بسم الله الرحمن
الرحيم
Hukum Minum dengan Dua Tangan
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد
أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم، أما بعد:
Pertanyaan:
apa hukum meminum dengan tangan kiri sambil tangan kanan ditempelkan ke bawah
gelas? Kabarnya Asy Syaikh Al Utsaimin membolehkan itu.
Jawaban kami
dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
Meminum
dengan tangan kiri adalah harom, berdasarkan dalil-dalil yang jelas tentang
masalah ini. Adapun orang yang memegang gelas dengan tangan kiri sambil
punggung tangan kanan memikul dasar gelas, maka hal ini kembali pada kondisi
yang dominannya. Jika tangan kanan itulah yang dominan memegang gelas, maka
tidak apa-apa. Tapi jika tangan kiri itulah yang dominan dalam memegang gelas,
maka dia jatuh ke dalam perkara yang harom.
Al Imam Ibnu
Daqiq Al ‘Id rohimahulloh berkata: “Syariat itu memandang adalah kondisi yang
dominan, dan membuang kondisi yang langka dan jarang.” (“Ihkamul Ahkam”/hal.
407).
Al Imam
Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada
yang dominan dan banyak. Sementara yang langka itu masuk dalam hukum tidak
ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).
Al Qorofiy
rohimahulloh berkata: “Dan syariat itu hanyalah membangun hukum-hukumnya di
atas perkara yang dominan.” (“Anwarul Buruq Fi Anwa’I Furuq”/7/hal. 460).
Adapun
alasan orang yang membolehkan cara minum semacam tadi dengan fatwa Al Imam Ibnu
‘Utsaimin rohimahulloh, maka silakan membaca fatwa beliau secara lengkap:
Al Imam Ibnu
‘Utsaimin rohimahulloh ditanya: “Memakan dengan tangan kiri itu diharomkan,
ataukah masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama?”
Maka beliau
rohimahulloh menjawab: memakan dengan tangan kiri karena suatu udzur itu tidak
mengapa. Adapun tanpa udzur, maka dia itu adalah harom, karena Nabi shollallohu
‘alaihi wasallam melarangnya dan bersabda:
(إن الشيطان يأكل
بشماله ويشرب بشماله)
“Sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, dan
minum dengan tangan kirinya.”
Dan Alloh
ta’ala telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ [النور:21]
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah setan. Dan barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka
sesungguhnya setan itu memerintahkan pada kekejian dan kemungkaran.”
Kemudian
sesungguhnya setan itu gembira jika engkau makan dengan tangan kirimu, karena
engkau menjadi pengikut dia dan menjadi orang yang menyelisihi Rosul
shollallohu ‘alaihi wasallam. Masalah ini tidaklah remeh! Jika engkau makan
dengan tangan kirimu atau engkau minum dengan tangan kirimu, setan gembira
dengan kegembiraan yang lebih besar daripada sekedar perkara tadi adalah suatu
perbuatan. Dia gembira karena engkau mencocoki dia dan engkau menyelisihi Rosul
shollallohu ‘alaihi wasallam dan sabda beliau dan perbuatan beliau. Maka
masalah ini tidaklah remeh.
Oleh karena
itulah maka para penuntut ilmu wajib mengingatkan masyarakat tentang hal itu.
Banyak dari orang-orang kita dapati mereka ketika makan, mereka memakan dengan
tangan kiri, dan mereka berkata: “Kami khawatir gelasnya akan kotor.” Padahal
kondisi kebanyakan gelas sekarang adalah terbuat dari wariq (semacam
polyestrin) yang tidak ada satu orangpun minum darinya setelahmu. Biarkan saja
dia terkotori.
Kemudian
mungkin saja engkau memegangnya, sekalipun dia itu terbuat dari kaca, engkau
pegang di bagian bawahnya, di antara jari telunjuk dan ibu jari, dan engkau
minum. Kemudian jika ditetapkan bahwasanya engkau tidak mungkin memegang dengan
cara ini ataupun itu, kalaupun gelasnya terkotori, cuci sajalah, bukanlah itu
suatu masalah, karena selama diketahui bahwasanya memegang dengan tangan kiri
adalah harom, dan pelakunya melakukan dosa dengan meminum dengan cara itu, maka
perkara yang harom itu tidak boleh dikerjakan kecuali karena dhoruroh.”
Si penanya
berkata: “Jika dia memegangnya dengan tangan kiri dan meletakkan gelas tadi di
atas tangan kanan?”
Asy Syaikh
menjawab: “Jika hajat mengharuskan dirinya melakukan itu, maka tidak apa-apa.
Jika dia meletakkan gelas tadi di punggung tangan kanan, dan dia memegangnya
dengan tangan kiri, jika hajat mengharuskan dia berbuat itu. Akan tetapi aku
tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu. Aku telah
mencobanya sendiri. Aku memagang gelas di bagian bawahnya dan gelas itu tidak
terkotori sama sekali. Kemudian jika dia terkotori, dia begitu terus selama
lima menit, dan kotorannya bisa dihilangkan dengan pencucian. Perkaranya mudah
saja.
Demikian
pula mengambil dan memberi dengan tangan kiri. Ini juga menyelisihi sunnah, dan
hal itu dilarang.”
Si penanya
bertanya: “Akan tetapi apakah ada perkataan ulama yang membolehkannya?”
Asy Syaikh
menjawab: “Sebagian ulama berpandangan bahwasanya hal itu adalah makruh. Akan
tetapi wahai Saudaraku! Aku nasihati engkau dan yang lainnya: jika Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam mengucapkan suatu perkataan, janganlah engkau
berkata: “Apakah sebagian ulama berkata demikian?” Para ulama berfatwa dengan
pemahaman, jika suatu dalil sampai pada mereka, terkadang mereka keliru dalam
memahami. Dan terkadang dalil itu belum sampai pada mereka. Dan terkadang dalil
itu tersamarkan.
Bukankah
hadits tentang wabah Tho’un itu tersamarkan pada para Shohabat rodhiyallohu
‘anhum semuanya? Manakala Umar rodhiyallohu ‘anhu datang ke Syam, dikatakan
pada beliau: “Sesungguhnya di Syam sedang ada Tho’un.” Maka Umar berhenti dan bermusyawarah
dengan para Shohabat. Beliau mendatangkan para Muhajirin, dan Anshor, lalu
beliau mengajak mereka bermusyawarah sendiri-sendiri. Dan mereka semua tidak
tahu hadits tadi. Akan tetapi segala pujian bagi Alloh semata, Alloh memberi
mereka taufiq pada kebenaran, untuk pulang kembali dan tidak mendatangi Syam.
Saat itu Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu ‘anh itulah yang meriwayatkan hadits
tadi, akan tetapi beliau sedang tidak ada karena suatu hajat. Kemudian beliau
datang, lalu beliau menyampaikan hadits tadi pada mereka. Hadits tadi
tersamarkan pada semua Shohabat tadi, padahal kita tahu bahwasanya mereka masih
terbatas di suatu tempat. Maka bagaimana setelah umat dan ulama itu tersebar?!!
Maka kita
tidak boleh membantah sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dengan ucapan:
“Apakah ada perselisihan di dalam masalah ini?” “Bukankah sebagian ulama
berkata demikian?”
Jika Rosul
shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda pada kita:
(لا
يأكل أحدكم بشماله، ولا يشرب بشماله فإن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله)
“Janganlah salah seorangpun dari kalian makan dengan tangan
kirinya, dan jangan pula minum dengan tangan kirinya, karena sesungguhnya setan
itu makan dengan tangan kirinya, dan minum dengan tangan kirinya.”
Selesai
pembahasan.
Jika engkau
memberikan pilihan pada seorang mukmin manapun: “Apakah engkau mencintai jalan
Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam, ataukah langkah-langkah setan?” apa yang
akan dia katakan? Dia akan berkata: “Jalan Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam.”
Si penanya
bertanya: “Wahai Fadhilatusy Syaikh, maksud saya adalah: bahwasanya sebagian
orang menisbatkan pada sebagian ulama bahwasanya hal itu adalah tidak harom.
Maka saya ingin memastikan.”
Asy Syaikh
menjawab: “Ini baik. Dan Ibnu Abbas rohdiyallohu ‘anhuma berkata:
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء، أقول:
قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر
“Hampir-hampir akan turun batu dari langit menimpa kalian.
Aku berkata: “Rosululloh bersabda,” dan kalian berkata: “Abu Bakr dan Umar
berkata.”
Dan siapakah para ulama itu
dibandingkan dengan Abu Bakr dan Umar? Padahal Rosul shollallohu ‘alaihi
wasallam bersabda tentang mereka berdua:
(إن يطيعوا أبا
بكر وعمر يرشدوا)
“Jika mereka menaati Abu Bakr dan Umar niscaya mereka akan
terbimbing.”
Dan beliau
bersabda:
(اقتدوا باللذين
من بعدي: أبي بكر وعمر )
“Teladanilah dua orang sepeninggalku: Abu Bakr dan Umar.”
Telah
ditetapkan untuk mengambil pendapat mereka berdua maka jika Abu Bakr dan Umar
menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan kita mengambil pendapat
mereka berdua, dikhawatirkan akan turun pada kita batu dari langit. Maka
bagaimana mengambil pendapat dari selain mereka berdua?!!
Oleh karena
itu, hakikat yang sangat menyakitiku: jika seseornag berkata jika misalkan aku
katakan padanya: “Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan
demikian,” dia menjawab: “Dalam masalah ini ada perselisihan.”
Orang yang
menyelisihi boleh jadi punya udzur dalam penyelisihan nash tadi karena
penakwilannya, atau tidak tahunya dia. Akan tetapi aku tidak punya udzur. Dan
bukanlah jika orang yang diikuti itu mendapatkan udzur maka pengikutnya juga
mendapatkan udzur.”
(selesai dari “Liqoatul Babil Maftuh”/4/hal. 55).
Dari fatwa
tadi kita mendapatkan faidah sebagai berikut:
Yang pertama: makan atau minum dengan tangan kiri adalah
harom, karena yang demikian itu menyerupai perbuatan setan.
Yang kedua: tidak boleh membantah dalil yang jelas dengan
ijtihad sebagian ulama.
Yang ketiga: Asy Syaikh Al Utsaimin hanyalah memboleh perkara
yang ditanyaka dalam soal tadi dengan syarat: orang tadi berhajat pada amalan
tersebut.
Yang keempat: Asy Syaikh berkata setelah menyebutkan bolehnya
amalan tadi dengan syarat adanya hajat: “Akan tetapi aku tidak melihat adanya
hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”
Yang kelima: mencegah terkotorinya gelas karena adanya
sisa-sisa makanan di tangan kanan itu bukanlah termasuk hajat yang membolehkan
dia melakukan perkara tadi.
Maka
kesimpulannya: tidak ada hajat untuk berbuat apa yang disebutkan dalam soal
tadi. Dan hukumnya itu tetap harom. Akan tetapi jika ditetapkan kita memang berhajat
untuk melakukan perkara tadi, maka tidak mengapa.
Dan
jika kita ditanya: kenapa meminum dengan dua tangan semacam tadi diperbolehkan
ketika ada hajat, padahal hukum asal meminum dengan tangan kiri adalah harom?
Jawabannya
dengan memohon pertolongan Alloh: hal itu dikarenakan larangannya tadi adalah
dalam rangka menutup pintu dan memutuskan sarana penyerupaan dengan setan, oleh
karena itulah maka perbuatan tadi diperbolehkan jika memang ada HAJAT atau
MASLAHAT YANG LEBIH KUAT. Dan hal ini berhubungan dengan kaidah: KESULITAN ITU
MENDATANGKAN PEMUDAHAN.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Suatu perkara yang dilarang dalam
rangka menutup sarana kejelekan, bukan karena perkara tadi pada dasarnya adalah
suatu kerusakan, dia itu disyariatkan di dalamnya ada suatu maslahat yang lebih
kuat. Dan kemaslahatan itu tidak boleh disia-siakan tanpa adanya kerusakan yang
lebih besar.” (“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 214).
Dan
demikian pula larangan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dari mengerjakan
sholat setelah sholat Ashr atau setelah sholat Shubh dalam rangka menghindari
menyerupai para penyembah matahari, lalu beliau sendiri membolehkan sholat yang
punya sebab khusus itu dikerjakan pada waktu yang terlarang tadi, DIKARENAKAN
KEMASLAHATANNYA ITU LEBIH BESAR.
Al
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Larangan Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam untuk sholat sebelum terbitnya matahari dan setelah Ashr adalah demi
menutup sarana menyerupai orang-orang kafir. Dan beliau membolehkan sholat yang
punya kemaslahatan yang lebih besar untuk dikerjakan saat itu,seperti: membayar
sholat yang terluputkan, membayar sholat sunnah, sholat jenazah dan sholat
tahiyyatul masjid, karena maslahat pengerjaannya itu lebih besar daripada
mafsadah larangan tadi. Dan Alloh lebih tahu.” (“Zadul Ma’ad”/3/hal. 426).
Dan
apa arti HAJAT itu?
Al
Imam Asy Syathibiy rohimahulloh berkata: “Adapun HAJAT-HAJAT itu maknanya
adalah: bahwasanya perkara-perkara tersebut diperlukan dalam rangka perluasan
dan menghilangkan kesempitan yang biasanya akan menyebabkan kesulitan dan
kesukaran jika perkara yang diinginkan tadi tidak dilakukan. Maka jika perkara
tadi tidak diperhatikan, niscaya secara umum para mukallaf (orang-orang yang
terbebani oleh syari’at) akan tertimpa kesukaran dan kesulitan, akan tetapi
perkara tadi tidak mencapai derajat kerusakan biasa yang dikhawatirkan
mengganggu kemaslahatan orang banyak.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 11-10).
Maka
kita semua wajib bersikap jujur pada Alloh: apakah kita memang sudah mencapai
batasan HAJAT untuk minum dengan dua tangan seperti tadi? Ataukah kondisinya
adalah seperti yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh: “Akan
tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”?
والله تعالى أعلم
بالصواب، والحمد لله رب العالمين.