Kewajiban Adanya Mahrom
Bagi wanita dalam Haji
Ditulis
oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy
Al Indonesiy –semoga Alloh memaafkannya-
بسم
الله الرحمن الرحيم
Pembukaan
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا
الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم أما بعد:
Telah datang surat
dari seorang ikhwah yang mulia berisi pertanyaan kepada saya sebagai berikut: Apa hukum wanita berhaji tanpa mahrom yang
ma’ruf semacam adik, anak, ayah dan sebagainya, hanya saja dia pergi bersama
seorang lelaki yang ditunjuk sebagai mahrom sementara oleh pemerintah? Jika
terlarang maka apa dalilnya?
Maka dengan memohon pertolongan pada Alloh, saya
menjawab:
Sesungguhnya
Alloh ta’ala telah mengatur agama ini secara sempurna demi kemaslahatan para
hamba-Nya, dan menetapkan siapakah mahrom para wanita demi keselamatan jiwa dan
terjaganya kehormatan mereka sendiri.
Dan
Alloh melalui lisan Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam melarang wanita
safar tanpa mahrom.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu:
dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang bersabda:
«لا يحل لإمرأة تؤمن بالله واليوم الآخر
تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم».
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman pada Alloh dan
Hari Akhir untuk safar (pergi jauh) sejarak perjalanan sehari semalam kecuali
bersama mahromnya.” (HR. Al Bukhoriy (1088) dan Muslim (1339)).
Al Imam Abul
Walid Al Bajiy rohimahulloh berkata: “Sabda beliau shollallohu ‘alaihi
wasallam: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman pada Alloh dan Hari
Akhir” itu mengandung makna yang keras. Nabi menginginkan bahwasanya
penyelisihan terhadap hukum ini bukanlah termasuk amalan orang yang beriman
pada Alloh dan takut pada hukuman-Nya di Akhirat. Dan Sabda beliau shollallohu
‘alaihi wasallam: “untuk safar (pergi jauh) sejarak perjalanan sehari semalam
kecuali bersama mahromnya.” Beliau menginginkan –wallohu a’lam- karena wanita
itu fitnah. Dan kesendiriannya itu adalah sebab terjadinya perkara yang
terlarang, karena setan itu akan mendapatkan jalan dengan kesendiriannya tadi
untuk menyesatkan orang dengan perempuan tadi dan mengajak orang mendekati
perempuan tadi.
Dan sabda
shollallohu ‘alaihi wasallam: “kecuali bersama mahromnya.” Mengandung dua
makna: yang pertama: tidak boleh wanita itu safar dengan jarak tadi bersama
satu orang, kecuali jika orang itu punya tali kemahroman dengannya, karena
mahrom itu dianggap terpercaya.
Makna yang
kedua: tidak boleh wanita itu menyendiri dalam safar semacam ini tanpa ditemani
orang yang punya tali kemahroman dengannya, karena mahromnya tadi akan
menjaganya, dan berupaya melindunginya karena telah dicetak dalam tabiat
kebanyakan manusia kecemburuan terhadap mahrom mereka dan upaya untuk menjaga
mahrom-mahrom mereka.”
(selesai dari “Al Muntaqo Syarhil Muwaththo”/4/hal. 434).
Maka adanya mahrom bagi wanita itu
kewajiban dari Alloh melalui lisan Rosul-Nya shollallohu alaihi wasallam jika
mereka safar.
Al Imam An Nawawiy rohimahulloh
berkata: “Kesimpulannya adalah: bahwasanya setiap perjalannya yang bernama
SAFAR, wanita dilarang untuk menjalankannya tanpa suami atau mahrom. Sama saja
apa itu tiga hari atau dua hari atau sehari atau satu BARID atau yang lainnya,
berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang mutlak, dan itu adalah akhir riwayat Muslim
yang lalu:
لا تسافر امرأة إلا
مع ذي
“Tidak boleh wanita safar kecuali bersama mahrom.”
Dan ini mencakup seluruh perjalanan yang dinamakan sebagai
SAFAR. Wallohu a’lam.”
(“Al Minhaj”/9/hal. 103-104).
Maka haji
juga demikian, harus dengan mahrom, karena dia masuk dalam keumuman safar.
Dan yang
memperkuat itu juga adalah hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:
أنه: سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «لا يخلون رجل بامرأة،
ولا تسافرن امرأة إلا ومعها محرم»، فقام رجل فقال: يا رسول الله، اكتتبت في غزوة
كذا وكذا، وخرجت امرأتي حاجة، قال: «اذهب فحج مع امرأتك».
“Bahwasanya beliau mendengar Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang
wanita. Dan jangan sekali-kali wanita safar kecuali dia disertai dengan
mahrom.” Maka seseorang bangkit seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya telah
ditetapkan untuk ikut perang demikian dan demikian. Sementara istri saya keluar
untuk berjadi.” Maka beliau bersabda: “Pergilah lalu berhajilah bersama
istrimu.” (HR. Al Bukhoriy (3006) dan Muslim (1341)).
Shohabiy ini
telah ditetapkan untuk ikut dalam perang tersebut, sehingga jadilah hal itu
wajib ‘ainiy terhadapnya. Sekalipun demikian Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam
membatalkan kewajiban jihad dia agar dia menyertai haji sang istri. Maka ini
menunjukkan amat kuatnya kewajiban adanya mahrom yang menyertai wanita di dalam
haji.
Dan ini
adalah fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Syarh Umdatul Ahkam” (2/hal.
174-177).
Ini juga
fatwa Al Qodhiy Badrud Din Al ‘Ainiy rohimahulloh dalam “Umdatul Qori” (10/hal.
221-222).
Ini juga
Fatwa Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh dalam “Majmu’ Fatawa Wa Rosail”
(24/hal. 258).
Ini juga
Fatwa Al Imam Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’aniy rohimahulloh dalam
“Subulus Salam” (1/hal. 608).
Dan mahrom
wanita itu telah Alloh tetapkan sebagaimana yang tersirat dalam firman
Alloh ta’ala:
(حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا } [النساء:
23]
“Diharomkan
terhadap kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan para
saudari kalian, dan para bibi kalian yang dari ayah kalian, dan para bibi
kalian yang dari ibu kalian, anak-anak perempuan saudara-saudara lelaki kalian,
anak-anak perempuan saudara-saudara perempuan kalian, dan ibu-ibu kalian yang
menyusui kalian, dan saudari-saudari sesusuan kalian, ibu dari istri-istri
kalian, dan anak-anak perempuan yang ada di rumah-rumah kalian dari istri-istri
kalian yang kalian telah menggaulinya (menggauli istri kalian). Jika kalian
belum menggauli istri kalian tadi maka tidak mengapa kalian menikahi anak-anak
perempuan mereka. Dan harom pula bagi kalian (menikahi) istri-istri anak-anak
kandung kalian, dan harom bagi kalian mengumpulkan dua saudari (dalam satu
ikatan perkawinan), kecuali perkara yang telah lewat. Sesungguhnya Alloh Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa: 23).
Maka mahrom
seorang wanita di antaranya adalah: anak kandungnya, ayah kandungnya, saudara
lelakinya, keponakannya dari pihak saudaranya, dan keponakannya dari pihak
saudarinya, paman dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, saudara sesusuan,
suami dari anaknya, suami dari ibunya jika suami tadi telah menggauli ibunya.
Yang termasuk dari mahrom adalah ayah suami.
Termasuk
mahrom juga adalah: ayah sesusuan dan paman sesusuan.
Itu semua
adalah mahrom abadi, selamanya tak boleh dinikahi.
Adapun mahrom sementara adalah:
saudara suami (yaitu ipar). Tak boleh istri menikah dengan ipar selama sang
suami masih hidup. Sekalipun ipar adalah mahrom juga, tapi harom untuk istri
berduaan dengan ipar karena fitnahnya amat besar. Demikian pula suami bibi.
Dan mahrom yang dimaksudkan dalam
safar adalah mahrom abadi, bukan mahrom sementara waktu yang secara umum di
suatu saat bisa timbul syahwat untuk menikahi wanita itu.
Dari Uqbah bin Amir rodhiyallohu
‘anh:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إياكم والدخول على النساء»
فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله، أفرأيت الحمو؟ قال: «الحمو الموت».
(أخرجه البخاري (5232) ومسلم (2172)).
“bahwasanya Rosululloh
shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda: “Hindarilah oleh kalian
masuk ke tempat para wanita.” Maka seorang dari Anshor berkata: Wahai
Rosululloh, bagaimana pendapat Anda tentang Al Hamu (kerabat suami)? Maka
beliau menjawab: “Al Hamu adalah kematian.” (HR. Al Bukhoriy
(5232) dan Muslim (2172)).
Dari
Usamah bin Zaid rodhiyallohu ‘anhuma: dari Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi
wasallam bersabda:
«ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء».
“Tidaklah aku
tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya terhadap para pria
daripada para wanita.” (HR. Al Bukhoriy (5096) dan Muslim (2740)).
Seorang penyair berkata:
لا يأمنن على النساء أخ أخا ... ما في الرجال على النساء أمين
إن الأمين وإن تحفظ جهده ... لا بد أن بنظرة سيخون
“Janganlah
sekali-sekali seorang saudara mempercayakan para wanita pada saudaranya. Tidak
orang dari kalangan lelaki yang bisa dipercaya terhadap para wanita.
Sesungguhnya orang yang terpercaya itu sekalipun dirinya berusaha menjaga diri
sekuat tenaga, dia pasti akan berkhianat dengan mencuri pandang.”
(sebagaimana dalam
kitab “Al Furu’ Wa Tashhihul Furu’”/Al Mardawiy/8/hal. 382).
Tentu saja para Nabi dan shiddiqun
bisa dipercaya, akan tetapi sang penyair berbicara atas nama keumuman manusia
yang memang fithrohnya adalah condong pada wanita. Dan hukum itu dibangun di
atas kondisi yang dominan.
Al
Imam ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku
pada kondisi yang dominan yang banyak. Sementara perkara yang jarang terjadi
itu dihukumi bagaikan tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).
Maka mahrom wanita dalam safar adalah
mahrom yang abadi, bukan mahrom sementara.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rohimahulloh berkata tentang penjelasan hadits mahrom dalam safar: “Dia itu
adalah suaminya dan orang yang harom selamanya untuk menikah dengan wanita
tadi, dengan sebab nasab atau dengan sebab mubah yang lain (susuan atau
perbesanan).” (“Syarhu ‘Umdatil Fiqh”/Ibnu Taimiyyah/2/hal. 180).
Al Imam Ibnu Utsaimin rohimahulloh
berkata: “Harom bagi wanita untuk safar tanpa mahrom di dalam pesawat, atau
mobil, atau onta, atau keledai, atau kaki, semua itu harom. Dan mahrom itu
adalah orang yang harom untuk menikahi wanita tadi dengan pengharoman abadi,
dengan sebab nasab atau perbesanan atau persusuan.” (“Syarh Riyadhish
Sholihin”/4/hal. 629).
Jika mahrom sementara yang ditetapkan
dalam syariat saja tidak boleh untuk menjadi mahrom dalam safar, maka bagaimana
dengan pria asing, bukan mahrom bagi wanita itu secara syar’iy? Tentu saja
lebih pantas untuk dia tidak sah menjadi mahrom dalam safar bagi wanita tadi.
Ini adalah jawaban yang amat singkat.
Selebihnya bisa dilihat dalam “At Tuhfatul Maliziyyah Bi Buhutsil Masailisy
Syar’iyyah”
Selesai.
والله
تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
Malaysia, 23 Sya’ban 1436 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar