Beribadah Membongkar Kebatilan
Jangan Dinilai Mencari-cari Kesalahan
Ditulis oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman Al Jawiy
-semoga Alloh memaafkannya-
بسم الله
الرحمن الرحيم
Pengantar
Penulis
الحمد لله وأشهد أن لا إله
إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله أجمعين، أما بعد:
Sesungguhnya
ada kritikan terhadap Ahlussunnah bahwasanya mereka suka mencari cari aib orang
lain. Ucapan ini tidaklah benar, maka perlu saya ulangi penjelasan yang pernah
saya sampaikan di sela-sela sebagian tulisan, semoga Alloh memberikan taufiq
kepada kita semua.
Kami beriman dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
« يا معشر من آمن بلسانه ولم يؤمن بقلبه لا تؤذوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته».
“Wahai orang-orang yang
beriman dengan lidahnya yang imannya itu belum sampai ke dalam hatinya,
janganlah kalian menyakiti orang-orang Islam dan janganlah kalian mencari-cari
aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari aib saudaranya muslim,
maka Alloh akan mencari-cari aibnya. Sesungguhnya barangsiapa yang Alloh cari
aibnya, maka Dia akan membuka aib-aibnya meskipun ia berada di bagian dalam
rumahnya…” (HR. Ahmad (4/420) dari Abu Barzah,
dan senada dengan itu riwayat At Tirmidziy dari Ibnu Umar. Hadits jayyid).
Kami juga beriman dengan Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه
yang berkata:
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «أتدرون ما الغيبة؟» قالوا: الله ورسوله
أعلم. قال: «ذكرك أخاك بما يكره» قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: «إن
كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته».
Rosululloh
صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab:
“Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: "Ghibah itu adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu
yang dia benci." Mereka
berkata,"Kabarkanlah pada kami bagaimana jika pada saudaraku itu ada yang
saya sebutkan? Beliau menjawab,"Jika memang yang kau katakan itu ada
padanya, maka engkau telah menggibahinya. Tapi jika yang kau katakan itu tidak
ada padanya, maka engkau telah berdusta atas nama dia." (HR.
Muslim (2589)).
Nasihat yang dilakukan oleh Ahlussunnah untuk
umat ini, dan peringatan mereka terhadap pelaku bid'ah dan pengekor hawa nafsu
itu boleh, bahkan wajib dengan kesepakatan para ulama.
Dalam pembukaan Shohih Muslim: bab penjelasan
bahwasanya sanad adalah bagian dari agama, dan bahwasanya riwayat itu tidak
diterima kecuali dari para tsiqot, dan bahwasanya jarh (celaan) terhadap para
rowi sesuai dengan kenyataan yang ada pada mereka adalah boleh dan bahkan
wajib, dan bahwasanya hal itu bukanlah termasuk dari ghibah (pergunjingan) yang
diharomkan. Bahkan hal itu termasuk dari pembelaan untuk syariat yang
dimuliakan. ("Shohih Muslim"/1/hal. 199-200/Al Minhaj/cet.
Maktabatul Ma'arif).
Al Imam An Nawawiy رحمه
الله berkata dalam syarh
hadits ghibah: "Ghibah itu diperbolehkan untuk tujuan yang syar'iy, dan
yang demikian itu untuk enam sebab:
Yang pertama:
mengadukan kezholiman. Boleh bagi orang yang terzholimi untuk mengadukan
kezholiman kepada penguasa, hakim dan yang lainnya, dari kalangan yang punya
kekuasaan atau kemampuan untuk berbuat adil dari orang yang menzholiminya,
dengan berkata: "Fulan menzholimiku, atau berbuat begini-begini
padaku."
Yang kedua:
meminta bantuan untuk merubah kemungkaran, mengembalikan pelaku kemaksiatan
kepada kebenaran, dengan berkata pada orang yang diharapkan kemampuanny:
"Fulan berbuat demikian, maka cegahlah dia dari itu," dan yang
seperti itu.
Yang ketiga:
minta fatwa dengan berkata pada mufti: "Fulan, atau ayahku, atau
saudaraku, atau suamiku menzholimiku dengan berbuat ini. Maka apakah boleh dia
berbuat demikian? Dan bagaimana jalan keluar bagiku darinya, dan menolak
kezholimannya dariku?" dan yang seperti itu. Maka ini boleh karena
kebutuhan. Dan lebih bagus jika berkata tentang seseorang atau suami atau orang
tua atau anak: "Dia berbuat demikian." Sekalipun demikian penyebutan
namanya boleh berdasarkan hadits Hindun dan perkataannya: "Sesungguhnya
Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit"
Yang keempat:
peringatan muslimin dari kejelekan. Yang demikian itu ada beberapa sisi:
Di
antaranya adalah celaan terhadap rowi yang pantas dicela, atau para saksi, atau
para penulis, dan yang demikian itu boleh dengan kesepakatan ulama. Bahkan
wajib dalam rangka menjaga syariat. Di antaranya adalah pengabaran tentang
aibnya ketika sedang bermusyawarah untuk berhubungan dengannya. Di antaranya
adalah: jika engkau melihat ada orang yang membeli sesuatu yang cacat, atau
membeli budak yang suka mencuri atau suka berzina atau suka minum khomr atau yang
seperti itu, engkau mengingatkan sang pembeli jika dia tak tahu itu, sebagai
bentuk nasihat, bukan dengan maksud menyakiti atau merusak. Dan di antaranya
adalah: jika engkau melihat ada orang yang gemar menuntut ilmu tapi
berbolak-balik pada orang yang fasiq atau mubtadi’, dia mengambil ilmu darinya,
dan engkau mengkhawatirkan bahaya terhadapnya, maka wajib atasmu untuk
menasihatinya dengan menjelaskan keadaannya dengan maksud menasihati. Dan di
antaranya adalah: dirinya punya kekuasaan tapi dirinya tak bisa menjalankan
sebagaimana mestinya karena tak punya keahlian atau karena dirinya fasiq, maka
seseorang melaporkan pada orang yang lebih berkuasa di atasnya menjelaskan
tentang keadaannya sehingga tidak tertipu dengannya dan senantiasa bersikap
lurus.
Yang kelima:
dirinya terang-terangan dengan kefasiqan atau kebid’ahan, seperti khomr,
mengusir manusia, mengambili pajak, mengurusi perkara-perkara batil, maka boleh
untuk disebutkan perkara yang dia terang-terangan tersebut. Dan tak boleh
menyebutkan yang lain kecuali dengan sebab lain.
Yang keenam: untuk
memperkenalkan, jika dirinya memang dikenal dengan suatu julukan, seperti Al
A’masy, Al A’roj, Al Azroq, Al Qoshir, Al A’ma, Al Aqtho’ dan yang seperti itu,
maka boleh memperkenalkan dengan itu. Dan diharomkan menyebutkan dalam rangka
merendahkan. Jika memungkinkan memperkenalkan dengan julukan yang lain itu
lebih utama. Wallohu a’lam” (“Al Minhaj”/16/hal. 379/cet. Maktabatul Ma’arif).
Dari ‘Affan رحمه الله
yang berkata: “Aku ada di sisi Isma’iI bin ‘Ulayyah, maka ada seseorang yang
menyampaikan hadits dari seseorang. Maka kukatakan: “Janganlah Anda
menyampaikan hadits dari orang ini, karena dia itu tidak kokoh.” Maka dia
berkata: “Engkau telah mengghibahi dia.” Maka Isma’il berkata: “Dia tidak
mengghibahi dirinya, dia tapi menghukumi orang itu bahwasanya dirinya itu tidak
kokoh.” (“Al Jarh Wat Ta’dil”/karya Al Imam Ibnu Abi Hatim Ar Roziy/2/hal.
23/atsar shohih/cet. Darul Fikr).
Al Imam Ibnu Abi Hatim Ar Roziy رحمه الله
menyebutkan atsar ini di bawah judul: bab pensifatan rowi dengan kelemahan, dan
bahwasanya yang demikian itu bukanlah ghibah.
Dari Abu Sholih Al Faro yang berkata: “Aku
ceritakan pada Yusuf bin Asbath tentang Waki’ tentang suatu perkara fitnah.
Maka Yusuf berkata: “Orang itu seperti ustadznya –yaitu: Hasan bin Hayy- maka
kukatakan pada Yusuf: “Apakah Anda tidak takut bahwasanya ini adalah ghibah?”
maka beliau menjawab: “Memangnya kenapa wahai orang tolol? Aku lebih baik
untuk mereka daripada ayah ibu mereka. aku melarang manusia dari melakukan apa
yang mereka bikin yang bisa menyebabkan dosa-dosa mereka mengikuti mereka. dan
orang yang berlebihan memuji mereka itu lebih berbahaya terhadap mereka.” (“Adh
Dho’afa”/karya Al ‘Uqoiliy رحمه الله/1/hal. 232/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Kami juga beriman dengan hadits Sa’id bin Zaid رضي الله عنهما dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang
bersabda:
« إن من أربى الربا الاستطالة فى عرض المسلم بغير حق ».
"Sesungguhnya
termasuk riba yang terbesar adalah panjang lisan (menuduh atau mencaci)
terhadap kehormatan Muslim tanpa kebenaran." (HR. Abu Dawud (4866) dan dishohihkan Al Imam Al Albaniy رحمه الله dalam
“Shohihut Targhib” (2532) dan Al Imam Al Wadi'iy رحمه الله dalam
"Ash Shohihul Musnad" (435)).
Juga hadits dari Hammam yang
berkata: Kami pernah bersama Hudzaifah, maka dikatakan pada beliau:
sesungguhnya ada seseorang yang suka melaporkan pembicaraan ke Utsman. Maka
Hudzaifah berkata: Aku mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
«لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ ».
“Tukang
adu domba tak akan masuk Jannah.” (HR.
Al Bukhoriy (6056) dan Muslim (105)).
Al Imam An Nawawiy رحمه الله
berkata: “Ulama berkata: namimah adalah menukil ucapan orang-orang sebagiannya
kepada sebagian yang lain untuk merusak hubungan di antara mereka.” (“Al
Minhaj”/2/hal. 181/di bawah no. hadits (105)/cet. Dar Ihyaut Turots).
Kebanyakan hizbiyyin –dengan berdalilkan
dengan hadits di atas dan yang semisalnya- bersemangat untuk membungkam
Ahlussunnah dari mengatakan yang benar, dan berusaha untuk merusak nama baik
Ahlussunnah bahwasanya mereka itu “Tukang Adu Domba”. Maka harus ada penjelasan
tentang dalil-dalil tersebut.
Al Imam An Nawawiy رحمه الله
berkata: “Dan seluruh perkara yang tersebut dalam namimah tadi, jika tidak ada
di situ maslahat syar’iyyah. Adapun jika ada kebutuhan untuk menceritakan
hal itu, maka perbuatan itu tidaklah terlarang. Dan yang demikian itu
seperti orang yang bercerita padanya bahwasanya seseorang ingin menyerangnya,
atau menyerang keluarganya, atau mengambil hartanya. Atau dirinya mengabarkan
pada penguasa atau oran yang punya wewenang bahwasanya ada orang yang berbuat
demikian dan melakukan perkara yang ada kerusakan di situ. Dan wajib bagi
penguasa untuk menyingkap hal tersebut dan menghilangkannya. Dan ini semua dan
yang semisalnya tidaklah harom, dan bisa jadi sebagiannya itu wajib,
sebagiannya mustahab, sesuatu dengan keadaan. Wallohu a’lam. (“Al
Minhaj”/2/hal. 181/ cet. Dar Ihyaut Turots).
Ibnu Hajar رحمه الله
berkata: “Dan dalam hadits ini –yaitu hadits no. (6100) dalam Shohihul
Bukhoriy- ada dalil tentang bolehnya mengabari pemimpin dan tokoh utama tentang
sesuatu yang dikatakan tentang mereka, perkara yang tidak pantas untuk mereka,
agar mereka memperingatkan orang yang mengucapkannya. Dan dalam hadits ini ada
penjelasan tentang ghibah dan namimah yang diperbolehkan, karena gambaran
keduanya itu ada pada perbuatan Ibnu Mas’ud ini, dan Nabi صلى الله عليه وسلم
tidak mengingkari dirinya. Yang demikian itu karena maksud dari Ibnu Mas’ud
adalah sebagai nasihat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم dan
mengabari beliau untuk orang yang mencerca beliau, yang menampakkan keislaman
tapi menyembunyikan kemunafiqan, agar beliau berhati-hati dari orang itu. Dan
ini boleh, sebagaimana bolehnya memata-matai orang-orang kafir agar kita aman
dari tipu daya mereka. Dan orang yang tersebut tadi dengan ucapannya terhadap
beliau tadi telah melakukan dosa besar sehingga tak punya kehormatan.” (“Fathul
Bari”/10/hal. 629/cet. Darus Salam).
Maka
dengan ini saya akan menambahi penjelasan tentang disyariatkannya membongkar
kebatilan orang yang menyeleweng (sekalipun penyelewengan itu tidak tampak di
mata sebagian umat) demi menjaga kebaikan agama mereka.
Bab
Satu: Kebutuhan Alam Semesta Pada Syariat Islam
Sesungguhnya
karunia Alloh pada umat ini sangatlah besar, dengan diutusnya seorang Rosul
yang membawa hidayah sehingga mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Alloh ta'ala berfirman:
﴿لَقَدْ مَنَّ الله
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا
مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ﴾ [آل عمران:
164].
"Sungguh Alloh
telah memberikan karunia pada kaum mukminin ketika mengutus di kalangan mereka
seorang Rosul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan pada mereka
ayat-ayat, mensucikan mereka dan mengajarkan pada mereka Al Kitab dan Al
Hikmah, padahal mereka dulunya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
Syaikhul
Islam رحمه الله berkata: "Kaidah yang bermanfaat
tentang wajibnya berpegang teguh dengan risalah, dan penjelasan bahwasanya
keberuntungan dan petunjuk itu ada pada sikap mengikuti Rosul صلى
الله عليه وسلم dan
bahwasanya kesesatan dan kecelakaan itu ada pada sikap menyelisihi beliau, dan
bahwasanya seluruh kebaikan di alam ini, baik itu umum ataupun khusus. Adapun
secara khusus, maka tempat tumbuhnya itu adalah dari arah Rosul, dan bahwasanya
seluruh kejelekan di alam ini yang khusus menimpa seorang hamba, maka sebabnya
adalah karena menyelisihi Rosul, atau kebodohan terhadap apa yang beliau bawa,
dan bahwasanya keberuntungan hamba di dunia dan akhirat mereka adalah dengan
mengikuti Risalah.
Dan
risalah itu adalah kebutuhan darurat para hamba. Mereka harus mendapatkan
bimbingan risalah tersebut. Dan kebutuhan mereka terhadap risalah tersebut itu
melebihi kebutuhan mereka kepada segala sesuatu. Dan risalah itu adalah nyawa
bagi alam semesta, cahayanya dan kehidupannya. Maka kebaikan apa yang ada pada
alam jika nyawanya, kehidupan dan cahayanya telah hilang? Dunia itu gelap dan
terlaknat kecuali yang disinari oleh mentari risalah. Demikian pula hamba
selama mentari risalah tidak menyinarinya, tidak mendapatkan kehidupannya dan
nyawanya, maka dia itu ada dalam kegelapan, dan termasuk dari jajaran orang
yang mati.
Alloh
ta'ala berfirman:
{أو من كان ميتا فأحييناه وجعلنا له نورا يمشي
به في الناس كمن مثله في الظلمات ليس بخارج منها } [ الأنعام : 122 ]
"Atau apakah orang yang dulunya
mati lalu Kami hidupkan dia dan Kami jadikah dia memiliki cahaya yang dengannya
dia berjalan di tengah-tengah manusia itu seperti orang berada dalam kegelapan
dan tidak bisa keluar dari kegelapan itu?"
Maka
ini adalah sifat seorang mukmin yang semula mati dalam kegelapan kebodohan,
lalu Alloh menghidupkannya dengan nyawa risalah dan cahaya iman, dan Alloh
menjadikan untuknya cahaya yang dengannya dia berjalan di tengah-tengah
manusia. Adapun orang kafir maka dia itu hatinya mati di dalam kegelapan. Dan
Alloh ta'ala menamakan risalah-Nya dengan ruh (nyawa). Dan ruh itu jika hilang
maka hilanglah kehidupannya. Alloh ta'ala berfirman:
وكذلك أوحينا إلىك روحا من
أمرنا ما كنت تدري ما الكتاب ولا الإيمان ولكن جعلناه نورا نهدي به من نشاء من عبادنا
[ الشوري : 52 ]
"Dan demikianlah
Kami mewahyukan kepadamu suatu ruh dari urusan Kami. Dulunya engkau tidak tahu
mengetahui apa itu Kitab dan apa itu imam. Akan tetapi Kami menjadikannya
sebagai cahaya yang dengannya Kami memberikan hidayah bagi orang yang Kami
kehendaki dari para hamba Kami."
Maka
di sini Alloh menyebutkan dua prinsip yaitu: ruh dan cahaya. Maka ruh itu
adalah kehidupan, sementara cahaya adalah cahaya."
(selesai penukilan dari "Majmu'ul
Fatawa"/9/hal. 93-94).
Bab
Dua: Islam Adalah Agama Yang Benar
Maka
jika seluruh manfaat yang hakiki itu adalah bersumber dari syariat Islamiyyah,
maka tidak agama yang lebih baik daripada agama ini. Alloh ta'ala berfirman:
صِبْغَةَ الله وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ الله صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ [البقرة: 138]
"Ikutilah celupan (agama) Alloh. Dan
siapakah yang lebih baik celupannya daripada Alloh? Dan kami itu beribadah
pada-Nya."
Al
Imam Ibnu Katsir berkata: "Dan
firman-Nya: "Ikutilah celupan (agama) Alloh" Adh
Dhohhak meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas yang berkata: "Agama Alloh."
Demikian pula diriwayatkan dari Mujahid, Abul 'Aliyah, 'Ikrimah, Ibrohim, Al
Hasan, Qotadah, Adh Dhohhak, Abdulloh bin Katsir, 'Athiyyah Al 'Aufiy, Ar Robi'
bin anas dan As Suddiy seperti itu.
Kalimat
"Celupan (agama) Alloh" itu manshub bisa jadi bermakna
hasungan, sebagaimana firman Alloh:
{ فِطْرَتَ الله } [ الروم : 30 ]
"(Ikutilah) fithroh Alloh"
Yaitu: setialah dengan itu dan kalian harus
mengikutinya.
Sebagian dari mereka berkata: itu tadi adalah
badal (pengganti) dari firman-Nya:
{ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ }
"Agama Ibrohim"
Sibawaih berkata: ini adalah mashdar yang
diperkuat, dinashobkan dari firman-Nya:
{ آمَنَّا بِالله }
"Kami beriman pada Alloh"
Seperti:
{ وَاعْبُدُوا الله } [ النساء : 36 ] .
"Dan sembahlah Alloh."
(selesai dari "Tafsirul Qur'anil
'Azhim"/1/hal. 450).
Al
Imam Al Baghowiy رحمه الله
berkata: "Hanyalah Alloh menamakannya sebagai celupan karena dia itu
menampakkan pengaruh agama terhadap orang yang memeluknya, sebagaimana pengaruh
celupan itu nampak pada baju. Dan dikatakan: karena orang yang beragama itu
setia dengan agama itu dan tidak berpisah dengannya, bagaikan celupan itu
selalu menempel pada baju." ("Ma'alimut Tanzil"/1/hal. 157).
Al
Imam As Sa'diy رحمه الله
berkata: "Yaitu: setialah pada celupan Alloh, karena itu adalah agama-Nya.
Dan tegakkanlah agama itu dengan sempurna, dengan seluruh amalah agama yang
lahiriyyah dan batiniyyah, dan seluruh aqidahnya di seluruh waktu, sehingga
agama itu menjadi celupan untuk kalian, dan mejadi salah satu sifat kalian.
Maka jika agama itu sudah menjadi salah satu sifat kalian, maka hal itu
mewajibkan bagi kalian untuk mengikuti perintah-perintah-Nya secara suka rela,
pilihan dan rasa cinta, dan jadilah agama itu sebagai tabiat bagi kalian
bagaikan celupan yang sempurna untuk baju, yang menjadi sifat bagi baju itu.
Maka dihasilkanlah untuk kalian keberuntungan duniawi dan ukhrowi, karena agama
ini mendorong kepada akhlaq-akhlaq yang baik, amalan-amalan yang bagus, dan
perkara-perkara yang tinggi. Maka oleh karena itu Alloh berfirman –dalam pola
kekaguman yang menetapkan untuk akal-akal yang suci-: "Dan siapakah
yang lebih baik celupannya daripada Alloh?" Yaitu: tidak ada yang
lebih bagus celupannya daripada celupan Alloh.
Dan
jika engkau ingin mengetahui contoh yang menjelaskan padamu perbedaan antara
celupan Alloh dengan celupan-celupan yang lain, maka ukurlah perkara itu dengan
lawannya. Maka bagaimanakah engkau melihat seorang hamba yang beriman pada
Robbnya dengan keimanan yang benar, tampak padanya ketundukan hati dan ketaatan
anggota badan, dia terus-menerus berhias dengan sifat yang baik, perbuatan yang
indah, akhlaq yang sempurna, sifat yang agung, dan mengosongkan diri dari
seluruh sifat yang buruk, rendah dan jelek. Maka sifat dia adalah: jujur dalam
perkataan dan perbuatan, sabar, tak cepat membalas kejelekan, menjaga
kehormatan, keberanian, berbuat baik dengan ucapan dan perbuatan, cinta pada
Alloh, takut kepada-Nya, dan berharap kepada-Nya. Maka keadaannya adalah ikhlas
untuk Dzat yang diibadahi, dan berbuat baik pada para hamba-Nya.
Maka
ukurlah ini dengan seorang hamba yang kafir pada Robb-Nya, lari dari-Nya,
menghadap pada yang lain dari kalangan para makhluk, lalu dia bersifat dengan
sifat-sifat yang buruk, yang berupa: kekufuran, kesyirikan, kedustaan,
pengkhianatan, makar, tipu daya, tidak menjaga kehormatan, berbuat jelek pada
makhluk, dalam ucapannya dan perbuatannya. Maka dia tidak ikhlas kepada yang
diibadahinya, dan tidak berbuat baik pada para hamba-Nya.
Maka
ini akan menampakkan padamu perbedaan yang besar di antara keduanya, dan
menjadi jelaslah untukmu bahwasanya tidak ada yang lebih baik celupannya
daripada celupan Alloh. Dan dalam kandungan ini juga: bahwasanya tidak ada
celupan yang lebih jelek daripada orang yang tercelup dengan selain agama
Alloh.
Dan
di dalam firman-Nya: "Dan kami adalah orang-orang beribadah
pada-Nya." Penjelasan untuk celupan ini, yaitu menegakkan dua
dasar ini: keikhlasan (pada Alloh) dan mengikuti (Nabi), karena ibadah itu
adalah adalah suatu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai oleh Alloh
dan diridhoi-Nya, baik berupa ucapan, perbuatan, yang bersifat lahiriyyah
ataupun bathiniyyah. Dan hal itu tidak terjadi sampai disyariatkan oleh Alloh
melalui lisan Rosul-Nya. Dan ikhlas itu adalah: sang hamba memaksudkan wajah
Alloh semata dalam amalan itu. Pola mendahulukan objek itu menunjukkan
pembatasan.
Firman
Alloh: "Dan kami adalah orang-orang beribadah pada-Nya."
Alloh mensifati mereka dengan isim fa'il yang menunjukkan pada ketetapan, untuk
menunjukkan bahwasanya mereka itu bersifat demikian, dan jadilah hal itu
menjadi celupan untuk mereka dan menempel pada mereka."
(selesai dari "Taisirul Karimir
Rohman"/hal. 68).
Inilah
Islam, inilah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi Alloh ta'ala. Alloh
ta'ala berfirman:
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا }
[المائدة: 3]
"Pada hari ini Aku telah menyempurnakan
untuk kalian agama kalian, dan Aku telah menyempurnakan untuk kalian
kenikmatan-Ku dan Aku telah meridhoi Islam sebagai agama bagi kalian."
Juga
berfirman:
{ وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ } [آل
عمران: 85]
"Dan barangsiapa mencari agama selain
Islam maka tidak akan diterima darinya dan dia di Akhirat termasuk dari
orang-orang yang merugi."
Juga
berfirman:
{ إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الْإِسْلَامُ } [آل عمران: 19]
"Sesungguhnya agama yang diridhoi di
sisi Alloh adalah Islam."
Bab
Tiga: Termasuk Dari Syariat Agama Ini Adalah: Menjelaskan Kebatilan Para Pelaku
Kebatilan
Alloh ta'ala berfirman:
﴿كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِالله﴾
"Kalian adalah umat
yang terbaik yang dikeluarkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman
kepada Alloh." (QS Ali Imron 110) .
﴿وَإِذْ أَخَذَ الله مِيثَاقَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَه﴾
[آل عمران/187].
“Dan
(ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab (yaitu): "Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia,
dan jangan kalian menyembunyikannya,"
﴿لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى
ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ * كَانُوا لَا
يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ﴾
[المائدة/78، 79].
“Telah
dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera
Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui
batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”
Al Hasan Al Bashri -rahimahulloh- berkata: "Wahai anak Adam, jaga
agamamu, jaga agamamu, karena hanya agama itulah daging dan darahmu. Kalau
engkau selamat, maka alangkah tentramnya dan alangkah nikmatnya. Tapi jika yang
terjadi adalah selain itu, maka -kita berlindung kepada Alloh- dia itu hanyalah
api yang tidak padam, batu yang tidak dingin dan jiwa yang tidak mati"
(riwayat Al Firyabi -rahimahulloh- di "Shifatun Nifaq"/no.
49/dishahihkan Syaikh Abdurraqib Al Ibbi -hafidhahulloh-)
Dan tidak halal bagi yang
ditanya ini untuk menyembunyikannya.
Dan juga Alloh ta'ala telah berfirman:
وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ
يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيم
"Dan janganlah kalian menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa menyembunyikannya maka dia itu berdosa hatinya. Dan Alloh Mahatahu
apa yang kalian lakukan."
Yahya bin
Sa'id -rahimahulloh- berkata : "Aku bertanya kepada Syu'bah, Sufyan Ats
Tsauri, Malik dan Sufyan bin 'Uyainah tentang seseorang yang tertuduh dalam
masalah hadits atau tidak hapal. Mereka berkata,"Jelaskanlah keadaannya
kepada orang-orang."("Al Kifayah"/Al Khothib/1/170/shohih).
Abdurrohman
bin Mahdi -rahimahulloh- berkata: "Aku bersama Sufyan Ats Tsauri melewati
seseorang –yang sedang menyampaikan hadits- maka beliau berkata,"Orang ini
pendusta. Demi Alloh, seandainya bukan karena tidak halal bagiku untuk diam
pastilah aku akan diam."(Muqoddimah "Al Majruhin"/Ibnu
Hibban/1/21/shohih)
Al Hasan ibnur Robi' -rahimahulloh- berkata: "Ibnul
Mubarok berkata,"Al Mu'alla bin Hilal adalah orang pilihan hanya saja jika
datang hadits dia itu berdusta." Maka sebagian orang sufi
berkata,"Wahai Abu Abdirrohman, anda berghibah?" beliau
berkata,"Diam. Jika kita tidak memberikan penjelasan bagaimana bisa
diketahui al haq dari al bathil?" atau kalimat yang mirip dengan itu.
("Al Kifayah"/Al Khothib /1/177/shohih)
Muhammad bin Bundar As Sabbak Al Jurjani
-rahimahulloh- berkata: "Kukatakan kepada Ahmad bin Hanbal:
"Sesungguhnya sangat berat bagi saya untuk berkata:Fulan lemah, fulan
pendusta". Maka Ahmad berkata: "Kalau engkau diam dan aku pun
diam, maka kapankah orang yang bodoh akan mengetahui yang sehat dari yang
sakit?" ("Al Kifayah"/Al Khothib /1/178-179/shohih)
Setelah menyebutkan hadits al ifk (kebohongan
terhadap A'isyah), Al Khothib Al Baghdadi -rahimahulloh- berkata: "Dan di
dalam musyawarah Nabi صلى الله عليه وسلم dengan Ali dan Usamah dan pertanyaan beliau kepada Bariroh
tentang apa yang mereka ketahui tentang istri beliau itu ada penjelasan yang
terang bahwasanya tidaklah beliau itu bertanya kepada mereka kecuali wajib
bagi mereka untuk menceritakan kepada beliau apa yang mereka tahu tentangnya.
Maka demikian pula wajib atas seluruh orang yang memiliki ilmu tentang pembawa
kabar atau atsar yang kedudukannya tidak mencapai kedudukan 'A'isyah Ummul
Mukminin dan tidak pula kedudukannya di sisi Nabi صلى الله عليه وسلم seperti kedudukan 'A'isyah
di sisi beliau…"("Al Kifayah"/Al Khothib /1/166)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: "Dan seperti para pemimpin kebid'ahan dari
kalangan pemilik ucapan-ucapan yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, atau
ibadah-ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, maka penjelasan
keadaan mereka, dan memperingatkan umat terhadap mereka adalah wajib,
dengan kesepakatan muslimin. Sampai dikatakan pada imam Ahmad bin Hanbal:
"Seseorang yang berpuasa, sholat dan I'tikaf lebih Anda sukai ataukah
orang yang berbicara tentang ahlul bida'?" Maka beliau menjawab,"Jika
dia berpuasa, sholat dan I'tikaf, maka hanyalah hal itu untuk dirinya sendiri. Tapi
jika dia berbicara tentang ahlul bida' maka itu hanyalah untuk muslimin, dan
itu lebih utama." Maka beliau menerangkan bahwasanya manfaat amalan
yang ini mencakup seluruh muslimin di dalam agama mereka, dari jenis jihad
fisabilillah." ("Majmu'ul
Fatawa" 28/hal. 231-232).
Beliau رحمه الله juga
berkata,"Maka orang yang membantah ahlul bida' adalah mujahid.
Sampai-sampai Yahya bin Yahya berkata,"Pembelaan terhadap sunnah itu lebih
utama daripada jihad."" ("Majmu'ul Fatawa"/4/hal. 12).
Muhammad bin Yahya Adz
Dzuhli رحمه الله berkata,"Aku mendengar Yahya bin Ma'in
berkata,"Pembelaan terhadap sunnah itu lebih utama daripada jihad fi
sabilillah." Maka kukatakan pada Yahya,"Orang itu (mujahid)
menginfaqkan hartanya, membikin capek dirinya, dan berjihad. lalu orang ini
(yang membela sunnah) lebih utama daripada dia!?" Beliau
menjawab,"Iya, lebih utama banyak sekali." ("Siyar
A'lam"/10/hal. 518).
Catatan: Al Imam Adz Dzahabiy memasukkan atsar ini ke dalam
biografi Yahya bin Yahya, wallohu a’lam.
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata tentang ahlul bid'ah:
"Maka menyingkap kebatilan mereka dan menjelaskan pembongkaran aib-aib
mereka serta kerusakan kaidah-kaidah mereka termasuk jihad fi sabilillah yang
paling utama. Nabi صلى الله عليه
وسلم telah bersabda kepada Hassan bin Tsabit رضي الله عنه:
«إن روح القدس معك ما دمت تنافح عن رسوله»
“Sesungguhnya
Ruhul Quds bersamamu selama engkau membela Rosul-Nya.”
Juga bersabda:
«أهجهم أو هاجهم وجبريل معك»
“Serang
mereka dengan syair, atau balas serangan syair mereka, dan Jibril bersamamu.”
Juga bersabda:
«اللهم أيده بروح القدس ما دام ينافح عن رسولك»
“Ya
Alloh, dukunglah dia dengan Ruhul Quds selama dia membela Rosul-Mu.”
Beliau juga bersabda
tentang serangan syair beliau:
«والذي نفسي بيده لهو أشد فيهم من النبل»
“Demi
Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, benar-benar itu lebih keras bagi mereka
daripada panah.”
Dan bagaimana
penjelasan itu tadi tidak termasuk dari jihad fi sabilillah?” ("Showa'iqul
Mursalah" /1/hal. 114/cet. Maktabatur Rusyd).
Al Imam Al Wadi'y rohimahulloh berkata: "Karena termasuk dari bagian Amar Ma'ruf
Nahi Mungkar, dan bagian dari dakwah ke jalan Alloh, dan bahkan termasuk jihad
fi sabilillah adalah menjelaskan 'Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah, pembelaan
untuknya, dan menyingkap kebatilan ahlul bida', ahlul ilhad dan peringatan dari
mereka, sebagaimana Alloh 'Azza Wajalla berfirman:
]بل نقذف بالحقّ
على الباطل فيدمغه فإذا هو زاهق[.
"Bahkan
Kami akan melemparkan al haq terhadap kebatilan sehingga dia menyirnakan
kebatilan tadi, maka tiba-tiba kebatilan tadipun lenyap." (QS Al Anbiya 18)
Maka semoga Alloh membalas Ahlussunnah dengan kebaikan, karena mereka
sejak zaman lampau maju menentang ahlil bida' sampai-sampai sebagian dari
mereka lebih mengutamakan bantahan terhadap ahlul bida' di atas jihad fi
sabilillah." (kitab beliau "Rudud Ahlil 'Ilmi"/hal. 5-6/cet.
Darul Atsar).
Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya
An Najmiy رحمه الله berkata: “Dan Syaikhul Islam telah menukilkan ijma’ terhadap
hal itu: bahwasanya orang yang membantah ahli bid’ah dengan maksud untuk
membela agama, dan pembersihan agama dari apa yang bukan dari agama, bahwasanya
yang demikian terhitung sebagai jihad fi sabillah dan penjagaan syariatnya,
…dst.” (“Ar Roddul Muhabbir”/hal. 138/karya Asy Syaikh Ahmad An Najmiy رحمه الله/cet. Darul Minhaj).
Fadhilatu Syaikhinal Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله
berkata tentang nilai memerangi orang kafir dan munafiqin dan yang lain:
“Alangkah miripnya seorang mujahid dengan lidahnya dengan mujahid dengan
tombaknya. Bahkan mujahid dengan lidahnya lebih keras.” (dicatat tanggal 27
Jumadal Ula 1430 H).
Jika
kita telah tahu besarnya kebutuhan umat kepada penjelasan agama dan
pembongkaran kebatilan para pengkhianat agama, maka sangatlah tidak pantas
untuk menghina orang-orang yang mengorbankan jiwa dan raga serta kehormatannya
untuk Alloh dijuluki sebagai "Orang yang suka mencari-cari aib orang"
atau "Suka membicarakan kehormatan ulama" atau "Tukang
ghibah" dan sebagainya. Bahkan kerja keras tadi harusnya disyukuri.
Fadhilatusy
Syaikh Ahmad An Najmiy رحمه الله
berkata: "Sesungguhnya manhaj Ikhwaniy dengan seluruh keturunannya:
Sururiyyah, Quthbiyyah, Jama'ah Takfir, Hizb Jihad, Hizbut Tahrir dan yang
lainnya, semuanya bersepakat pada pemikiran gerakan hizbiyyah pemberontakan.
Semuanya mengajak kepada rencana rahasia dan pembelotan yang mengejutkan ketika
mereka memandang bahwasanya kekuatan
mereka telah sempurna, sekalipun mereka menyatakan bahwasanya mereka itu
termasuk dari Ahlussunnah Wal Jama'ah. Dan sesungguhnya orang yang
menelusuri ucapan-ucapan mereka dalam kaset-kaset, koran-koran dan kitab-kitab
mereka akan jelas baginya, di antaranya adalah: bahwasanya mereka semua
bersepakat untuk bolehnya memberontak terhadap pemerintah sekalipun pemerintah
itu adalah muslimun, bertauhid, menegakkan sholat dan berhukum dengan syariat
Alloh, … dst." ("Al Mauridul 'Adzb"/1/hal. 19).
Maka
orang yang melaksanakan penelusuran kesalahan ahli batil untuk menyelamatkan
umat dari kebatilan mereka haruslah disyukuri.
Fadhilatusy
Syaikh Ahmad An Najmiy رحمه الله berkata: "Dan bahwasanya di kalangan
Ahlussunnah pada masa kini ada orang yang kebiasaannya dan kesibukannya adalah
menelusuri kesalahan-kesalahan dan mencarinya, sama saja hal itu ada di karya
tulis ataukah di kaset-kaset, kemudian dia memperingatkan umat dari orang
melakukan kesalahan itu. Dan aku katakan: sungguh ini adalah kedudukan
tinggi dan bukanlah suatu hal yang pantas dicela. Sungguh dulu penjagaan
sunnah merupakan kedudukan yang tinggi di sisi Salaf. Iya, para pemuda Salafiy
punya kecemburuan. Jika mereka mendapati penyelisihan terhadap sunnah pada
suatu buku, atau kaset, atau mereka melihat ada orang dari Ahlussunnah berjalan
bersama mubtadi’ah setelah adanya nasihat, mereka mengingkari hal itu dan
menasihatinya, atau meminta dari sebagian masyayikh untuk menasihatinya. Jika
orang itu dinasihati tapi tak mau menerima nasihat, mereka memboikotnya. Ini
adalah kedudukan tinggi bagi mereka dan bukan celaan.” (“Al Fatawal
Jaliyyah”/1/hal. 232-234/Darul Minhaj).
Al Imam ibnu Rojab رحمه الله berkata:
“Dan para imam yang waro’ (meninggalkan perkara yang dikhawatirkan membahayakan
akhiratnya) mengingkari dengan sangat perkataan-perkataan yang lemah dari
sebagian ulama, dan membantahnya dengan paling keras, sebagaimana dulu Al
Imam Ahmad mengingkari Abu Tsaur dan yang lainnya atas perkataan mereka yang
lemah dan menyendiri, dan beliau mengingkari mereka dengan atas perkataan
mereka itu. Ini semua adalah hukum zhohir. Adapun secara batin: jika maksud
orang yang mengkritik tadi hanyalah sekedar untuk menjelaskan kebenaran, dan
agar manusia tidak tertipu dengan perkataan orang yang salah berbicara tadi,
maka tiada keraguan bahwasanya dia akan dapat pahala dengan niatnya tadi, dan
dia dengan perbuatan tadi dengan niat ini masuk ke dalam nasihat untuk Alloh,
Rosul-Nya, pemimpin Muslimin dan masyarakat awamnya. Sama saja, apakah yang
menjelaskan kesalahan tadi itu anak kecil ataukah orang besar, maka dia
memiliki teladan dari ulama yang membantah perkataan Ibnu Abbas yang menyendiri
dan diingkari ulama, seperti masalah nikah mut’ah, penukaran mata uang, dan dua
umroh dan yang selain itu.
Dia juga punya teladan dari ulama yang
membantah Sa’id ibnul Musayyab terhadap perkataannya yang membolehkan wanita
yang telah ditholaq tiga untuk kembali ke suaminya yang pertama dengan
semata-mata akad dengan suami kedua, dan yang selain itu yang menyelisihi
sunnah yang jelas.
Dia juga punya teladan dari ulama yang
membantah Al Hasan tentang perkataan tentang tidak ihdadnya wanita yang
ditinggal mati suaminya. Dia juga punya teladan dari ulama yang membantah ‘Atho
tentang pembolehannya pengembalian kemaluan. Dia juga punya teladan dari ulama
yang membantah Thowus tentang ucapannya dalam masalah yang bermacam-macam yang
menyendiri dari ulama.
Dia juga punya teladan dari ulama yang
membantah tokoh-tokoh yang lain yang telah disepakati kaum Muslimin bahwasanya
mereka itu di atas petunjuk, ilmu, dicintai dan dipuji.
Dan tiada seorangpun dari mereka menganggap
orang-orang yang menyelisihinya dalam masalah-masalah ini dan yang semisalnya
sebagai bentuk tho’n (cercaan) kepada para imam tadi ataupun penghinaan
terhadap mereka. Kitab-kitab para imam Muslimin dari kalangan Salaf dan
Kholaf penuh dengan dengan penjelasan tentang ucapan-ucapan tadi dan yang
semisalnya, seperti kitab-kitab Asy Syafi’iy, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur dan
para imam fiqh dan hadits dan yang lainnya setelah mereka dari kalangan
orang-orang yang menyebutkan ucapan-ucapan tadi sesuatu yang banyak. Andaikata
kami menyebutkannya secara rinci niscaya akan sangat panjang.
Adapun jika keinginan orang yang membantah
tadi adalah untuk menampakkan kekurangan orang yang dibantahnya, menghinanya,
dan menjelaskan kebodohannya dan keterbatasan ilmunya dan yang seperti itu,
maka perbuatan itu adalah harom, sama saja apakah bantahannya tadi dilontarkan
di hadapan orang yang dibantahnya ataukah di belakang punggungnya. Dan sama
saja, apakah ketika dia masih hidup ataukah setelah matinya. Dan ini masuk
dalam perkara yang dicela oleh Alloh ta’ala dalam kitab-Nya dan mengancam orang
yang menyindir dengan lidah ataupun dengan anggota badan. Orang tadi juga masuk
dalam sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
« يا معشر من آمن بلسانه ولم يؤمن بقلبه لا تؤذوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته».
“Wahai
orang-orang yang beriman dengan lidahnya yang imannya itu belum sampai ke dalam
hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang Islam dan janganlah kalian
mencari-cari aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari aib
saudaranya muslim, maka Alloh akan mencari-cari aibnya. Sesungguhnya
barangsiapa yang Alloh cari aibnya, maka Dia akan membuka aib-aibnya meskipun
ia berada di bagian dalam rumahnya…”([1])
Ini
semua adalah yang terkait dengan hak ulama yang menjadi teladan dalam agama
ini. Adapun ahlul bida’ wadh dholalah dan orang yang menyerupakan diri
dengan ulama padahal bukan ulama, maka bolehlah menjelaskan kebodohan mereka,
dan menampakkan kekurangan mereka, sebagai bentuk peringatan pada umat agar
jangan meneladani mereka. Dan bukanlah pembicaraan kita sekarang ini kita
arahkan pada jenis ini, wallohu a’lam.” (“Al Farqu Bainan Nashihah Wat
Ta’yiir”/1/hal. 7).
Demikianlah
jalan para salaf.
Al
Imam Ibnu Wadhdhoh رحمه الله
menyebutkan bahwasanya Asad bin Musa berkata dalam kitabnya yang ditulis kepada
Asad bin Furoth: "Ketahuilah, wahai Saudaraku. Bahwasanya yang
menggerakkanku untuk menulis surat kepadamu ini adalah apa yang disebutkan oleh
penduduk setempatmu mengenai kesholehan yang telah Alloh anugerahkan kepadamu
yang diantaranya adalah keadilanmu terhadap sesama manusia, keadaanmu yang baik
dengan menampakkan sunnah, celaanmu terhadap ahli bid'ah dan banyaknya
celaanmu terhadap mereka. Sehingga
Alloh
menghancurkan mereka dan menguatkan punggung-punggung Ahlus Sunnah melalui
tanganmu dan menguatkanmu di atas mereka dengan cara membongkar aib dan mencela mereka. Maka Alloh pun
menghinakan mereka dengan hal tersebut. Maka jadilah mereka itu
pun bersembunyi dengan kebid'ahan mereka. Maka bergembiralah wahai Saudaraku dengan pahala
amalanmu tersebut. Anggaplah hal tersebut termasuk amalan baikmu yang lebih
utama dari sholat, haji dan jihad. Dimanakah keutamaan amalan-amalan tersebut dibandingkan dengan menegakkan Kitabulloh dan menghidupkan Sunnahnya?!" ("Al-Bida' wan Nahi 'Anha" oleh
Ibnu Wadhdhoh/1/hal. 7).
Al Imam Ibnu ‘Asakir رحمه الله berkata: Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad biografi Imam Ahmad bin 'Aunillah Abu Ja'far
Al-Andalusi (tahun 378H): “Dahulu Abu Ja'far Ahmad bin 'Aunillah adalah seorang
yang senantiasa ber-ihtisab (mengharapkan pahala) dalam bersikap
keras terhadap ahlul bida' dan menghinakan mereka, mencari kejelekan-kejelekan
mereka, bersegera untuk menimpakan bahaya kepada mereka, pijakannya sangat
keras terhadap mereka, mengusir mereka jika bisa menguasai mereka tanpa
menyisakan mereka. Orang yang termasuk dari mereka merasa
takut kepada beliau dan bersembunyi dari beliau. Beliau tidak berbasa-basi pada seorangpun dari
mereka sama sekali, tidak berdamai dengannya. Apabila beliau mendapati
suatu kemungkaran dan menyaksikan suatu penyimpangan terhadap Sunnah, maka
beliau menentangnya, membeberkan kesalahannya, secara terang-terangan menyebut
namanya, berlepas diri darinya dan mencercanya dengan sebutan kejelekan di
depan khalayak ramai, dan menyemangati masyarakat untuk menghukumnya hingga
membinasakannya atau bertobat dari buruknya madzhabnya dan jeleknya aqidahnya.
Beliau terus-menerus mengerjakan yang demikian, berjihad pada yang demikian
dalam rangka mencari wajah Alloh hingga berjumpa dengan Alloh عز جل beliau punya kisah-kisah terkenal dan kejadian-kejadian yang
disebut-sebut orang dalam menghadapi orang-orang yang menyimpang”. (“Tarikh
Dimasyq”/5/hal. 118/biografi Ahmad bin 'Aunillah Abu Ja'far).
Faidah:
Hadits
dari Ibnu Umar رضي الله عنهما yang
berkata:
انطلق بعد ذلك رسول الله
صلى الله عليه وسلم وأبي بن كعب إلى النخل التي فيها ابن صياد وهو يختل أن يسمع من
ابن صياد شيئا قبل أن يراه ابن صياد فرآه النبي صلى الله عليه وسلم وهو مضطجع يعني
في قطيفة له فيها رمزة أو زمرة فرأت أم ابن صياد رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو
يتقي بجذوع النخل فقالت لابن صياد يا صاف وهو اسم ابن صياد هذا محمد صلى الله عليه
وسلم فثار ابن صياد فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لو تركته بين
"… setelah itu Rosululloh صلى الله
عليه وسلم dan Ubaiy bin Ka'b
berangkat ke rerumpunan pohon kurma yang di situ ada Ibnu Shoyyad. Beliau
bersembunyi untuk mendengarkan sesuatu dari Ibnu Shoyyad sebelum Ibnu Shoyyad
melihat beliau. Nabi صلى الله عليه وسلم
melihatnya sedang berbaring di dalam selimutnya. Keluar dari rongga lehernya
suara. Lalu ibu Ibnu Shoyyad melihat Rosululloh صلى الله
عليه وسلم sedang bersembunyi di pangkal
pohon korma. Maka perempuan itu berkata pada Ibnu Shoyyad: "Wahai Shof
–nama Ibnu Shoyyad- ini ada Muhammad."maka Ibnu Shoyyad berdiri. Maka Nabi
صلى الله عليه وسلم bersabda: "Seandainya
perempuan itu membiarkannya niscaya perkaranya menjadi jelas." (HR.
Al Bukhoriy (1355) dan Muslim (2931)).
Al
Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Dan di
dalam kisah Ibnu Shoyyad ini ada faidah tentang besarnya perhatian seorang
pemimpin terhadap perkara-perkara yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, upaya
untuk membongkarnya, dan menampilkan kedustaan orang yang mengaku-aku
kebatilan, dan menguji orang tadi dengan cara-cara yang bisa menyingkap
keadaannya, serta upaya untuk memata-matai orang yang menimbulkan keraguan."
("Fathul Bari"/6/hal. 174).
Perhatian:
yang kita bicarakan di sini adalah orang-orang yang gerak-geriknya
mencurigakan bahwasanya dia itu ada gejala-gejala melanggar syariat. Dan yang
melaksanakan pembongkaran ini bukanlah sembarang orang akan tetapi orang yang
cukup ilmu dan tahu batasan-batasan syariat.
Kita
ambil satu contoh:
Jika
kita melihat ada orang sering menggambar makhluk bernyawa: bentuk hewan, atau
manusia atau yang menggambarkan suatu makhluk bernyawa seperti wayang, dalam
keadaan kepalanya masih ada, apakah kita akan diam saja dengan alasan takut
fitnah atau tidak mau mencari kesalahan orang lain?
Kita
sudah tahu besarnya kemurkaan Alloh terhadap orang-orang yang menggambar
makhluk bernyawa.
Dari
Abu Huroiroh رضي الله عنه yang
berkata: Aku mendengar Nabi صلى الله عليه
وسلم bersabda:
قال الله عز وجل ومن أظلم
ممن ذهب يخلق كخلقي فليخلقوا ذرة أو ليخلقوا حبة أو شعيرة
"Alloh ta'ala berfirman: "Dan
siapakah yang lebih zholim daripada orang yang mulai mencipta seperti
ciptaan-Ku? Hendaknya mereka membikin dzurroh (mirip jagung), hendaknya mereka membikin
biji atau gandum." (HR. Al Bukhoriy (7559)
dan Muslim (2111)).
Dari
Ibnu Mas'ud رضي الله عنه yang
berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم
bersabda:
إن أشد الناس عذابا يوم
القيامة المصورون
"Sesungguhnya orang yang paling keras
siksaannya pada hari kiamat adalah para penggambar." (HR. Al Bukhoriy (5950) dan Muslim (2109)).
Dari
'Aisyah Ummul Mukminin رضي الله عنها yang
berkata:
أنها اشترت نمرقة فيها
تصاوير، فلما رآها رسول الله صلى الله عليه وسلم قام على الباب فلم يدخله. فعرفت
في وجهه الكراهية فقلت: يا رسول الله أتوب إلى الله وإلى رسوله صلى الله عليه وسلم،
ماذا أذنبت؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما بال هذه النمرقة؟» قلت:
اشتريتها لك لتقعد عليها وتوسدها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إن
أصحاب هذه الصور يوم القيامة يعذبون فيقال لهم أحيوا ما خلقتم». وقال: «إن
البيت الذي فيه الصور لا تدخله الملائكة». (أخرجه البخاري (2105) ومسلم
(2107)).
Bahwasanya dirinya membeli bantal yang di situ
ada gambar-gambarnya. Ketika Rosululloh صلى الله
عليه وسلم melihatnya, beliau berdiri
di depan pintu dan tidak masuk rumah. Maka aku melihat ada kebencian di wajah
beliau. Maka aku berkata: "Wahai Rosululloh, saya bertobat kepada Alloh
dan kepada Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم .
apakah dosa yang saya perbuat?" maka Rosululloh صلى الله
عليه وسلم bersabda: "Ada
apa dengan bantal ini?" aku menjawab: "Saya membelinya untuk
Anda agar Anda duduk di atasnya dan berbantalkan dengannya." Maka
Rosululloh صلى الله عليه وسلم
bersabda: "Sesungguhnya para pembuat gambar-gambar ini pada hari
Kiamat akan disiksa, lalul dikatakan pada mereka: "Hidupkanlah apa yang
kalian ciptakan." Beliau juga bersabda: "Sesungguhnya
rumah yang di situ ada gambar-gambar, para malaikat tidak akan
memasukinya." (HR. Al Bukhoriy (2105) dan Muslim (2107)).
Al
Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله
berkata: "Kalimat yang kedua inilah yang cocok dengan sikap beliau untuk
tidak mau masuk ke dalam rumah. Dan hanyalah beliau mendahulukan kalimat yang
pertama karena mengutamakan peringatan larangan dari memakai gambar-gambar
tadi, karena ancaman tersebut jika berlaku pada si pembikinnya, maka ancaman
tadi juga berlaku pada si pemakainya, karena gambar-gambar tadi tidaklah
dibikin kecuali untuk dipergunakan. Maka si pembikin adalah penyebabnya,
sementara si pemakai adalah pelakunya langsung, sehingga dia lebih pantas untuk
terkena ancaman. Dan diambil faidah dari hadits ini bahwasanya tidak ada beda
dalam pengharoman membuat gambar antara gambar yang punya bayang-bayang dengan
yang tidak punya bayang-bayang. Juga tidak beda antara gambar dari cat minyak,
atau gambar hasil pahatan, atau dilobangi, atau ditenun, berbeda dengan orang
yang mengecualikan tenunan dan menyatakan bahwasanya itu bukanlah gambar."
("Fathul Bari"/10/hal. 389-390).
Dari
Abu Huroiroh رضي الله عنه yang
berkata:
قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم أتاني جبريل فقال إني كنت أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت
عليك البيت الذي كنت فيه إلا أنه كان في باب البيت تمثال الرجال وكان في البيت
قرام ستر فيه تماثيل وكان في البيت كلب فمر برأس التمثال الذي بالباب فليقطع
فليصير كهيئة الشجرة ومر بالستر فليقطع ويجعل منه وسادتين منتبذتين يوطآن ومر
بالكلب فيخرج ففعل رسول الله صلى الله عليه و سلم وكان ذلك الكلب جروا للحسن
أو الحسين تحت نضد له فآمر به فأخرج
Rosululloh صلى الله
عليه وسلم bersabda: "Jibril
mendatangiku seraya berkata: "Aku mendatangimu tadi malam tapi tidak ada
yang menghalangiku untuk masuk menemuimu di dalam rumah yang engkau ada di situ
kecuali karena di pintu rumah ada patung orang-orang, dan di dalam rumah ada
tirai bergambar, dan di dalam rumah ada anjing. Maka perintahkanlah agar kepala
patung yang di pintu itu dipotong sehingga menjadi seperti bentuk pohon. Dan
perintahkanlah tirainya agar dipotong dan dibikin darinya dua bantal yang
dilemparkan di lantai dan diinjak. Dan perintahkanlah agar anjingnya
dikeluarkan." Maka Rosululloh صلى الله
عليه وسلم melaksanakannya. Anjing
tersebut adalah anjing kecil milik Hasan atau Husain yang ada di bawah ranjang.
Maka beliau memerintahkan agar anjing itu dikeluarkan." (HR. At Tirmidziy
(2806) dengan sanad shohih).
Jika
kita telah tahu dalil-dalil ini, maka hukum membuat patung dari kayu atau logam
atau lilin dan sebagainya yang menggambarkan makhluk bernyawa adalah dosa
besar. Ini terkait dengan upaya menyaingi Alloh dalam sifat Rububiyyah-Nya
(yaitu mencipta sesuatu) sekalipun sebenarnya pelakunya tidak berniat demikian.
Maka
kita lihat betapa besarnya kemurkaan Alloh sehingga menghukumi orang itu
sebagai orang yang paling zholim, lalu disiksa dengan siksaan yang paling
keras, dan bahkan dibebani untuk menyempurnakan sekalian ciptaannya dengan
meniupkan nyawa ke dalam gambar tadi.
Juga
perbuatan tadi merupakan sarana untuk melanggar hak uluhiyyah (hak untuk
ditunggalkan dalam peribadatan) Alloh ta'ala, karena sejak dulu kala sampai
sekarang, gambar dan patung makhluk bernyawa merupakan sarana yang sedikit-demi
sedikit mengantarkan orang kepada kesyirikan. Dan sarana yang mengantarkan
kepada keharoman maka hukumnya adalah harom.
Maka
jika kita telah mengetahui hal tersebut, lalu kita mendapati ada orang besar
atau terhormat melakukan itu. Apakah kita halal untuk diam saja tanpa udzur?
Alloh dan Rosul-Nya lebih kita cintai. Kita
taati Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
لا يمنعن أحدكم هيبة الناس أن يقول في حق
إذا رآه، أو شهده، أو سمعه
"Sungguh janganlah sampai kewibawaan manusia itu menghalangi kalian
untuk mengucapkan yang benar jika melihatnya atau menyaksikannya atau
mendengarnya." (HSR Ahmad/Ash
Shohihah/168 dan Al Jami'ush Shohih/5/131)
Rosululloh
-shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda:
« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الإِيمَانِ ».
"Barangsiapa yang melihat suatu
kemungkaran, maka hendaklah dia merobahnya dengan tangannya, maka jika ia tidak
mampu maka dengan lisannya , maka jika ia tidak mampu maka dengan hatinya , dan
itulah selemah-lemah iman." [HR. Muslim/186 dari Abi
Sa'id Al Khudry rodhiyallohu 'anhu].
Kemudian
jika orang tadi telah kita nasihati dengan lembut dan sabar, dan kita jelaskan
dalil-dalil yang mengharomkan perbuatan tadi, sampai dia paham, kemudian dia
tetap bersikeras untuk melanggar larangan Alloh, apakah setelah itu kita diam?
Justru yang disyariatkan adalah
memberikan hukuman kepadanya dengan tidak mengajaknya bicara. Sa'id bin Jubair رحمه الله berkata:
أَنَّ
قَرِيبًا لِعَبْدِ الله بْنِ مُغَفَّلٍ خَذَفَ - قَالَ - فَنَهَاهُ وَقَالَ إِنَّ
رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْخَذْفِ وَقَالَ « إِنَّهَا
لاَ تَصِيدُ صَيْدًا وَلاَ تَنْكَأُ عَدُوًّا وَلَكِنَّهَا تَكْسِرُ السِّنَّ
وَتَفْقَأُ الْعَيْنَ ». قَالَ فَعَادَ. فَقَالَ أُحَدِّثُكَ أَنَّ رَسُولَ
الله -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْهُ ثُمَّ تَخْذِفُ لاَ أُكَلِّمُكَ أَبَدًا.
"Bahwasanya
seorang kerabat dari Abdulloh bin Mughoffal -rodhiyallohu 'anhu- bermain
ketapel. Maka beliau melarangnya dan berkata,"Sesungguhnya Rosululloh
-shalallohu 'alaihi wa sallam- melarang bermain ketapel, dan bersabda: Sesungguhnya
dia itu tidak bisa memburu buruan dan tak bisa untuk membunuh musuh."."
Tapi ternyata dia mengulanginya lagi. Maka beliau berkata,"Kusampaikan
hadits buatmu bahwasanya Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- melarangnya,
ternyata engkau kemudian main ketapel lagi. Aku tak akan berbicara denganmu
selamanya." (HSR Al Bukhory (5479) dan Muslim (13/hal. 108))
Al
Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله
berkata: "Di dalam hadits ini ada faidah tentang bolehnya meng-hajr
(memboikot) orang yang menyelisihi sunnah dan tidak tidak mengajaknya bicara.
Dan yang demikian itu tidak masuk ke dalam larangan memboikot lebih dari tiga
hari, karena yang ini terkait dengan boikot karena urusan pribadi." ("Fathul Bari"/9/hal.
608).
Inilah
yang disyariatkan, sebagai bukti kecintaan kita pada Alloh dan kecemburuan kita
terhadap syariat-Nya, bukannya tetap berakrab-akrab dengan pelaku maksiat yang
telah tegak hujjah terhadapnya.
Dari
Abu Huroiroh رضي الله عنه
dari Nabi صلى الله عليه وسلم
yang bersabda:
«سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله الإمام العادل ، وشاب نشأ في عبادة ربه ، ورجل قلبه معلق في المساجد ، ورجلان تحابا في الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه ، ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال فقال: إني أخاف الله . ورجل تصدق أخفى حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه ، ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه». (أخرجه البخاري (كتاب الأذان/من جلس في المسجد/(660)) ومسلم (كتاب الزكاة/فصل إخفاء الصدقة/(1031)).
“Ada tujuh golongan yang dinaungi
Alloh di dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya:
“Pemimpin yang adil, anak muda yang tumbuh dalam ibadah kepada Robbnya,
seseorang yang hatinya terpaut kepada masjid-masjid, dua orang yang saling
cinta karena Alloh, berkumpul karena Alloh, dan berpisah pun karena-Nya,
seseorang yang diminta oleh seorang perempuan yang punya kedudukan dan
kecantikan tapi dia berkata: “Sesungguhnya aku takut pada Alloh.” Dan seseorang
yang bersedekah dan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang
diinfaqkan oleh tangan kanannya, serta orang yang mengingat Alloh sendirian
lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Al Bukhory (kitabul Adzan/Man Jalasa Fil
Masjid/(660)) dan Muslim (Kitabuz Zakah/Fadhlu Ikhfaish Shodaqoh/(1031))).
Al
Imam Ibnu Rojab رحمه
الله berkata: “Yang keempat:
dua orang yang saling cinta karena Alloh عز وجل, karena hawa nafsu itu menyeru untuk saling
cinta bukan karena Alloh, karena di dalamnya ada ketaatan jiwa kepada
hasrat-hasrat dunia. Maka dua orang yang saling cinta karena Alloh, mereka
berdua memerangi jiwa mereka untuk menyelisihi hawa nafsu hingga jadilah rasa
cinta keduanya itu adalah karena Alloh tanpa ada hasrat duniawiy yang
mencampurinya. Ini berat sekali –sampai
pada ucapan beliau:- sabda beliau: “berkumpul karena Alloh, dan berpisah
pun karena-Nya” ada kemungkinan beliau ingin bahwasanya keduanya itu
berkumpul atas dasar kecintaan karena Alloh hingga kematian memisahkan keduanya
di dunia, atau hingga salah satunya tidak hadir di samping sahabatnya.
Dan
mungkin juga bahwasanya beliau صلى الله عليه وسلم menghendaki bahwasanya keduanya itu berkumpul
atas dasar rasa cinta karena Alloh, maka jika salah satunya berubah dari
perkara yang mengharuskan dia dicintai karena Alloh dulu dia ada di atasnya,
maka diapun memisahkan diri darinya dengan sebab itu. Maka rasa cinta keduanya
itu berkisar pada ada atau tiadanya ketaatan pada Alloh. Sebagian Salaf
berkata: “Jika engkau punya saudara yang engkau cintai karena Alloh, lalu
dia membuat perkara baru, kemudian engkau tidak membencinya karena Alloh, maka
tidaklah rasa cintamu itu karena Alloh.” Atau dengan makna ini.” (“Fathul
Bari”/Ibnu Rojab/3/hal. 370-371/Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Al
Imam Sufyan Ats Tsauriy رحمه الله berkata: “Jika seseorang cinta pada
saudaranya karena Alloh عز وجل kemudian orang yang dicintainya itu membuat perkara baru dalam Islam lalu dia
tidak membencinya Karena perbuatan tadi maka berarti dia tidak mencintainya
karena Alloh عز وجل. (riwayat Ibnu Abi Hatim dalam “Al Jarh Wat Ta’dil”/1/hal. 52/sanadnya
shohih).
Insya
Alloh perkataan ini cukup untuk menjelaskan bahwasanya yang dilakukan oleh para
ulama Ahlussunnah dan yang mengikuti mereka dengan baik merupakan bagian dari
Amar ma'ruf nahi munkar yang mana itu merupakan dasar agama yang amat penting.
Syaikhul Islam رحمه الله
berkata:
فإن كمال الإسلام هو
بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وتمام ذلك بالجهاد في سبيل الله –إلى قوله:- ولهذا كان الصحابة رضي الله عنهم
أعظم إيمانا وجهادا ممن بعدهم، لكمال معرفتهم بالخير والشر، وكمال محبتهم للخير
وبغضهم للشر، لما علموه من حسن حال الإسلام والإيمان والعمل الصالح، وقبح حال
الكفر والمعاصي
"Karena susungguhnya kesempurnaan Islam adalah dengan memerintahkan
yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Dan kelengkapan yang demikian
itu adalah dengan jihad di jalan Alloh." –sampai pada ucapan beliau:-
"Oleh karena itulah dulu para shohabat رضي الله
عنهم paling besar keimanannya dan jihadnya
daripada orang yang setelah mereka, karena kesempurnaan pengetahuan mereka
tentang kebaikan dan kejelekan, dan kesempurnaan kecintaan mereka pada kebaikan
dan kebencian mereka pada kejelekan, dikarenakan mereka mengetahui bagusnya
keadaan Islam, Iman, amal sholih, dan buruknya keadaan kekufuran dan
kedurhakaan."
("Majmu'ul Fatawa"/10/hal. 301).
Beliau juga berkata:
فإن أصل الدين هو الأمر
بالمعروف والنهى عن المنكر .
"Karena sesungguhnya dasar agama adalah memerintahkan yang
ma'ruf dan melarang dari yang munkar." ("Majmu'ul
Fatawa"/27/hal. 442).
Maka
orang yang menegakkan ibadah yang berat ini karena Alloh, hendaknya dia dibantu
dan ditolong, bukannya dicaci dan dicerca dengan gelar "Suka mencari-cari
kesalahan orang" "Suka ikut campur urusan orang" "Suka
menggunjing orang" "Suka fitnah" "Suka menjatuhkan
kehormatan ulama" dan sebagainya.
Dan
hendaknya orang yang menempuh jalan ibadah ini tidak gentar dengan banyaknya
celaan orang yang mencela selama dirinya ada di atas kebenaran yang tegak
dengan dalilnya.
Oya
tulisan ini juga sebagai jawaban bagi saudara yang ingin mengetahui makna
"Celupan Alloh"
Bagi
saudara yang bertanya tentang hukum membikin bentuk hewan dari lilin, maka bisa
mengambil faidah jawaban di dalam tulisan ini.
Insya
Alloh sampai di sini dulu. Semoga Alloh memberkahi tulisan ini, penulisnya,
pembacanya dan seluruh hamba Alloh yang mengikuti hidayah-Nya di manapun dia
berada.
والحمد
لله رب العالمين
Dammaj, 9 Dzul Hijjah 1433 H
Daftar
Isi
المحتويات
([1]) Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad bin Hanbal (4/420) dari Abu Barzah رضي الله عنه , dalam sanadnya ada Sa’id bin Abdillah bin
Juroij, majhulul hal. Dan diriwayatkan oleh At Tirmidziy (Al Birr Wash
Shilah/Ma Jaa Fi Ta’zhimil Mu’min) dan yang lainnya dari hadits Ibnu Umar رضي الله عنهما dengan lafazh “Orang yang masuk Islam dengan
lidahnya”, dan menghasankannya, dan disetujui Al Imam Al Wadi’iy dalam “Al
Jami’ush Shohih” ((3601)/Darul Atsar). Hadits ini Jayyid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar