Berhutang
Atau Berniaga
Lebih
Baik Daripada Meminta-minta
Ditulis
oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy Al Indonesy
-semoga Alloh memaafkannya-
Pengantar
Penulis
الحمد لله
وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم
أما بعد:
Sesungguhnya
saya telah mendengar sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada Dakwah
Salafiyyah, akan tetapi dirinya tidak malu-malu mengemis dan mengintai harta orang
lain.
Sebagian
alasan mereka adalah: “Jika kita tidak membuat yayasan untuk mengumpulkan dana
bantuan masyarakat, dapur kita tidak akan mengepulkan asap.”
Sebagian
dari mereka berkata: “Jika kita tidak membuat yayasan, kita nanti akan makan
apa?”
Demikianlah
kondisi mereka itu, yang menjadikan dakwah bukan sebagai ladang Akhirat, tapi
justru menjadi mata pencaharian duniawi. Maka mereka itu bukanlah da’iy ke
jalan Alloh, mereka sebenarnya adalah para pemburu dunia dengan bertopeng agama
dan dakwah.
Al Imam Muqbil Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata:
ويالله كم من داعية كبير تراه يحفظ الآيات
التي فيها ترغيب في الصدقة، وينتقل من هذا المسجد إلى هذا المسجد: ﴿وما تقدّموا
لأنفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا﴾.
وانقلب
المسكين من داعية إلى شحاذ، وصدق الرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم إذ يقول: ((لكلّ
أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).
“Ya Alloh, alangkah banyaknya da’i besar yang
menghapal ayat-ayat yang mengandung penyemangatan untuk bershodaqoh, dia pindah
dari masjid ini ke masjid itu, membacakan: “Dan kebaikan apapun yang
kalian lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi
Alloh dengan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” Dan
berbaliklah si miskin ini dari posisi da’i kepada posisi pengemis. Sungguh
benar Rosululloh –shollallohu 'alaihi wa alihi wasallam- ketika bersabda: “Setiap
umat itu punya fitnah, dan fitnah umatku adalah harta.” (“Dzammul
Mas’alah”/hal. 218).
Maka
dengan memohon pertolongan pada Alloh saya mengingatkan diri saya sendiri dan
mereka dengan beberapa firman Alloh dan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam
dan bimbingan para ulama.
Bab Satu: Para Nabi shollallohu ‘alaihim wasallam Tidak Meminta-minta
Jika
kita mengaku sebagai pengikut para Nabi, hendaknya kita konsekuen dengan itu
dan tidak mencemarkan keagungan dakwah para Nabi dengan mengemis.
Sebagaimana
ucapan Nuh عليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء :
109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada
kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan
Robbil alamin.”
Demikian
pula Hud, Sholih, Syu’aib, Luth dan yang lainnya. Demikian pula Penutup para
Rosul:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين﴾ [ ص : 86 ] ،
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada
kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang yang
memberat-beratkan diri.”
Dan berfirman berkata:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر إلا من شاء أن يتخذ
إلى ربه سبيلا﴾ [ الفرقان : 57 ] .
“Katakanlah: tidaklah aku minta
pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Akan tetapi orang yang ingin
mengambil jalan kepada Robbnya (dengan berinfaq di jalan Alloh, silakan
berinfaq).”
Alloh
ta’ala berfirman:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا
الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta
pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam
kekerabatan.”
Al
Imam Muhammad bin Ali Al Qoshshob رحمه الله berkata: “Dan firman Alloh ta’ala: “Katakanlah:
tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang
dalam kekerabatan” merupakan dalil bahwasanya di dalam karakter manusia
itu ada ketidaksukaan pada petuah yang datang dari orang yang mengambil dinar
dan dirham, dan bahwasanya menjaga kehormatan dari dinar dan dirham itu terpuji
di mata orang-orang di zaman jahiliyyah, bagi orang yang zuhud terhadap dinar
dan dirham, dan orang yang bersegera mengambil dinar dan dirham itu martabatnya
rendah. Maka Alloh memerintahkan Rosul-Nya صلى الله عليه
وسلم untuk mengumumkan
pensucian diri kepada para makhluk yang diberi peringatan, mensucikan diri dari
mengambil upah harta atas dakwah beliau, yang mendakwahkan Kitabulloh dan
agama-Nya yang Dia syariatkan kepada para hamba-Nya, agar dakwah beliau itu
murni kepada Alloh جل وتعالى , bersih tidak tercampurkan dengan kecondongan pada dunia,
karena dunia itu akan merendahkan pencarinya dan orang-orang yang condong
kepadanya, merendahkan mereka dari martabah-martabat kemuliaan dan
derajat-derajat hamba yang didekatkan. Dan dengan itu Alloh mengabarkan kisah
para Rosul yang telah berlalu sebelum beliau di dalam surat Asy Syu’aro dan
lainnya dengan firman-Nyaعليه السلام:
﴿وما
أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada
kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan
Robbil alamin.”
Dan seterusnya.
(“Nukatul Qur’an”/4/hal.
98-99/cet. Dar Ibnil Qoyyim).
Seakan-akan ciri khas ini –tidak minta upah- telah
melekat di dalam dakwah para Nabi dan Rosul, dan menjadi alasan yang mendorong
orang-orang berakal untuk menerimanya. Alloh ta’ala berfirman:
َجَاءَ مِنْ
أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ * اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ [يس
: 20 ، 21]
“Dan datanglah seorang pria dari ujung kota itu
dengan bergegas seraya berkata: Wahai kaum, ikutilah para utusan itu. Ikutilah
orang yang tidak meminta upah, dan mereka itu mendapatkan petunjuk.” (QS. Yasin: 20-21).
Wahai
saudara-saudaraku, inilah jalan para Nabi jika kita ingin mendapatkan keutamaan
yang lebih tinggi.
Apakah mereka pura-pura lupa dengan dalil-dalil di
atas, yang menunjukkan bahwasanya dakwah yang diiringi dengan mengemis itu
menyelisihi jalan Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam-? Anas bin Malik
-rodhiyallohu 'anhu- menyebutkan kisah pembangunan masjid Nabawy:
وأنه أمر ببناء
المسجد فأرسل إلى ملأ من بني النجار فقال: «يا بني النجار
ثامنوني بحائطكم هذا». قالوا: لا والله لا نطلب ثمنه إلا إلى الله.
“…
dan Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan untuk membangun
masjid. Maka beliau mengirimkan utusan kepada Bani Najjar seraya berkata: “Wahai
bani Najjar, kasih aku harga untuk kebun kalian ini.” Tapi mereka
berkata,”Tidak, demi Alloh kami tidak meminta harganya kecuali kepada Alloh.”
(HR. Al Bukhory dan Muslim).
Al
Imam Al Wadi’iy rohimahulloh berkata:
وهكذا بناء المسجد لا يجوز أن يهين نفسه،
ويهين العلم والدعوة، من أجل بناء مسجد، فالرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم لما
أراد أن يبني مسجدًا قال: «يا بني النّجّار ثامنوني بحائطكم»، أي: من أجل أن يبني
فيه مسجدًا، فقالوا: بل هو لله ولرسوله.
على أنه
يمكن أن يبني مسجدًا من الطين واللبن بنحو مائة ألف ريال يمني، والوقت الذي تصرفه
في المسألة، يمكن أن تصرفه في عمارة المسجد والعمل فيه ودعوة الناس إلى العمل
بأيديهم. فالأموال التي تكون فيها إهانة للعلم وللدعاة إلى الله، أو دعوة إلى
حزبية، أو جعل المساجد للشحاذة، فلسنا بحاجتها. ("ذم المسألة" ص217)
“Demikian
pula dalam membangun masjid. Tidak boleh menghinakan diri, menghinakan ilmu dan
dakwah demi membangun masjid. Rosul –shollallohu 'alaihi wa alihi wasallam-
ketika ingin membangun masjid bersabda: “Wahai bani Najjar, kasih aku harga
untuk kebun kalian ini.” Yaitu: beliau mau membangun masjid di situ. Tapi
mereka berkata,”Tidak, justru kebun ini untuk Alloh dan Rosul-Nya.” Seseorang
itu mungkin saja untuk membangun masjid dari tanah liat dan bata dengan dana
sekitar seratus ribu real Yamaniy. Dan waktu yang dipakainya untuk
meminta-minta bisa digunakannya untuk memakmurkan masjid, beramal di situ, dan
mengajak orang untuk bekerja dengan tangan-tangan mereka. Harta yang di situ
ada penghinaan terhadap ilmu dan dakwah ilalloh, atau dakwah kepada hizbiyyah,
atau menggunakan masjid-masjid untuk mengemis, maka kami tidak membutuhkannya.”
(“Dzammul Mas’alah”/hal. 217).
Kami amat memerlukan para da’iy
yang setia pada manhaj Salaf, dan kami tidak perlu pada para pengekor hawa
nafsu. Bagaimanakah kondisi Salaf kita?
Abul 'Aliyah
-rahimahulloh- berkata:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ
مَوْلَى رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله
عليه وسلم- « مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا
وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ ». فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا. فَكَانَ لاَ
يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا. (أخرجه أبو داود ج 5 / ص 195)
"Dari Tsauban –dan beliau adalah maula
dari Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam—yang berkata: Rosululloh
-shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Siapakah menjamin kepadaku
untuk tidak meminta pada manusia sedikitpun, dan aku menjamin untuknya dengan
Jannah?" Maka Tsauban berkata,"Saya". Dan Tsauban tak
pernah meminta kepada seorangpun sesuatu apapun." (HSR Abu Dawud/5/hal.
195 dan dishohihkan oleh Imam Al Wadi'y -rahimahulloh-)
'Auf bin Malik Al
Asyja'iy rodhiyallohu 'anhu berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ الله -صلى الله عليه
وسلم- تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ: « أَلاَ تُبَايِعُونَ
رَسُولَ الله » وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ
يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». فَقُلْنَا:
قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله
». قَالَ: فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله
فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ قَالَ « عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا الله وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا - وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً - وَلاَ
تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا ». فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ
يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ .
"Kami pernah ada di sisi Rosululloh
-shalallohu 'alaihi wa sallam-, sembilan, atau delapan atau tujuh orang. Maka
beliau bersabda:"Berbai'atlah kalian kepada Rosululloh",
padahal kami baru saja membai'at beliau. Maka kami berkata,"Kami telah
membai'at Anda wahai Rosululloh." Lalu beliau bersabda:"Berbai'atlah
kalian kepada Rosululloh". Maka kami berkata,"Kami telah
membai'at Anda wahai Rosululloh." Lalu beliau bersabda:"Berbai'atlah
kalian kepada Rosululloh". Maka kami mengulurkan tangan kami
seraya berkata," Kami telah membai'at Anda wahai Rosululloh. Maka kami
membai'at Anda untuk berbuat apa?" Beliau bersabda:"Agar kalian
beribadah pada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan
untuk sholat lima waktu, dan agar kalian taat." Dann beliau
berbicara dengan lirih: "Dan agar kalian tidak meminta pada manusia
sedikitpun." Maka sungguh aku melihat sebagian dari rombongan
tadi, cambuk dari salah seorang dari mereka terjatuh. Maka dia tidak meminta
pada seorangpun untuk mengambilkannya untuknya." (HSR Muslim /1043)
Dari Ummud Darda' -rahimahalloh-, beliau berkata:
قال لي أبو الدرداء : لا تسألي الناس شيئا ،
قالت : فقلت : فإن احتجت ؟ قال : فإن احتجت فتتبعي الحصادين فانظري ما سقط منهم
فاخبطيه ثم اطحنيه ثم كليه، ولا تسألي الناس شيئا
"Abud Darda' –rodhiyallohu 'anhu –
berkata padaku,"Janganlah engkau meminta pada manusia sedikitpun."
Maka aku bertanya,"Kalau aku berhajat?" Beliau menjawab,"Jika
engkau berhajat, maka ikutlah di belakang para tukang panen, lalu lihatlah apa
yang berjatuhan dari bawaan mereka, lalu pungutlah ia, masaklah dan makanlah,
dan jangan kau meminta pada manusia sedikitpun." ("Az
Zuhd"/2/291/ Imam Ahmad -rahimahulloh-, dan dishohihkan Syaikhuna Yahya Al
Hajury - hafidzahulloh – di tahqiq "As Sunanul Kubro" Imam Al Bauhaqy
-rahimahulloh-)
Bab Dua: Meminta-minta Tanpa Udzur Syar’iy Tidak Mendatangkan Keberkahan
Mu’awiyah -rodhiyallohu 'anhu-
berkata: Aku mendengar Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
« إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ
فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ
كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ».
“Aku ini hanyalah penjaga harta. Barangsiapa aku
beri harta tadi dengan senang hati, maka dia akan diberkahi dalam harta tadi.
Tapi barangsiapa aku beri karena dirinya meminta dan rakus, maka dia itu
bagaikan orang yang makan tapi tidak kenyang.” (HR. Muslim (1047)).
Hakim
bin Hizam rodhiyallohu 'anhu berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِى، ثُمَّ
سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ثُمَّ قَالَ لِى: « يَا حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ
خَضِرٌ حُلْوٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ
أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ، وَكَانَ كَالَّذِى
يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى».
قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ
أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا.
"Aku meminta pada Rosululloh
-shalallohu 'alaihi wa sallam- maka beliau memberiku, lalu aku minta lagi padanya,
maka beliau memberiku, lalu beliau bersabda padaku: "Wahai Hakim,
sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan
kedermawanan jiwa, dia akan diberi keberkahan padanya. Tapi barangsiapa
mengambilnya dengan keinginan dan harapan jiwa, maka tak akan diberkahi
untuknya. Seperti orang yang makan tapi tidak kenyang. Dan tangan di atas itu
lebih baik daripada tangan di bawah." Maka aku berkata,"Wahai
Rosululloh, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tak akan lagi
mengurangi harta orang setelah Anda dengan permintaan sedikitpun, sampai saya
meninggalkan dunia. (HSR Al Bukhory (2750))
Imam Muhammad
bin Sholih Al 'Utsaimin -rahimahulloh- berkata tentang sabda Nabi -shalallohu
'alaihi wa sallam-: (Tapi barangsiapa mengambilnya dengan keinginan dan
harapan jiwa, maka tak akan diberkahi untuknya.) "Maka bagaimana
dengan orang yang mengambilnya dengan cara meminta? Tentunya lebih jauh dan
lebih jauh lagi dari keberkahan." ("Syarh Riyadhush Sholihin" di
bawah no. 524).
Bab Tiga: Meminta-minta Tanpa Udzur Syar’iy Itu Termasuk Dosa Besar
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh
-shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
« مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا
يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ ».
“Barangsiapa meminta harta
orang lain dalam rangka memperbanyak harta, maka dia itu sebenarnya hanyalah
meminta bara api. Maka silakan menyedikitkan atau memperbanyak.” (HR. Al
Bukhoriy (2047) dan Muslim (1041)).
Qobishoh bin
Mukhoriq Al Hilaliy -rodhiyallohu 'anhu- berkata:
عَنْ
قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلاَلِىِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ
رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ « أَقِمْ حَتَّى
تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا ». قَالَ ثُمَّ قَالَ « يَا
قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ
تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ
يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ
عَيْشٍ - وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُول ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى
الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ
عَيْشٍ - فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا
يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا ».
“Aku pernah
memikul suatu tanggungan, maka kudatangi Rosululloh –shollallohu 'alaihi
wasallam- untuk meminta beliau membantu melunasinya. Maka beliau bersabda: “Tinggallah
di sini sampai datang shodaqoh, maka kami akan memerintahkan mereka untuk
memberikannya padamu.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Qobishoh,
sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga
orang saja: Orang yang memikul suatu tanggungan, halal baginya meminta sampai
bisa membayarnya, lalu dia berhenti dari minta-minta. Dan (yang kedua) orang
yang tertimpa malapetaka yang menghabiskan hartanya, halal baginya minta-minta
sampai bisa tegak hidupnya. Dan (yang ketiga) orang yang tertimpa kemiskinan
sampai ada tiga orang berakal dari kaumnya berkata: “kemiskinan telah menimpa
si Fulan.” Maka halal baginya minta-minta
sampai bisa tegak hidupnya. Adapun minta-minta yang selain tiga jenis
itu –wahai Qobishoh- dia itu adalah keharoman, pelakunya memakannya dengan
harom.” (HR. Muslim (1044)).
Sahl Ibnul Handholiyyah rodhiyallohu
'anhu berkata:
َقَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- «
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ ». –وفي رواية- «
مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا يُغْنِيهِ –وفي رواية-
وَمَا الْغِنَى الَّذِى لاَ تَنْبَغِى مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ قَالَ « قَدْرُ مَا
يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ ». –وفي رواية- « أَنْ يَكُونَ
لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ ».
Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam-
bersabda: "Barangsiapa meminta-minta, dan di sisinya ada sesuatu
yang telah mencukupinya, maka dia itu hanyalah sedang memperbanyak api."
–dalam riwayat lain: "Dari api Jahannam" Maka mereka
bertanya: "Wahai Rosululloh, apa itu sesuatu yang telah
mencukupinya?" dalam riwayat lain: "Apa itu kekayaan
yang dengan tidak diperbolehkan meminta-minta?" Beliau menjawab,"Sekadar
makan siang, atau makan malam." dalam riwayat lain: "Yang
bisa mengenyangkannya sehari semalam." (HR Abu Dawud (5/hal. 177)
dan dishohihkan Al Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh-).
عن رجل
من بني أسد أنه سمع رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: «مَنْ سَأَلَ مِنْكُمْ
وَلَهُ أُوقِيَّةٌ أَوْ عَدْلُهَا فَقَدْ سَأَلَ إِلْحَافًا ». قَالَ
الأَسَدِىُّ فَقُلْتُ لَلَقِحَةٌ لَنَا خَيْرٌ مِنْ أُوقِيَّةٍ وَالأُوقِيَّةُ
أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا.
Salah seorang dari Bani Asad berkata bahwasanya
dirinya mendengar Rosululloh -shalallohu
'alaihi wa sallam- bersabda: "Barangsiapa dari kalian meminta-minta,
padahal dirinya memiliki satu uqiyyah atau yang semisal dengannya, maka sungguh
dia telah meminta dengan merengek-rengek.” Maka berkatalah orang Bani
Asad ini: “Aku sungguh memiliki onta betina yang tentu saja lebih baik daripada
satu uqiyyah”. Dan satu uqiyyah adalah empat puluh dirham.” (HR. Abu dawud
(5/hal. 175) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh-).
Abdulloh bin ‘Umar -rodhiyallohu 'anhuma- berkata:
Rosululloh –shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
«مَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ
فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ».
“Senantiasa seseorang itu meminta pada orang lain
sampai dia datang pada hari kiamat dalam keadaan di wajahnya tiada potongan
daging.”
(HR. Muslim (2445)).
Imam
An Nawawy -rahimahulloh- berkata:
مَقْصُود الْبَاب وَأَحَادِيثه : النَّهْي
عَنْ السُّؤَال، وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ ،
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابنَا فِي مَسْأَلَة الْقَادِر عَلَى الْكَسْب عَلَى وَجْهَيْنِ
أَصَحُّهُمَا : أَنَّهَا حَرَام ؛ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيث . وَالثَّانِي : حَلَال
مَعَ الْكَرَاهَة بِثَلَاثِ شُرُوط : أَلَّا يُذِلَّ نَفْسه ، وَلَا يُلِحَّ فِي
السُّؤَال ، وَلَا يُؤْذِيَ الْمَسْئُول ، فَإِنْ فُقِدَ أَحَد هَذِهِ الشُّرُوط
فَهِيَ حَرَام بِالِاتِّفَاقِ . وَالله أَعْلَم .
"Maksud dari
bab ini dan hadits-haditsnya adalah larangan dari meminta-minta. Dan para ulama
telah bersepakat dalam larangan ini, jika bukan dalam keadaan darurat. Adapun
masalah orang yang mampu untuk bekerja tapi dia meminta-minta, para sahabat
kami –Asy Syafi'iyyah- berselisih menjadi dua pendapat. Yang paling shohih
adalah dia itu harom, berdasarkan lahiriyah dari hadits-hadits tersebut. Dan
pendapat yang kedua: halal tapi dibenci, dengan tiga syarat: tidak sampai dia
merendahkan dirinya, tidak berbuat "ilhah" (merengek-rengek) dalam
meminta, dan tidak menyakiti atau mengganggu orang yang dimintai. Apabila salah
satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka dia itu harom secara
kesepakatan. Wallohu a'lam. ("Syarh Shohih Muslim" 3/488).
Bab Empat: Meminta-minta Tanpa Udzur Syar’iy Itu Mendatangkan Kehinaan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh-
berkata:
فأعظم
ما يكون العبد قدرا وحرمة عند الخلق إذا لم يحتج اليهم بوجه من الوجوه فإن أحسنت
اليهم مع الإستغناء عنهم كنت أعظم ما يكون عندهم ومتى إحتجت اليهم ولو فى شربة ماء
نقص قدرك عندهم بقدر حاجتك اليهم وهذا من حكمة الله ورحمته ليكون الدين كله لله
ولا يشرك به شىء إلخ ("مجموع الفتاوى" - (ج 1 / ص 39))
"Maka nilai seorang hamba yang paling
agung dan paling terhormat di sisi para makhluk adalah jika dia tidak butuh
sama sekali pada mereka. Jika engkau berbuat baik pada mereka bersamaan dengan ketidakbutuhan
kepada mereka, engkau menjadi makhluk paling agung di sisi mereka. Dan kapan
saja engkau butuh kepada mereka –meskipun seteguk air- berkuranglah nilaimu di
sisi mereka sesuai dengan kadar kebutuhanmu pada mereka. Dan ini adalah bagian
dari hikmah Alloh dan Rohmat-Nya agar ketundukan itu hanya diberikan untuk
Alloh, dan tiada sesuatupun yang disekutukan dengan-Nya dst ("Majmu'ul
Fatawa" 1/39).
Maka
bagaiman dengan orang yang mengaku mendukung dakwah dan mengatasnamakan
langkahnya dengan dakwah tapi dirinya justru mencoreng nama baik Dakwah
Islamiyyah Salafiyyah?
Wahb bin
Munabbih –rohimahulloh- berkata pada ‘Atho Al Khurosaniy:
«كان العلماء قبلنا استغنوا بعلمهم عن دنيا غيرهم ، فكانوا لا
يلتفتون إلى دنياهم ، فكان أهل الدنيا يبذلون لهم دنياهم ، رغبة في علمهم ، فأصبح
أهل العلم منا اليوم يبذلون لأهل الدنيا علمهم ، رغبة في دنياهم ، فأصبح أهل
الدنيا قد زهدوا في علمهم ، لما رأوا من سوء موضعه عندهم ، فإياك وأبواب السلاطين
، فإن عند أبوابهم فتنا كمبارك الإبل، لا تصيب من دنياهم شيئا إلا أصابوا من دينك مثله
»
“Dulu para ulama
sebelum kita merasa cukup dengan ilmu mereka dari dunia orang lain. Dulu mereka
tidak menoleh kepada dunia mereka. Makanya ahli dunia mencurahkan dunianya
untuk ulama tadi karena berhasrat mendapatkan ilmu mereka. Sekarang jadilah ulama
dari kalangan kita mencurahkan ilmu mereka kepada ahlu dunia karena berhasrat
kepada dunia mereka. Maka jadilah ahlu dunia telah merasa tidak butuh kepada
ilmu mereka karena melihat jeleknya posisinya di sisi mereka. Maka hindarilah
olehmu pintu-pintu para penguasa, karena sungguh ada fitnah di pintu-pintu
mereka, bagaikan tempat mendekamnya onta. Tidaklah kamu mengambil dunia mereka
sedikitpun kecuali mereka akan mengambil semisalnya dari agamamu.” (“Asy
Syari’ah”/oleh Al Imam Al Ajurriy –rohimahulloh-/no. 70).
Lalu Al Imam
Al Ajurriy –rohimahulloh- berkata:
فإذا كان يخاف على العلماء في ذلك الزمان ،
أن تفتنهم الدنيا ، فما ظنك في زمننا هذا ؟ الله المستعان ما أعظم ما قد حل
بالعلماء من الفتن ، وهم عنه في غفلة
“Jika
dulunya ditakutkan pada para ulama pada zaman itu untuk terfitnah dengan dunia,
maka bagaimana dugaanmu pada zaman kita ini? Wallohul musta’an, alangkah
besarnya fitnah yang menimpa ulama dalam keadaan mereka melalaikannya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
–rohimahulloh- berkata:
وقد تواترت الأحاديث عن النبي صل بتحريم
مسألة الناس إلا عند الضرورة
“Hadits-hadits
telah mutawatir bahwasanya Nabi –shollallohu 'alaihi wasallam- mengharomkan
minta-minta pada manusia kecuali di saat darurat.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal.
316).
Al Imam Al Hafizh
Ibnul Qoththon Al Fasiy –rohimahulloh- berkata:
واتفقوا أن المسألة حرام. ("الإقناع
في مسائل الإجماع"/7/3/ص397).
“Para ulama telah
sepakat bahwasanya meminta-minta itu harom.” (“Al Iqna’ Fi Masailil
Ijma’”/7/3/hal. 397).
Dan
mengemis atas nama dakwah sudah menjadi sifat kebanyakan hizbiyyun, bukan sifat
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata:
فالحق أنّهم شوهوا الدعوة، - إلى
قوله: -
وقد ساءت النيات بسبب الدنيا، فقد كان يأتيني أصحاب إبّ ويقولون لي: يا أبا
عبدالرحمن قل للأستاذ محمد المهدي يجلس لنا في المسجد، يعلمنا العلم. وقد كنت أحسن
به الظن، وهم كذلك يحسنون به الظن، فقلت له فأبى، وما عرفنا أنه جوال لجمع
الدنانير والأموال، فلا تسمع به إلا في دولة قطر، وأخرى في السعودية، ومرة في
أمريكا، -إلى قوله: - ثم يأتي عقيل ويقول: قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله
وسلم: ((أنا وكافل اليتيم كهاتين)). ويأتي محمد المهدي ويقول:﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير
تجدوه عند الله﴾. وانظروا إلى المجلة الشحّاذة
(مجلة الفرقان) هل تجدون عددًا ليس فيه شحاذة.
“Sebenarnya mereka
itu sungguh telah memperburuk citra dakwah –sampai ucapan beliau:- niat-niat
telah menjadi jelek karena dunia. Dulu orang-orang propinsi Ibb mendatangiku
dan berkata: “Wahai Abu Abdirrohman, katakanlah pada Al Ustadz Muhammad Al
Mahdi agar mau duduk untuk kami di masjid dan mengajari kami ilmu.” Dulu aku
berbaik sangka padanya. Demikian pula mereka berbaik sangka padanya. Kukatakan
padanya yang demikian itu tapi dia menolak. Kami tidak tahu bahwasany dirinya
itu gemar bepergian demi mengumpulkan dinar-dinar dan harta. Tidaklah kamu
dengar berita tentang dirinya kecuali dia itu sudah ada di Negara Qothor,
terkadang di Saudi, dan suatu kali di Amerika. –sampai ucapan beliau:- lalu
datanglah ‘Aqil (Al Maqthoriy) dan berkata: Rosululloh –shollallohu 'alaihi
wasallam- bersabda: “Aku dan pengasuh anak yatim bagaikan kedua jari
ini.” Dan datang Muhammad Al Mahdi dan berkata: “Dan kebaikan
apapun yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan
mendapatkannya di sisi Alloh.” Dan lihatlah majalah pengemis: Majalah
“Al Furqon”. Apakah kalian mendapatkan edisi yang di situ tidak ada sikap
mengemis?” (lihat lengkap di “Tuhfatul Mujib”/hal. 75-79).
Bab Lima: Meminta-minta Atas Nama Agama, Padahal Diri Sendiri Akan Turut
Menikmati Keuntungan Merupakan Gaya Hizbiyyin
Keadaan
sebagian hizbiyyin itu seperti yang diucapkan Al Imam Al Wadi’iy
–rohimahulloh-:
..وخصوصًا إذا كنت تاجرًا، فهو مستعد أن يأخذ عمامته ويمسح الغبار
عن نعليك، أو كان لك من السلطة شيء، أو كنت متبوعًا، فهم مستعدون أن يتابعوك حتى
يظفروا بك ويصطادوك. ("تحفة المجيب" ص 151)
“… dan khususnya
jika engkau adalah seorang pedagang, maka dia siap untuk mengambil sorbannya
dan menghapus debu yang ada di kedua sandalmu. Atau jika kamu punya sedikit
kekuasaan, atau kamu adalah seorang pemimpin yang diikuti, maka mereka siap
untuk membuntutimu sampai bisa merekrutmu dan menjaringmu.” (“Tuhfatul
Mujib”/hal. 151).
Di antara
metode dakwah yang batil adalah meminta-minta setelah ceramah. Ini merupakan
gaya hizbiyyin dan beberapa kelompok ahlul bida'. Sudah banyak fatwa Imam Al
Wadi'iy -rahimahulloh- tentang hal itu. Beliau pernah ditanya:
يأتي إلى
أمريكا من ينسب نفسه إلى أهل السنة، ومنهم عقيل المقطري، ويخطب في المساجد،
وبعدها يقوم بجمع التبرعات للجمعية فما حكم ذلك؟
"Ada seseorang yang datang ke Amerika
dan menisbatkan dirinya kepada Ahlussunnah. Di antara mereka adalah 'Aqil Al
Maqthory. Dia berkhothbah di beberapa masjid, dan setelah itu dia berdiri untuk
mengumpulkan sumbangan buat jam'iyyah. Maka apa hukum perbuatan itu?
Maka beliau menjawab:
دعوة
الإخوان المسلمين دعوة مادية دنيوية، ولجمع الأموال، ففي ذات مرة خرجنا دعوة،
وخرج معنا عبدالله النهمي رحمه الله فقد قتل في أفغانستان ، وعبدالوهاب صهر حزام
البهلولي، وقالوا: نحن نطلب تبرعات، فقلنا: هذه ليست من سمات أهل السنة
"Dakwah Ikhwanul Muslimin adalah
dakwah materiil keduniaan, untuk mengumpulkan harta. Pernah pada suatu hari
kami keluar untuk berdakwah, dan keluarlah bersama kami Abdulloh An Nahmy
-rahimahulloh- -beliau telah terbunuh di Afganistan- dan juga Abdul Wahhab
besan Hizam Al Bahluly. Dan mereka berkata,"Kami akan meminta sumbangan.
Maka kami berkata,"Ini bukanlah alamat Ahlussunnah." dst
("Tuhfatul Mujib" hal. 75 dst)
Al Imam Al
Wadi'i rohimahulloh berkata dalam masalah minta-minta: "Dan bukanlah kami mendakwahi manusia untuk mengambil harta
mereka. Kalaupun engkau pergi ke negri manapun dari negri-negri Islam engkau
tak akan melihat seorang sunni yang berdiri dan memberikan nasihat kepada
manusia hingga membikin mereka menangis, lalu setelah itu dia menggelar
sorbannya di pintu ("Tuhfatul Mujib" hal. 75-76).
Beliau rohimahulloh juga berkata:
وقد
أخبرني أخ جاء من أمريكا أنّهم كانوا يتجولون في أمريكا، ويلقون المحاضرات
ويقولون: أنا وكافل اليتيم كهاتين، فقام شخص عليهم وقد كان يريد مساعدة البوسنة
والهرسك فقال لهم: كافل اليتيم الذي يكفله، وليس الذي يشحذ فجرى بينهم الخصام من
أجل الدنيا. والدعوة عند أن دخلتها المطامع الدنيوية قلّت بركتها: ﴿ألا لله الدّين
الخالص﴾، ويقول: ﴿وما أمروا إلا
ليعبدوا الله مخلصين له الدّين﴾. ("تحفة
المجيب" ص 147)
“Telah mengabariku seorang saudara yang datang dari Amerika bahwasanya mereka itu
(tokoh-tokoh hizbiyyun yang tersebut sebelumnya) berkeliling di Amerika,
menyampaikan ceramah-ceramah dan berkata (Menyebut sabda Rosululloh
–shollallohu 'alaihi wasallam-): “Aku dan pengasuh anak yatim bagaikan
kedua jari ini.” Maka seseorang berdiri menghadap mereka -dan dia
menginginkan pengumpulan bantuan buat Bosnia dan Herzegovina- seraya berkata
pada mereka, “Pengasuh yatim adalah orang yang benar-benar mengasuhnya, bukan
orang yang mengemis.” Maka terjadilah pertengkaran di antara mereka karena
dunia. Dakwah jika dimasuki hasrat-hasrat duniawi itu kecil barokahnya. (Alloh
ta’ala berfirman yang artinya:) “Ketahuilah: Hanya milik Alloh sajalah
agama yang murni.” Dan berfirman: “Dan tidaklah mereka
diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Alloh dalam keadaan
memurnikan agama kepada-Nya.” (“Tuhfatul Mujib”/hal. 147).
Masjid adalah
rumah Alloh ta’ala yang di situ wajib para hamba mengagungkan Alloh ta’ala, dan
memuliakan agama-Nya. Adapun mempergunakan masjid untuk sarana mengemis dan
agar dakwah itu dikasihani, maka ini merupakan pelanggaran dari tujuan di atas.
Imam Al Wadi'iy -rahimahulloh- di antara fatwanya adalah:
خذوا لكم مكبر صوت واخرجوا في الشوارع. أما
بيوت الله فلم تبن إلا لذكر الله ولم تبن للشحاذة. وأقول إنه ينبغي أن يخرج من المسجد هذا الذي يقوم في بيت الله للشحاذة إلخ
"Ambil saja oleh kalian pengeras suara
dan keluarlah ke jalan-jalan. Adapun rumah-rumah Alloh, maka dia itu dibangun
untuk dzikrulloh, dan bukan dibangun untuk mengemis. Dan aku katakan: Orang
ini, yang berdiri di masjid untuk mengemis dia harus dikeluarkan dari
masjid" dst ("Ghorotul Asyrithoh" 1/536-537)
Bab Enam: Memberikan Syafa’at Dalam Kebaikan Itu Disyari’atkan
Pembahasan
di atas adalah terkait dengan perbuatan meminta-minta atas nama dakwah, atau
atas nama ayak yatim dan sebagainya akan tetapi si pelakunya memang berniat
untuk mengambil sebagian harta tadi untuk keuntungan dirinya sendiri. Hanya
saja dia memakai nama dakwah atau anak yatim dan sebagainya untuk menggerakkan
hati masyarakat.
Adapun
jika pemerintah menuntut masyarakat untuk menunaikan zakat sebagaimana
mestinya, dan pemerintah menunjuk beberapa orang sebagai petugas untuk mengurus
zakat tadi, pengurus resmi tadi berhak mendapatkan bagian dari zakat tadi, yang
pembagiannya sesuai dengan ijtihad pemerintah, dan masing-masing pihak
melangkah dengan menaati syariat Alloh dan Rosul-Nya, bukan dengan hawa nafsu
sendiri-sendiri.
Adapun
syafa’at, yaitu seseorang berkata pada orang lain: “Bantulah orang-orang
miskin, bantulah anak-anak yatim, bantulah para janda,” dan dia sendiri tidak
mengambil keuntungan duniawi apa-apa, maka hal itu bukanlah perkara yang
dilarang. Bahkan hal itu disyariatkan dan mendapatkan pahala yang banyak.
Alloh
ta’ala berfirman:
﴿مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا
وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا﴾.
“Barangsiapa memberikan suatu
syafaat yang baik, dia akan mendapatkan bagian dari pahala syafaat tadi. Dan
barangsiapa memberikan suatu syafaat yang jelek, dia akan mendapatkan bagian
dari dosa syafaat tadi.” (QS. An
Nisa: 85).
Al
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:
وقوله: { من يشفع شفاعة
حسنة يكن له نصيب منها } أي: من سعى في أمر، فترتب عليه خير، كان له نصيب من ذلك {
ومن يشفع شفاعة سيئة يكن له كفل منها } أي: يكون عليه وزر من ذلك الأمر الذي ترتب
على سعيه ونيته.
“Firman-Nya: “Barangsiapa
memberikan suatu syafaat yang baik, dia akan mendapatkan bagian dari pahala
syafaat tadi.” Yaitu: Barangsiapa berupaya melakukan suatu perkara yang
mengakibatkan kebaikan, maka dia mendapatkan bagian dari pahala kebaikan tadi.
“Dan barangsiapa memberikan suatu syafaat yang jelek, dia akan mendapatkan
bagian dari dosa syafaat tadi.” Yaitu: maka dia mendapatkan bagian dari
dosa dari perkara yang timbul sebagai akibat dari upaya dan niatnya tadi.”
(“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 368).
Dari
Abu Musa Al Asy’ariy rodhiyallohu ‘anh yang berkata:
كان رسول الله صلى الله
عليه وسلم إذا جاءه السائل أو طلبت إليه حاجة قال اشفعوا تؤجروا ويقضي الله على
لسان نبيه صلى الله عليه وسلم ما شاء .
“Dulu Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam jika didatangi oleh orang yang meminta, atau beliau dimintai
suatu keperluan, beliau bersabda (pada para Shohabat): “Berikanlah
syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala. Dan Alloh akan memberikan keputusan
sekehendak-Nya melalui lisan Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam.”
(HR. Al Bukhoriy (1432) dan Muslim (2627)).
Dan
dari Wahb bin Munabbih, dari saudaranya yang berkata:
عن معاوية : اشفعوا تؤجروا
فإني لأريد الأمر فأؤخره كيما تشفعوا فتؤجروا فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم
قال " اشفعوا تؤجروا " .
“Dari Mu’awiyah yang berkata:
“Berikanlah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala, karena
sesungguhnya terkadang aku menginginkan suatu perkara, lalu aku menundanya agar
kalian memberikan syafaat, lalu kalian mendapatkan pahala, karena sesungguhnya
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah syafaat, niscaya
kalian akan mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud (5132)/shohih).
Al
Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh berkata:
أي إذا عرض المحتاج حاجته
علي فاشفعوا له إلي فإنكم إن شفعتم حصل لكم الأجر سواء قبلت شفاعتكم أم لا، ويجري
الله على لسان نبيه ما شاء أي: من موجبات قضاء الحاجة أو عدمها أي: إن قضيتها أو
لم أقضها فهو بتقدير الله تعالى وقضائه. ("فتح الباري" /10 /ص451).
“Yaitu: jika orang yang berhajat
itu menyampaikan hajatnya kepadaku, maka hendaknya kalian memberikan syafaat
untuknya kepadaku, karena sesungguhnya jika kalian memberikan syafaat, kalian
akan mendapatkan pahala, sama saja apakah syafaat kalian diterima ataukah
tidak. Dan Alloh akan memperjalankan melalui lidah Nabi-Nya apa yang Dia
kehendaki. Yaitu: sebagai bagian dari ketentuan dipenuhinya hajat tadi ataukah
tidak. Yaitu: jika aku memenuhinya ataupun aku tidak memenuhinya dengan taqdir
dan ketetapan Alloh ta’ala.” (“Fathul Bari”/10/hal. 451).
Dan
hadits perintah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam di hari ‘Id agar para wanita
itu bershodaqoh, itu juga bagian dari syafaat, bukan dalil yang mendukung para
pemburu harta untuk meraup harta umat, lalu mengambil sebagiannya untuk kepentingan
sendiri.
Oleh
karena itulah maka Ibnu Baththol rohimahulloh memasukkan itu dalam bidang
syafa’at. Beliau rohimahulloh berkata dalam syaroh hadits tersebut:
الشفاعة فى الصدقة وسائر
أفعال البر، مرغب فيها، مندوب إليها، ألا ترى قوله - صلى الله عليه وسلم - : «
اشفعوا تؤجروا » ، فندب أمته إلى السعى فى حوائج الناس، وشرط الأجر على ذلك،
ودَلَّ قوله - صلى الله عليه وسلم - : « ويقضى الله على لسان نبيه ما شاء » أن
الساعى مأجور على كل حال، وإن خاب سعيه ولم تنجح طلبته، وقد قال - صلى الله عليه
وسلم - : « الله فى عون العبد ما كان العبد فى عون أخيه » . (شرح ابن بطال"/12 /ص214).
“Syafa’at dalam shodaqoh dan
seluruh perbuatan kebajikan itu sangat dianjurkan dan didorong. Apakah engkau
tidak melihat sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “Berikanlah
syafaat, niscaya kalian akan mendapatkan pahala.” Maka beliau mendorong
umat beliau untuk berupaya memenuhi keperluan-keperluan manusia, dan beliau
menjanjikan pahala atas perbuatan tadi. Dan sabda beliau shollallohu ‘alaihi
wasallam: “Dan Alloh akan memberikan keputusan sekehendak-Nya melalui
lisan Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam” itu menunjukkan bahwasanya
orang yang berupaya memberikan syafaat itu akan mendapatkan pahala dalam semua
keadaannya sekalipun upayanya tadi gagal dan tidak berhasil. Dan Nabi shollalohu
‘alaihi wasallam telah bersabda: “Alloh itu selalu menolong sang hamba, selama
sang hamba tadi menolong saudaranya.” (selesai dari “Syarh Shohihil
Bukhoriy”/Ibnu Baththol/12/hal. 214).
Bab tujuh: Lebih Baik Berhutang Daripada Meminta-minta
Setelah
kita tahu buruknya meminta-minta tanpa udzur syar’iy, dan kita tahu bahwasanya
hal itu berbeda dengan bab syafa’at, maka hendaknya kita menghindari amalan
buruk tadi (meminta- minta). Kalaupun kita amat memerlukan uang, hendaknya kita
mohon pada Alloh ataupun juga berhutang, sebagaimana yang disyariatkan oleh
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam.
Dari
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata:
أن رجلا أتى النبي صلى
الله عليه وسلم يتقاضاه فأغلظ فهم به أصحابه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم
دعوه فإن لصاحب الحق مقالا ثم قال أعطوه سنا مثل سنه قالوا يا رسول الله إلا أمثل
من سنه فقال أعطوه فإن من خيركم أحسنكم قضاء. (أخرجه البخاري (2306) ومسلم (1601)).
“Bahwasanya ada
seseorang yang mendatang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- sambil menuntut
beliau untuk membayar hutang. Dia berbicara dengan kasar pada Nabi. Maka para Shohabat beliau ingin memukulnya, maka Rosululloh صلى الله عليه
وسلم bersabda: "Biarkanlah dia,
karena sesungguhnya pemilik hak itu berhak bicara." Lalu beliau bersabda:
“Berikanlah untuk dia hewan yang usianya sama dengan usia hewan yang aku
pinjam itu.” Mereka berkata: “Wahai Rosululloh, tidak ada kecuali hewan
yang lebih bagus dari hewan dia itu. Maka beliau bersabda: “Berikanlah
padanya, karena sesungguhnya sebaik-baik dari kalian adalah orang yang paling
baik pelunasan hutangnya.” (HR. Al Bukhoriy (2306) dan Muslim (1601)).
Bukan berarti Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam meminta harta pada orang lain, untuk melunasi utang-utang beliau, akan
tapi beliau memerintahkan Abu Rofi’ yang menjadi pembantu beliau dan pengurus
sebagian keuangan beliau untuk membeli seekor onta dari onta-onta shodaqoh
untuk dibayarkan pada pihak yang pertama tadi, sebagaimana dalam riwayat yang
lain.
Di dalam hadits ini dan
hadits-hadits yang terkait dengannya ada beberapa faidah, di antaranya adalah
sebagaimana yang disebutkan oleh Al Imam Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahulloh: “Dan
di dalam hadits ini adalah dalil akan bolehnya menuntut pembayaran hutang jika
waktunya telah tiba. Dan di dalam hadits ini juga ada dalil akan bagusnya
akhlaq Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, agungnya kesabaran beliau, tawadhu’nya
beliau, dan adilnya beliau, dan bahwasanya orang yang memikul hutang itu tidak
boleh bersikap kasar pada si pemilik hak. Dan (ada faidah lain) barangsiapa
beradab dengan jelek pada seorang imam, dia harus dihukum sesuai dengan
kondisinya, kecuali jika si pemilik hak tadi memaafkan. Di dalam hadits tadi
juga ada faidah sesuai dengan judul dalam bab ini, yaitu: bolehnya berhutang onta.
Dan termasuk di dalmnya adalah segala jenis binatang. Dan ini adalah ucapan
kebanyakan ulama.” (selesai dari “Fathul Bari”/5/hal. 57).
Itulah Rosululloh sholllohu ‘alaihi
wasallam, beliau terkadang terpaksa berhutang untuk memenuhi keperluan beliau,
akan tetapi beliau adalah orang yang paling jujur dan paling berusaha untuk
membayar hutang beliau kembali.
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang
berkata:
كان
على رسول الله صلى الله عليه و سلم بردان قطريان غليظان خشنان فقلت : يا رسول الله
إن ثوبيك خشنان غليظان و إنك ترشح فيهما فيثقلان عليك و أن فلانا قدم له بز من
الشام فلو بعثت إليه فأخذت منه ثوبين بنسيئة إلى ميسرة فأرسل إليه رسول الله صلى
الله عليه و سلم فقال : قد علمت ما يريد محمد أن يذهب بثوبي و يمطلني فيهما فأتى
الرسول إلى النبي صلى الله عليه و سلم فأخبره فقال النبي صلى الله عليه و سلم قد
كذب قد علموا أني أتقاهم لله و أداهم للأمانة.
Dulu Rosululloh sholllallohu ‘alaihi wasallam punya dua
burdah dari Qothr yang kasar dan tebal. Aku berkata: “Wahai Rosululloh,
sesungguhnya kedua baju Anda itu kasar dan tebal, dan Anda itu berpeluh di
dalamnya sehingga hal itu akan semakin memberatkan Anda. Dan sesungguhnya si
fulan telah tiba baju-baju dia dari Syam. Andaikata Anda mau mengutus seseorang
kepadanya untuk membeli dua baju darinya dengan pembayaran tertunda sampai
Alloh memudahkan.” Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mengirimkan utusan
kepadanya untuk keperluan tadi. Maka orang itu menjawab: “Aku telah tahu apa
yang diinginkan Muhammad, dia ingin membawa pergi dua bajuku dan mengulur-ulur
pembayarannya.” Maka sang utusan mendatangi Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam,
lalu dia mengabari beliau akan jawaban orang tadi. Maka Nabi shollallohu ‘alai
wasallam bersabda: “Dia dusta. Dia telah tahu bahwasanya aku adalah orang yang
paling bertaqwa pada Alloh dan paling menunaikan amanah.” (HR. Al Hakim (2207) dengan sanad yang shohih).
Bab Delapan: Lebih Baik Berniaga
Daripada Meminta-minta
Jika kita
sudah tahu buruknya meminta-minta, maka berniaga itu lebih baik daripada dia,
karena niaga itu halal, dan meminta-minta itu harom. Alloh ta’ala berfirman
tentang jual-beli:
{وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا} [البقرة: 275]
“Dan Alloh
menghalalkan jual-beli dan mengharomkan riba.”
Alloh ta’ala
juga berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ }
[النساء: 29]
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian secara batil, akan
tetapi hendaknya ada jual beli yang didasari oleh saling ridho di antara
kalian.”
Dan jual
beli yang jujur itu mendatangkan keberkahan.
Dari Hakim
bin Hizam rodhiyallohu ‘anhu yang berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam
bersabda:
«البيعان بالخيار ما لم يتفرقا - أو قال: حتى
يتفرقا - فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما ، وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما». (أخرجه البخاري
(2079) ومسلم (1532)).
“Dua orang yang berjual-beli itu memiliki hak untuk
memilih selama belum saling berpisah. –atau beliau bersabda: “Sampai sama-sama
berpisah.”- “Jika kedua-duanya itu jujur dan terus terang, akan diberkahi untuk
mereka berdua di dalam jual-belinya. Tapi jika kedua-duanya bersikap rahasia
dan berdusta, akan rusaklah keberkahan jual beli mereka.” (HR. Al
Bukhoriy (2079) dan Muslim (1532)).
Dan Al
Miqdam rodhiyallohu ‘anhu yang berkata, dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wasallam yang bersabda:
ما أكل أحد طعاما قط خيرا
من أن يأكل من عمل يده وإن نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده.
“Tidaklah seseorang itu memakan makanan yang lebih baik
sama sekali daripada dia memakan dari hasil kerja tangannya. Dan sesungguhnya
Nabiyulloh Dawud ‘alaihis salam itu biasa memakan dari hasil kerja beliau
sendiri.” (HR. Al Bukhoriy (2072)).
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh
-shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
كان زكرياً نجاراً
“Dulu Zakariyya
adalah tukang kayu.” (HR. Ibnu Majah (2150)/shohih).
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.
جزاكم الله خيرا
BalasHapus