Anak Perempuan Istri
Yang Bukan Dari Benih Kita
Adalah Mahrom Bagi
Kita
Ditulis
dan diterjemahkan Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy
Al Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-
بسم الله
الرحمن الرحيم
Pembukaan
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده
ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:
Telah datang surat dari
seorang ikhwah yang berisi pertanyaan kepada saya sebagai berikut: seseorang menikah
dengan seorang wanita selama beberapa tahun, dan tidak dikaruniai anak. Lalu
mereka bercerai. Kemudian wanita ini menikah lagi dengan pria lain, lalu mereka
dikaruniai anak gadis. Maka apakah gadis ini mahrom bagi pria pertama?
Jawaban dengan mohon pertolongan pada Alloh:
ketentuan dasar di kalangan ulama :
الدخول على الأمهات تحرم البنات البتة
masuk ya seorang pria ke seorang wanita
(sudah menggaulinya) itu menyebabkan anak perempuan dari wanita itu mahrom utk
pria itu selamanya.
Dalilnya adalah firman Alloh ta’ala:
{ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ –إلى قوله:- وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ}
“Diharomkan
terhadap kalian ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, -sampai firman
Alloh:- dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian dari istri-istri
kalian yang kalian telah menggaulinya (menggauli istri kalian)…” (QS. An
Nisa: 23).
Ini dalil yang
jelas bahwasanya anak perempuan istri kita yang bukan hasil dari benih kita
adalah mahrom bagi kita.
Tapi
ayat tersebut menyebutkan “dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah
kalian” maka bagaimana jika anak perempuan tadi tidak diasuh di rumah kita?
Jawabnya adalah: sama saja, karena ayat tadi bukan mendatangkan pembatasan,
hanya saja menjelaskan kondisi kebanyakan yang terjadi di adat kebiasaan mereka.
Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Dan di dalam
firman Alloh: “dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian” maka
mayoritas ulama berpendapat bahwasanya anak perempuan istri seseorang itu harom
untuk dia nikahi, sama saja dia ada di rumah pria tadi ataukah tidak di rumah
dia. Mereka berkata: “Pembicara dalam ayat tadi polanya adalah menggambarkan
keumuman adat yang terjadi, maka dia tidak punya makna kebalikan. Ini
sebagaimana firman Alloh ta’ala:
{وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى
الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا} [النور: 33]
“Dan janganlah kalian memaksa para hamba
sahaya kalian yang perempuan untuk berzina jika mereka ingin menjaga kehormatan
diri-diri mereka.” (QS. An Nur: 33).
(“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 251).
Yaitu: bukan
berarti jika para hamba sahaya tadi tidak ingin menjaga kehormatan diri mereka
berarti Alloh menghalalkan kita untuk menyuruh mereka berzina biar dapat
tambahan penghasilan. Tapi maksud pola di atas adalah: secara umum, para wanita
muslimah yang masih berakal sehat itu ingin menjaga diri, sekalipun mereka adalah hamba sahaya.
Dan
pola semacam ini terkenal dalam Bahasa Arob.
Kemudian
Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: dan di dalam Shohihain:
أن أم حبيبة قالت: يا رسول
الله، انكح أختي بنت أبي سفيان -وفي لفظ لمسلم: عزة بنت أبي سفيان-قال: «أو
تحبين ذلك؟» قالت: نعم، لست لك بمخلية، وأحب من شاركني في خير أختي. قال: «فإن
ذلك لا يحل لي». قالت: فإنا نحدث أنك تريد أن تنكح بنت أبي سلمة. قال: «بنت
أم سلمة؟» قالت: نعم. قال: «إنها لو لم تكن ربيبتي في حجري ما حلت لي، إنها
لبنت أخي من الرضاعة، أرضعتني وأبا سلمة ثويبة فلا تعرضن علي بناتكن ولا أخواتكن».
bahwasanya Ummu Habibah berkata: “Wahai
Rosululloh, nikahilah saudariku Binti Abi Sufyan.” –dalam riwayat Muslim:
‘Azzah binti Abi Sufyan.”- maka beliau bersabda: “Apakah engkau menyukai yang
demikian itu?” Dia menjawab: “Iya. Tidaklah saya sendirian dengan Anda. Dan
orang yang paling saya sukai menyekutui saya dalam kebaikan adalah saudari
saya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya yang demikian itu tidak halal bagiku.”
Dia berkata: “sesungguhnya kami dikabari bahwasanya Anda ingin menikahi putri
dari Abi Salamah.” Beliau bertanya: “Putri Ummi Salamah?” Dia menjawab: “Iya.”
Beliau bersabda: “Sesungguhnya seandainya dia bukan robibahku yang ada di
rumahku, tidaklah dia itu halal bagiku. Sesungguhnya dia adalah putri dari
saudara sepersusuanku. Tsuwaibah menyusuiku dan menyusui Abu Salamah. Maka
janganlah kalian menawarkan padaku putri-putri kalian ataupun saudari-saudari
kalian.”
Dalam riwayat Al Bukhoriy: “Sesungguhnya
aku sekalipun tidak menikahi Ummu Salamah, putrinya itu tidaklah halal bagiku.”
Maka
Nabi menjadikan gantungan pengharoman tadi adalah semata-mata pernikahan beliau
dengan Ummu Salamah, dan beliau menghukumi pengharoman dengan itu. “Dan ini
adalah madzhab para imam yang empat, para fuqoha yang tujuh, dan mayoritas
ulama yang terdahulu dan yang belakangan.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal.
251).
Al
Imam Al Qurthubiy rohimahulloh berkata: “Robibah adalah anak perempuan dari
istri seorang pria, yang dihasilkan dari pria yang lain. Anak tadi dinamakan
robibah karena pria tadi merawatnya di rumahnya. Maka anak tadi adalah
marbubah, pola (فعيلة) yang bermakna (مفعولة). Dan para fuqoha bersapakat bahwasanya robibah itu harom untuk
dinikahi suami dari ibunya jika sang suami tadi telah menggauli sang ibu,
sekalipun robibah tadi tidak tinggal di rumah sang pria.
Sebagian
ulama terdahulu dan ahli zhohir ada yang menyendiri dan berkata: “Robibah itu
tidak harom kecuali jika dia ada di rumah pria yang menikah dengan ibunya. Maka
kalau si robibah tadi ada di negri lain dan berpisah dengan ibunya setelah
pergaulan pria tadi dengan ibunya, boleh pria tadi menikahi sang robibah.”
Mereka
berdalilkan dengan ayat di atas. Mereka berkata: “Alloh ta’ala mengharomkan
robibah dengan dua syarat:
Syarat pertama: robibah tadi ada di
rumah pria yang menikah dengan ibunya.
Syarat kedua: pria tadi telah menggauli sang
ibu.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi,
tidak didapatkan pengharoman untuk robibah tadi.
Mereka juga berdalilkan dengan sabda
Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:
(لو لم تكن ربيبتي في حجري ما حلت لي إنها
ابنة أخي من الرضاعة)
“Sekalipun dia (Zainab binti Ummi
Salamah) bukan robibahku di rumahku, tetap saja dia tidak halal bagiku, karena
dia adalah anak dari saudara sepersusuanku (Abu Salamah).”
Nabi mensyaratkan tinggalnya robibah
tadi di rumah beliau.
Mereka juga meriwayatkan dari Ali bin Abi
Tholib akan bolehnya hal itu.
Ibnul Munzir dan Ath Thohawiy berkata:
“Adapun hadits dari Ali, maka itu tidak shohih, karena rowinya adalah Ibrohim
bin Ubaid, dari Malik bin Aus, dari Ali. Ibrohim bin Ubaid ini tidak dikenal.
Dan kebanyakan ulama menolak dan dan menentang hadits tadi.
Abu Ubaid –Al Imam Qosim bin Sallam-
berkata: “Hadits tadi tertolak dengan sabda Nabi:
(فلا تعرضن علي بناتكن ولا أخواتكن)
“Maka janganlah kalian (wahai
istri-istriku) menawarkan anak-anak perempuan kalian ataupun saudari-saudari
kalian.” (HR. Al Bukhoriy (5101) dan Muslim (1449) dari Ummu Habibah
rodhiyallohu ‘anha).
Maka hadits ini umum.
Nabi tidak bersabda: “Yang mereka itu
ada di rumahku.” Tapi beliau menyamakan mereka semua dalam pengharoman.
Ath
Thohawiy berkata: “Penyandaran robibah pada rumah suami ibu itu hanyalah
sekedar gambaran kebanyakan kebiasaan yang berlaku pada para robibah, bukan
bahwasanya robibah itu tidak harom jika tidak demikian.”
(selesai dari “Al Jami’ Li Ahkamil
Qur’an”/5/hal. 112).
Al
Imam Muhammad Asy Syinqithiy rohimahulloh berkata: Dan telah tetap di dalam
prinsip fiqh: bahwasanya suatu nash jika berjalan di atas kondisi kebanyakan
orang, maka nash tadi tidak punya makna kebalikan, karena bisa jadi yang
diinginkan dari nash tadi adalah kondisi kebanyakan tadi, bukan bermaksud
mengeluarkan makna kebalikan tadi dari hukum yang tertulis. Oleh karena itulah
maka mayoritas ulama tidak menganggap berlakunya makna kebalikan dalam firman
Alloh ta’ala:
{ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
} [النساء: 23]
“Dan
anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian” (QS. An Nisa: 23).
Karena ayat tadi berjalan di atas
keumuman adat masyarakat.
(selesai dari “Adhwaul Bayan”/3/hal.
98).
Al
Imam Abdurrohman Al Sa’diy rohimahulloh berkata: “Robibah adalah anak wanita
dari sang istri sekalipun dia turun (yaitu: anaknya, cucunya, anak dari
cucunya, dan seterusnya). Maka robibah itu tidak jadi mahrom sampai si pria
tadi menggauli istrinya (ibu si Robibah), sebagaimana Alloh berfirman di sini:
{وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ} الآية.
“Diharomkan terhadap kalian … dan
anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian dari istri-istri kalian yang
kalian telah menggaulinya (menggauli istri kalian)…”
Mayoritas
ulama berkata: “Sesungguhnya firman-Nya: “yang ada di rumah-rumah kalian”
adalah ikatan yang mengikuti kebiasaan umum, tidak punya kebalikan makna,
karena sesungguhnya robibah itu harom dinikahi suami ibu sekalipun si robibah
tadi tidak tumbuh di rumah pria tadi.
Akan
tetapi pengait tadi punya dua faidah:
Yang pertama: di dalamnya ada peringatan
akan hikmah diharomkannya robibah untuk dia nikahi, karena robibah tadi adalah
bagaikan anak perempuan si pria tadi. Maka sikap membolehkan untuk menikahinya
adalah amat buruk.
Yang
kedua: di dalamnya ada penunjukan tentang bolehnya khulwah (bersepi-sepi)
dengan robibah, karena dia itu bagaikan wanita yang tumbuh di rumah si pria
tadi dari kalangan anak-anak perempuannya sendiri dan semisal mereka. Wallohu
a’lam.”
(selesai dari “Taisirul Karimir
Rohman”/hal. 173).
Dan
saya telah menanyakan masalah ini pada Fadhilatu Syaikhina Aba Abdirrohman
Abdurroqib Al Kaukabaniy hafizhohulloh, maka beliau menulis jawaban sebagai
berikut: “Ketentuan yang telah disepakati adalah bahwasanya menggauli sang ibu
itu menyebabkan sang anak wanita diharomkan untuk dinikahi oleh sang suami ibu.
Maka kemahroman itu telah tetap. Dan bisa jadi penamaan anak wanita tadi
sebagai Robibah sebagai perluasan dalam ungkapan, karena pria tadi telah
menikahi ibu si anak wanita tadi sebelum anak tadi diciptakan.” Selesai.
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب
العالمين
Shon’a 8 Jumadats Tsaniyah 1436 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar