بسم الله الرحمن
الرحيم
Hukum Bermain Gendang Dan Rebana
Pertanyaan: apa hukum gendang? Apakah dia harom seperti alat musik yang
lain?
Jawaban dengan pertolongan Alloh semata:
Thobl (Gendang)
adalah benda yang telah dikenal, alat musik untuk dipukul, punya satu atau dua
sisi. (“Lisanul Arob”/11/hal. 398).
Dan bermain thobl
(gendang) itu tidak diperbolehkan.
Dari Ibnu Abbas
rodhiyallohu ‘anhuma: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إن الله حرم
علي أو حرم الخمر والميسر والكوبة».
“Sesungguhnya Alloh telah mengharomkan melalui lidahku,
atau mengharomkan khomr (minuman yang memabukkan), maisir (perjudian), dan
kubah (gendang).”
Sufyan berkata: maka aku bertanya pada Ali bin Budzaimah –salah seorang
rowi- tentang kubah, maka beliau berkata: “Thobl (gendang).”
(HR. Ahmad (2476), Abu Dawud (3696) dan Ath Thobroniy dalam “Al Kabir”
(12598)/shohih).
Abu Sulaiman Al
Khoththobiy rohimahulloh berkata: dikatakan bahwa Kubah adalah nard
(dadu), dan masuk di dalamnya semua watar (dawai), muzhir
(semacam rebana tapi punya kerincingan) dan alat-alat permainan yang lainnya.”
(sebagaimana dalam “Ma’rifatus Sunan Wal Atsar” /Al Baihaqiy/16/hal. 30).
Al Al Qoriy rohimahulloh
berkata tentang syarh hadits tadi: “Yaitu: dan Alloh mengharomkan kubah melalui
lidah Rosululloh, yaitu: memukul kubah. Dan kubah
adalah gendang kecil.” (“Mirqotul Mafatih”/13/hal. 246).
Al Munawiy rohimahulloh
berkata: “Dan menjualnya juga batil menurut Asy Syafi’iy. Dan mengambil
harganya (uang hasil penjualannya) itu termasuk memakan dengan batil. Dan
beliau mengingatkan dengan pengharoman gendang tadi, akan haromnya menjual
seluruh alat-alat musik, seperti tambur dan seruling.” (“Faidhul Qodir”/3/hal.
338).
Fadhilatusy Syaikh
Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh rohimahulloh setelah menyebutkan hadits tadi
dalam rangkaian penyebutan dalil-dalil diharomkannya nyanyian, beliau berkata:
“Dan kubah adalah gendang kecil. Ada yang mengatakan: kubah
adalah barith (sejenis gitar/rebab), dan dia adalah alat untuk bernyanyi.
Adapun para imam yang empat, maka mereka –semoga Alloh meridhoi mereka semua-
tidak diam dari menjelaskan hukum perkara yang munkar tadi.” (“Fatawa Wa Rosail
Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh”/10/hal. 173-174).
Al Imam Ibnu Baz
rohimahulloh setelah menyebutkan hadits tadi, beliau berkata: “Dan
hadits-hadits dan atsar-atsar yang banyak telah diriwayatkan tentang tercelanya
nyanyian dan alat-alat permainan, yang ucapanku ini tidak cukup untuk
menyebutkannya. Dan dalil yang kami sebutkan itu sudah cukup dan memuaskan bagi
seorang pencari kebenaran. Dan tidak ada keraguan bahwasanya orang-orang yang
menyerukan ditambahkannya nyanyian-nyanyian dan alat-alat permainan dalam
siaran berita itu, mereka tertimpa bencana dalam pikiran mereka hingga mereka
menganggap bagus perkara yang buruk, dan menganggap buruk perkara yang baik.
Dan mereka mengajak pada perkara yang membahayakan mereka dan membahayakan
orang lain. Dan mereka tidak menyadari bahaya-bahaya, kerusakan-kerusakan dan
kejelekan-kejelekan yang dihasilkan dari perkara tadi. Dan alangkah baiknya
firman Alloh ta’ala Yang berfirman:
﴿أَفَمَنْ زُيِّنَ
لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي
مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا
يَصْنَعُون﴾.
“Maka apakah orang yang dihiaskan untuk dirinya amalan buruknya lalu dia
memandangnya bagus (sama dengan orang yang terbimbing di jalan yang benar)?
Karena sesungguhnya Alloh menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan membimbing
orang yang Dia kehendaki. Maka janganlah jiwamu binasa karena terlalu berduka menyesali
keadaan mereka, sesungguhnya Alloh Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
(selesai dari “Fatawa Ibni Baz”/3/hal. 417).
Sedangkan duff (rebana)
adalah sejenis gendang juga, tapi agak kecil.
Ibnu Hajar rohimahulloh
berkata: “Dan duff adalah yang tidak memiliki kerincing. Jika dia punya
kerincing, maka dia adalah muzhir.” (“Fathul Bari”/2/hal. 441).
Dan wanita boleh
memainkannya di hari raya, hari pernikahan dan hari kegembiraan tertentu yang diidzinkan
oleh syariat.
عن الربيع بنت معوذ بن عفراء قالت: جاء النبي
صلى الله عليه وسلم فدخل حين بني علي فجلس على فراشي كمجلسك مني فجعلت جويريات لنا
يضربن بالدف ويندبن من قتل من آبائي يوم بدر إذ قالت إحداهن: وفينا نبي يعلم ما في
غد. فقال: «دعي هذه وقولي بالذي كنت تقولين».
Dari ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
datang menemuiku ketika aku dinikahi (seseorang). Lalu beliau duduk di atas
tikarku seperti posisi dudukmu di hadapanku ini. Saat itu, ada gadis-gadis
kecil sedang menabuh duff (gendang kecil/rebana) sambil bersenandung
menyebut-nyebut orang-orang yang terbunuh dari kalangan orangtua kami pada
perang Badar. Hingga berkata salah seorang dari gadis kecil itu: "Bersama
kami ada Nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi besok". Maka Nabi
shollallohu 'alaihi wasallam segera berkata: "Janganlah kamu mengatakan
begitu. Tapi cukup katakan apa yang kamu katakan sebelumnya". (HR. Al
Bukhoriy (5147)).
Al ‘Allamah Muhammad
Abdirrohman Al Mubarokfuriy rohimahulloh berkata: “Juwairiyyatain”
dengan pola kecil (dua gadis kecil). Ada yang mengatakan: yang dimaksudkan
adalah: anak-anak kecil Anshor, bukan hamba sahaya. “Mereka memukul duff mereka.”
Dikatakan bahwasanya para anak-anak tadi belum mencapai batasan syahwat, dan
duff mereka itu tidak disertai dengan kerincing.” (“Tuhfatul Ahwadziy”/4/hal.
179).
عن عائشة رضي الله عنها: أن أبا بكر رضي الله
عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم
متغش بثوبه، فانتهرهما أبو بكر، فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال: «دعهما
يا أبا بكر فإنها أيام عيد». وتلك الأيام أيام منى.
Dari 'Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Abu Bakr rodhiyallohu 'anhu pernah
masuk menemuinya pada hari-hari saat di Mina (Tasyriq). Saat itu ada dua anak
wanita yang sedang bermain duff (rebana), sementara Nabi shollallohu 'alaihi
wasallam menutupi wajahnya dengan kain. Kemudian Abu Bakr melarang dan
menghardik kedua anak gadis itu, maka Nabi shollallohu 'alaihi wasallam
menyingkap kain yang menutupi wajah beliau seraya bersabda: "Biarkanlah
keduanya wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari 'Ied." Hari-hari
itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq)." (HR. Al Bukhoriy (987) dan Muslim
(892)).
Al Imam Ibnu Abdil Barr
rohimahulloh berkata dalam membantah orang yang membolehkan rebana secara umum:
“Dan telah datang dalil yang lebih pasti dari sisi sanad tentang dikhususkannya
pembolehan rebana itu pada hari-hari raya dan hari pernikahan saja.” (“At
Tamhid”/22/hal. 199).
Juga di hari kegembiraan
yang besar, dan dilakukan oleh wanita yang dirasa kita aman dari fitnahnya.
Dari Buroidah rodhiyallohu
‘anh berkata:
خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم في بعض
مغازيه فلما انصرف جاءت جارية سوداء فقالت: يا رسول الله إني كنت نذرت إن ردك الله
صالحا أن أضرب بين يديك بالدف وأتغنى. فقال لها رسول الله صلى الله عليه و سلم: «إن
كنت نذرت فاضربي وإلا فلا». فجعلت تضرب فدخل أبو بكر وهي تضرب ثم دخل علي وهي تضرب
ثم دخل عثمان وهي تضرب ثم دخل عمر فألقت الدف تحت استها ثم قعدت عليه، فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: «إن الشيطان ليخاف منك يا عمر إني كنت جالسا وهي تضرب فدخل
أبو بكر وهي تضرب ثم دخل علي وهي تضرب ثم دخل عثمان وهي تضرب فلما دخلت أنت يا عمر
ألقت الدف».
“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah keluar di sebagian
peperangan beliau. Manakala beliau pulang, datanglah seorang hamba sahaya
berkulit hitam seraya berkata: “Wahai Rosulalloh, sesungguhnya saya telah
bernadzar jika Alloh mengembalikan Anda dengan selamat, saya akan memukul
rebana di hadapan Anda dan saya bernyanyi.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wasallam berkata padanya: “Jika engkau telah bernadzar, maka silakan memukul
rebana itu, tapi jika tidak, maka jangan.” Maka mulailah dia memukul rebana.
Lalu Abu Bakr masuk, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah
Ali, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam
keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Umar, maka wanita itu
melemparkan rebananya ke bawah pantatnya/bontotnya, lalu dia duduk di atas
rebananya. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setan itu
benar-benar takut kepadamu wahai Umar. Sungguh aku tadi duduk, dalam keadaan di
wanita tadi memukul rebana. Lalu masuklah Abu Bakr, dalam keadaan di wanita
tadi memukul rebana. Lalu masuklah Ali , dalam keadaan di wanita tadi memukul
rebana. Lalu masuklah Utsman, dalam keadaan di wanita tadi memukul rebana. Lalu
masuklah engkau wahai Umar, maka dia melemparkan rebana tadi.” (HR. Ahmad
(23039), At Tirmidziy (3690)/shohih).
Al Khoththobiy
rohimahulloh berkata: “Memukul rebana bukanlah termasuk perkara yang terhitung
di dalam bab ketaatan pada Alloh yang terkait dengan nadzar. Kondisi terbaiknya
adalah bahwasanya dia itu masuk dalam bab mubah. Hanya saja manakala dia
berhubungan dengan ditampakkannya kegembiraan dengan kepulangan Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam ketika beliau tiba dari sebagian peperangan
beliau, dan amalan tadi membuat orang-orang kafir kecewa, dan kaum munafiqin
jengkel, jadilah penabuhan rebana tadi seperti sebagian pendekatan diri pada
Alloh. Oleh karena itulah maka disukai penabuhan rebana dalam acara pernikahan
karena di dalamnya ada penampakan kegembiraan dan keluar dari makna perzinaan
yang tidak jelas. Dan termasuk yang menyerupai kasus ini adalah sabda Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam tentang menghujat orang kafir:
«اهجوا قريشا
فإنه أشد عليهم من رشق النبل».
“Hujatlah Quroisy, karena hujatan (yaitu hantaman dengan syair) itu lebih
keras bagi mereka daripada tembakan panah.”
(selesai dari “Aunul Ma’bud”/Abuth Thoyyib Abadiy/9/hal. 100).
Dan tidak ada keraguan
bahwasanya menabuh rebana itu khusus bagi wanita: anak kecil atau wanita yang
dirasa tidak menimbulkan fitnah.
Syaikhul Islam
rohimahulloh berkata: “Dan telah diketahui dengan pasti dari agama Islam
bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tidak mensyariatkan untuk
orang-orang sholih dari umat beliau, para ahli ibadah mereka dan para ahli
zuhud mereka untuk berkumpul demi mendengarkan dan menyimak bait-bait yang
dilagukan, disertai dengan tepuk tangan atau pukulan stik, atau duff (rebana),
sebagaimana beliau tidak membolehkan seseorang untuk tidak mengikuti beliau dan
tidak mengikuti apa yang datang dari Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), baik
dalam perkara batin ataupun perkara lahiriyyah, baik untuk orang awam ataupun
juga untuk orang khusus. Akan tetapi Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam
memberikan keringanan para beberapa jenis permainan dalam pernikahan dan semisalnya,
sebagaimana beliau memberikan keringanan pada para wanita untuk menabuh rebana
dalam pernikahan dan kegembiraan-kegembiraan. Adapun para pria pada zaman Nabi,
maka tidak ada seorangpun dari mereka yang menabuh rebana, ataupun bertepuk
tangan, dan bahkan telah pasti dalam hadits shohih bahwasanya Nabi bersabda:
«التصفيق للنساء
والتسبيح للرجال»،
“Bertepuk tangan adalah untuk para wanita, dan bertasbih adalah untuk para
pria.”
Dan:
«لعن المتشبهات
من النساء بالرجال، والمتشبهين من الرجال بالنساء ».
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم melaknat para lelaki yang menyerupakan
diri dengan perempuan, dan para perempuan yang menyerupakan diri dengan
lelaki.” (Diriwayatkan oleh
Al Bukhoriy (5885) dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma).
Dan manakala nyanyian dan
menabuh rebana dan telapak tangan adalah termasukd ari amalan para wanita, dulu
para Salaf menamakan para lelaki yang melakukan itu sebagai MUKHONNATS
(bencong/bondan), dan mereka menamakan para lelaki yang bernyanyi sebagai
MAKHONITS (para bencong). Dan ini terkenal di dalam ucapan para Salaf. Dan
masuk di dalam bab ini adalah hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha: bahwa Abu Bakr
rodhiyallohu 'anhu pernah masuk menemuinya pada hari-hari ‘Id dalam keadaan di
samping Aisyah ada dua anak wanita Anshor yang sedang bernyanyi dengan
ucapan-ucapan orang Anshor saat perang Bu’ats. Kemudian Abu Bakr berkata:
“Apakah seruling setan ada di rumah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam?” sementara
itu Nabi shollallohu 'alaihi wasallam tadinya memalingkan wajah beliau dari kedua
gadis tadi, dan menghadapkan wajah beliau yang mulia ke dinding, lalu beliau bersabda: "Biarkanlah keduanya wahai
Abu Bakar. Karena setiap kaum itu punya hari ‘Id, dan ini adalah Hari 'Ied kita
kaum Muslimin."
Maka di dalam hadits ini ada penjelasan bahwasanya
bukanlah termasuk adat Nabi shollallohu 'alaihi wasallam dan para Shohabat
beliau untuk berkumpul mendengarkan permainan tadi. Oleh karena itulah maka Ash
Shiddiq menamakan hal itu sebagai SERULING SETAN. Dan Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam membiarkan kedua gadis kecil tadi berbuat itu dengan alasan bahwasanya
saat itu adalah hari ‘Id. Dan anak-anak kecil diberi keringanan untuk bermain
di hari-hari Id, sebagaimana di dalam hadits:
«ليعلم المشركون
أن في ديننا فسحة»،
“Agar kaum musyrikin mengetahui bahwasanya di dalam agama kita itu ada
kelapangan.”
Dan dulu ‘Aisyah punya
mainan yang dengannya dia bermain, dan teman-temannya dari kalangan perempuan
yang masih kecil datang dan bermain bersamanya. Dan tidak ada di dalam hadits dua
gadis kecil tadi berita bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam menyimak
permainan mereka, sementara perintah dan larangan itu hanyalah terkait dengan
penyimakan, bukan sekedar pendengaran.”
(selesai dari “Majmu’ Fatawa”/11/hal. 565-566).
Al Imam Ibnul Qoyyim
rohimahulloh berkata: “Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam itu
tidaklah mengingkari Abu Bakr yang menamai nyanyian itu sebagai seruling setan.
Dan Nabi membiarkan kedua gadis kecil tadi karena keduanya adalah dua anak
kecil yang belum terbebani syariat, menyanyi dengan nyanyian badui yang
diucapkan pada hari perang Bu’ats, yang menceritakan keberanian dan peperangan.
Dan pada hari itu adalah hari ‘Id. Lalu tentara setan memperluas area amalan
tadi sampai pada menggunakan suara wanita cantik yang bukan mahrom, atau suara
anak lelaki yang belum tumbuh jenggotnya, suaranya adalah fitnah, dan wajahnya
adalah fitnah, dia bernyanyi mengajak pada perzinaan, kemaksiatan dan pada
minuman khomr, disertai dengan alat-alat musik yang diharomkan oleh Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam di sekian banyak hadits, sebagaimana akan datang
penyebutannya, disertai dengan bertepuk tangan dan menari. Maka itu adalah
bentuk kemungkaran yang tidak dihalalkan oleh satu orangpun dari pemeluk agama,
lebih-lebih lagi pemilik ilmu dan keimanan.
Dan mereka berdalilkan
dengan nyanyian dua gadis kecil yang belum terbebani syariat yang
mengumandangkan nasyid-nasyid badui dan semisalnya yang berisi keberanian dan
semisalnya, pada hari ‘Id tanpa ada rayuan/godaan ataupun rebana ataupun tarian
ataupun tepuk tangan di dalamnya.
Mereka meninggalkan dalil
yang jelas dan terang untuk mendapatkan dalil yang masih samar-samar ini. Dan
itulah sifat setiap ahli batil.
Iya, kami tidak
mengharomkan dan tidak memakruhkan amalan semisal yang dikerjakan di rumah
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dalam bentuk tadi. Dan kami dengan
seluruh pemilik ilmu dan keimanan hanyalah mengharomkan nyanyian yang
menyelisihi isi hadits tadi. Dan hanya dengan pertolongan Alloh sajalah kita
mendapatkan taufiq.”
(selesai dari “Ighotsatil Lahfan”/1/hal. 257).
Ucapan Al Imam Ibnul
Qoyyim sangat benar dan bagus, hanya saja untuk ucapan beliau: “Tanpa ada
rebana”, maka yang benar dalam hadits tadi adalah: para gadis kecil tadi
memainkan rebana.
Dan Al Hafizh Ibnu Hajar
rohimahulloh dalam bantahan beliau pada orang yang berkata tentang bolehnya
lelaki memainkan rebana, beliau berkata: “... hadits-hadits yang kuat di
dalamnya ada idzin untuk wanita memainkan rebana. Dan para lelaki tidaklah
dimasukkan ke dalam urusan para wanita karena adanya dalil umum yang melarang
lelaki menyerupai wanita.” (“Fathul Bari”/9/hal. 226).
والله تعالى أعلم، والحمد لله رب
العالمين.