Hukum Mengambil Upah
Dari Pengajaran Agama dan Pembacaan Ruqyah
Dengan Kata
Pengantar Dari Fadhilatusy Syaikh:
Abu Abdirrohman Abdurroqib bin Ali bin Ahmad Al
Yamaniy Al Kaukabaniy, semoga Alloh menjaga beliau
Ditulis dan
Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz
Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
Semoga Alloh
memberinya taufiq
Judul Asli:
“Hukmul
Ja’l Wal Ujroh ‘Ala Ta’limiddin War Ruqyah”
Judul
Terjemahan Bebas:
“Hukum
Mengambil Upah Dari Pengajaran Qur’an dan Pembacaan Ruqyah”
Dengan Kata
Pengantar Dari Fadhilatusy Syaikh:
Abu Abdirrohman Abdurroqib bin Ali bin Ahmad Al
Yamaniy Al Kaukabaniy, semoga Alloh menjaga beliau
Ditulis dan
Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz
Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
Semoga Alloh
memberinya taufiq
بسم الله الرحمن الرحيم
Kata
Pengantar Dari Fadhilatusy Syaikh Abu Abdirrohman Abdurroqib bin Ali bin Al
Kaukabaniy, semoga Alloh menjaga beliau
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وبعد:
Sesungguhnya aku telah melihat risalah saudara kita di
jalan Alloh: Abu Fairuz Abdurrohman Al Indonesiy dengan judul: “Hukmul
Ja’l Wal Ujroh ‘Ala Ta’limid Din Wa Qiroatir Roqyah”, maka aku
mendapatinya sebagai risalah yang sangat bagus, bangunannya sangat kokoh, dan
makna-maknanya sangat kuat, karena bahannya adalah ayat dan hadits. Dan ini
adalah karakter orang-orang yang menempuh perjalanan agama dari kalangan ahli
hadits.
Dan hanya kepada Alloh aku
meminta agar manfaat risalah ini luas meliputi para hamba Alloh. Sesungguhnya Robbku
sebagai Penjamin segala kebaikan, dan Dialah Yang mencukupi kita dan menjadi
sebaik-baik Penolong.
Ditulis oleh:
Abu Abdirrohman Abdurroqib bin Ali bin Ahmad Al Kaukabaniy Al Yamaniy
Di malam Selasa sesuai tanggal 4 Robi’ul Awwal tahun 1437 H
di Mekkah Ummul Quro semoga Alloh menambahinya kemuliaan
بسم
الله الرحمن الرحيم
Pengantar Penulis, semoga Alloh memaafkannya
الحمد لله رب
العالمين وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على
محمد وعلى آله أجمعين أما بعد:
Telah datang kepada saya dua risalah yang di dalamnya ada
permintaan untuk menjelaskan hukum mengambil upah karena meruqyah dan juga
hukum mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an.
Datang risalah yang lain lagi meminta saya untuk menyusun
pembahasan tersendiri dalam masalah ini.
Maka dengan taufiq dari Alloh, saya memenuhi permintaan
para ikhwah dengan menyebutkan dalil-dalil yang shohih dan hasan dalam masalah
ini, beserta penjelasan para ulama terdahulu dan yang belakangan, disertai
dengan peringatan-peringatan penting bagi orang yang ingin menempuh jalan yang
lurus dan kokoh di atas manhaj Salaf yang benar.
Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh ta’ala dan
dalam rangka saling menolong dalam kebaikan dan taqwa, saya katakan:
Bab Satu: Hukum Mengambil Upah Dari Ruqyah
Banyak ulama
membolehkan mengambil upah atas ruqyah dengan beberapa dalil.
Dalil yang
pertama: hadits dari
Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله
عنه yang
berkata:
أن ناساً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أتوا على حي من أحياء
العرب فلم يقروهم فبينما هم كذلك إذ لدغ سيد أولئك. فقالوا: هل معكم من دواء أو راق؟
فقالوا: إنكم لم تقرونا ولا نفعل حتى تجعلوا لنا جعلا فجعلوا لهم قطيعا من الشاء. فجعل
يقرأ بأم القرآن ويجمع بزاقه ويتفل فبرأ فأتوا بالشاء. فقالوا: لا نأخذه حتى نسأل النبي
صلى الله عليه وسلم، فسألوه فضحك وقال: «وما أدراك أنها رقية خذوها واضربوا لي بسهم».
“Bahwasanya sekelompok orang dari Shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم
mendatangi suatu desa dari desa-desa Arob, tapi penduduknya tidak mau menjamu
mereka. Ketika mereka demikian, tiba-tiba saja pemimpin desa tadi disengat
binatang. Maka mereka berkata: “Apakah kalian punya obat atau orang yang ahli
ruqyah (jampi-jampi)?” Maka mereka menjawab: “Kalian tidak mau menjamu kami.
Dan kami tidak akan mengobati sampai kalian memberikan untuk kami upah.” Maka
mereka memberikan upah untuk mereka tiga puluh ekor kambing. Maka mulailah dia
(Abu Sa’id) membaca Ummul Qur’an dan mengumpulkan ludahnya lalu meludahkannya
sedikit (ke kepala kampung). Maka sembuhlah dia. Lalu mereka mendatangkan
kambing-kambing itu. Para Shohabat tadi berkata: “Kita tidak mengambilnya
sampai kita bertanya kepada Rosululloh صلى الله عليه وسلم
.” maka merekapun bertanya kepada beliau. Maka beliau tertawa seraya bersabda: “Dari
mana engkau tahu bahwasanya Ummul Kitab adalah ruqyah? Ambillah kambing-kambing
tadi, dan berilah aku bagian darinya.” (HR. Al Bukhoriy (5736) dan
Muslim (2201)).
Al Qurthubiy
رحمه الله berkata: “Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
: “Ambillah kambing-kambing tadi dari penduduk tadi, dan berilah aku
bagian darinya.” Ini merupakan penjelasan hukum dengan perkataan, dan
pemberian idzin yang kuat dengan pengamalan, karena beliau tidak punya
keperluan untuk diberi bagian dari kambing tadi, hanya saja beliau ingin
menguatkan penjelasan bahwasanya perbuatan mereka tadi adalah halal yang murni,
yang tiada keraguan di dalamnya. Maka ucapan beliau tadi merupakan dalil yang
paling besar bagi orang yang berpendapat bolehnya mengambil upah dari ruqyah
dan pengobatan. Dan itu adalah pendapat Malik, Asy Syafi’iy, Abu Hanifah dan
pengikutnya, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur, dan sekelompok Salaf (ulama terdahulu) dan
Kholaf (ulama belakangan).” (“Al Mufhim”/1/hal. 18/hal. 69).
Al Imam An
Nawawiy رحمه الله berkata: “Ini merupakan ucapan
jelas sekali tentang bolehnya mengambil upah dari ruqyah dengan Al Fatihah dan
dzikir, dan bahwasanya itu adalah halal tanpa kemakruhan di dalamnya. Demikian
pula upah dari mengajarkan Al Qur’an. Dan ini adalah madzhab Asy Syafi’iy,
Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan yang lainnya dari kalangan Salaf dan ulama
yang setelah mereka. Abu Hanifah melarang itu dalam pengajaran Al Qur’an, dan
membolehkannya dalam ruqyah. Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
: “Dan berilah aku bagian bersama kalian.” Dan dalam riwayat
lain: “Bagi-bagilah, dan berilah aku bagian bersama kalian”
maka pembagian ini masuk dalam
bab menjaga kehormatan (kehormatan sang peruqyah) dan sumbangan serta
memperluas pemberian pada para teman dan rekan. Soalnya jika tidak demikian,
maka seluruh kambing tadi adalah milik sang peruqyah secara khusus untuknya.
Yang lain tidak punya hak dalam kambing-kambing tadi jika terjadi perebutan.
Maka Abu Sa’id membagi-bagikannya di antara mereka adalah dalam rangka
memberikan sumbangan, kedermawanan dan menjaga kehormatan. Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
: “Dan berilah aku bagian bersama kalian,” maka beliau bersabda
demikian adalah dalam rangka menyenangkan hati mereka dan memperkuat
pengetahuan mereka bahwasanya itu tadi adalah halal, tiada kekaburan di
dalamnya. Dan Rosululloh صلى الله
عليه وسلم
telah berkata demikian pula dalam hadits Anbar (sejenis ikan paus), dan dalam
hadits Abu Qotadah tentang kisah keledai liar.” (“Syarh Shohih Muslim”/14/hal.
188).
Al Imam Ibnu
Qudamah رحمه الله berkata: “Adapun mengambil
upah dari ruqyah, maka sungguh Ahmad memilih bolehnya hal itu, dan beliau
berkata: “Tidak apa-apa.” Dan beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id. Dan
perbedaan antara upah ruqyah dan perkara yang diperselisihkan (upah ta’lim dsb)
adalah: bahwasanya ruqyah itu sejenis pengobatan. Harta yang diambil karena
ruqyah tadi merupakan “ju’l” (imbalan). Dan memang diperbolehkan
mengambil upah dari pengobatan.” (“Al Mughni”/6/hal. 143).
Jika ada
yang berkata: “Tiga puluh ekor kambing tadi bukanlah upah ruqyah, tapi
pemuliaan untuk tamu.”
Maka jawab
kita dengan taufiq Alloh semata: pensyaratan para Shohabat kepada penduduk
kampong tadi adalah: “Kalian tidak mau menjamu kami. Dan kami tidak akan
mengobati sampai kalian memberikan untuk kami upah.” Mungkin sebagai upah
ruqyah, dan mungkin pula sebagai hak tamu. Akan tetapi kemungkinannya sebagai
upah ruqyah itu lebih jelas dan lebih kuat karena mereka menamakan tiga puluh
ekor kambing tadi sebagai “ju’l” (upah). Andaikata itu sebagai pemuliaan
tamu, niscaya mereka menamakannya dengan “nuzul” (hidangan orang yang
datang), atau “dhiyafah” (pemuliaan tamu), dan semisalnya.
Jawaban
kedua: sesungguhnya tiga puluh ekor kambing itu terlalu besar untuk menjadi
nuzul atau dhiyafah, terutama bahwasanya penduduk kampong tadi telah
menampakkan kepelitan mereka terhadap para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم
. maka posisinya sebagai upah ruqyah itu lebih jelas, dan jumlah kambing yang
banyak tadi adalah sebagai benuk kegembiraan mereka karena sembuhnya pemimpin
mereka yang tersengat binatang, bukan karena mereka memuliakan para Shohabat
Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan mengetahui keagungan
posisi mereka dalam agama ini.
Jawaban
ketiga: sesungguhnya dalil-dalil yang menunjukkan pada kebiasaan Arob saat
memuliakan tamu adalah: mereka itu memasak daging, menghidangkan makanan yang
sudah siap, dan semisalnya, bukannya memberikan kambing hidup-hidup sehingga
tetap saja para tamu mengalami kerepotan.
Maka tiga
puluh ekor kambing tadi lebih jelas menjadi upah ruqyah daripada menjadi
pemuliaan tamu. Alloh ta’ala a’lam.
Dalil
yang lain tentang upah ruqyah: Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما
yang berkata:
أن نفراً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم مروا بماء فيهم لديغ
أو سليم فعرض لهم رجل من أهل الماء فقال: هل فيكم من راق؟ إن في الماء رجلاً لديغاً
أو سليماً. فانطلق رجل منهم فقرأ بفاتحة الكتاب على شاء فبرأ، فجاء بالشاء إلى أصحابه،
فكرهوا ذلك وقالوا: أخذت على كتاب الله أجراً؟ حتى قدموا المدينة فقالوا: يا رسول الله
أخذ على كتاب الله أجراً. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إن أحقّ ما أخذتم
عليه أجرا كتاب الله».
“Bahwasanya sekelompok dari Shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم
melewati suatu desa yang di kalangan mereka ada orang yang tersengat. Maka
salah seorang penduduk desa tadi menghadang mereka seraya berkata: “Apakah di
kalangan kalian ada orang yang bisa meruqyah? Sesungguhnya di desa ini ada
orang yang tersengat.” Maka salah seorang dari mereka berangkat, lalu
membacakan Al Fatihah dengan minta imbalan kambing-kambing. Lalu sembuhlah si
sakit. Lalu datanglah orang tadi dengan membawa kambing-kambing kepada para
sahabatnya. Tapi mereka tidak suka hal itu dan berkata: “Apakah engkau
mengambil upah karena Kitabulloh?” sampai mereka tiba di Madinah. Lalu mereka
berkata: “Wahai Rosululloh, orang ini mengambil upah karena Kitabulloh.” Maka
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
(HR. Al Bukhoriy (5737)).
Apa
maknanya? Yaitu: sungguh obat-obatan itu banyak, akan tetapi berobat dengan Al
Qur’an itulah yang utama, karena Alloh ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ﴾
[يونس: 57].
“Wahai orang-orang yang beriman, sungguh
telah datang pada kalian petuah dari Robb kalian, dan obat bagi penyakit yang
ada di dalam dada, dan petunjuk serta rohmat bagi kaum Mukminin.”
Bahkan
sebagaimana Al Qur’an adalah obat bagi penyakit-penyakit hati, dia juga obat
bagi penyakit-penyakit badan, karena keumuman firman Alloh عز وجل:
﴿قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ﴾
[فصلت: 44].
“Katakanlah: Al Qur’an itu bagi orang-orang
yang beriman adalah petunjuk dan obat.”
Terutama adalah induk Al Qur’an,
yaitu Al Fatihah.
Al Imam
Ibnul Qoyyim رحمه
الله berkata:
“Sungguh obat ini berpengaruh terhadap penyakit itu dan menghilangkannya sampai
seakan-akan penyakit tadi tidak pernah ada, dan dia itu adalah obat yang paling
mudah dan paling gampang. Andaikata sang hamba pintar berobat dengan Al Fatihah
niscaya dia akan melihat Al Fatihah tadi punya pengaruh ajaib dalam pengobatan.
Aku pernah tinggal di Mekkah sekian lama dan aku tertimpa berbagai penyakit,
dan aku tidak mendapatkan dokter ataupun obat. Maka aku terus-terusan mengobati
diriku dengan Al Fatihah, maka aku melihat dia punya pengaruh ajaib. Dan aku
sering menceritakan hal itu pada orang yang mengeluhkan rasa sakit, dan
kebanyakan mereka kemudian sembuh dengan cepat.
Akan tetapi
ada perkara yang harus dicermati, yaitu: bahwasanya dzikir-dzikir, ayat-ayat
dan doa-doa yang dipakai untuk berobat dan meruqyah itu memang bermanfaat dan bisa
mengobati. Akan tetapi dia menuntut objeknya harus menerima obat tadi, dan
kuatnya tekad pengobatnya serta kuatnya pengaruhnya. Kapan saja tidak terjadi
kesembuhan, maka hal itu karena lemahnya pengaruh sang pengobat, atau karena
objeknya tidak menerima obat tadi, atau karena faktor penghalang yang kuat,
yang menghalangi manjurnya obat, sebagaimana hal itu juga terjadi pada
obat-obat dan penyakit-penyakit jasmaniyyah. Ketidakadaan pengaruh obat tadi
bisa jadi karena tabiat si penderita tidak menerima obat tadi, dan bisa jadi
karena kuatnya penghalang yang menghalangi tuntutan pengaruh obat. Tabiat si
penderita jika mengambil obat tadi dengan penerimaan yang sempurna, badan bisa
mengambil manfaat dari obat tadi sesuai dengan kadar penerimaan tabiatnya tadi.
Demikian pula hati jika mengambil ruqyah-ruqyah dan perlindungan-perlindungan
dengan penerimaan yang sempurna, dan si peruqyah punya jiwa yang aktif dan
tekad yang berpengaruh untuk menghilangkan penyakit tadi.”
(“Al Jawabul Kafiy”/hal. 3).
Maka
sebagaimana boleh mengambil upah dari obt-obatan yang ada, maka lebih pantas
lagi akan bolehnya mengambil upah dari pengobatan dengan Al Qur’an, karena
kesembuhan dengan Al Qur’an itu lebih bisa diharapkan daripada kesembuhan
dengan hasil ijtihad para makhluk.
Bukan
berarti mengambil upah duniawi itu lebih utama daripada meminta pahala akhirat
dari Alloh, jelas pahala akhirat itu lebih baik dari pada upah dunia, akan
tetapi dari sisi bolehnya, maka boleh mengambil upah dari ruqyah dengan Al
Qur’an.
Kemudian
sesungguhnya situasi dialog di dalam hadits itu adalah situasi yang memerlukan
penjelasan, karena para Shohabat رضي الله عنهم
mendatangi beliau صلى الله
عليه وسلم
untuk beliau menjelaskan pada mereka hukum mengambil upah dari ruqyah dengan
Kitabulloh. Dan sebagaimana telah tetap dalam ushul: wajibnya memberikan penjelasan
pada saat yang sangat diperlukan.
Syaikhul
Islam رحمه الله berkata: “Mengakhirkan
penjelasan dari waktu yang sangat diperlukan itu tidak boleh.” (“Majmu’ul
Fatawa”/20/hal. 369).
Manakala
mereka berkata: “Wahai Rosululloh, orang ini mengambil upah karena Kitabulloh.”
Lalu Rosululloh صلى الله
عليه وسلم
menjawab dengan sabda beliau: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk
kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” Ini menunjukkan bolehnya
amalan tadi tanpa keraguan.
Al Imam Ibnu
Baz رحمه الله berkata tentang hadits ini:
“Maka ini menunjukkan bahwasanya tidak mengapa mengambil upah pengajaran
sebagaimana boleh mengambil upah karena ruqyah.” (“Majmu’ Fatawa Wa Maqolat
Ibnu Baz”/5/hal. 347).
Al Imam Ibnu
‘Utsaimin رحمه الله ditanya: “Dengan sebab
sekarang tersebar kasus masuknya jin ke tubuh manusia, dan sebagian orang
duduk-duduk dan berkonsentrasi untuk meruqyah dan mengambil upah dari itu, maka
apa pendapat Anda tentang masalah ini? Mereka berdalilkan dengan hadits
rombongan Shohabat yang meruqyah orang dengan Al Fatihah.”
Maka beliau رحمه الله
menjawab: “Adapun dari sisi mengambil upah dari ruqyah kepada orang sakit, maka
itu tidak mengapa. Nabi صلى الله
عليه وسلم
bersabda:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
(HR. Al Bukhoriy (5737)).
Dan si pembaca ini seperti juru obat
(berusaha memberikan manfaat dengan pengobatan). Beda dengan orang yang
mengambil upah dengan semata-mata bacaannya, seperti orang yang membaca Al
Qur’an untuk beribadah dengan bacaannya, dan dia mengambil upah karena membaca
Al Qur’an, maka ini harom. Akan tetapi orang yang membacakan Al Qur’an pada
orang lain untuk diambil manfaatnya, atau mengajarkan Al Qur’an pada orang
lain, maka tidak mengapa dia mengambil upah.” Dan seterusnya.
(“Liqoatul Babil Maftuh”/8/hal. 34).
Fadhilatusy
Syaikh Sholih Al Fauzan حفظه
الله berkata:
“Dan tidak mengapa si peruqyah mengambil upah atau hadiah karena amalannya
tadi, karena Rosululloh صلى الله
عليه وسلم
menyetujui Shohabat yang mengambil upah dari ruqyah terhadap orang yang
disengat itu dan beliau bersabda:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
(HR. Al Bukhoriy (5737)).
(“Al Muntaqo Min Fatawal Fauzan”/1/hal. 40).
Dalil
yang ketiga: dari Khorijah ibnush Sholt, dari pamannya –yaitu: ‘Alaqoh bin
Shuhar رضي الله عنه-:
أنه مر بقوم فأتوه فقالوا: إنك جئت من عند هذا الرجل بخير، فارق
لنا هذا الرجل، فأتوه برجل معتوه في القيود، فرقاه بأم القرآن ثلاثة أيام غدوة وعشية،
وكلما ختمها جمع بزاقه ثم تفل، فكأنما أنشط من عقال ( أي حل من وثاق ). فأعطوه شيئا
فأتى النبي صلى الله عليه و سلم، فذكره له، فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «كل،
فلعمري لمن أكل برقية باطل لقد أكلت برقية حق».
“Bahwasanya beliau melewati suatu kaum, lalu mereka
mendatangi beliau seraya berkata: “Engkau datang dengan kebaikan dari sini
orang itu (yaitu Nabi صلى الله
عليه وسلم
), maka ruqyahlah untuk kami orang ini,” lalu mereka mendatangkan orang yang
gila yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu dengan Ummul Qur’an
selama tiga hari pagi dan sore. Setiap kali beliau menyelesaikan bacaan, beliau
mengumpulkan air ludah beliau lalu meludahkannya sedikit ke orang tadi. Maka
seakan akan orang gila tadi terbebas dari ikatan. Maka mereka memberi beliau
suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم
, seraya menceritakan hal itu. Maka beliau bersabdalah: “Makanlah
pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan
sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (HR. Abu Dawud
(3420)/shohih)).
Mulla Ali Al
Qoriy رحمه الله berkata: “Dalam sabda beliau:
“ada orang memakan dengan ruqyah yang batil” itu sebagai jawaban
sumpah. Yaitu: “Di antara manusia ada orang memakan dengan ruqyah yang batil,
seperti menyebut bintang-bintang dan minta tolong pada jin. “dan sungguh
engkau memakan dengan ruqyah yang benar” yaitu: dengan menyebut nama
Alloh ta’ala dan firman-Nya. Dan hanyalah beliau bersumpah dengan umur beliau
karena Alloh ta’ala bersumpah dengan itu sebagaimana dalam firman-Nya:
﴿لعمرك إنهم في سكرتهم يعمهون﴾.
“Demi umurmu (wahai Rosululloh), sungguh mereka itu
terombang-ambing berada di dalam kemabukan yang sangat.”
Al Muzhhir
berkata: “(لعمري) itu dengan huruf ‘ain yang
difathah, dan boleh juga didhommah. Yaitu: “Demi kehidupanku.” Dan tidak
dipakai dalam sumpah kecuali dengan ‘ain yang difathah. Dan huruf lam dalam (لمن أكل)
adalah sebagai jawaban sumpah. Yaitu: Di antara manusia ada orang memakan
dengan ruqyah yang batil, dan mengambil upah darinya. Adapun engkau maka
sungguh engkau telah meruqyah dengan ruqyah yang benar.”
(selesai dari “mirqotul Mafatih Syarh Misykatil
Mashobih”/9/hal. 442).
Ath Thibiy رحمه الله
berkata: “Yaitu: Demi umurku, jika ada orang-orang yang memakan dengan ruqyah
yang batil, maka sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar. Dan hanya
saja Nabi mendatangkan fi’il madhi dalam sabda beliau (أكلت)
setelah sabda beliau (كل), sebagai petunjuk bahwasanya
Shohabiy ini memang berhak memakannya, karena itu adalah hak yang tetap
untuknya, dan upahnya adalah benar.” (sebagaimana dalam “mirqotul Mafatih”/Al
Qoriy/9/hal. 442).
Ini menunjukkan tentang bolehnya
memakan upah ruqyah yang disyariatkan.
Ibnu Hazm رحمه الله
berkata: “Maka sudah sahlah bahwasanya memakan dengan hasil dari Al Qur’an
adalah termasuk dalam kebenaran. Dan dalam pengajarannya adalah kebenaran juga.
Dan bahwasanya yang harom hanyalah jika dia memakan dengan hasil Al Qur’an tadi
dalam rangka riya, atau karena selain Alloh ta’ala.” (“Al Muhalla”/8/hal. 815).
Syaikhul Islam رحمه الله
dalam bantahan beliau pada orang yang membolehkan mengambil upah dari sekedar
bacaan Al Qur’an berkata: “Iya, telah pasti bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
(HR. Al Bukhoriy (5737)).
Akan tetapi beliau mengucapkan ini
dalam hadits ruqyah, karena dulu orang-orang menjadikan untuk para Shohabat
tadi upah karena mereka membacakan ruqyah pada saudara mereka yang sakit,
sehingga dia sembuh. Maka upah tadi adalah karena kesembuhannya, bukan karena
sekedar bacaan. Maka beliau bersabda:
« عمري لمن أكل برقية باطل لقد أكلتم برقية حق».
“Demi umurku,
ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh kalian memakan dengan ruqyah
yang benar.”
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
(HR. Al Bukhoriy (5737)).
Dengan upah ruqyah ini para ulama
menafsirkan hadits, bukan dengan mengambil upah karena semata-mata bacaan,
karena semata-mata bacaan itu tidak boleh mengambil upah, dengan ijma’. Adapun
tentang upah pengajar, maka ada perselisihan.” (“Ahaditsul Qishosh”/Ibnu
Taimiyyah/hal. 114-115).
Bab Dua: Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Agama
Adapun masalah meminta upah karena
mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang lainnya, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم
telah membolehkannya (dengan celaan, kecuali jika kondisinya memang sangat
memerlukan uang, sebagaimana akan datang penyebutan dalil-dalil tentang itu
insya Alloh).
Akan tetapi yang Alloh pilihkan untuk
para Nabi-Nya عليهم
الصلاة والسلام
itu adalah kondisi yang lebih sempurna, pahala yang lebih banyak, dan barokah
yang lebih besar dalam dakwah, yaitu tidak meminta upah atas dakwah Islamiyyah
ini. Dan pada mereka ada teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan
perjumpaan dengan Alloh dan Hari Akhir dan banyak mengingat Alloh.
Dalil tentang dibolehkannya minta
upah tadi adalah hadits-hadits tentang upah ruqyah yang telah berlalu
penyebutannya.
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله
setelah menyebutkan hadits-hadits tersebut, beliau berkata: “Dan jika mengambil
pemberian tadi adalah boleh, maka boleh juga mengambil upah, karena upah itu
masuk dalam makna pemberian. Dan juga karena boleh seseorang itu mengambil
rizqi dari baitul mal karena pengajaran, maka boleh pula mengambil upah
karenanya, sebagaimana membangun masjid-masjid dan jembatan-jembatan. Dan juga
karena keperluan itu menuntut untuk mengambil upah, karena diperlukan adanya
perwakilan dalam menghajikan orang yang wajib untuk berhaji tapi tidak sanggup
melakukannya, dan hampir-hampir tidak didapatkan orang yang mau sukarela
melakukan itu tanpa upah, sehingga diperlukan mencurahkan upah untuk itu.” (“Al
Mughni”/6/hal. 143).
Dalil yang lain: Dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما
yang berkata:
أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة
فقالت: يا رسول الله أهب لك نفسي. فنظر إليها رسول صلى الله عليه و سلم فصعد النظر
فيها وصوبه ثم طأطأ رسول الله صلى الله عليه و سلم رأسه. فلما رأت المرأة أنه لم يقض
فيها شيئاً جلست. فقام رجل من أصحابه فقال: يا رسول الله إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها.
فقال: «فهل عندك من شيء ؟». فقال: لا والله يا رسول الله. فقال: «اذهب إلى
أهلك فانظر هل تجد شيئا ؟». فذهب ثم رجع فقال: لا والله ما وجدت شيئاً. فقال رسول
الله صلى الله عليه و سلم: «انظر ولو خاتم من حديد». فذهب ثم رجع فقال: لا والله
يا رسول الله ولا خاتم من حديد. ولكن هذا إزاري ( قال سهل ما له رداء ) فلها نصفه.
فقال رسول الله: «ما تصنع بإزارك إن لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن
عليك منه شيء». فجلس الرجل حتى إذا طال مجلسه قام. فرآه رسول الله صلى الله عليه
و سلم مولياً، فأمر به فدعي. فلما جاء قال: «ماذا معك من القرآن ؟» قال: معي
سورة كذا وكذا ( عددها ). فقال: «تقرؤهن عن ظهر قلبك ؟». قال: نعم. قال: «اذهب
فقد ملكتها بما معك من القرآن».
“Ada seorang wanita mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم
seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya memberikan diri saya untuk Anda.” Maka
Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihat kepadanya, memandang
ke atas dan ke bawahnya, kemudian Rosululloh صلى الله عليه وسلم
menundukkan pandangan beliau. Manakala wanita itu melihat bahwasanya beliau
tidak memberikan suatu keputusan, duduklah dia. Maka berdirilah seseorang dari
Shohabat beliau seraya berkata: “Wahai Rosululloh, jika Anda tidak punya hajat
kepadanya, nikahkanlah saya dengannya.” Maka beliau bertanya: “Apakah
engkau punya sesuatu?” Dia menjawab: “Demi Alloh, tidak wahai
Rosululloh.” Maka beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu dan lihatlah
apakah engkau mendapati sesuatu.” Maka pergilah dia lalu dia datang
lagi seraya berkata.” Demi Alloh saya tidak mendapatkan sesuatu.” Maka
Rosululloh bersabda: “Lihatlah, sekalipun cincin dari besi.” Maka
pergilah dia lalu dia datang lagi seraya berkata.” Demi Alloh wahai Rosululloh,
saya tidak mendapatkan walaupun cincin besi. Tapi ini sarung saya.” Sahl
berkata: “Dia tidak punya selendang.” Dia berkata: “Wanita ini akan saya beri
setengah dari sarung ini.” Maka Rosululloh bersabda: “Apa yang akan
engkau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau memakainya, wanita ini tak bisa
memakainya sedikitpun. Jika dia memakainya, engkau tak bisa memakainya
sedikitpun.” Maka pria tadi duduk. Sampai ketika majelisnya telah
berlangsung lama, diapun bangkit. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم
melihatnya pergi, lalu beliau memerintahkan agar dia dipanggil kembali. Ketika
dia datang, beliau bertanya: “Apa yang engkau miliki dari Al Qur’an?”
Dia menjawab: “Saya punya surat ini dan itu.” Dia menghitungnya. Beliau
bertanya: “Engkau bisa membacanya secara hapalan?” Dia menjawab:
“Iya.” Beliau bersabda: “Pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu
dengannya, dengan Al Qur’an yang engkau hapal.” (HR. Al Bukhoriy (5029)
dan Muslim (1425)).
Dan dalam
satu riwayat: “Berangkatlah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya,
maka ajarilah dia Al Qur’an.” (HR. Muslim (1425)).
Al Imam Ibnu
Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan dalam hadits ini
ada dalil bolehnya mengambil upah karena mengajarkan Al Qur’an, dan mengambil
ganti (upah juga) karena telah menunaikan pengajaran tadi, dan yang semisal
itu, karena jika pengajaran Al Qur’an boleh menjadi mahar, boleh juga untuk
mengambil ganti dari setiap perkara yang bisa diambil manfaatnya. Dan ini
adalah madzhab Malik, Asy Syafi’iy, Abu Tsaur, Ahmad dan Dawud.
Dan di
antara hujjah mereka adalah hadits Abu Sa’id Al Khudriy –lalu beliau
menyebutkan hadits ruqyah, sampai pada ucapan beliau:- Abu Hanifah dan
pengikutnya berkata: “Tidak boleh mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an.
Setiap orang yang ditanya tentang Al Qur’an sedikit saja, dia harus
membacakannya dan mengajarkannya bagi orang yang memintanya. Kecuali jika dia
terkena dhoruroh dan tersibukkan dari mata pencahariannya.” Dan mereka
beralasan dengan hadits-hadits marfu’ yang semuanya itu lemah.”
(selesai dari “Al Istidzkar”/5/hal. 416-417).
Al Imam Ibnu
Qudamah رحمه الله ketika menyebutkan perselisihan tentang
upah mengajar, beliau berkata: “Dan Abu Tholib menukilkan dari Ahmad bahwasanya
beliau berkata: “Mengajar itu lebih aku sukai daripada dia bersandar pada para
penguasa itu, dan daripada dia bersandar pada seseorang dari keumuman manusia
dalam suatu mata pencaharian, dan daripada dia berutang dan berdagang, karena
bisa jadi dia tak sanggup menunaikannya sehingga dia berjumpa dengan Alloh
ta’ala dengan memikul amanah-amanah manusia. Mengajar itu lebih aku sukai.” Dan
ini menunjukkan bahwasanya larangan Al Imam Ahmad (dalam riwayat yang lain)
adalah untuk kemakruhan, bukan untuk pengharoman.
Dan termasuk
yang membolehkan itu adalah Malik dan Asy Syafi’iy. Abu Qilabah, Abu Tsaur dan
Ibnul Mundzir juga memberikan keringanan dalam upah para pengajar karena
Rosululloh صلى الله عليه وسلم menikahkan seseorang dengan Al
Qur’an yang dia hapal. Riwayat Al Bukhoriy dan Muslim. Jika boleh pengajaran Al
Qur’an sebagai ganti (upah) dalam bab pernikahan dan menduduki posisi mahar,
boleh juga mengambil upah karena pengajarkan All Qur’an dalam bab persewaan.”
(selesai dari “Al Mughni”/6/hal. 143).
Ahmad bin
Umar Al Qurthubiy رحمه
الله berkata:
“Dan hadits ini merupakan bantahan terhadap Abu Hanifah yang melarang mengambil
upah dari pengajaran Al Qur’an. Dan yang membantah dia juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
(HR. Al Bukhoriy (5737)).
(selesai dari “Al Mufhim”/4/hal. 13).
Al Imam An
Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits
ini ada dalil untuk bolehnya pengajaran Al Qur’an itu sebagai mahar, dan
bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an, dan dua perkara ini boleh
menurut Asy Syafi’iy. Dan ini juga pendapat Atho, Al Hasan bin Sholih, Malik, Ishaq,
dan yang lainnya. Sekelompok ulama melarangnya, di antaranya adalah Az Zuhriy
dan Abu Hanifah. Hadits ini dan hadits shohih: “Sesungguhnya yang paling
berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh” membantah
pendapat ulama yang melarang itu. Al Qodhi ‘Iyadh menukilkan dari seluruh ulama
–selain Abu Hanifah- tentang bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al
Qur’an.” (“Syarh Shohih Muslim”/9/hal. 214-215).
Az Zarqoniy رحمه الله
berkata: “Dan di dalam hadits ini ada pembolehan mengambil upah dari pengajaran
Al Qur’an. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dan Imam yang tiga (Malik,
Asy syafi’iy dan Ahmad).” (“Syarh Muwaththo Malik”/Az Zarqoniy/5/hal. 468).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah رحمه
الله ditanya:
“Ada seorang alim dari ulama diminta untuk membacakan hadits-hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم
dan ilmu-ilmu syariat yang lainnya. Maka dia tidak mau membacakannya kecuali
dengan upah. Maka dikatakan padanya: “Telah diriwayatkan dari jalan Salaf dan
para imam huda pengajaran ilmu dalam rangka mencari wajah Alloh Yang mulia yang
kisah-kisah itu tidak tersembunyi dari orang yang berakal. Dan minta upah itu
tidak pantas. Maka dia menjawab: “Aku membacakan ilmu tanpa upah? Harom bagiku
membacakan ilmu tanpa upah.” Maka apakah ucapannya itu benar ataukah batil? Dan
apakah dia itu bodoh dengan ucapannya bahwasanya dirinya punya udzur? Dan
apakah boleh baginya untuk mengambil upah karena mengajarkan ilmu yang
bermanfaat? Ataukah dimakruhkan?”
Maka
Syaikhul Islam رحمه
الله menjawab:
“Segala pujian bagi Alloh. Adapun mengajarkan Al Qur’an dan ilmu tanpa upah,
maka itu adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Alloh.
Dan ini termasuk perkara yang diketahui secara pasti dalam agama Islam.
Bukanlah ini termasuk dari perkara yang tersembunyi dari orang yang tumbuh di
negri-negri Islam. Para Shohabat, Tabi’un, dan Tabi’ut Tabi’un dan ulama yang
lain yang terkenal di kalangan umat ini dengan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih,
mereka itu dulu mengajar tanpa upah. Tidak ada di kalangan mereka pada asalnya
yang mengajar dengan upah.
«فإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم
يورثوا دينارا ولا درهما، وإنما ورثوا
العلم، فمن أخذه فقد أخذ بحظ وافر».
"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
para Nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dirham ataupun dinar,
akan tetapi mereka itu hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya,
dia telah mengambil bagian yang banyak."HR. Abu Dawud (3641) dan At Tirmidziy (2682), hasan
lighoirih].
Dan para
Nabi صلوات الله عليهم dulu hanyalah mengajarkan ilmu
tanpa upah, sebagaimana ucapan Nuh عليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾
[ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun
dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Demikian
pula Hud, Sholih, Syu’aib, Luth dan yang lainnya. Demikian pula Penutup para
Rosul:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين﴾
[ ص : 86 ] ،
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah
sedikitpun dari dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang yang
memberat-beratkan diri.”
Dan berfirman berkata:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر إلا من شاء أن يتخذ
إلى ربه سبيلا﴾ [ الفرقان : 57 ] .
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah
sedikitpun dari dakwahku. Akan tetapi orang yang ingin mengambil jalan kepada
Robbnya (dengan berinfaq di jalan Alloh, silakan berinfaq).”
Dan
pengajaran Al Qur’an, Hadits dan Fiqh dan yang lainnya tanpa upah itu, para
ulama tidak berselisih pendapat bahwasanya itu adalah amal sholih, lebih-lebih
untuk menjadi mubah. Bahkan itu adalah fardhu kifayah, karena pengajaran ilmu
yang dia jelaskan adalah fardhu kifayah, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
dalam hadits shohih:
«بلغوا عني ولو آية»
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Al Bukhoriy (3461) dari
Abdulloh bin Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما].
Dan bersabda:
«ليبلغ الشاهد الغائب».
“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak
hadir.” [HR. Al
Bukhoriy (67) dan Muslim (1679) dari Abu Bakroh رضي الله عنه].
Hanyalah
para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya menyewa orang dalam mengajarkan
Al Qur’an, Hadits dan Fiqh, ada dua pendapat yang terkenal, dan dua-duanya adalah
riwayat dari Ahmad.
Yang pertama
–dan itu adalah madzhab Abu Hanifah dan lainnya-: tidak boleh menyewa untuk
pengajaran itu tadi.
Yang kedua
–dan itu adalah ucapan Asy Syafi’iy-: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.
Dan ada
pendapat ketiga dalam madzhab Ahmad: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi
karena pengajarnya punya hajat, bukan orang yang kecukupan, sebagaimana firman
Alloh ta’ala tentang wali anak yatim:
﴿ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل
بالمعروف﴾ [ النساء : 6 ] .
“Dan barangsiapa berkecukupan, maka hendaknya dia
menjaga kehormatan (tidak memakan harta yatim), dan barangsiapa faqir maka
hendaknya dia memakan dengan cara yang ma’ruf.”
Boleh para pengajar
diberi dari harta muslimin karena mereka mengajar, sebagaimana para imam,
muadzdzin dan hakim diberi upah. Hal itu boleh jika mereka punya hajat (bukan
orang yang berkecukupan).
Apakah boleh
pengajar yang berkecukupan itu mencari rizqi lewat pengajaran? Para ulama punya
dua pendapat. Dan tidak ada seorangpun dari Muslimin yang berkata bahwasanya
mengamalkan pengajaran tanpa upah itu tidak boleh.
Orang yang
berkata bahwa mengajar tanpa upah itu tidak boleh, maka dia harus dituntut
untuk bertobat, jika dia bertobat maka dia dibebaskan, dan jika tidak mau
bertobat maka dia harus dibunuh. Tapi jika dia bermaksud dengan ucapannya tadi
adalah karena dia itu faqir, dan jika dia mengajar tanpa upah itu maka dia
tidak sanggup mencari nafkah untuk keluarganya, sementara mencari nafkah untuk
keluarganya adalah fardhu ‘ain untuknya, maka dia tidak boleh meninggal fardhu
‘ain demi menjalankan perkara yang tidak fardhu ‘ain, dan dia bersamaan dengan
itu dia meyakini bahwasanya mengajar dengan upah karena berhajat -atau mutlak
tanpa hajat- itu boleh, maka orang ini berkata dengan penakwilan, maka dia
tidak kafir dengan pendapatnya tadi, dan tidak menjadi fasiq dengan kesepakatan
para ulama, bahkan bisa jadi dia itu benar atau keliru.
Dan sisi
pendalilan para ulama tentang tidak bolehnya menyewa untuk manfaat amalan yang
ini adalah: karena amalan-amalan ini merupakan amalan khusus, yang mana
pelakunya adalah orang yang sedang mendekatkan diri kepada Alloh dengan
mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, menjadi imam sholat dan adzan. Tidak
boleh amalan-amalan tadi dikerjakan oleh orang kafir. Tidak ada yang boleh
mengerjakannya kecuali seorang Muslim. Berbeda dengan manfaat yang bisa
dilakukan oleh muslim ataupun kafir, seperti membangun, menjahit, menenun, dan
sebagainya. Jika dia melakukan suatu amalan dengan upah, tidak tersisa ibadah
untuk Alloh, karena tinggallah dirinya itu berhak untuk mendapatkan upah,
dipekerjakan dalam rangka upah. Dan amalan itu jika dilakukan karena upah,
tidak tersisa padanya makna ibadah, seperti produksi-produksi yang dikerjakan
dengan upah.
Maka ulama
yang berpendapat tidak bolehnya menyewa dalam amalan-amalan ini, dia berkata:
Tidak boleh melakukannya dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh,
sebagaimana tidak boleh menjalankan sholat, puasa dan bacaan Qur’an dalam
bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh. Dan persewaan itu mengeluarkan amalan
tadi dari bentuk ibadah untuk Alloh.
Ulama yang
membolehkan persewaan dalam pengajaran berkata: pengajaran tadi merupakan suatu
manfaat yang sampai kepada si penyewa, maka boleh si pengajarnya mengambil upah
atas amalannya itu, seperti seluruh manfaat-manfaat yang lain. Jika ibadah tadi
dalam kondisi seperti itu, dia tidak berjalan dalam bentuk ibadah, maka boleh
melakukannya dalam bentuk ibadah dan sekaligus bukan dalam bentuk ibadah,
karena di dalamnya ada manfaat (yang sampai kepada orang yang menyewa dia).
Dan ulama
yang membedakan antara orang yang berhajat dengan orang yang tidak berhajat,
dan inilah pendapat yang paling dekat (dengan kebenaran), beliau berkata:
“Orang yang berhajat, jika dia mencari penghasilan dengan amalan-amalan tadi,
bisa saja dia meniatkan amalannya untuk Alloh, dan dia mengambil upah untuk
membantu ibadah dia, karena mencari nafkah untuk keluarga adalah wajib juga.
Maka dia bisa menunaikan kewajiban-kewajiban dengan cara tadi. Ini berbeda
dengan orang yang berkecukupan, karena dia tidak memerlukan nafkah (dengan cara
tadi), maka tiada hajat yang mengharuskan dia untuk melakukan amalan-amalan
tadi untuk selain Alloh.” Dan seterusnya.
(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/30/hal. 204-207).
Al Imam Ibnu
Baz رحمه الله ditanya: “Apa hukum mengambil
upah dari mendidik murid untuk menghapal Al Qur’anul Karim, karena di tempat
kami ada imam di desa kami yang mengambil upah dari mendidik anak-anak untuk
menghapal Al Qur’an?”
Maka beliau رحمه الله
menjawab: “Tidak mengapa mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an dan pengajaran
ilmu, karena orang-orang sangat memerlukan pengajaran, dan karena si pengajar
terkadang susah baginya mengajar sambil meninggalkan mata pencaharian demi
mengajar. Maka jika dia mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an, penghapalan
Al Qur’an dan pengajaran ilmu, maka yang benar adalah tidak mengapa baginya hal
itu.
-lalu beliau
menyebutkan hadits Abu Sa’id tentang ruqyah, lalu beliau berkata- dan Nabi
tidak mengingkari mereka berbuat itu. Dan beliau صلى الله عليه وسلم
bersabda:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
(HR. Al Bukhoriy (5737)).
Maka ini menunjukkan bahwasanya tidak mengapa mengambil upah
dari pengajaran, sebagaimana tidak mengapa mengambil upah dari ruqyah.”
(selesai dari “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”/5/hal. 364-365).
Al Imam Ibnu
‘Utsaimin رحمه الله berkata tentang menyewa orang
untuk mengajarkan Al Qur’an: “Dan pendapat yang kuat adalah bahwasanya itu tidak
harom, dan bahwasanya boleh menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan hal
itu ditunjukkan oleh dalil berikut ini:
Yang
pertama: sabda Nabi صلى الله
عليه وسلم
: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah
Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)). Dan ini jelas sekali.
Yang kedua:
Bahwasanya Rosul Nabi صلى الله
عليه وسلم
membolehkan mengambil pemberian karena ruqyah, dalam hadits kisah orang yang
tersengat binatang.
Yang ketiga:
Bahwasanya Rosul صلى الله
عليه وسلم
menikahkan seorang wanita dengan orang yang tidak punya mahar, dengan Al Qur’an
yang dihapalkannya, untuk dia mengajari wanita tadi. Maka Nabi menjadikan
pernikahan tadi sebagai upah pengajaran.
Jika ada
orang bertanya: “Bagaimana kalian membolehkan itu padahal itu adalah ibadah?”
Kita katakan:
iya, kami memperbolehkannya dalam keadaan dia adalah suatu pendekatan diri
kepada Alloh, karena kami membolehkan amalan tadi disebabkan oleh manfaat yang
bisa diambil oleh orang yang menyewa. Oleh karena itulah andaikata kami menyewa
orang untuk dia membaca (bukan membacakan) Al Qur’an semata, niscaya penyewaan
tadi adalah harom, tidak sah. Adapun pengajaran, tidak demikian, karena si
pengajar capek dan mendikte orang yang bodoh sampai si bodoh tadi mengetahui
dan akan mengulangi lagi apa yang dihapalkannya dari Al Qur’an dengan
pemeriksaan. Dan di sini ada amalan mubah untuk orang lain (ada pihak yang
mendapatkan manfaatnya). Jika demikian, pendapat yang kuat adalah: boleh adanya
upah karena pengajaran Al Qur’an. Dan kami telah menyebutkan tiga dalil, di
antaranya adalah dalil lafzhiy (tekstual), dan dua dalil amaliy (berupa pengamalan).”
(selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”./10/hal. 9-10).
Tidak
diragukan bahwasanya perbuatan tadi sekalipun boleh dilakukan, tapi jika dia
itu tanpa udzur, sedikit banyak akan mengurangi kehormatan pelakunya,
sebagaimana ucapan sebagian imam رحمهم الله.
Al Imam Abu
Amr Ibnush Sholah رحمه
الله berkata:
“Barangsiapa mengambil upah dari pembacaan hadits, sebagian imam hadits
melarang untuk menerima riwayatnya. Kami riwayatkan dari Ishaq bin Ibrohim
bahwasanya beliau ditanya tentang ahli hadits yang menyampaikan hadits dengan
upah. Maka beliau menjawab: “Janganlah engkau tulis hadits darinya.” Dan
diriwayatkan seperti itu juga dari Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim Ar Roziy.
Abu Nu’aim dan
Ali bin Abdil Aziz Al Makkiy dan yang lainnya mencari keringanan dalam
mengambil upah dari penyampaian hadits. Dan yang demikian itu mirip dengan
mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an dan yang semacam itu.
Hanya
saja perbuatan ini secara adat kebiasaan akan merusak kehormatan pelakunya, dan
membikin dia disangka buruk. Kecuali jika dia diiringi dengan udzur yang
meniadaan praduga buruk tadi darinya, seperti berita yang diceritakan padaku
oleh Asy Syaikh Abul Muzhoffar, dari ayahnya Al Hafizh Abu Sa’d As Sam’aniy:
bahwasanya Abul Fadhl Muhammad bin Nashir As Salamiy menyebutkan: bahwasanya
Abul Husain Ibnun Naqur berbuat itu, karena Asy Syaikh Abu Ishaq Asy Syairoziy
berfatwa kepadanya akan bolehnya mengambil upah dari penyampaian hadits, karena
para hali hadits selalu menghalangi dirinya dari bekerja untuk keluarganya.
Wallohu a’lam.”
(“Muqoddimah Ibnush Sholah”/hal. 61).
Dan
dikarenakan hal itu mengurangi kehormatan dan memberatkan hati manusia yang
tercipta untuk menyayangi harta mereka, -sekalipun minta upah dari pengajaran
tadi adalah boleh- maka Alloh ta’ala mensucikan para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام
dari perbuatan itu sebagaimana telah lewat dalil-dalil tentang itu.
Alloh ta’ala
berfirman:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا
الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari
dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Al Imam Muhammad bin Ali Al Qoshshob رحمه الله
berkata: “Dan firman Alloh ta’ala: “Katakanlah: tidaklah aku minta pada
kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan”
merupakan dalil bahwasanya di dalam karakter manusia itu ada ketidaksukaan pada
petuah yang datang dari orang yang mengambil dinar dan dirham, dan bahwasanya
menjaga kehormatan dari dinar dan dirham itu terpuji di mata orang-orang di
zaman jahiliyyah, bagi orang yang zuhud terhadap dinar dan dirham, dan orang
yang bersegera mengambil dinar dan dirham itu martabatnya rendah. Maka Alloh
memerintahkan Rosul-Nya صلى الله
عليه وسلم
untuk mengumumkan pensucian diri kepada para makhluk yang diberi peringatan,
mensucikan diri dari mengambil upah harta atas dakwah beliau, yang mendakwahkan
Kitabulloh dan agama-Nya yang Dia syariatkan kepada para hamba-Nya, agar dakwah
beliau itu murni kepada Alloh جل وتعالى
, bersih tidak tercampurkan dengan kecondongan pada dunia, karena dunia itu
akan merendahkan pencarinya dan orang-orang yang condong kepadanya, merendahkan
mereka dari martabah-martabat kemuliaan dan derajat-derajat hamba yang
didekatkan. Dan dengan itu Alloh mengabarkan kisah para Rosul yang telah
berlalu sebelum beliau di dalam surat Asy Syu’aro dan lainnya dengan firman-Nyaعليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾
[ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun
dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Dan seterusnya.
(“Nukatul Qur’an”/4/hal. 98-99/cet. Dar Ibnil Qoyyim).
Wahai
saudara-saudaraku, inilah jalan para Nabi jika kita ingin mendapatkan keutamaan
yang lebih tinggi.
Al Imam Asy
Syinqithiy رحمه الله berkata: “Firman Alloh ta’ala:
﴿ويا قوم لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ
أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الله﴾ الآية .
“Dan wahai kaumku, tidaklah aku minta pada kalian upah
sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali menjadi tanggungan Alloh.” Hingga akhir ayat. (QS. Hud: 29).
Alloh ta’ala
dalam ayat yang mulia ini menyebutkan dari Nabi-Nya Nuh –semoga sholawat dan
salam tercurah pada beliau dan pada Nabi kita-, bahwasanya beliau mengabarkan
pada kaum beliau bahwasanya beliau tidak minta pada mereka harta sebagai
bayaran dari wahyu dan petunjuk yang beliau datangkan, bahkan beliau itu
mencurahkan kebaikan yang agung tadi secara gratis kepada mereka, tanpa
mengambil upah sebagai bayaran amalan tadi.
Dan Alloh
dalam ayat yang banyak telah menjelaskan bahwasanya yang demikian itu adalah
sifat para Rosul عليهم
صلوات الله وسلامه,
-kemudian Asy Syinqithiy menyebutkan ayat-ayat yang banyak tentang hal itu,
lalu beliau berkata:-, dan aku telah menyebutkan sisi penggabungan antara
ayat-ayat yang tersebut ini dengan
firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا
الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari
dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Dalam kitab kami “Daf’u Ihamil Idhthirob ‘An Ayatil Kitab”
dalam surat Saba, ketika membahas firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّن أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ﴾
[ سبأ : 47 ] .
“Katakanlah: upah yang aku minta dari kalian, maka itu
adalah untuk kalian sendiri.”
Dan diambil dari
ayat-ayat yang mulia ini: bahwasanya yang wajib dilakukan para pengikut para
Rosul, dari kalangan ulama dan yang lainnya adalah: hendaknya mereka itu
mencurahkan ilmu yang mereka miliki secara gratis tanpa mengambil ganti dari
amalan tadi, dan bahwasanya tidak pantas mengambil upah atas pengajaran
Kitabulloh ta’ala, ataupun juga pengajaran aqidah-aqidah dan perkara halal dan
harom.
Dan
penjelasan ini didukung oleh hadits-hadits yang menunjukkan makna tadi. Di
antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Majah, Al Baihaqiy dan Ar Ruyaniy dalam
Musnadnya dari Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه
yang berkata:
علمت رجلاً القرآن ، فأهدى لي قوساً ، فذكرت ذلك للنبي صلى الله
عليه وسلم فقال : «إن أخذت قوساً من نار» فرددتها
“Aku pernah mengajari seseorang Al Qur’an, maka dia memberiku
hadiah busur panah. Maka aku menceritakan hal itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم
maka beliau bersabda: “Jika engkau mau mengambil busur dari neraka.”
Maka aku mengembalikannya.”
Al Baihaqiy dan
Ibnu Abdil Barr berkata tentang hadits ini: “Hadits ini munqothi’ (sanadnya
terputus).” Yaitu antara ‘Athiyyah Al Kila’iy dan Ubaiy bin Ka’b. Demikian pula
dikatakan oleh Al Mizziy. Tapi dibantah oleh Ibnu Hajar bahwasanya ‘Athiyyah
dilahirkan pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم.
Dan Ibnul
Qoththon menyatakan bahwasanya sanadnya berpenyakit karena ‘Athiyyah tersebut
adalah Abdurrohman bin Salm, dan dia itu majhul.
Ibnu Hajar
berkata dalam “At Taqrib”: “Orang ini majhul dari Syam.”
Asy Syaukaniy
berkata dalam “Nailul ‘Author”: “Hadits ini punya jalur-jalur ke Ubaiyy. Ibnul
Qoththon berkata: “Tidak ada hadits yang tetap dalam masalah ini sedikitpun.”
Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Ucapan beliau perlu diperiksa lagi.” Al Mizziy
dalam “Al Athrof” menyebutkan jalur-jalur untuk hadits tadi, di antaranya adalah:
bahwasanya orang yang diajari Al Qur’an oleh Ubaiyy adalah Ath Thufail bin Amr.
Dan ini didukung oleh apa yang diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al
Ausath” dari Amr bin Thufail Ad Dausiy yang berkata: “Ubaiyy bin Ka’b
membacakan Al Qur’an kepadaku, maka aku memberinya hadiah busur panah. Maka
beliau berangkat menemui Nabi صلى الله عليه وسلم sambil
mengalungkannya ke lehernya. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Engkau mengalungkan busur dari Jahannam.” Al hadits.
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/366-367/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah)
Saya katakan –dengan taufiq Alloh
semata-: Hadits Ubayy diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2158) dan Al Baihaqiy “Al
Kubro” (126). Dan dihukumi berpenyakit oleh para Huffazh, sebagaimana telah
disebutkan.
Athiyyah bin Qois majhul. Abdurrohman
bin Salm majhul ‘ain.
Al Hafizh Adz Dzahabiy رحمه الله
dalam biografi Abdurrohman bin Salm berkata: “Sanadnya goncang, tentang
orang yang memberi Ubayy hadiah busur panah. Dan tiada yang meriwayatkan
darinya –Abdurrohman bin Salm- kecuali Tsaur bin Yazid.” (“Mizanul I’tidal”
(4878)).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله
berkata: “Di dalam sanadnya banyak perselisihan.” (“Tahdzibut
Tahdzib”/6/hal. 170).
Adapun hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه
diriwayatkan oleh Ath Thobroniy di “Al Ausath”, dan di dalam sanadnya Abdulloh
bin Sulaiman bin Umair, tidak diketahui siapakah dia? Maka dia itu majhul
‘ain, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Isma’il bin ‘Ayyasy. Dan
tidak diketahui apakah dia mendengar dari Ath Thufail.
Al Hafizh Al Haitsamiy رحمه الله
berkata: “Di dalam sanadnya ada Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, dan tidak aku
dapati biografinya, dan aku tidak mengira dia itu berjumpa dengan Ath Thufail.”
(“Majmu’uz Zawaid”/4/hal. 111).
Maka mencari dukungan dengan hadits
ini tidaklah kuat. Wallohu a’lam.
Bahkan Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله
berkata: “Dan hadits-hadits ini munkaroh, tidak ada yang shohih darinya
sedikitpun menurut ulama hadits.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله
berkata: “Dan Asy Syaukaniy berkata juga: “Dan di dalam bab ini ada hadits dari
Mu’adz diriwayatkan oleh Al hakim dan Al Bazzar seperti hadits Ubaiyy. Dan dari
Abud Darda diriwayatkan oleh Ad Darimiy dengan sanad sesuai dengan syarat
Muslim seperti hadits Ubaiyy. (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul
Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan –dengan taufiq Alloh
semata-: Adapun hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه
maka saya belum menemukannya sampai sekarang.
Adapun hadits Abud Darda رضي الله عنه
maka diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di “Hilyatul Auliya” (6/hal. 86), dan Al
Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126).
Al Hafizh Duhaim –Abdurrohman bin
Ibrohim-: “Hadits Abud Darda رضي الله عنه
dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang orang yang
mengalungkan busur sebagai upah dari pengajaran Al Qur’an itu tidak punya
asal (tidak punya asal yang shohih).” (dinukilkan oleh Al Baihaqiy di “As
Sunanul Kubro” (6/hal. 126)).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله
berkata: “Dan termasuk dari dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Ibnu Majah dari Ubadah ibnush Shomit رضي الله عنه
yang berkata:
علمت ناساً من أهل الصفة الكتاب والقرآن
، فأهدى إلى رجل منهم قوساً فقلت ليست بمال أرمي بها في سبيل الله عز وجل ، لآتين رسول
الله صلى الله عليه وسلم فلأسألنه ، فأتيته فقلت: يا رسول الله ، أهدى إلي رجل قوساً
ممن كنت أعلمه الكتاب والقرآن وليست بمال أرمى عليها في سبيل الله؟ فقال : «إن كنت
تحب أن تطوق طوقاً من نار فاقبلها»
“Aku pernah mengajarkan tulisan dan Al Qur’an para sekelompok
orang dari Ahlush Shuffah, dan seorang dari mereka menghadiahkan padaku sebuah
busur panah. Maka aku berkata: “Ini bukan uang, dan aku akan menembakkan panah
dengannya di jalan Alloh. Sungguh aku akan mendatangi Rosululloh صلى الله عليه وسلم
dengannya untuk aku tanya beliau tentang ini. Maka aku mendatangi beliau dan
menanyai beliau. Maka beliau bersabda: “Jika engkau senang dikalungi
busur dari api, maka terimalah dia.”
Di dalam
sanadnya ada Al Mughiroh bin Ziyad Al Maushiliy. Asy Syaukaniy berkata: “Dia
dihukumi tsiqoh oleh Waki’ dan Yahya bin Ma’in, tapi sekelompok huffazh
mengkritiknya.”
Al Imam
Ahmad berkata: “Al Mughiroh ini lemah haditsnya, dia meriwayatkan hadits-hadits
munkaroh. Dan setiap hadits yang dia sebutkan sanadnya kepada Nabi maka itu
adalah munkar.”
Abu Zur’ah
Ar Roziy berkata: “Tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.”
Ibnu Hajar
di “At Taqrib” berkata: “Al Mughiroh bin Ziyad Al Bajaliy, Abu Hisyam atau Abu
Hasyim Al maushiliy shoduq punya kekeliruan-kekeliruan.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya katakan
–dengan taufiq Alloh semata-:
Hadits
Ubadah ibnush shomit رضي الله
عنه
diriwayatkan oleh Abu Dawud (3416) dan Ibnu Majah (2157). Di dalam sanadnya ada
Al Mughiroh bin Ziyad Al Maushiliy.
Al Mughiroh
bin Ziyad adalah Abu Hisyam Al Maushiliy. Dihukumi tsiqoh oleh sebagian imam,
dan dia punya hadits-hadits munkar.
Al Imam
Ahmad berkata tentangnya: “Dia itu haditsnya goncang, munkarul hadits,
hadits-haditsnya itu munkaroh.”
Yahya bin
Ma’in berkata: “Laisa bihi ba’s, dan dia punya satu hadits yang munkar.”
Abu Zur’ah
berkata: “Di dalam haditsnya ada kegoncangan.”
Ibnu Adi
berkata: “Hampir semua yang diriwayatkannya itu lurus, hanya saja terjadi pada
haditsnya kekeliruan sebagaimana yang terjadi pada hadits rowi yang shoduq. Dia
itu la ba’sa bih.”
(selesai dari “Tahdzibut Tahdzib” (10/hal. 232)).
Al hafizh
Ibnu Abdil Barr رحمه
الله telah
menetapkan bahwasanya hadits ini adalah bagian dari hadits-hadits munkarnya
Al Mughiroh bin Ziyad. Setelah menyebutkan hadits itu beliau berkata:
“Adapun Al Mughiroh bin Ziyad maka dia itu terkenal sebagai pembawa ilmu, akan
tetapi dia punya hadits-hadits munkaroh, di antaranya adalah hadits ini.” (“At
Tamhid”/21/hal. 114).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله
berkata: “Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur lain tidak ada
di dalamnya Al Mughiroh tersebut: Haddatsana Amr bin Utsman dan Katsir bin
Ubaid yang keduanya berkata: haddatsana Baqiyyah: haddatsani Bisyr bin Abdillah
bin Yasar. Amr berkata: dan haddatsaniy Ubadah bin Nusai dari Junadah bin Abi
Umayyah, dari Ubadah ibnush Shomit semisal hadits tadi. Dan hadits yang pertama
lebih sempurna: maka aku berkata: “Apa pandangan Anda tentang itu wahai
Rosululloh –صلى الله عليه وسلم-? Maka beliau menjawab:
«جمرة بين كتفيك تقلدتها أو تعلقتها»
“Itu adalah bara api di antara kedua pundakmu yang
engkau kalungkan atau engkau gantungkan.”
Selesai dari beliau dengan lafazhnya.
Dan di dalam
sanad riwayat ini ada Baqiyyah ibnul Walid, dikritik oleh sekelompok ulama dan
ditsiqohkan oleh yang lain jika meriwayatkan dari rowi-rowi yang tsiqot. Dan
dia adalah rowi di dalam “Shohih Muslim”. Dan Al Bukhoriy meriwayatkan untuknya
secara mu’allaq (tidak menyebutkan sebagian rantai sanad Antara beliau ke Baqiyyah).
Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam “At Taqrib”: “Shoduq, banyak mentadlis
(menyembunyikan seorang rowi) dari rowi-rowi yang lemah.”
Yang nampak bagiku bahwasanya
pendapat yang paling adil tentangnya adalah: jika dia terang-terangan
meriwayatkan dengan lafazh yang menunjukkan bahwa dia mendengar dari rowi yang
tsiqot, maka tidak apa-apa. Dan haditsnya ini didukung oleh riwayat yang telah
terdahulu dan hadits yang akan datang insya Allohu ta’ala.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya katakan –dengan taufiq Alloh
semata-: hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3417), di dalamnya Baqiyyah
ibnul Walid terang-terangan meriwayatkan dengan lafazh yang menunjukkan bahwa
dia mendengar dari dari Bisyr bin Abdillah bin Yasar.
Baqiyyah ibnul Walid itu hafizh,
termasuk imam Syam, akan tetapi riwayatnya dari rowi-rowi yang majhul itu
munkaroh.
Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Aku kira Baqiyyah itu tidak meriwayatkan hadits-hadits yang munkar kecuali
dari rowi-rowi yang majhul. Ternyata dia juga meriwayatkan hadits-hadits yang
munkar dari rowi-rowi yang terkenal. Maka tahulah aku dari mana dia kena
bencana ini.”
Abu Mushir berkata: “Hadits-hadits
Baqiyyah itu tidak bersih, maka lindungilah dirimu dari hadits-haditsnya.”
(dua penukilan ini ada di “Mizanul I’tidal”/ (1250)).
Abdulloh bin
Ahmad berkata: “Ayahku ditanya tentang Baqiyyah dan Isma’il, maka beliau
menjawab: “Baqiyyah lebih aku sukai. Tapi jika dia meriwayatkan dari
orang-orang yang tidak terkenal maka jangan kalian terima riwayatnya.”
Ibnu Abi
Khoitsamah berkata: “Yahya –bin Ma’in- ditanya tentang Baqiyyah, maka beliau
menjawab: “Jika dia meriwayatkan dari orang-orang tsiqoh semisal Shofwan bin
Amr dan lainnya, maka terimalah, tapi jika dia meriwayatkan dari para majhul
maka jangan diterima.”
(dua penukilan ini ada di “Tahdzibut Tahdzib” (878)).
Dan orang
yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dalam hadits ini adalah Bisyr bin Abdillah bin
Yasar, dari Himsh, disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak
ditsiqohkan oleh imam yang terpandang. Maka Bisyr ini majhul.
Jika demikian maka sanad ini munkar
juga (riwayat Baqiyyah dari majhul).
Akan tetapi
Baqiyyah tidak sendirian dengan riwayat ini. Dia telah diikuti oleh Abul
Mughiroh, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dalam “Musnad” beliau
(22818). Dan Abul Mughiroh ini adalah Kholid bin Dahqon Al Qurosyiy, tsiqoh.
Maka sanad ini lemah karena adanya Bisyr bin Abdillah bin Yasar yang majhul
tadi.
Kesimpulan
dari ini semua:
Bahwasanya
hadits Ubaiy bin Ka’b رضي الله
عنه di dalamnya
ada majhul hal, majhul ‘ain, dan dilemahkan karena inqitho’ (terputus) dan
idhthirob (kegoncangan) juga.
Bahwasanya
hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه
di dalamnya ada majhul ‘ain, dan dikhawatirkan terputus juga.
Bahwasanya
hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله
عنه yang
diisyaratkan oleh Asy syaukaniy tidak saya dapatkan.
Bahwasanya
hadits Abud Darda رضي الله
عنه
telah dihukumi oleh
Duhaim رحمه الله bahwasanya dia itu tidak ada
asalnya. Yaitu: tidak punya asal yang tetap.
Bahwasanya
hadits Ubadah رضي الله
عنه punya sanad
munkar, dan punya sanad lain yang lemah dan bisa untuk menjadi dukungan.
Jika
demikian, maka seluruh hadits dalam bab ini –sebatas apa yang saya dapati, dan
pengetahuan saya itu dangkal- lemah semua, tidak bisa saling menguatkan. Alloh
ta’ala a’lam. Dan saya tidak mengingkari pihak yang menghukumi hadits tadi
hasan.
Al Hafizh
Ibnu Abdil Barr رحمه
الله berkata
tentang hadits-hadits dalam bab ini: “Semuanya lemah, tidak ada yang bisa
menjadi hujjah sedikitpun.” (“Al Istidzkar”/5/hal. 418).
Maka
dikarenakan lemahnya dalil-dalil yang melarang dan kuatnya dalil-dalil yang
membolehkan, mayoritas Salaf yang terdahulu membolehkan meminta upah
pengajaran, atau mengambil upah pengajaran, bersamaan dengan pendapat mereka
bahwasanya memurnikan minta pahala dari Alloh ta’ala itu lebih utama.
Kholid Al
Hadzdza berkata: “Aku bertanya kepada Abu Qilabah tentang pengajar yang
mengajar dan mengambil upah. Maka beliau berpandangan bahwasanya itu tidak
apa-apa.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20831)/shohih).
Dan Abdulloh
bin Thowus menceritakan dari ayahnya, bahwasanya beliau berpendapat tidak
apa-apa pengajar mengajar dan tidak memasang syarat, jika diberi sesuatu dia
mengambilnya.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20832), dan “Mushonnaf Abdurrozzaq”
(14532) /shohih).
Dan dari
Utsman Ibnul Harits, dari Asy Sya’biy yang berkata: “Si pengajar jangan
memasang syarat, adapun jika dia diberi sesuatu, maka silakan dia menerimanya.”
(“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20833) /shohih).
Sekalipun
hukumnya boleh, akan tetapi para Salaf memakruhkan seorang pengajar memasang
syarat upah pengajaran, karena hal itu mengurangi kehormatan, dan
menyelisihi jalan para Nabi, padahal para pengajar itu seharusnya menjadi orang
yang terdepan dalam mencontoh para Nabi mereka.
Dari Al
Mughiroh, dari Ibrohim –An nakho’iy- yang berkata: “Dulu dibenci seorang
pengajar yang mengajari anak-anak dengan Al Qur’an itu memasang syarat (upah).”
(“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20836) /shohih).
Dan dari
Asy’ats –yaitu Ibnu Ishaq Al Qummiy-, dari Al Hasan –yakni Al Bashriy- yang
berkata: “Tidak mengapa mengambil upah menulis, tapi pensyaratan itu dibenci.”
(“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20838) /shohih).
Dan
atsar-atsar tentang ini banyak.
Sebagian
ulama dalam rangka menggabungkan antara dalil-dalil yang membolehkan dengan
dalil-dalil yang melarang berkata: “Barangsiapa mengajarkan Al Qur’an dalam
rangka mencari upah, maka boleh baginya untuk mengambil upah tadi. Tapi
barangsiapa mengajarkan Al Qur’an dalam rangka ikhlas karena Alloh, jika dia
diberi upah maka dia tidak boleh mengambilnya agar niat pertamanya tidak rusak.
Akan tetapi
pendapat ini lemah jika dihdapkan kepada perintah Nabi صلى الله عليه وسلم
untuk mengambil pemberian yang datang kepada kita tanpa kita minta dan tanpa
pengharapan hati akan datangnya pemberian tadi.
Dan Abdulloh
As Sa’idiy yang berkata:
استعملني عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الصدقة، فلما فرغت منها
وأديتها إليه أمر لي بعمالة، فقلت: إنما عملت لله، وأجري على الله. فقال: خذ ما أعطيت
فإني عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فعملني، فقلت مثل قولك، فقال لي رسول
الله صلى الله عليه و سلم: «إذا أعطيت شيئا من غير أن تسأل فكل وتصدق».
“Umar ibnul Khoththob pernah mempekerjakan aku untuk mengurus
shodaqoh. Manakala aku selesai mengurusinya dan aku menunaikannya kepada
beliau, beliau memerintahkan agar aku diberi upah kerja. Maka aku berkata:
“Saya beramal hanyalah untuk Alloh, dan pahala saya menjadi tanggungan Alloh.”
Maka beliau berkata: “Ambillah apa yang kuberikan padamu, karena aku pernah
beramal pada zaman Rosululloh صلى الله عليه وسلم
, lalu beliau memberiku upah kerja. Maka aku berkata pada beliau seperti
ucapanmu. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم
berkata kepadaku: “Jika engkau diberi sesuatu tanpa engkau memintanya,
maka makanlah pemberian itu dan bershodaqohlah.” (HR. Al Bukhoriy
(7163) dan Muslim (1045), dan lafazh ini adalah lafazh Muslim).
Dan dalam
lafazh Al Bukhoriy: Maka Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Ambillah dia, lalu jadikanlah itu sebagian bagian dari
hartamu, dan bershodaqohlah dengannya. Apapun yang datang kepadamu dari harta
ini dalam keadaan engkau tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, maka
ambillah dia. Jika engkau tidak diberi, maka janganlah jiwamu
mengharap-harapkannya.”
Syamsul Haqq
‘Azhim Abadiy رحمه
الله berkata
tentang hadits ini: “Di dalamnya ada dalil tentang bolehnya mengambil upah atas
pekerjaan-pekerjaan Muslimin dan perwalian-perwalian mereka yang bersifat agama
dan keduniaan.” (“Aunul Ma’bud”/5/hal. 43).
Kita kembali
pada perkataan Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله.
Kemudian
beliau رحمه الله berkata: “Dan termasuk dalil
yang melarang adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At
Tirmidziy dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله عنهما
dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
«اقرؤوا القرآن واسألوا الله به ، فإن من بعدكم
قوماً يقرؤون القرآن يسألون به الناس».
“Bacalah Al Qur’an, dan mintalah kepada Alloh
dengannya, karena sesungguhnya setelah kalian nanti ada suatu kaum yang membaca
Al Qur’an dan meminta kepada manusia dengan Al Qur’an.”
At Tirmidziy berkata: “Sanadnya tidak seberapa kuat.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya berkata
dengan taufiq Alloh semata:
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (19958) dan At Tirmidziy (2917), dan di dalam
sanadnya ada Khoitsamah dari Al Hasan dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله عنهما
.
Khoitsamah
ini adalah Abu Nashr ibn Abi Khoitsamah. Nama ayahnya adalah Abdurrohman Al
Bashriy. Ibnu Ma’in berkata tentangnya: “Dia tidak ada harganya.” (“Tahdzibut
Tahdzib”/ no. (337)).
Maka sanadnya
adalah lemah sekali.
Kemudian Al
Imam Asy Syinqithiy رحمه
الله berkata:
“Dan termasuk darinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam
“Sunan” beliau: haddatsana Wahb bin Baqiyyah: akhbarona: Kholid, ‘an Humaid Al
A’roj, ‘an Muhammad ibnul Munkadir, ‘an Jabir bin Abdillah yang berkata:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقرأ القرآن وفينا
الأعرابي والأعجمي فقال: «اقرؤوا فكل حسن ، وسيجيء أقوام يقيمونه كما يقال القدح
يتعجلونه ولا يتأجلونه» .
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم
pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al Qur’an, dan di antara
kami ada orang-orang badui dan orang asing. Maka beliau bersabda: “Bacalah,
maka masing-masing dari bacaan kalian itu bagus. Dan nanti akan datang kumpulan
orang-orang yang menegakkan bacaan Al Qur’an sebagaimana ditegakkannya anak-anak
panah, mereka bersegera mencari upahnya dan tidak menunda upahnya.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya katakan
dengan taufiq Alloh semata:
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (15308) dan Abu Dawud (830), dan para perowinya
tsiqoh semua, kecuali Humad Al A’roj, dia itu adalah Abu Shofwan Humaid bin
Qois Al Makkiy, shoduq. Maka hadits ini hasan.
Syamsul Haqq
رحمه الله berkata tentang makna hadits
ini: “Yaitu: masing-masing dari bacaan kalian itu bagus, diharapkan pahalanya
jika kalian lebih mengutamakan Akhirat yang tertunda daripada dunia yang
disegerakan. Kalian tidak berdosa jika kalian tidak menegakkan lidah-lidah
kalian bagaikan ditegakkannya anak panah sebelum dipasangi bulu. Dan nanti akan
datang kumpulan orang-orang yang menegakkannya, yaitu: membenarkan
lafazh-lafazhnya dan kalimat-kalimatnya dan membebani diri dalam memperhatikan
tempat-tempat keluarnya huruf dan sifat-sifatnya, sebagaimana ditegakkannya
panah, yaitu mereka berlebihan dan mengamalkan bacaan dengan berlebihan yang
keterlaluan dalam rangka mencari pujian karena dilihat dan didengar orang dan
untuk kebanggaan dan kemasyhuran.”
Ath Thibiy
berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil dihilangkannya kesusahan, dan
dibangunnya perkara ini di atas kemudahan secara lahiriyyah, dan
bersungguh-sungguh dalam mencari pahala Alloh dan keikhlasan dalam beramal, dan
memikirkan makna-makna Al Qur’an dan menyelami keajaiban-keajaiban Al Qur’an. “mereka
bersegera mencari upahnya” yaitu: pahala di dunia, “dan tidak
menunda upahnya” yaitu: mereka tidak mencari pahala di Akhirat tapi
justru mereka lebih mengutamakan dunia yang disegerakan dari pada pahala
Akhirat yang ditunda, mereka mencari makan dari Al Qur’an dan tidak mau
bertawakkal pada Alloh.”
(selesai dari “Aunul Ma’bud”/3/hal. 42).
Hadits ini
bukanlah dalil untuk mengharomkan meminta upah, akan tetapi di dalamnya ada celaan
atas perbuatan tadi.
Al Qodhi Al
‘Ainiy رحمه الله berkata: “Maksudnya adalah:
mereka menyegerakan pahalanya di dunia, dan menuntut upah atas bacaan mereka
dari herta-harta duniawiy, dan mereka tidak bersabar menanti pahala dan
ganjaran yang akan mereka dapatkan di Akhirat. Dan kejadian ini telah
berlangsung sebagaimana yang disabdakan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم.”
(“Syarh Sunan Abi Dawud”/Al Ainiy/4/hal. 12).
Kemudian Al
Imam Asy Syinqithiy رحمه
الله menyebutkan
dari Abu Dawud setelah itu: haddatsana Ahmad bin Sholih: haddatsana Abdulloh
bin Wahb: akhbaroni ‘Amr wa Ibnu Lahi’ah: ‘an Bakr bin Sawadah: ‘an Wafa bin Syuroih
Ash Shodafiy: ‘an Sahl bin Sa’d As Sa’idiy:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقتري فقال : «الحمد
لله ، كتاب الله واحد ، وفيكم الأحمر وفيكم الأبيض وفيكم الأسود ، اقرؤوا قبل أن يقرأه
أقوام يقيمونه كما يقوم السهم يتعجل أجره ولا يتأجله»
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم
pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al Qur’an, maka beliau
bersabda: “Segala pujian bagi Alloh. Kitab Alloh itu satu, dan di
kalangan kalian itu ada orang kulit merah, di kalangan kalian itu ada orang
kulit putih, di kalangan kalian itu ada orang kulit hitam. Bacalah sebelum Al
Qur’an itu dibaca oleh orang-orang yang menegakkannya sebagaimana menegakkan
panah, dia bersegera mencari upahnya dan tidak menunda upahnya.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya katakan
dengan taufiq Alloh semata:
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud (831), dan di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah,
hapalannya buruk dan beliau itu mudallis. Akan tetapi beliau didukung oleh
‘Amr, yaitu ‘Amr ibnul Harits bin Ya’qub bin Abdillah Al Anshoriy, Abu Umayyah
Al Mishriy, tsiqoh tsabt. (“Tahdzibut Tahdzib”/8/hal. 13).
Dan Bakr bin
Sawadah adalah Abu Tsumamah Al Mishriy, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib” (886)).
Wafa bin
Syuroih Ash Shodafiy disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak
ditsiqohkan oleh imam yang terpandang. Maka dia majhul.
Maka
sanadnya lemah, dan hadits ini hasan karena diperkuat oleh hadits yang
sebelumnya.
Dan di dalam
hadits tadi ada dalil bahwasanya barangsiapa lebih mengutamakan pahala dunia
daripada Akhirat maka dia itu tercela.
Al Munawiy رحمه الله
berkata: “Berita ini datang dalam alur celaan terhadap orang-orang yang
akan datang (dengan sifat yang tersebut dalam hadits) itu.” (“Faidhul Qodir”
(1341)).
Kemudian Al
Imam Asy Syinqithiy رحمه
الله berkata:
“Dan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, dari
Abdurrohman bin Syibl, dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم
yang bersabda:
«اقرؤوا القرآن ولا تغلوا فيه ولا تجفوا عنه ولا
تأكلوا به ولا تستكثروا به».
“Bacalah Al Qur’an, dan janganlah kalian berlebihan di
dalamnya, dan janganlah kalian menjauh darinya, dan janganlah kalian memakan
harta dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak harta dengannya.”
Asy
Syaukaniy رحمه الله berkata dalam “Nailul Author”
tentang hadits ini: “Al Haitsamiy berkata dalam “Majma’uz Zawaid”: para rowi
Ahmad tsiqot.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya katakan
dengan taufiq dari Alloh semata:
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam
Ahmad (15568) dengan sanad shohih dari Yahya bin Abi Namir, dari Abu Rosyid Al
Hibroniy, dari Abdurrohman bin Syibl رضي الله عنه
dari Rosululloh صلى الله
عليه وسلم
.
Saya tidak menemukan biografi Yahya
bin Abi Namir. Akan tetapi dengan mengumpulkan jalur-jalur hadits ini ketahuan
bahwasanya yang benar adalah Yahya bin Abi Katsir, bukan Yahya bin Abi Namir.
Terjadi salah penulisan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam “Mushonnaf” (7742) dari Waki’: haddatsana Hisyam Ad Dustuwa’iy,
dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath
Thohawiy dalam “Musykilul Atsar” (3671) dari Ali ibnul Mubarok: dari Yahya bin
Abi Katsir, dari Zaid bin Sallam, dari Abu Sallam, dari Abu Rosyid dari
Abdurrohman bin Syibl.
Yahya bin Abi Katsir mudallis dan
telah meriwayatkan dengan ‘an’anah. Dan telah nampak dalam sanad Ath Thohawiy
bahwasanya Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan hadits ini dari Zaid bin Sallam,
dari Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman
bin Syibl.
Yahya bin Abi Katsir mendapat
dukungan dari Mu’awiyah bin Sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi
‘Ashim dalam “Al Ahad Wal Matsaniy” (1862) dari jalur Muhammad bin Syu’aib bin
Syabur: akhbaroniy Mu’awiyah bin Sallam, dari saudara beliau: Zaid bin Sallam,
bahwasanya beliau mengabarkan dari kakek beliau: Abu Sallam, dari Abu Rosyid
dari Abdurrohman bin Syibl.
Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam
“Mushonnaf” (19444) dari Ma’mar: dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin
Sallam, dari kakeknya yang berkata: Mu’awiyah –bin Abi Sufyan- menulis surat
kepada Abdurrohman bin Syibl. Tanpa menyebutkan Abu Rosyid.
Akan tetapi yang jelas adalah
bahwasanya Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-, kakek Zaid bin Sallam
meriwayatkan hadits ini dari Abu Rosyid, karena Abu Sallam memang murid Abu
Rosyid. Dan Abu Rosyid inilah yang langsung menghadiri kisah tadi, sebagaimana
diriwayatkan oleh Al Jauzajaniy, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam
“Tahdzibut Tahdzib”, dalam biografi Abu Rosyid.
Dan juga sebagaimana yang kami
sebutkan dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim, Ath Thohawiy dan Ibnu Abi Syaibah.
Abu Rosyid ini adalah Al Hibroniy Al
Himyariy Al Himshiy. Namanya Akhdhor. Ada yang bilang namanya adalah Nu’man.
Dia meriwayatkan dari Abdurrohman bin Syibl Al Anshoriy dan sejumlah Shohabat.
Meriwayatkan darinya Abu Sallam Al Aswad. Beliau disebutkan oleh Abu Zur’ah Ad
Dimasyqiy dalam ath thobaqotul ‘ulya (tingkatan tertinggi) dari orang-orang
yang di bawah Shohabat. Al ‘Ijliy berkata: “Beliau adalah orang Syam, tabi’iy,
tsiqoh. Tidak ada di zaman beliau di Damaskus orang yang lebih utama daripada
beliau.” Dan beliau disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot.” (“Tahdzibut
Tahdzib”/12/hal. 99).
Sesungguhnya pentsiqohan Al ‘Ijliy
dan Ibnu Hibban itu tidaklah kokoh. Akan tetapi manakala sang rowi masuk dalam
tingkatan tertinggi dari Tabi’in, maka derajatnya terangkat, sehingga haditsnya
bisa dihasankan.
Al Munawiy رحمه الله
berkata tentang makna hadits ini: ““Bacalah Al Qur’an, dan amalkanlah”
dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. “dan janganlah
kalian menjauh darinya” yaitu: janganlah kalian menjauhi bacaannya. “dan
janganlah kalian berlebihan di dalamnya” yaitu: janganlah kalian
melampaui batasannya dari sisi lafazhnya atau maknanya, dengan jalan kalian
menakwilkannya dengan batil. Atau maksudnya adalah: janganlah kalian sekedar
mencurahkan kerja keras dalam membacanya tapi kalian meninggalkan ibadah-ibadah
yang lain. Menjauh adalah kekurangan. Dan berlebihan adalah berdalam-dalam di
situ. Dan dua-duanya adalah buruk, sementara Alloh telah memerintahkan untuk
bersikap tengah dalam berbagai perkara. Alloh berfirman:
﴿لم يسرفوا ولم يقتروا﴾
“Mereka itu tidak menghamburkan harta dan tidak pula
bersikap pelit.”
“dan janganlah kalian memakan harta
dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak harta dengannya.” Yaitu: janganlah kalian menjadikan
Al Qur’an sebagai sarana untuk memperbanyak keduniaan. Dan termasuk dari adab
yang diperintahkan adalah: bersikap pertengahan dalam berbagai urusan.
Sedangkan dua ujung pertengahan adalah tercela.”
Ath Thibiy berkata: “Nabi
menginginkan agar kalian jangan menjauhi Al Qur’an dengan meninggalkan
bacaannya dan sibuk dengan takwil dan tafsirnya. Dan janganlah kalian
berlebihan dengannya dengan jalan mencurahkan kerja keras dalam membacanya dan
tajwidnya tanpa mau memikirkan kandungannya. Sebagaimana sabda beliau dalam
hadits yang lain:
«لم يفقه من قرأ القرآن في أقل من ثلاث».
“Tidak akan paham orang yang membaca Al Qur’an kurang
dari tiga hari (yaitu: khotam Al Qur’an dalam waktu kurang dri tiga hari.”
(selesai penukilan dari “Faidhul Qodir” (2/hal. 64)).
Hadits yang
beliau isyaratkan barusan adalah riwayat At Tirmidziy (2949) dan Ibnu Majah (1347)
dari Abdulloh bin ‘Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما
. Hadits ini shohih.
Dan hadits
Abdurrohman bin Syibl رضي الله
عنه
merupakan dalil akan
terlarangnya menjadikan Al Qur’an sebagai sarana untuk mendapatkan keduniaan.
Ulama “Al
Lajnatud Daimah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah Wal Ifta” (4/hal. 318) dalam penjelasan
mereka tentang hadits ini berkata: “Rosul صلى الله عليه وسلم
memerintahkan untuk membaca Al Qur’an dan mempelajarinya dalam rangka mengingat
Alloh dan beribadah kepada-Nya, dan mengharapkan pahala-Nya dan takut kepada
hukuman-Nya, dan dalam rangka memahami hukum-hukum-Nya dan mengamalkannya serta
mengambil petuah dari nasihat-nasihatnya. Dan Rosul صلى الله عليه وسلم
melarang mengambil upah dari bacaan Al Qur’an dan mencari makan dengannya.” Selesai.
Apakah orang
yang melakukan itu dikatakan bahwasanya dia membaca Al Qur’an untuk Alloh?
Barangsiapa
merenungkan makna hadits tersebut dan penjelasannya, tahulah dia bahwasanya
barangsiapa mencari makan dengan Al Qur’an, maka bacaannya tadi bukanlah
untuk Alloh.
Ibnu Hajar رحمه الله
berkata: “Bahwasanya bacaan itu jika bukan untuk Alloh, maka dia itu adalah
untuk riya, atau mencari makan dengan Al Qur’an, dan yang semisal itu.” Lalu
beliau menyebutkan beberapa dalil, di antaranya adalah hadits Abdurrohman bin
Syibl ini, dan berkata: “Sanadnya kuat.” (“Fathul Bari”/9/hal. 100).
Maka orang
itu sekalipun selamat dari dosa, karena ada dalil-dalil yang membolehkan, tapi
sebagian pahala amalnya rusak sesuai dengan kadar niatnya, karena amalan itu
jika tidak karena Alloh maka dia itu batil, sehingga tinggal menjadi bagaikan
akad jual beli atau akad persewaan saja.
Kecuali jika
dia memang dalam kondisi berhajat kepada rizqi, dan dia meniatkan dengan
niat yang jujur bahwasanya menjadikan pekerjaannya tadi sebagai penolong dia
dalam menaati Alloh dan menunaikan kewajiban-kewajiban, maka dia
mendapatkan pahala dari amalan itu, sebagaimana telah lewat penjelasannya dari
Syaikhul Islam رحمه
الله.
Kemudian Al
Imam Asy Syinqithiy رحمه
الله berkata:
“Dan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Atsrom dalam “Sunan”
beliau dari Ubaiyy رضي الله
عنه yang
berkata:
كنت أختلف إلى رجل مسنّ قد أصابته علة ، قد احتبس في بيته أقرئه
القرآن ، فيؤتى بطعام لا آكل مثله بالمدينة ، فحاك في نفسي شيء فذكرته للنبي صلى الله
عليه وسلم فقال : «إن كان ذلك الطعام طعامه وطعام أهله فكل منه ، وإن كان يتحفك
به فلا تأكله»
“Dulu saya sering berbolak-balik ke seseorang yang sudah tua
dan terkena penyakit, dia tertahan di rumahnya. Saya membacakan kepadanya Al
Qur’an. Lalu didatangkanlah makanan yang belum pernah aku memakan semisal itu
di Madinah. Tapi terdesir di hatiku suatu perkara, maka aku menceritakan itu
pada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika
makanan tadi adalah makanan dia dan keluarganya, maka makanlah darinya. Tapi
jika dia menghadiahkan untukmu (sengaja membikinnya untukmu), maka jangan
engkau makan.”
Selesai dengan perantaraan penukilan
Ibnu Qudamah dalam “Al Mughni” dan Asy Syaukaniy dalam “Nailul Author.”
(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya katakan
dengan taufiq dari Alloh semata:
Saya tidak
punya “Sunan” Al Atsrom, tapi hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Ubaid Al
Qosim bin Sallam رحمه
الله seraya
berkata: haddatsana Abdulloh bin Sholih: ‘an Musa bin Ulaiy bin Robah: ‘an
Abihi:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأبي بن كعب
“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم
berkata pada Ubaiyy,…”
Semisal hadits ini.
(“Fadhoilul Qur’an”/Abu Ubaid/no. (292)).
Abdulloh bin Sholih adalah Abu Sholih
Al Mishriy, sekretaris Al Laits, lemah, bisa untuk pendukung.
(“Tahdzibut Tahdzib”/5/hal. 227).
Musa bin Ulaiy bin Robah adalah Abu
Abdirrohman Al Bashriy, tsiqoh, kecuali jika menyendiri. (“Tahdzibut Tahdzib”/10/hal.
323).
Ayahnya adalah Ulaiy bin Robah bin
Qushoir Al Lakhmiy, Abu Abdillah, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib”/7/hal. 280).
Hadits ini lemah karena lemahnya Abdulloh bin Sholih, dan
juga karena bentuknya adalah mursal (Ulaiyy tidak bertemu Nabi, dan
tidak menghadiri kisah tadi).
Dan telah lewat dalil-dalil yang
membolehkan mengambil upah atau hadiah atau pemberian karena mengajar, tanpa
memasang syarat.
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله
menyebutkan perselisihan para imam dalam masalah ini, dan menyebutkan seperti
apa yang disebutkan oleh Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله
disertai dengan dalil-dalil yang membolehkan. Kemudian beliau berkata: “Yang
jelas bagiku, dan Alloh ta’ala lebih tahu, adalah: bahwasanya seseorang itu jika
tidak ada tuntutan hajat darurat, maka lebih utama baginya untuk tidak
mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an, aqidah-aqidah, dan halal-harom,
berdasarkan dalil-dalil yang telah lewat. Jika hajat menuntutnya untuk itu,
maka silakan dia mengambil upah sesuai kadar darurat yang dialaminya, dari
baitul mal milik Muslimin, karena yang nampak adalah bahwasanya harta yang
diambil dari baitul mal milik Muslimin itu memang disediakan untuk membantu
dilaksanakannya pengajaran, bukan sebagai upah.
Dan lebih utama bagi orang yang telah
Alloh cukupi untuk dia itu menjaga kehormatan, jangan sampai mengambil
sedikitpun dari upah pengajaran Al Qur’an, aqidah-aqidah, dan halal-harom. Ilmu
tentang ini ada di sisi Alloh ta’ala.
(selesai dari “Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul
Kutubil ‘Ilmiyyah).
Kesimpulannya
adalah: bahwasanya dalil-dalil yang berisi ancaman terhadap orang yang
mengambil upah itu semuanya lemah, tidak tegak dengannya hujjah untuk
mengharomkan mengambil upah dari pengajaran. Dan dalil-dalil yang telah tetap
itu menunjukkan bahwasanya orang menuntut upah pengajaran, atau memasang
syarat, itu tercela atau dibenci, sekalipun tidak sampai harom. Adapun
jika dia meminta upah karena punya hajat, maka dia tidak tercela. Dan
dalil-dalil shohih yang lain menunjukkan tentang bolehnya mengambil upah
pengajaran tanpa syarat.
Ibnu Hajar رحمه الله
berkata: “Sebagian ulama mendakwakan bahwasanya hadits-hadits yang membolehkan
itu dihapus oleh hadits-hadits yang datang yang berisi ancaman terhadap orang
yang mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an, dan telah diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan yang lain. Ini terbantah karena dakwaan tadi merupakan penetapan
nasikh mansukh dengan semata-mata kemungkinan, dan itu tak bisa diterima. Juga
terbantah karena hadits-hadits tadi tidak terang-terangan melarang mengambil
upah secara mutlak. Bahkan isinya adalah kejadian-kejadian khusus yang
memungkinkan untuk ditakwilkan agar sesuai dengan hadits-hadits yang shohih
seperti hadits dalam bab ini. Dan terbantah juga dengan bahwasanya hadits-hadits
(yang mengancam) tersebut tidak bisa tegak dengannya hujjah, maka tidak
bisa berhadapan dengan hadits-hadits shohih.” (“Fathul Bari”/4/hal. 453-454).
Kenapa
adanya hajat itu membolehkan perkara yang semua tercela dan dibenci? Yang
demikian itu dikarenakan hajat itu timbul dari kesulitan, sementara kesulitan
itu menuntut adanya pemudahan, sebagaimana itu telah tetap di dalam
kaidah-kaidah fiqhiyyah yang diambil dari dalil-dalil yang banyak.
Apa makna “hajat”
secara syar’iy?
Al ‘Allamah
Asy Syathibiy رحمه
الله berkata:
“Adapun perkara yang bersifat hajat itu maknanya adalah: bahwa perkara tadi
diperlukan dalam rangka perluasan kondisi dan penghilangan kesempitan yang
secara umum bisa memasukkan orang kepada kesulitan dan kepayahan karena tidak
berhasil mendapatkan perkara yang diinginkan. Jika hajat-hajat tadi tidak
diperhatikan, para hamba akan masuk ke dalam kesulitan dan kepayahan, hanya
saja perkara tadi secara adat kebiasaan tidak sampai pada taraf yang
dikhawatirkan akan merusak kemaslahatan umum.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 10-11).
Ibnu Nujaim رحمه الله
berkata: “Kaidah yang keempat: kesulitan itu menuntut datangnya pemudahan. Asal
dari kaidah ini adalah firman Alloh ta’ala:
﴿يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر﴾
“Alloh menginginkan kemudahan untuk kalian, dan Dia
tidak menginginkan kalian tertimpa kesulitan.”
Dan firman
Alloh ta’ala:
﴿وما جعل عليكم في الدين من حرج﴾.
“Dan Alloh tidak menjadikan di dalam agama ini
kesempitan terhadap kalian.”
(selesai dari “Al Asybah Wan Nazhoir”/Ibnu Nujaim/hal. 75).
Bab Tiga: Jawaban Terhadap Dua Kerumitan
Ada dua
kerumitan.
Kerumitan
yang pertama: bagaimana kaitan bab ini dengan larangan menjual ayat-ayat
Alloh dengan harga murah? Firman Alloh ta’ala:
﴿وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا
تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ﴾
[البقرة: 41]؟
“Dan janganlah kalian menjadi orang-orang
yang pertama mengingkari apa yang Kami wahyukan ini, dan janganlah kalian
membeli harga yang murah dengan ayat-ayat-Ku, dan hanya kepada-Ku sajalah
kalian bertaqwa.”
Al Qurthubiy
رحمه الله dalam bantahan beliau kepada
Abu Hanifah telah menjelaskan dengan tafsir yang panjang, di antaranya adalah:
“Adapun jawaban tentang ayat ini adalah: yang pertama: yang dimaksudkan dengan
dengan ayat ini adalah Banu Isroil. Dan syariat umat sebelum kita apakah
menjadi syariat bagi kita? Di sini ada perselisihan, dan Abu Hanifah tidak
berpendapat bahwasanya itu adalah syariat bagi kita.
Yang kedua:
ayat ini berlaku bagi orang yang terkena fardhu ‘ain untuk mengajar, tapi dia
tidak mau menjalankannya sampai dia diberi upah. Adapun jika dia tidak terkena
fardhu ‘ain untuk mengajar, maka boleh baginya mengambil upah dalam mengajar,
dengan dalil dari hadits. Terkadang dia terkena fardhu ‘ain untuk mengajar tapi
dia tidak memiliki harta untuk menafkahi dirinya sendiri ataupun keluarganya,
maka dia tidak wajib mengajar. Dan dia boleh menerima upah dari pekerjaannya
dan keahliannya.
Dan
pemerintah wajib membantu sang pengajar dalam menegakkan agama. Jika tidak
demikian, maka wajib atas Muslimin untuk menolong sang pengajar, karena Ash
Shiddiq رضي الله عنه ketika terpilih memegang
kekhilafahan beliau tidak punya harta untuk menafkahi keluarga beliau, maka
beliau mengambil baju-baju dan keluar ke pasar (untuk berjualan). Maka beliau
ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab: “Dari mana aku menafkahi
keluargaku?” Maka mereka menolak beliau berjualan, dan mereka menetapkan
jaminan untuk beliau.
Adapun
hadits-hadits ini –yang mengandung ancaman bagi pengambil upah-, maka tiada
satupun yang tegak di atas sanadnya, dan tiada satupun yang shohih menurut
para ahli hadits.”
(“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/1/hal. 336).
Beliau رحمه الله
juga berkata: “Maka barangsiapa mengambil suap untuk merubah kebenaran, atau
membatalkan kebenaran, atau tidak mau mengajarkan apa yang wajib untuk dia
mengajarkannya atau yang dia wajib untuk menunaikan apa yang diketahuinya dalam
waktu yang sudah fardhu ‘ain untuk dia mengajarkannya sampai dia mengambil
upah, maka sungguh dia terkena tuntutan ayat ini. Alloh a’lam.
-kemudian
beliau menyebutkan perselisihan dalam hukum mengambil upah, kemudian beliau
berkata:- yang membolehkan mengambil upah pengajaran Al Qur’an adalah Malik,
Asy Syafi’iy, Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama, berdasarkan sabda Nabi عليه السلام
dalam hadits Ibnu Abbas, hadits ruqyah:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy, dan itu adalah nash yang
menghilangkan perselisihan, maka nash tadi harus menjadi patokan.
Adapun
hujjah pihak yang menyelisihi dengan memakai qiyas, yang mengqiyaskan
pengajaran kepada sholat dan puasa, maka itu adalah qiyas yang rusak karena
berhadapan dengan nash tadi. Kemudian juga Antara dua perkara tadi adalah perbedaan,
yaitu: bahwasanya sholat dan puasa itu adalah ibadah yang khusus untuk
pelakunya (manfaatnya untuk pelakunya saja), sementara pengajaran Al Qur’an itu
ibadah yang mengena kepada pihak selain pengajar (manfaatnya untuk orang lain
juga), maka boleh baginya untuk mengambil upah karena upaya dia untuk
memindahkan ilmu, sebagaimana pengajaran cara menulis Al Qur’an.”
(“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/1/hal. 334-336).
Kenapa Al
Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dan pemerintah wajib
membantu sang pengajar dalam menegakkan agama.”? Yang demikian itu dikarenakan
posisi pemerintah (wulatul umur) itu dijadikan untuk mengurusi manusia. Dan
manusia wajib mengetahui urusan agama mereka agar bisa beribadah pada Alloh
sebagaimana seharusnya, maka wajib bagi pemerintah untuk memudahkan itu semua.
Dari Abul
Malih yang berkata:
أن عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار في مرضه، فقال له معقل: إني
محدثك بحديث لولا أني في الموت لم أحدثك به. سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول:
«ما من أمير يلي أمر المسلمين ثم لا يجهد لهم وينصح إلا لم يدخل معهم الجنة».
“Bahwasanya Ubaidulloh bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar
saat beliau sakit. Maka Ma’qil berkata kepadanya: “Aku akan menceritakan satu
hadits kepadamu. Andaikata bukan karena aku sudah akan mati, aku tak akan
menceritakan padamu. Aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Tidak ada seorang amirpun yang mengurusi urusan Muslimin,
kemudian dia tidak bekerja keras untuk mereka dan tidak mau mencurahkan nasihat
untuk mereka, kecuali dia tidak akan masuk Jannah bersama mereka.” (HR.
Al Buhoriy (7150) dan Muslim (142)).
Dan
Al Khothib Al Baghdadiy رحمه الله
berkata: “Maka wajib bagi setiap orang untuk mempelajari perkara yang wajib
diketahuinya, dari perkara-perkara yang Alloh wajibkan padanya, sesuai dengan
kemampuannya untuk mencurahkan kerja kerasnya demi kebaikan dirinya sendiri.
Dan setiap muslim yang baligh, berakal, pria dan wanita, orang merdeka, budak,
wajib bagi dirinya untuk bersuci, sholat, dan puasa wajib. Maka wajib bagi
setiap muslim untuk mengetahui ilmunya. Dan demikian pula wajib bagi setiap
muslim untuk mengetahui apa yang halal baginya dan apa yang diharomkan
untuknya, yang berupa makanan, minuman, pakaian, kemaluan, darah, dan harta.
Maka ini semua tidak boleh seseorang itu untuk tidak mengetahuinya. Dan mereka
wajib untuk memulai mempelajarinya sampai mereka itu mencapai baligh dalam
keadaan mereka itu muslimin, atau ketika mereka masuk Islam setelah mencapai
baligh. Pemerintah memaksa para suami dan para tuan untuk mengajari para istri
dan para budak perempuan tentang perkara-perkara yang kami sebutkan tadi. Dan
pemerintah harus menghukum orang-orang jika membangkang dari perkara tadi. Dan
pemerintah harus menertibkan orang-orang untuk mengajari orang-orang yang
bodoh, menetapkan gaji untuk mereka dari baitul mal, dan wajib bagi para ulama
untuk mengajari orang bodoh, agar terpisahlah baginya kebenaran dari kebatilan."
("Al Faqih Wal Mutafaqqih"/1/hal. 185).
Kerumitan
kedua: apa pendapatmu tentang hadits Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه:
آخر ما عهد إلي النبي أن أتخذ
مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا؟
“Akhir dari perintah Nabi kepadaku adalah: agar aku mengambil
muadzdzin yang tidak mengambil upah dari adzan dia.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh At Tirmidziy (209) dari jalur Al hasan dari Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه. Jika Al Hasan Al Bashriy memang mendengar
hadits itu dari beliau, maka hadits ini shohih.
Dan
yang memperkuat itu adalah hadits Utsman bin
Abil ‘Ash رضي الله عنه juga:
أنه قال: يا رسول الله اجعلني إمام
قومي. قال: أنت إمامهم واقتد بأضعفهم واتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا.
Beliau berkata: “Wahai
Rosululloh, jadikanlah saya sebagai imam bagi kaum saya.” Beliau menjawab: “Engkau
adalah imam mereka. Dan teladanilah orang yang paling lemah dari mereka, dan ambillah muadzdzin
yang tidak mengambil upah dari adzan dia.” (HR. Ahmad
(16316)/hadits shohih).
Tidak ada di dalam hadits ini pengharoman mengambil upah
tanpa syarat. Dan telah lewat dalil-dalil yang lain, sehingga harus dilakukan
penggabungan Antara dalil. Hanya saja Nabi صلى الله عليه وسلم memerintah para pemimpin untuk memilih
muadzdzin-muadzdzin yang ikhlas. Dan ulama telah bersepakat bahwasanya adzan
tanpa mengambil upah itu lebih utama dan lebih agung pahalanya di sisi Alloh.
Al Qirofiy رحمه الله berkata dalam menjawab masalah ini: “Tidak
mengambil upah itu secara ijma’ lebih utama. Tapi perintah Nabi tadi
tidaklah menunjukkan haromnya mengambil upah.” (“Adz Dzakhiroh Fil Fiqhil
Malikiy”/Al Qirofiy/5/hal. 364).
Bab Empat: Peringatan penting
Tidaklah saya menulis ini dalam rangka menginginkan harta
orang kaya. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا
بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ
رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى﴾ [طه: 131].
“Dan janganlah
engkau menjulurkan pandangan matamu kepada orang yang Kami beri dia kesenangan
dengan pasangan-pasangan bunga dunia di kalangan mereka untuk Kami uji mereka
di dalamnya. Dan rizqi Robbmu itu lebih baik dan lebih kekal.”
Hanya saja saya ditanya tentang masalah ini sebagai bagian
dari perkara agama, lalu saya menelusuri jawaban yang benar, berdasarkan dalil
dan penjelasan para ulama yang terdahulu dan yang belakangan, lalu saya dapati
apa yang saya dapati. Dan kita berjalan bersama sunnah kemanapun sunnah itu
berjalan. Dan kita tidak bertopang pada rasio, atau hawa nafsu atau perasaan.
Hanya dengan pertolongan Alloh saja didapatkannya taufiq.
Jiwa-jiwa yang mulia lebih mengutamakan perkara yang
paling utama dan paling Alloh cintai. Sementara jiwa-jiwa yang rendah condong
kepada kehinaan dunia. Dan manusia dalam masalah ini ada di dalam
tingkatan-tingkatan yang bermacam-macam.
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka jiwa-jiwa yang mulia itu
tidak rela kecuali perkara yang paling tinggi, paling utama dan paling terpuji
kesudahannya, sementara jiwa-jiwa yang rendah itu berputar di sekitar
perkara-perkara yang hina dan jatuh ke dalamnya sebagaimana lalat hinggap ke
kotoran.” (“Al Fawaid”/hal. 177).
Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم مر بالسوق داخلاً من بعض العالية
والناس كنفته، فمر بجدي أسك ميت فتناوله فأخذ بأذنه ثم قال: «أيكم يحب أن هذا له
بدرهم؟» فقالوا: ما نحب أنه لنا بشيء وما نصنع به؟ قال: «أتحبون أنه لكم؟»
قالوا: والله لو كان حيا كان عيباً فيه لأنه أسك، فكيف وهو ميت؟ فقال: «فوالله للدنيا
أهون على الله من هذا عليكم».
Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم melewati
pasar dan masuk ke sebagian dataran tinggi, sementara orang-orang ada di
sekeliling beliau. Lalu beliau melewati bangkai anak kambing yang kecil kedua
telinganya. Lalu beliau mengambilnya dan memegang telinganya seraya bertanya: “Siapakah
dari kalian yang mau membeli bangkai ini dengan harga satu dirham?”
Mereka berkata: “Kami tidak mau membelinya dengan harga serendah apapun. Apa
yang akan kami perbuat dengannya?” Beliau bertanya lagi: “Apakah kalian
senang bangkai ini diberikan pada kalian?” Mereka menjawab: “Andaikata
dia masih hidup, dia itu punya cacat karena kedua telinganya kecil. Maka
bagaimana sementara dia itu sudah mati?” maka beliau bersabda: “Maka demi
Alloh, dunia itu benar-benar lebih rendah bagi Alloh daripada bangkai ini bagi
kalian.” (HR. Muslim (1957)).
Al Imam Abu Bakr Muhammad ibnul Walid Al Qurosyiy Al
Fihriy Al Andalusiy Ath Thurthusyiy Al faqih Al Malikiy Az Zahid (wafat: 520 H)
membacakan syair:
إن لـله عبـادا فـطـنا طلقوا الدنيا وخافوا
الفتنا
نظروا فيها فلما علموا أنها ليسـت لحـي وطـنا
جعلوها لجة واتخذوا صالح الأعمال فيها
سفنا
“Sesungguhnya
Alloh punya para hamba yang cerdas. Mereka menceraikan dunia dan takut pada
fitnah. Mereka memperhatikan dunia, manakala mereka mengetahui bahwasanya dunia
itu bukan tempat tinggal bagi orang yang hidup, mereka menjadikan dunia sebagai
samudra, dan mereka menjadikan amal sholih di dalamnya sebagai kapal-kapal.”
(“Wafayatul
A’yan”/4/hal. 262/Ibnu Basykuwal).
Dari salah
seorang penduduk badui yang berkata:
أخذ بيدي رسول الله صلى الله عليه وسلم
فجعل يعلمني مما علمه الله تبارك وتعالى، وقال: «إنك لن تدع شيئا اتقاء الله جل
وعز إلا أعطاك الله خيرا منه».
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengambil tanganku, lalu beliau mulai mengajariku dari apa yang
Alloh تبارك وتعالى
ajarkan pada beliau. Dan beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau tidaklah
dirimu meninggalkan sesuatu dalam rangka bertaqwa pada Alloh عز وجل kecuali Alloh akan memberimu dengan
sesuatu yang lebih baik dari itu.” (HR. Al Imam Ahmad (20758) dan dishohihkan oleh Al Imam Al
Wadi’iy رحمه الله
dalam “Ash Shohihul Musnad” (1489)).
Al Imam
Ibnul Qoyyim رحمه الله
berkata: “Karena sesungguhnya barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Alloh,
maka Alloh عز وجل
akan memberinya ganti dengan sesuatu yang lebih baik dari itu.” (“Ighotsatul
Lahfan”/hal. 47).
Kita kembali ke pembahasan.
Jika di dalam pengajaran dengan upah itu ada bentuk akad,
dan jual beli, dan persewaan, maka harus ada saling ridho di antara kedua belah
pihak. Jika keduanya saling ridho dalam masalah manfaat dan harga, silakan
dilanjutkan, jika tidak ada saling ridho maka tidak ada paksaan untuk
melanjutkan akad, dan silakan masing-masing pihak mencari orang lain yang
disukai untuk berakad dengannya.
Dan hendaknya pengajar yang berhajat pada upah itu
berkata: “Saya mensyaratkan upah karena hajat saya untuk menafkahi
keluarga saya,” atau yang semacam itu. Dan jangan dia berkata: “Sesungguhnya
dakwah berhajat pada dana sekian dan sekian,” karena yang demikian itu menghinakan
dakwah Ilahiyyah. Engkaulah yang berhajat pada harta orang, jangan
bersembunyi di balik tabir dakwah. Dakwah ini punya Alloh, Dialah Yang
menjamin akan menolong orang yang menolong-Nya. Dan Dia telah memerintahkan
para Nabi-Nya untuk menyeru manusia kepada-Nya, tanpa mengambil upah.
Barangsiapa
memanfaatkan urusan dakwah untuk mengkorupsi harta orang, maka dia itu tercela,
pengekor dunia, tidak menempuh jalan para Nabi, dan tidak pula menelusuri jalan
Ahlussunnah.
Maka beliau menjawab:
"Dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah materiil keduniaan, untuk
mengumpulkan harta. Pernah pada suatu hari kami keluar untuk berdakwah, dan
keluarlah bersama kami Abdulloh An Nahmy -rahimahulloh- -beliau telah terbunuh
di Afganistan- dan juga Abdul Wahhab besan Hizam Al Bahluly. Dan mereka berkata,"Kami akan meminta
sumbangan. Maka kami berkata,"Ini bukanlah alamat Ahlussunnah. Tapi
jika kalian tetap bersikeras berbuat itu, janganlah kalian yang menerima langsung
uang itu. Ucapkanlah: “Si Fulan dari penduduk desa ini yang akan menerimanya.”
Orang-orang sekarang menjadi berburuk sangka kepada para dai ilalloh, padahal
Alloh عز وجل telah menceritakan banyak dari Nabi-Nya
dalam surat Asy Syu’aro عليه
السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾
[ الشعراء : 109 ] ،
“Dan
tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku
kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”
Dan
Alloh سبحانه وتعالى menceritakan ucapan sebagian sholihin:
﴿اتّبعوا من لا يسألكم أجرًا وهم مهتدون﴾
“Ikutilah orang
yang tidak meminta pada kalian upah dan mereka itu adalah orang-orang yang
mengikuti petunjuk.”
Dan Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا
الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari
dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Alloh memfirmankan ini kepada Nabi kita Muhammad صلى الله عليه
وسلم . maka dakwah itu harus untuk Alloh عز وجل
semata. firman-Nya :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى الله عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِي
"Katakanlah: Inilah jalanku, aku menyeru kepada Alloh di
atas bashiroh –ilmu dan keyakinan-, aku dan orang yang yang mengikutiku." (QS. Yusuf : 108)
Sementara mereka itu
(Ikhwaniyyun), menurut mereka hari yang diberkahi adalah hari di mana mereka
keluar dari majelis dalam keadaan kantong mereka penuh sumbangan, sama saja
apakah orang-orang mengambil manfaat dari mereka ataukan tidak. Maka ini
adalah perbuatan buruk terhadap ilmu dan dakwah.
Sang khothib dari mereka
bangkit dan mendorong mereka untuk berpegang teguh dengan Kitab Alloh dan
Sunnah Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan memperingatkan
mereka dari hukuman Alloh, serta mengingatkan mereka dengan Jannah dan Neraka. Kemudian
di akhir ceramah dia berkata : "Berilah kami uang." Padahal
Alloh عز وجل
berfirman :
﴿ولا يسألكم أموالكم إن يسألكموها فيحفكم
تبخلوا ويخرج أضغانكم﴾.
"Dan Alloh tidak minta pada kalian harta kalian.
Jika Dia minta harta pada kalian lalu mengulang-ulang permintaan pada kalian
niscaya kalian akan bersikap pelit dan Alloh mengeluarkan kedongkolan hati
kalian."
Dan kisah Sa’d ibnur Robi’
dan Abdurrohman bin ‘Auf telah terkenal, ketika Sa’d ibnur Robi’ berkata :
"Aku adalah orang Anshor yang paling banyak harta, maka aku akan
membaginya jadi dua, dan aku punya dua istri, lihatlah siapa yang paling engkau
sukai, aku akan menceraikannya dan memberikannya untukmu, jika telah selesai
iddahnya silakan engkau nikahi dia." Maka Abdurrohman menjawab :
"Semoga Alloh memberkahi untukmu dalam keluargamu dan hartamu.
Tunjukkanlah padaku pasar." Sa’d ibnur Robi’ di puncak kedermawanan,
sementara Abdurrohman bin ‘Auf di puncak penjagaan kehormatan."
Sebenarnya mereka (para
pengemis dengan nama dakwah) itu memperburuk citra dakwah." –sampai
pada ucapan beliau :- "Dan bukanlah kami mendakwahi manusia untuk
mengambil harta mereka. Kalaupun engkau pergi ke negri manapun dari negri-negri
Islam engkau tak akan melihat seorang sunni yang berdiri dan memberikan
nasihat kepada manusia hingga membikin mereka menangis, lalu setelah itu dia
menggelar sorbannya di pintu.”
("Tuhfatul Mujib"/ hal. 75-79).
Adapun
jika tidak ada di antara dirinya dengan orang lain akad pemanfaatan atau
semisalnya, harom bagi dirinya untuk meminta harta orang lain, karena di
dalamnya ada semacam penundukan diri kepada selain Alloh dan penghinaan diri.
Abu Huroiroh
rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
« مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ ».
قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- «
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ ». –وفي رواية- « مِنْ جَمْرِ
جَهَنَّمَ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا يُغْنِيهِ –وفي رواية- وَمَا الْغِنَى الَّذِى
لاَ تَنْبَغِى مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ قَالَ « قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ
». –وفي رواية- « أَنْ يَكُونَ لَهُ
شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ ».
Abdulloh bin
‘Umar -rodhiyallohu 'anhuma- berkata: Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam-
bersabda:
«مَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ».
“Senantiasa seseorang itu meminta pada
orang lain sampai dia datang pada hari kiamat dalam keadaan di wajahnya tiada
potongan daging.” (HR. Muslim
(2445)).
Al Imam Al Hafizh Ibnul Qoththon Al Fasiy
–rohimahulloh- berkata: “Para ulama telah sepakat bahwasanya meminta-minta itu
harom.” (“Al Iqna’ Fi Masailil Ijma’”/7/3/hal. 397).
Al Imam An Nawawiy -rahimahulloh-
berkata: "Maksud dari bab ini dan hadits-haditsnya adalah larangan dari
meminta-minta. Dan para ulama telah bersepakat dalam larangan ini, jika bukan
dalam keadaan darurat. Adapun masalah orang yang mampu untuk bekerja tapi dia meminta-minta,
para sahabat kami –Asy Syafi'iyyah- berselisih menjadi dua pendapat. Yang
paling shohih adalah dia itu harom, berdasarkan lahiriyah dari hadits-hadits
tersebut. Dan pendapat yang kedua: halal tapi dibenci, dengan tiga syarat:
tidak sampai dia merendahkan dirinya, tidak berbuat "ilhah"
(merengek-rengek) dalam meminta, dan tidak menyakiti atau mengganggu orang yang
dimintai. Apabila salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka dia
itu harom secara kesepakatan. Wallohu a'lam. ("Syarh Shohih Muslim" /3/hal.
488).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh-
berkata: “Maka jika dia meminta rizqinya dari Alloh, jadilah dia hamba bagi
Alloh dan menjadi orang yang sangat memerlukan pada Alloh. Tapi jika dia
meminta rizqinya dari makhluq, jadilah dia hamba bagi makhluq itu dan menjadi
orang yang sangat memerlukan padanya. Oleh karena itulah maka minta-minta pada makhluq itu diharomkan pada
asalnya, dan hanyalah dia itu diperbolehkan di saat darurat. Dan tentang
larangan minta-minta itu ada hadits-hadits yang banyak dalam kitab-kitab Shohih
dan sunan-sunan dan musnad-musnad.” (“Majmu’ul Fatawa”/10/hal. 182).
Al Imam Muqbil Al
Wadi’iy –rohimahulloh- berkata: “Ya Alloh, alangkah banyaknya da’i besar yang
menghapal ayat-ayat yang mengandung penyemangatan untuk bershodaqoh, dia pindah
dari masjid ini ke masjid itu, membacakan:
﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا﴾
“Dan kebaikan apapun yang kalian
lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi Alloh
dengan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.”
Dan berbaliklah si malang ini dari posisi da’i
kepada posisi pengemis. Sungguh benar Rosululloh –shollallohu 'alaihi wa alihi
wasallam- ketika bersabda:
((لكلّ
أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).
“Setiap umat itu punya fitnah, dan fitnah
umatku adalah harta.”
(“Dzammul Mas’alah”/hal. 218/Majmu’
Rosail/cet. Darul Atsar).
Abul 'Aliyah -rahimahulloh- berkata:
كَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ الله
-صلى الله
عليه وسلم-
قَالَ قَالَ رَسُولُ الله
-صلى الله
عليه وسلم-
« مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ ». فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا. فَكَانَ لاَ
يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.
"Dari
Tsauban –dan beliau adalah maula dari Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa
sallam—yang berkata: Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Siapakah
menjamin kepadaku untuk tidak meminta pada manusia sedikitpun, dan aku menjamin
untuknya dengan Jannah?" Maka Tsauban berkata,"Saya".
Dan Tsauban tak pernah meminta kepada seorangpun sesuatu apapun." (HR. Abu
Dawud (1643)/shohih).
'Auf bin Malik Al Asyja'iy rodhiyallohu 'anhu
berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ الله
-صلى الله
عليه وسلم-
تِسْعَةً أَوْ
ثَمَانِيَةً أَوْ
سَبْعَةً فَقَالَ: « أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله » وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ
بَايَعْنَاكَ يَا
رَسُولَ الله.
ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». فَقُلْنَا: قَدْ
بَايَعْنَاكَ يَا
رَسُولَ الله.
ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». قَالَ: فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ
بَايَعْنَاكَ يَا
رَسُولَ الله
فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ قَالَ: « عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا الله وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا - وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً - وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا ». فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ .
"Kami
pernah ada di sisi Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam-, sembilan, atau
delapan atau tujuh orang. Maka beliau bersabda:"Berbai'atlah kalian
kepada Rosululloh", padahal kami baru saja membai'at beliau. Maka
kami berkata,"Kami telah membai'at Anda wahai Rosululloh." Lalu
beliau bersabda:"Berbai'atlah kalian kepada Rosululloh".
Maka kami berkata,"Kami telah membai'at Anda wahai Rosululloh." Lalu
beliau bersabda:"Berbai'atlah kalian kepada Rosululloh".
Maka kami mengulurkan tangan kami seraya berkata," Kami telah membai'at
Anda wahai Rosululloh. Maka kami membai'at Anda untuk berbuat apa?" Beliau
bersabda:"Agar kalian beribadah pada Alloh dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan untuk sholat lima waktu, dan agar
kalian taat." Dan beliau berbicara dengan lirih: "Dan
agar kalian tidak meminta pada manusia sedikitpun." Maka sungguh
aku melihat sebagian dari rombongan tadi, cambuk dari salah seorang dari mereka
terjatuh. Maka dia tidak meminta pada seorangpun untuk mengambilkannya
untuknya." (HR. Muslim /1043)
Dari Ummud Darda'
-rahimahalloh-, beliau berkata:
قال لي أبو الدرداء : لا تسألي الناس شيئا ، قالت : فقلت : فإن احتجت ؟ قال : فإن احتجت فتتبعي الحصادين فانظري ما سقط منهم فاخبطيه ثم اطحنيه ثم كليه، ولا تسألي الناس شيئا
"Abud
Darda' –rodhiyallohu 'anhu – berkata padaku,"Janganlah engkau meminta pada
manusia sedikitpun." Maka aku bertanya,"Kalau aku berhajat?"
Beliau menjawab,"Jika engkau berhajat, maka ikutlah di belakang para
tukang panen, lalu lihatlah apa yang berjatuhan dari bawaan mereka, lalu pungutlah
ia, masaklah dan makanlah, dan jangan engkau meminta pada manusia
sedikitpun." ("Az Zuhd"/2/291/ Imam Ahmad -rahimahulloh-, dan
dishohihkan Syaikhuna Yahya Al Hajury - hafidzahulloh – di tahqiq "As
Sunanul Kubro" Imam Al Bauhaqy -rahimahulloh-. Dan sanadnya memang
shohih).
Inilah dia
sifat mukmin sejati, benar-benar memurnikan tawakkal kepada Alloh, sebagaimana
dalam firman Alloh ta’ala:
]إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ الله وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ * الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ * أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ[. (الأنفال: 2-4)
“Hanyalah orang-orang
yang beriman itu adalah orang-orang yang jika disebut nama Alloh, hati mereka
merasa takut, dan jika ayat-ayat-Nya dibacakan pada mereka, ayat itu menambahi
mereka dengan keimanan, dan hanya kepada Robb mereka sajalah mereka
bertawakkal. Yaitu orang-orang yang menegakkan sholat, dan menginfaqkan
sebagian dari apa yang Kami rizqikan pada mereka. Mereka itulah mukminun yang
sebenarnya. Mereka akan mendapatkan derajat-derajat di sisi Robb mereka,
ampunan, dan rizqi yang mulia.”
Al
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: dan ini adalah sifat mukmin yang
sebenarnya, -sampai pada ucapan beliau:- Yaitu: mereka tidak mengharapkan selain-Nya,
dan tidak menginginkan selain-Nya, tidak berlindung kecuali dengan sisi-Nya, tidak
meminta kesangat memerlukanan kecuali dari-Nya, tidak berdoa kecuali
kepada-Nya, dan mereka mengetahui bahwasanya apa yang diinginkan-Nya pasti
terjadi, dan apa yang tidak diinginkan-Nya pasti tak akan terjadi, dan
bahwasanya Dia itu sajalah yang mengurusi kerajaan-Nya, satu-satu-Nya, tiada
sekutu bagi-Nya, tiada yang membantah hukum-Nya, dan Dia itu Mahacepat
perhitungan-Nya. Oleh karena itulah Sa’id bin Jubair berkata: “Tawakkal pada
Alloh merupakan kumpulan iman.”
(“Tafsirul Qur’anil
‘Azhim”/2/hal. 392/cet. Darush Shiddiq).