan kepada Alloh agar menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Maka dengan komitmen kepada doa ini dan perasaan sangat butuh kepada Alloh, jadilah mereka wali-wali Alloh yang bertaqwa.”
(“Majmu’ul Fatawa”/10/hal. 108).
Maka semata-mata kecerdasan itu tidak cukup untuk mengetahui kebanyakan dari masalah-masalah. Bahkan taufiq dari Alloh itulah yang asasnya.
هتف الذكاء وقال لست بنافع * إلا بتوفيق من الوهاب
“Kecerdasan memanggil dan berkata: “Aku tidaklah bermanfaat, kecuali dengan taufiq dari Al Wahhab (Yang Maha Memberi).”
(“Siyar A’lamin Nubala”/Adz Dzahabiy/18/hal. 58).
إذا كان عون الله للمرء شاملاً ... تهيء له من كل شيء مراده
وإن لم يكن عون من الله للفتى ... فأول ما يجني عليه اجتهاده
“Jika pertolongan Alloh untuk sang pemuda itu bersifat menyeluruh, akan tersiapkan untuknya segala sesuatu sesuai keinginannya. Tapi jika Alloh tidak menolong sang pemuda, maka yang pertama kali merugikan dirinya adalah ijtihadnya.”
(“Al Kasykul”/Al Baha Al ‘Amiliy/hal. 240).
            Maka kita wajib untuk mencurahkan kerja keras untuk mengetahui kebenaran dengan dalilnya, disertai oleh sikap merunduk para Robb kita dan berdoa kepadanya dalam keadaan berminat dan rasa takut, dan jangan sampai kita menyandarkan diri pada rasio kita dan kehebatan akal kita.
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan sesuai dengan kadar niat sang hamba, tekadnya, keinginannya, minatnya dalam perkara tadi itulah kadar taufiq dan pertolongan dari Alloh سبحانه . Pertolongan dari Alloh itu turun kepada para hamba sesuai dengan kadar tekad mereka, kekokohan mereka, minat mereka dan rasa takut mereka. Dan ketelantaran itu menimpa mereka sesuai dengan dengan kadar perkara tadi juga. Maka Alloh سبحانه itu hakim yang paling bijaksana dan paling berilmu, meletakkan taufiq pada posisi-posisi yang sesuai, dan meletakkan penelantaran pada posisi-posisi yang sesuai, Alloh itulah Yang Mahatahui lagi Maha Penuh Hikmah. Dan tidaklah seseorang itu tertimpa bencana kecuali karena menyia-nyiakan syukur, tidak merasa butuh dan tidak mau berdoa pada Alloh. Dan tidaklah seseorang itu berhasil dengan kehendak Alloh dan pertolongan-Nya kecuali karena dia bersyukur, jujur merasakan kebutuhan pada Alloh, dan berdoa. Kunci dari itu semua adalah kesabaran, karena posisi kesabaran dalam keimanan itu bagaikan posisi kepala dari badan. Jika kepala terpotong, badan akan binasa.” Dst.” (“Al Fawaid”/hal. 97).
            Maka sholat mutanaffil (orang yang sholat sunnah) di belakang muftaridh (orang yang sholat wajib) itu boleh dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana akan datang penyebutannya insya Alloh.
            Dan yang rojih untuk sholat muftaridh (orang yang sholat wajib) di belakang mutanaffil (orang yang sholat sunnah) itu boleh, karena dalil-dalilnya lebih kuat, sebagaimana ditetapkan oleh sebagian imam kita.
            Penjelasannya secara ringkas adalah sebagai berikut:



Bab Dua: Bolehnya Sholat Muftaridh di Belakang Mutanaffil

            Orang yang ingin sholat wajib, dia boleh untuk menjadi makmum bagi orang yang sholat sunnah. Tentang masalah itu ada beberapa dalil, di antaranya adalah:
            Dalil yang pertama: Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما yang berkata:
كان معاذ بن جبل يصلي مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم يرجع فيؤم قومه فصلى العشاء فقرأ بالبقرة فانصرف الرجل فكان معاذا تناول منه فبلغ النبي صلى الله عليه و سلم فقال: «فتان فتان فتان». ثلاث مرار أو قال: «فاتنا فاتنا فاتنا» وأمره بسورتين من أوسط المفصل.
"Dulu Mu'adz bin Jabal sholat bersama Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian di kembali lalu mengimami kaumnya sholat Isya. Maka dia membaca Al Baqoroh. Maka ada orang yang berpaling pergi. Maka Mu'adz mencelanya. lalu berita itu sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau berkata: "Tukang membikin fitnah, Tukang membikin fitnah, Tukang membikin fitnah," sebanyak tiga kali. Atau beliau berkata: "Pembikin fitnah, pembikin fitnah, pembikin fitnah," lalu beliau memerintahkannya untuk membaca dua surat saja dari pertengahan Mufashshol." (HR. Al Bukhoriy (701) dan Muslim (465)).
            Hadits ini jelas menerangkan bolehnya sholat wajib di belakang orang yang sholat sunnah. Itu karena Banu Salimah mengerjakan sholat isya yang menjadi kewajiban mereka, sementara imam mereka adalah Mu’adz bin Jabal yang meniatkan sholat sunnah, karena beliau telah sholat Isya bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم . semoga Alloh meridhoi mereka semua.
            Al Imam Abu Ishaq Al Fairuz Abadiy رحمه الله berkata: “Dan boleh muftaridh itu menjadi makmum bagi mutanaffil, dan boleh juga muftaridh menjadi makmum bagi muftaridh yang lain dalam sholat yang lain (beda niatnya, yang imamnya meniatkan Ashr, sementara makmum meniatkan zhuhur karena terlambat karena udzur, misalkan). Ini berdasarkan riwayat Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما bahwasanya Mu’adz senantiasa sholat Isya di tengah malam bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم , lalu dia mendatangi kaumnya di Banu Salimah dan menjadi imam sholat bagi mereka, maka sholat dia ini adalah sunnah, dan sholat mereka adalah wajib. Dan juga hal itu boleh karena makmum sudah mengikuti imam dalam amalan-amalan lahiriyyah, dan itu bisa saja meskipun niatnya berbeda.
            Adapun jika sholat kusuf (gerhana) di belakang orang yang sholat shubuh, atau sholat shubuh di belakang orang yang sholat kusuf (gerhana), maka itu tidak boleh karena tidak mungkin menjadi makmum sementara gerakan-gerakannya berbeda.”
(selesai dari kitab “Al Muhadzdzab”/1/hal. 183).
            Dalil kedua: dari Abu Bakroh رضي الله عنه yang berkata:
صلى النبي صلى الله عليه و سلم في خوف الظهر فصف بعضهم خلفه وبعضهم بإزاء العدو فصلى بهم ركعتين ثم سلم. فانطلق الذين صلوا معه فوقفوا موقف أصحابهم ثم جاء أولئك فصلوا خلفه فصلى بهم ركعتين ثم سلم. فكانت لرسول الله صلى الله عليه و سلم أربعا ولأصحابه ركعتين ركعتين.
“Nabi صلى الله عليه وسلم pernah menjalankan sholat khouf di waktu zhuhur, maka beliau membariskan sebagian dari mereka di belakang beliau, dan sebagiannya lagi menghadap ke musuh. Lalu beliau sholat mengimami mereka dua rekaat, lalu mengucapkan salam. Lalu kelompok yang sudah sholat bersama beliau beranjak mengambil posisi teman-teman mereka, lalu datanglah teman-teman mereka untuk sholat di belakang beliau. Lalu beliau sholat mengimami mereka dua rekaat, lalu mengucapkan salam. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم punya sholat empat rekaat, sementara para shohabat beliau punya sholat dua rekaat.” (HR. Abu Dawud (1240) dan An Nasaiy (1550)/shohih).
            Ini juga merupakan dalil yang jelas akan bolehnya sholat wajib di belakang mutanaffil, karena Nabi صلى الله عليه وسلم sholat dua rekaat yang pertama sebagai sholat wajib, kemudian dua rekaat terakhir sebagai nafilah (sunnah), dan yang di belakang beliau adalah makmum dengan niat sholat wajib.
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Nabi صلى الله عليه وسلم adalah mutanaffil dalam sholat yang kedua, dalam keadaan para shohabat meniatkan sholat wajib. Asy Syafi’iy dan para sahabat beliau berdalilkan dengan hadits tadi akan bolehnya sholat muftaridh di belakang mutanaffil. Allohu a’lam.” (“Al Minhaj”/An Nawawiy/6/hal. 130/di bawah hadits no. (463)).
            Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: “Tentang sholat muftaridh di belakang mutanaffil itu ada dua riwayat dari Al Imam Ahmad, yang pertama: tidak sah. Ini ditetapkan oleh Ahmad dalam riwayat Abul Harits dan Hanbal, dan dipilih oleh kebanyakan sahabat kami (Hanabilah). Ini adalah pendapat Az Zuhriy, Malik, dan para pengikut rasio, berdasar sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
«إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه»
“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” Muttafaqun ‘alaih.
            Dan juga karena sholat makmum itu tidak tertunaikan dengan niat sang imam (karena makmum menginginkan wajib, sementara imam menginginkan sunnah, sementara wajib itu lebih tinggi daripada sunnah. Itu maksud mereka). Ini menyerupai sholat Jum’at di belakang orang yang sholat zhuhur.
            Riwayat yang kedua: sholat tadi boleh. Ini dinukilkan oleh Isma’il bin Sa’id, dan dinukilkan oleh Abu Dawud yang berkata: “Aku mendengar Ahmad ditanya tentang seseorang yang sholat Ashr, lalu dia datang dan lupa bahwa dia sudah sholat Ashr. Lalu dia maju dan sholat mengimami sekelompok orang dengan sholat tadi. Lalu dia teringat ketika sudah sholat satu rekaat, lalu dia tetap meneruskan sholatnya tadi. Maka beliau menjawab: “Tidak apa-apa.”
            Dan ini adalah pendapat ‘Atho, Thowus, Abu Roja, Al Auza’iy, Asy Syafi’iy, Sulaiman bin Harb, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan Abu Ishaq Al Jauzajaniy.
            Dan inilah pendapat yang lebih shohih, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah: "Bahwasanya Mu'adz bin Jabal sholat bersama Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian di kembali lalu mengimami kaumnya sholat Isya.” Muttafaqun ‘alaih.
            Dan diriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau sholat mengimami sekelompok shohabat beliau dalam sholat khouf dua rekaat, lalu beliau mengucapkan salam, kemudian beliau sholat mengimami sekelompok yang lain dua rekaat, lalu beliau mengucapkan salam. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Atsrom. Dua rekaat yang kedua adalah nafilah (sunnah), dalam keadaan beliau mengimami orang-orang yang sholat wajib.
            Dan diriwayatkan dari Abu Kholdah yang berkata: “Kami mendatangi Abu Roja untuk sholat pertama bersama beliau, ternyata kami dapati beliau telah sholat. Maka kami berkata: “Kami datang untuk sholat bersama Anda.” Maka beliau berkata: “Kami telah sholat, namun aku tak akan merugikan kalian. Lalu beliau bangkit dan mengerjakan sholat, dan kami sholat bersama beliau.” Diriwayatkan oleh Al Atsrom.
            Dan juga karena keduanya adalah sholat yang bersesuaian gerakan-gerakannya, maka boleh orang yang sholat dengan salah satu niat untuk menjadi makmum untuk orang yang sholat dengan niat yang satunya. Sebagaimana sholatnya mutanaffil di belakang muftaridh.
            Adapun hadits yang mereka pakai sebagai dalil untuk melarang tadi, maka yang dikamsudkan oleh isi hadits tadi adalah: “Janganlah kalian menyelisihi sang imam dalam gerakan-gerakan. Dalil kami adalah sabda beliau setelah itu:
«فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا سجد فاسجدوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعون».
“Maka jika sang imam ruku’ maka ruku’lah kalian, dan jika dia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian, dan jika di sujud maka sujudlah kalian, dan jika dia sholat dalam keadaan duduk maka duduklah kalian semua.” (HR. Al Bukhoriy (688) dan Muslim (412) dari Aisyah رضي الله عنها ).
            Oleh karena itulah makanya mutanaffil menjadi makmum bagi muftaridh itu sah, padahal niat mereka berbeda. Dan qiyas para ulama tadi batal dengan kondisi sholat seorang masbuq di sholat Jum’at yang mendapati sholat sang imam kurang dari satu rekaat, maka dia meniatkan sholat zhuhur di belakang orang yang sholat Jum’at.”
(selesai dari “Al Mughni”/2/hal. 52).
            Yaitu: para ulama tadi saja mengharuskan untuk orang yang terlambat sholat Jum’at dan hanya mendapati sholat sang imam tersisa kurang dari satu rekaat, maka dia harus meniatkan sholat zhuhur di belakang imam yang sholat Jum’at. Padahal sekarang terjadi perbedaan niat. Jika ini boleh, maka untuk kasus kita tadi juga boleh.



Bab Tiga: Bolehnya Sholat Mutanaffil Di Belakang Muftaridh
            Boleh juga bagi orang yang ingin sholat sunnah –sholat sunnah yang di situ disyariatkan untuk berjamaah- untuk menjadi makmum bagi orang yang sholat wajib. Tentang masalah itu ada dalil-dalil, di antaranya adalah:
            Dalil yang pertama: hadits Jabir bin Yazid ibnul Aswad Al ‘Amiriy, dari ayahya رضي الله عنه yang berkata:
شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم حجته فصليت معه صلاة الصبح في مسجد الخيف. فلما قضى صلاته وانحرف إذا هو برجلين في أخريات القوم فلم يصليا معه فقال: « علي بهما». فأتي بهما ترعد فرائصهما فقال: «ما منعكما أن تصليا معنا؟» فقالا : يا رسول الله كنا صلينا في رحالنا . فقال: «لا تفعلا. إذا صليتما في رحالكما ، ثم أتيتما مسجد جماعة فصليا معهم ؛ فإنها لكم نافلة».
“Aku hadir bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم di saat beliau haji, maka aku sholat shubuh bersama beliau di masjid Khoif. Manakala beliau telah menyelesaikan sholat beliau dan beliau bergeser, tiba-tiba saja beliau melihat ada dua orang di akhir rombongan dan keduanya tidak sholat bersama beliau. Maka beliau bersabda: “Bawa kemari keduanya.” Maka keduanya dibawa menghadap beliau dalam keadaan pundak mereka berdua gemetaran. Maka beliau bertanya: “Apa yang menghalangi kalian berdua untuk sholat bersama kami?” Maka keduanya berkata: “Wahai Rosululloh, kami telah sholat di rumah kami.” Maka beliau bersabda: “Jangan lakukan itu. Jika kalian telah sholat di rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid jamaah, maka sholatlah kalian bersama mereka, karena jamaah tersebut untuk kalian adalah sholat sunnah.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Al Ahad Wal Matsani” (1310) dan Ath Thobroniy dalam “Al Kabir” (613)/shohih).
            Ini adalah dalil yang jelas tentang disyariatkannya sholat sunnah di belakang orang yang sholat wajib, karena kedua shohabat tadi رضي الله عنهما telah sholat shubuh di rumah mereka, maka Nabi صلى الله عليه وسلم menetapkan bahwasanya keduanya telah sholat wajib di rumah mereka, dan beliau memerintahkan keduanya untuk sholat bersama jamaah, padahal jamaah tadi sedang dalam sholat wajib, dan jadilah sholat keduanya bersama mereka adalah sunnah.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata tentang dua masalah kita: “Adapun orang yang telah menunaikan kewajibannya, sebagai imam, atau makmum atau sholat sendiri, maka apakah boleh dia itu mengimami sholat tersebut bagi orang yang hendak menunaikan sholat wajibnya, misalkan: sang imam sholat dua kali? Maka dalam perkara ini ada perselisihan yang terkenal. Tentang ini ada tiga riwayat dari Ahmad:
            Yang pertama: itu tidak boleh. Dan riwayat ini dipilih oleh kebanyakan dari pengikut beliau, madzhab Abu Hanifah dan Malik.
            Yang kedua: boleh secara mutlak. Dan itu pilihan sebagian pengikut beliau seperti Asy syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy, dan itu adalah madzhab Asy Syafi’iy.
            Yang ketiga: boleh ketika ada suatu hajat, seperti sholat khouf. Dan itu adalah pilihan kakek kami Abul Barokat (Abdus Salam ibnu Taimiyyah), karena Nabi صلى الله عليه وسلم di sebagian waktu sholat khouf bersama Shohabat beliau dua kali. Sholat bersama satu kelompok lalu salam, lalu sholat bersama kelompok kedua, lalu salam.
            Yang membolehkan hal itu secara mutlak, berargumentasi dengan hadits Mu’adz yang terkenal itu, bahwasanya Mu’adz senantiasa sholat Isya di tengah malam bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم , lalu dia mendatangi kaumnya di Banu Salimah dan menjadi imam sholat bagi mereka. Dalam satu riwayat: sholat yang pertama adalah wajib untuk beliau, dan yang kedua adalah sunnah.
            Ulama yang melarang itu tak punya argumentasi yang kokoh, karena mereka berargumentasi dengan lafazh yang tidak menunjukkan pembahasan pada masalah yang diperselisihkan. Seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
«إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه»
“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” Muttafaqun ‘alaih.
            Dan bahwasanya imam itu adalah penjamin, maka sholatnya tidak boleh kurang daripada sholat sang makmum (sholat sunnah dianggap kurang daripada sholat wajib).
            Dan tidak ada dalam dua argumentasi tadi kekuatan untuk menolak hujjah-hujjah ulama yang membolehkan. Penyelisihan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah penyelisihan dalam gerakan-gerakan, sebagaimana telah dijelaskan dalam lafazh hadits seterusnya. Maka boleh saja bagi makmum untuk mengulangi sholat, sehingga dia itu mutanaffil di belakang muftaridh, sebagaimana ini adalah pendapat kebanyakan ulama. Ini ditunjukkan oleh sabda beliau dalam hadits shohih:
«يكون بعدي أمراء يؤخرون الصلاة عن وقتها، فصلوا الصلاة لوقتها، ثم اجعلوا صلاتكم معهم نافلة».
“Nanti sepeninggalku akan ada para pemerintah yang mengakhirkan sholat dari waktunya. Maka sholatlah kalian pada waktunya, lalu jadikanlah sholat kalian bersama mereka sebagai sholat sunnah.”
            Dan juga sungguh Nabi telah sholat di masjid Khoif, maka beliau melihat ada dua orang yang tidak sholat, maka beliau bertanya “Apa yang menghalangi kalian berdua untuk sholat bersama kami?” Maka keduanya berkata: “Wahai Rosululloh, kami telah sholat di rumah kami.” Maka beliau bersabda: “Jika kalian telah sholat di rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid jamaah, maka sholatlah kalian bersama mereka, karena jamaah tersebut untuk kalian adalah sholat sunnah.”
            Dan di dalam “Sunan”: Nabi melihat ada orang yang sholat sendirian, maka beliau bertanya: “Perhatian, siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini untuk sholat bersamanya!?”
            Maka sungguh telah pasti sholat mutanaffil di belakang muftaridh di sekian hadits. Dan telah pasti juga dalil tentang bolehnya kebalikannya. Maka diketahuilah bahwasanya kecocokan dengan imam dalam niat sholat fardhu atau sunnah itu tidaklah wajib. Dan imam itu sebagai penjamin, sekalipun sedang sholat sunnah.
            Dan termasuk dari bab ini adalah: sholat isya yang terakhir (di pertengahan malam), di belakang orang yang sholat tarowih Romadhon, yang mana orang ini sholat (isya) di belakang orang yang tarowih dua rekaat, lalu dia bangkit lagi seraya menyempurnakan dua rekaat yang tersisa?
            Maka pendapat yang paling benar adalah: itu semua boleh, tapi tidak sepantasnya dia sholat menjadi imam untuk orang lain pada kali yang kedua kecuali karena ada hajat, atau mashlahah, misalnya: tidak ada di situ yang pantas untuk jadi imam selain dirinya, atau dia memang orang yang paling berhak menjadi imam di antara orang-orang yang hadir, karena dia adalah orang yang paling tahu tentang Kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya, atau mereka setara dalam ilmu tapi dia lebih dahulu hijroh, meninggalkan perkara yang Alloh dan Rosul-Nya haromkan, atau dialah yang tertua.”
(selesai penukilan dari “Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 384-386).
            Dalil kedua: dari Abdulloh bin Mas’ud رض الله عنه yang berkata –dan ini dikhukumi sebagai ucapan Nabi صلى الله عليه وسلم- :
إنه ستكون عليكم أمراء يؤخرون الصلاة عن ميقاتها ويخنقونها إلى شرق الموتى فإذا رأيتوهم قد فعلوا ذلك فصلوا الصلاة لميقاتها واجعلوا صلاتكم معهم سبحة. (أخرجه مسلم (534)).
“Sungguh nanti sepeninggalku akan ada para pemerintah yang mengakhirkan sholat dari waktunya dan hampir-hampir mematikannya. Maka jika kalian melihat mereka telah melakukan itu, maka tunaikanlah sholat pada waktunya, lalu jadikanlah sholat kalian bersama mereka sebagai sholat sunnah.” (HR. Muslim (534)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Maknanya adalah: sholatlah kalian di awal waktu sehingga gugurlah kewajiban dari kalian, kemudian sholatlah bersama mereka kapan saja mereka sholat agar kalian mendapatkan pahala sholat awal waktu dan pahala jama’ah, dan agar tidak terjadi fitnah dengan sebab tertinggalnya kalian dari sholat bersama pemimpin dan terjadi perselisihan dalam kalimat muslimin. Dan di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barangsiapa  menjalankan sholat wajib dua kali, maka yang kedua adalah sunnah, sementara yang wajib telah gugur dengan sholat yang pertama. Dan inilah yang shohih menurut para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah).” (“Al Minhaj”/5/hal. 16).
            Dan ini jelas tentang disyariatkannya sholat mutanaffil di belakang muftaridh.
            Syamsul Aimmah Muhammad bin Abi Sahl As Sarkhosiy رحمه الله berkata: “Mutanaffil menjadi makmum bagi muftaridh itu boleh dengan kesepakatan ulama, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: “Nanti sepeninggalku akan ada para pemerintah yang mengakhirkan sholat dari waktunya. Maka sholatlah kalian pada waktunya, lalu jadikanlah sholat kalian bersama mereka sebagai sholat subhah.”
Yaitu sholat sunnah.
            Dan juga karena si makmum membangun sholatnya berdasarkan sholat sang imam sebagaimana orang yang sholat sendirian membangun akhir sholatnya berdasarkan awal sholatnya. Sementara membangun sholat sunnah berdasarkan takbirotul ihrom yang diniatkan untuk sholat wajib itu boleh. Demikian pula mutanaffil menjadi makmum bagi muftaridh itu boleh.”
(selesai dari “Al Mabsuth Fi Syarhil Hidayah”/As Sarkhosiy/1/hal. 401).
            Dalil ketiga: Dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله عنه yang berkata:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أبصر رجلا يصلي وحده فقال: «ألا رجل يتصدق على هذا فيصلي معه».
“Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihat ada orang yang sholat sendirian, maka beliau bersabda: “Perhatian, siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini untuk sholat bersamanya!?” (HR. Ahmad (11032) dan Abu Dawud (574)/shohih).
            Ini juga dalil tentang disyariatkannya sholat jamaah sekalipun niatnya berbeda, karena orang ini sholat wajib, sementara orang yang diperintahkan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم untuk sholat bersamanya –menjadi makmumnya- adalah bersholat sunnah.
            Al Imam Ibnu Qudamah  berkata: “Dan madzhab tidak berselisih tentang sahnya sholat mutanaffil di belakang muftaridh. Dan kami tidak mengetahui di antara ulama ada perselisihan tentang itu. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Perhatian, siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini untuk sholat bersamanya!?” dan hadits-hadits yang menyebutkan diulanginya sholat jama’ah. Dan juga karena sholat makmum itu tertunaikan dengan niat sang imam, dengan dalil andaikata dia meniatkan sholat wajib, lalu menjadi jelaslah baginya bahwasanya waktunya belum tiba (boleh meniatkannya sebagai sholat sunnah). (selesai dari “Al Mughni”/2/hal. 52).
            Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “Adapun jika sang imam adalah muftaridh, sementara sang makmum adalah mutanaffil, maka ini boleh berdasarkan hadits: “Perhatian, siapakah orang yang mau bershodaqoh pada orang ini untuk sholat bersamanya!?” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidziy dan dihasankannya, dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Karena beliau saat itu mengajak bicara sekelompok orang yang telah menunaikan sholat wajib mereka. (“As Sailul Jarror”/1/hal. 254).
            Beliau juga berkata dalam kitab “Nailul Author” (3/hal. 185): “Dan hadits ini menunjukkan disyariatkannya masuk bersama orang yang telah masuk ke dalam sholat sendirian, sekalipun orang yang akan masuk ke dalam sholat ini telah menunaikan sholat dalam jamaah. Ibnur Rif’ah berkata: “Semua ulama telah bersepakat bahwasanya barangsiapa melihat ada orang sholat sendirian karena tidak berhasil mendapatkan jama’ah, disunnah baginya untuk sholat bersamanya (menjadi makmum bagi orang yang sholat sendirian tadi, sekalipun dia sudah sholat dalam jama’ah.” Dan At Tirmidziy menjadikan hadits ini sebagai dalil tentang bolehnya sekelompok orang untuk sholat jama’ah di suatu masjid yang di situ telah ditunaikan sholat, dan beliau berkata: Ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq.” Selesai.
(insya Alloh akan kita lanjutkan di lain kesempatan, barokallohu fikum).
            Maka sholat mutanaffil di belakang muftaridh itu disyariatkan, dengan ijma’ ulama. Sementara sholat muftaridh di belakang mutanaffil itu juga disyariatkan, menurut pendapat yang benar.
            Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Berdalilkan dengan hadits ini –yaitu hadits Jabir tentang kisah Mu’adz رضي الله عنهما – akan sahnya muftaridh menjadi makmum bagi mutanaffil, dibangun di atas kisah bahwasanya Mu’adz saat itu meniatkan untuk sholat yang pertama adalah wajib, dan sholat yang kedua adalah sunnah. Ini ditunjukkan oleh riwayat Abdurrozzaq, Asy Syafi’iy, Ath Thohawiy, Ad Daroquthniy dan yang lainnya dari jalur Ibnu Juroij dari Amr bin Dinar dari Jabir dalam hadits bab ini, dengan tambahan:
هي له تطوع ولهم فريضة.
“Sholat tadi untuk Mu’adz adalah sunnah, dan untuk mereka adalah wajib.”
Dan ini adalah hadits shohih, perowinya perowi kitab “Ash Shohih”. Dan Ibnu Juroij telah terang-terangan menyatakan mendengar dari Amr bin Dinar, di dalam riwayat Abdurrozzaq, maka hilanglah tuduhan tadlis (penyamaran/ penyembunyian). Maka ucapan Ibnul Jauziy: “Itu tidak shohih,” tertolak.
Dan alasan Ath Thohawiy yang mendukung pendapat akan ketidakshohihannya bahwasanya Ibnu Uyainah telah memaparkan riwayat dari Amr dengan lafazh yang lebih sempurna daripada pemaparan Ibnu Juroij tapi tidak menyebutkan tambahan tadi, maka itu bukanlah faktor yang mencacati keshohihannya karena Ibnu Juroij itu lebih tua dan lebih agung daripada Ibnu Uyainah serta lebih dulu daripada Ibnu Uyainah dalam mengambil hadits dari Amr. Kalaupun tidak demikian, maka itu adalah tambahan dari rowi yang tsiqoh hafizh yang tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih hapal daripadanya, dan tidak pula tidak bertentangan dengan riwayat rowi yang jumlahnya lebih banyak. Maka tiada artinya tawaqquf (menahan diri) dari hukum keshohihan tambahan tadi.
Adapun penolakan Ath Thohawiy terhadap tambahan tadi karena bisa jadi merupakan idroj (sisipan dari rowi), maka jawab kami adalah: bahwasanya pada asalnya adalah tiada idroj sampai tetap dan jelasnya perincian. Maka lafazh apapun yang tergabung dalil hadits tadi, maka dia adalah bagian dari hadits tadi, terutama jika diriwayatkan dari dua jalur. Dan perkaranya dalam kasus ini adalah seperti itu, karena Asy Syafi’iy juga meriwayatkan tambahan tadi dari jalur lain ke Jabir sebagai pendukung bagi Amr bin Dinar dari Jabir.
Dan ucapan Ath Thohawiy bahwasanya tambahan tadi adalah persangkaan dari Jabir, maka itu tertolak karena Jabir termasuk yang sholat bersama Mu’adz, maka ini dibawa kepada bahwasanya beliau mendengar itu dari Mu’adz. Dan tidak boleh diduga bahwasanya Jabir mengabarkan dari seseorang suatu perkara yang tidak disaksikan, kecuali jika orang tadi memberi tahu beliau akan perkara tadi.
Adapun argumentasi para sahabat kami untuk mendukung itu dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
«إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة»
“Jika sholat telah dikumandangkan, maka tiada sholat kecuali sholat yang wajib.” (HR. Muslim (710) dari Abu Huroiroh رضي الله عنه)
Tidaklah bagus karena kesimpulan dari hadits tadi adalah larangan untuk mengerjakan sholat selain sholat yang ditegakkan, tanpa membicarakan masalah niat wajib ataukah niat sunnah. Andaikata benar-benar harus meniatkan sholat wajib, niscaya Mu’adz tak akan mau sholat dua kali mengimami kaumnya karena sholat tadi tidak lagi wajib untuknya saat itu.
            Demikian pula ucapan sebagian sahabat kami: “Tak boleh Mu’adz disangka akan meninggalkan keutamaan sholat wajib di belakang imam yang paling mulia (Nabi صلى الله عليه وسلم) di masjid yang paling utama (setelah Makkah),” Karena ucapan tadi sekalipun menjadi faktor penguat pendapat kita, akan tetapi bisa saja orang yang menyelisihi kita berkata: “Jika beliau berbuat itu dengan perintah Nabi صلى الله عليه وسلم tidaklah mustahil Mu’adz mendapatkan keutamaan ittiba.”
            Demikian pula ucapan Al Khoththobiy: “Sesungguhnya lafazh “isya” dalam ucapan Jabir bahwasanya Mu’adz biasa melakukanya bersama Nabi صلى الله عليه وسلم adalah isya yang hakiki dalam sholat wajib maka tidak boleh dikatakan bahwa beliau meniatkannya sebagai sunnah,” Karena bisa saja pihak yang menyelisihi berkata: “Ini tidak meniadakan bahwasanya Mu’adz meniatkannya sebagai sunnah.”
            Adapun ucapan Ibnu Hazm: “Sesungguhnya para penyelisih tidak membolehkan bagi orang yang wajib sholat jika telah dikumandangkan iqomah untuk dia itu melakukan sholat sunnah, maka bagaimana bisa mereka menisbatkan pada Mu’adz perkara yang mereka anggap tidak boleh?” Ucapan ini sekaipun benar, maka dia itu kurang sekali.
            Maka jawaban yang paling selamat adalah dengan berpegang pada riwayat tambahan tadi.
            Adapun ucapan Ath Thohawiy bahwasanya riwayat tadi bukanlah hujjah karena bukan perintah dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan bukan pula persetujuan dari Nabi, maka jawab kita adalah: mereka tidak berselisih bahwasanya pendapat Shohabat jika tidak diselisihi oleh shohabat yang lain bukanlah hujjah. Dan kenyataan di sini adalah demikian, karena orang-orang yang sholat diimami oleh Mu’adz semuanya adalah Shohabat, dan di tengah-tengah mereka ada tiga puluh tokoh ‘Aqib, dan empat puluh ahli Badr, sebagaimana ucapan Ibnu Hazm. Beliau berkata: “Dan tidaklah dihapalkan dari para shohabat selain mereka tentang tidak bolehnya amalan tadi. Bahkan telah berpendapat bersama mereka Umar, Ibnu Umar, Abud Darda, Anas, dan lain-lain.”
            Adapun ucapan Ath Thohawiy: “Andaikata kita terima itu semua, tidaklah di situ ada hujjah karena bisa jadi kejadian tadi berlangsung di masa diperbolehkannya sholat wajib dua kali.” Yaitu: hadits tadi telah mansukh, maka pendapat ini telah dibantah oleh Ibnu Daqiq Al ‘Id bahwasanya pendapat tadi mengandung penetapan naskh dengan berdasarkan kemungkinan. Dan itu tidak boleh karena dia harus mendatangkan dalil yang mendukung dakwaannya tadi tentang terulangnya sholat wajib.
Sepertinya Ibnu Daqiq tidak mengetahui dalam kitab beliau sendiri (yaitu Syarh Umdatul Ahkam) karena beliau di situ telah memaparkan dalil yaitu hadits Ibnu Umar dan mengangkatnya ke Nabi:
لا تصلوا الصلاة في اليوم مرتين. ]أخرجه أحمد (4689) وأبو داود (579) بسند حسن[
“Janganlah kalian menjalankan suatu sholat dalam sehari dua kali.” (HR. Ahmad (4689) dan Abu Dawud (579) dengan sanad hasan).
            Dan datang dari jalur lain secara mursal (terputus sanadnya) bahwasanya penduduk dataran tinggi Madinah biasa sholat di rumah-rumah mereka, lalu sholat bersama Nabi صلى الله عليه وسلم , lalu berita itu sampai ke beliau, maka beliau melarang mereka berbuat itu.
            Berdalilkan dengan riwayat yang ini andaikata shohih, masih perlu diperiksa karena bisa jadi beliau melarang mereka dari sisi karena mereka sholat dua kali dengan niat wajib. Dengan ini Al Baihaqiy memastikan, dalam rangka menggabungkan dua hadits. Bahkan andaikata seseorang berkata: “Larangan ini mansukh (telah terhapus) dengan hadits Mu’adz,” maka itu tidak jauh.
            Dan tidak bisa dikatakan bahwasanya kisah Mu’adz itu sudah lama karenaperiwayat hadits mursal tadi mati syahid di Uhud, karena kita akan menjawab: perang Uhud itu terjadi di akhir-akhir tahun ketiga, maka bisa saja larangan tadi terjadi di awal tahun, dan idzinnya terjadi di akhir tahun. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda pada dua orang yang tidak sholat bersama beliau: “Jika kalian telah sholat di rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid jamaah, maka sholatlah kalian bersama mereka, karena jamaah tersebut untuk kalian adalah sholat sunnah.” Diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan dari hadits Yazid ibnul Aswad Al Amiriy, dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan yang lainnya. Dan kejadian itu berlangsung di masa Haji Wada’ di akhir-akhir hidup Nabi صلى الله عليه وسلم.
            Dan yang menunjukkan akan bolehnya sholat tadi juga adalah: perintah Nabi صلى الله عليه وسلم bagi orang yang mendapati para pemimpin yang datang sepeninggal beliau dan mengakhirkan sholat dari waktunya: “maka tunaikanlah sholat pada waktunya di rumah-rumah kalian, lalu jadikanlah sholat kalian bersama mereka sebagai sholat sunnah.”
(selesai dari “Fathul Bari”/Ibnu Hajar/2/hal. 195-197).



Bab Empat: Pentingnya Sholat Jama’ah, Dan Bahwasanya Pemilik Cita-cita Yang Tinggi Tidak Rela Dengan Kerendahan

            Sesungguhnya Alloh ta’ala telah menjanjikan melalui lisan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم dengan pahala yang banyak dan derajat yang tinggi bagi orang yang berjalan ke masjid untuk menunaikan sholat jama’ah.
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَفِى سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ ، فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّى عَلَيْهِ مَا دَامَ فِى مُصَلاَّهُ اللهمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللهمَّ ارْحَمْهُ . وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ».
“Sholat seorang pria di jamaah itu dilipatkan daripada sholatnya di rumahnya dan di pasarnya sbanyak dua puluh lima lipatan. Yang demikian itu dikarenakan dirinya berwudhu lalu memperbagus wudhunya, lalu keluar ke masjid, tidak ada yang mengeluarkannya kecuali sholat. Tidaklah dia melangkahkan satu kaki kecuali diangkat untuknya dengan itu satu derajat, dan dihapuskan darinya dengan itu satu kesalahan. Dan jika dia telah sholat, terus-menerus para malaikat bersholawat untuknya, selama dia masih di tempat sholatnya: “Ya Alloh, berilah sholawat untuknya, ya Alloh rohmatilah dia.” Dan terus-menerus salah seorang dari kalian di dalam sholat selama dia menanti sholat.” (HR. Al Bukhoriy (647) dan Muslim (649)).
Dalam riwayat yang lain: “Duapuluh lima derajat” (HR. Al Bukhoriy (4717) dan Muslim (649)).
            Maka para pemilik cita-cita yang tinggi, sekalipun mereka mengetahui sahnya sholat wajib di rumah disertai dengan dosa meninggalkan sholat jama’ah, mereka tidak rela kehilangan keutamaan-keutamaan yang dijanjikan itu.
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Andaikata jiwa itu mulia dan besar, dia tidak akan rela dengan kerendahan. Maka asal segala kebaikan adalah dengan taufiq Alloh, kehendak-Nya, kemuliaan jiwa, kepintarannya dan kebesarannya.” (“Al Fawaid”/hal. 177).
            Nasihat yang bagus dari Al ‘Allamah Ibnu ‘Aqil رحمه الله: “Pada suatu hari aku berpikir, maka aku melihat bahwasanya kita ini tingga di negri amal dan laba, serta keutamaan. Maka permisalan kita adalah bagaikan ladang pertanian. Barangsiapa bagus dalam menaburkan benih, mengurusinya, dan buminya itu subur, minuman berlimpah, akan menjadi banyaklah pertumbuhannya. Tapi kapan saja syarat tadi ada yang kurang, akan berpengaruh pada masa panen.
            Maka amalan-amalan di dunia, di antaranya ada yang bersifat wajib. Itupun terjadi banyak kekurangan yang dilakukan oleh manusia. Di antaranya juga ada amalan-amalan sunnah, dan mayoritas manusia bermalas-malasan dalam mencari keutamaan.
            Manusia ada dua macam: orang yang tahu tapi hawa nafsunya mengalahkannya sehingga dia menunda-nunda amalan. Dan orang bodoh yang mengira bahwasanya dirinya ada di atas kebenaran, dan inilah kondisi keumuman manusia.”
            -sampai pada ucapan beliau:- “Maka kapankah engkau mau mencurahkan perhatian untuk membuang niat yang palsu dari niat yang murni, juga pemeriksaan jiwa dalam perbuatan-perbuatannya, juga menolak kekeruhan dari rahasia batin, dan mengumpulkan bekal untuk berangkat, serta bersegera mendapatkan keutamaan-keutamaan dan pahala-pahala yang tinggi?
        Sepertinya kebanyakan manusia datang ke Hari Kiamat dalam keadaan menyesal. Mungkin menyesal karena kurang dalam menjalankan kewajiban, atau menyesal karena luputnya keutamaan-keutamaan.
            Maka Alloh, Alloh, wahai orang yang paham, putuskanlah rintangan-rintangan yang menghalangi kalian dari perkara yang penting, sebelum dirampasnya kesempatan secara mendadak terhadap hati yang tercerai-berai dan perkara yang tersia-sia.”
(selesai dari “Al Adabusy Syar’iyyah”/2/hal. 332-333).
            Maka barangsiapa mencurahkan kerja kerasnya untuk mendapatkan jamaah di masjid, tapi taqdir membawanya kepada luputnya jamaah pertama karena suatu udzur, maka Alloh tak akan merugikan usahanya, bahkan Alloh memberinya kesempatan lain untuk berjamaah yang lain agar bisa meraih pahala yang terluputkan.
            Maka segala puji hanyalah bagi Alloh di awal dan akhir, dan Dia itu lebih sayang pada kita dari pada diri kita sendiri, dan Dia itu adalah Dzat Yang paling penyayang.
والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.
Shon’a, 6 Jumadats Tsaniyah 1435 H.