Senin, 08 Februari 2016

Hukum Minum Dengan Dua Tangan

بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Minum dengan Dua Tangan

الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم، أما بعد:
            Pertanyaan: apa hukum meminum dengan tangan kiri sambil tangan kanan ditempelkan ke bawah gelas? Kabarnya Asy Syaikh Al Utsaimin membolehkan itu.
            Jawaban kami dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
            Meminum dengan tangan kiri adalah harom, berdasarkan dalil-dalil yang jelas tentang masalah ini. Adapun orang yang memegang gelas dengan tangan kiri sambil punggung tangan kanan memikul dasar gelas, maka hal ini kembali pada kondisi yang dominannya. Jika tangan kanan itulah yang dominan memegang gelas, maka tidak apa-apa. Tapi jika tangan kiri itulah yang dominan dalam memegang gelas, maka dia jatuh ke dalam perkara yang harom.
            Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rohimahulloh berkata: “Syariat itu memandang adalah kondisi yang dominan, dan membuang kondisi yang langka dan jarang.” (“Ihkamul Ahkam”/hal. 407).
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Dan hukum-hukum itu hanyalah berlaku pada yang dominan dan banyak. Sementara yang langka itu masuk dalam hukum tidak ada.” (“Zadul Ma’ad”/5/hal. 378/cet. Ar Risalah).
            Al Qorofiy rohimahulloh berkata: “Dan syariat itu hanyalah membangun hukum-hukumnya di atas perkara yang dominan.” (“Anwarul Buruq Fi Anwa’I Furuq”/7/hal. 460).
            Adapun alasan orang yang membolehkan cara minum semacam tadi dengan fatwa Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh, maka silakan membaca fatwa beliau secara lengkap:
            Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh ditanya: “Memakan dengan tangan kiri itu diharomkan, ataukah masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama?”
            Maka beliau rohimahulloh menjawab: memakan dengan tangan kiri karena suatu udzur itu tidak mengapa. Adapun tanpa udzur, maka dia itu adalah harom, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarangnya dan bersabda:
(إن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله)
“Sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, dan minum dengan tangan kirinya.”
            Dan Alloh ta’ala telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ [النور:21]
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Dan barangsiapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu memerintahkan pada kekejian dan kemungkaran.”
            Kemudian sesungguhnya setan itu gembira jika engkau makan dengan tangan kirimu, karena engkau menjadi pengikut dia dan menjadi orang yang menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam. Masalah ini tidaklah remeh! Jika engkau makan dengan tangan kirimu atau engkau minum dengan tangan kirimu, setan gembira dengan kegembiraan yang lebih besar daripada sekedar perkara tadi adalah suatu perbuatan. Dia gembira karena engkau mencocoki dia dan engkau menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan sabda beliau dan perbuatan beliau. Maka masalah ini tidaklah remeh.
            Oleh karena itulah maka para penuntut ilmu wajib mengingatkan masyarakat tentang hal itu. Banyak dari orang-orang kita dapati mereka ketika makan, mereka memakan dengan tangan kiri, dan mereka berkata: “Kami khawatir gelasnya akan kotor.” Padahal kondisi kebanyakan gelas sekarang adalah terbuat dari wariq (semacam polyestrin) yang tidak ada satu orangpun minum darinya setelahmu. Biarkan saja dia terkotori.
            Kemudian mungkin saja engkau memegangnya, sekalipun dia itu terbuat dari kaca, engkau pegang di bagian bawahnya, di antara jari telunjuk dan ibu jari, dan engkau minum. Kemudian jika ditetapkan bahwasanya engkau tidak mungkin memegang dengan cara ini ataupun itu, kalaupun gelasnya terkotori, cuci sajalah, bukanlah itu suatu masalah, karena selama diketahui bahwasanya memegang dengan tangan kiri adalah harom, dan pelakunya melakukan dosa dengan meminum dengan cara itu, maka perkara yang harom itu tidak boleh dikerjakan kecuali karena dhoruroh.”
            Si penanya berkata: “Jika dia memegangnya dengan tangan kiri dan meletakkan gelas tadi di atas tangan kanan?”
            Asy Syaikh menjawab: “Jika hajat mengharuskan dirinya melakukan itu, maka tidak apa-apa. Jika dia meletakkan gelas tadi di punggung tangan kanan, dan dia memegangnya dengan tangan kiri, jika hajat mengharuskan dia berbuat itu. Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu. Aku telah mencobanya sendiri. Aku memagang gelas di bagian bawahnya dan gelas itu tidak terkotori sama sekali. Kemudian jika dia terkotori, dia begitu terus selama lima menit, dan kotorannya bisa dihilangkan dengan pencucian. Perkaranya mudah saja.
            Demikian pula mengambil dan memberi dengan tangan kiri. Ini juga menyelisihi sunnah, dan hal itu dilarang.”
            Si penanya bertanya: “Akan tetapi apakah ada perkataan ulama yang membolehkannya?”
            Asy Syaikh menjawab: “Sebagian ulama berpandangan bahwasanya hal itu adalah makruh. Akan tetapi wahai Saudaraku! Aku nasihati engkau dan yang lainnya: jika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mengucapkan suatu perkataan, janganlah engkau berkata: “Apakah sebagian ulama berkata demikian?” Para ulama berfatwa dengan pemahaman, jika suatu dalil sampai pada mereka, terkadang mereka keliru dalam memahami. Dan terkadang dalil itu belum sampai pada mereka. Dan terkadang dalil itu tersamarkan.
            Bukankah hadits tentang wabah Tho’un itu tersamarkan pada para Shohabat rodhiyallohu ‘anhum semuanya? Manakala Umar rodhiyallohu ‘anhu datang ke Syam, dikatakan pada beliau: “Sesungguhnya di Syam sedang ada Tho’un.” Maka Umar berhenti dan bermusyawarah dengan para Shohabat. Beliau mendatangkan para Muhajirin, dan Anshor, lalu beliau mengajak mereka bermusyawarah sendiri-sendiri. Dan mereka semua tidak tahu hadits tadi. Akan tetapi segala pujian bagi Alloh semata, Alloh memberi mereka taufiq pada kebenaran, untuk pulang kembali dan tidak mendatangi Syam. Saat itu Abdurrohman bin Auf rodhiyallohu ‘anh itulah yang meriwayatkan hadits tadi, akan tetapi beliau sedang tidak ada karena suatu hajat. Kemudian beliau datang, lalu beliau menyampaikan hadits tadi pada mereka. Hadits tadi tersamarkan pada semua Shohabat tadi, padahal kita tahu bahwasanya mereka masih terbatas di suatu tempat. Maka bagaimana setelah umat dan ulama itu tersebar?!!
            Maka kita tidak boleh membantah sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dengan ucapan: “Apakah ada perselisihan di dalam masalah ini?” “Bukankah sebagian ulama berkata demikian?”
            Jika Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda pada kita:
(لا يأكل أحدكم بشماله، ولا يشرب بشماله فإن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بشماله)
“Janganlah salah seorangpun dari kalian makan dengan tangan kirinya, dan jangan pula minum dengan tangan kirinya, karena sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya, dan minum dengan tangan kirinya.”
            Selesai pembahasan.
            Jika engkau memberikan pilihan pada seorang mukmin manapun: “Apakah engkau mencintai jalan Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam, ataukah langkah-langkah setan?” apa yang akan dia katakan? Dia akan berkata: “Jalan Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam.”
            Si penanya bertanya: “Wahai Fadhilatusy Syaikh, maksud saya adalah: bahwasanya sebagian orang menisbatkan pada sebagian ulama bahwasanya hal itu adalah tidak harom. Maka saya ingin memastikan.”
            Asy Syaikh menjawab: “Ini baik. Dan Ibnu Abbas rohdiyallohu ‘anhuma berkata:
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء، أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر
“Hampir-hampir akan turun batu dari langit menimpa kalian. Aku berkata: “Rosululloh bersabda,” dan kalian berkata: “Abu Bakr dan Umar berkata.”
Dan siapakah para ulama itu dibandingkan dengan Abu Bakr dan Umar? Padahal Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang mereka berdua:
(إن يطيعوا أبا بكر وعمر يرشدوا)
“Jika mereka menaati Abu Bakr dan Umar niscaya mereka akan terbimbing.”
            Dan beliau bersabda:
(اقتدوا باللذين من بعدي: أبي بكر وعمر )
“Teladanilah dua orang sepeninggalku: Abu Bakr dan Umar.”
            Telah ditetapkan untuk mengambil pendapat mereka berdua maka jika Abu Bakr dan Umar menyelisihi Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam dan kita mengambil pendapat mereka berdua, dikhawatirkan akan turun pada kita batu dari langit. Maka bagaimana mengambil pendapat dari selain mereka berdua?!!
            Oleh karena itu, hakikat yang sangat menyakitiku: jika seseornag berkata jika misalkan aku katakan padanya: “Rosul shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian,” dia menjawab: “Dalam masalah ini ada perselisihan.”
            Orang yang menyelisihi boleh jadi punya udzur dalam penyelisihan nash tadi karena penakwilannya, atau tidak tahunya dia. Akan tetapi aku tidak punya udzur. Dan bukanlah jika orang yang diikuti itu mendapatkan udzur maka pengikutnya juga mendapatkan udzur.”
(selesai dari “Liqoatul Babil Maftuh”/4/hal. 55).
            Dari fatwa tadi kita mendapatkan faidah sebagai berikut:
Yang pertama: makan atau minum dengan tangan kiri adalah harom, karena yang demikian itu menyerupai perbuatan setan.
Yang kedua: tidak boleh membantah dalil yang jelas dengan ijtihad sebagian ulama.
Yang ketiga: Asy Syaikh Al Utsaimin hanyalah memboleh perkara yang ditanyaka dalam soal tadi dengan syarat: orang tadi berhajat pada amalan tersebut.
Yang keempat: Asy Syaikh berkata setelah menyebutkan bolehnya amalan tadi dengan syarat adanya hajat: “Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”
Yang kelima: mencegah terkotorinya gelas karena adanya sisa-sisa makanan di tangan kanan itu bukanlah termasuk hajat yang membolehkan dia melakukan perkara tadi.
            Maka kesimpulannya: tidak ada hajat untuk berbuat apa yang disebutkan dalam soal tadi. Dan hukumnya itu tetap harom. Akan tetapi jika ditetapkan kita memang berhajat untuk melakukan perkara tadi, maka tidak mengapa.
            Dan jika kita ditanya: kenapa meminum dengan dua tangan semacam tadi diperbolehkan ketika ada hajat, padahal hukum asal meminum dengan tangan kiri adalah harom?
            Jawabannya dengan memohon pertolongan Alloh: hal itu dikarenakan larangannya tadi adalah dalam rangka menutup pintu dan memutuskan sarana penyerupaan dengan setan, oleh karena itulah maka perbuatan tadi diperbolehkan jika memang ada HAJAT atau MASLAHAT YANG LEBIH KUAT. Dan hal ini berhubungan dengan kaidah: KESULITAN ITU MENDATANGKAN PEMUDAHAN.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Suatu perkara yang dilarang dalam rangka menutup sarana kejelekan, bukan karena perkara tadi pada dasarnya adalah suatu kerusakan, dia itu disyariatkan di dalamnya ada suatu maslahat yang lebih kuat. Dan kemaslahatan itu tidak boleh disia-siakan tanpa adanya kerusakan yang lebih besar.” (“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 214).
            Dan demikian pula larangan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dari mengerjakan sholat setelah sholat Ashr atau setelah sholat Shubh dalam rangka menghindari menyerupai para penyembah matahari, lalu beliau sendiri membolehkan sholat yang punya sebab khusus itu dikerjakan pada waktu yang terlarang tadi, DIKARENAKAN KEMASLAHATANNYA ITU LEBIH BESAR.
            Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Larangan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam untuk sholat sebelum terbitnya matahari dan setelah Ashr adalah demi menutup sarana menyerupai orang-orang kafir. Dan beliau membolehkan sholat yang punya kemaslahatan yang lebih besar untuk dikerjakan saat itu,seperti: membayar sholat yang terluputkan, membayar sholat sunnah, sholat jenazah dan sholat tahiyyatul masjid, karena maslahat pengerjaannya itu lebih besar daripada mafsadah larangan tadi. Dan Alloh lebih tahu.” (“Zadul Ma’ad”/3/hal. 426).
            Dan apa arti HAJAT itu?
            Al Imam Asy Syathibiy rohimahulloh berkata: “Adapun HAJAT-HAJAT itu maknanya adalah: bahwasanya perkara-perkara tersebut diperlukan dalam rangka perluasan dan menghilangkan kesempitan yang biasanya akan menyebabkan kesulitan dan kesukaran jika perkara yang diinginkan tadi tidak dilakukan. Maka jika perkara tadi tidak diperhatikan, niscaya secara umum para mukallaf (orang-orang yang terbebani oleh syari’at) akan tertimpa kesukaran dan kesulitan, akan tetapi perkara tadi tidak mencapai derajat kerusakan biasa yang dikhawatirkan mengganggu kemaslahatan orang banyak.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 11-10).
            Maka kita semua wajib bersikap jujur pada Alloh: apakah kita memang sudah mencapai batasan HAJAT untuk minum dengan dua tangan seperti tadi? Ataukah kondisinya adalah seperti yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh: “Akan tetapi aku tidak melihat adanya hajat yang mengharuskan dia berbuat itu.”?
والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar