Hukum Uang Muka
Dalam Jual Beli
Ditulis Oleh Al Faqir Ilalloh
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo
Al Indonesiy Al Jawiy
Waffaqokalloh
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما
بعد:
Telah
datang surat dari salah seorang ikhwah di tanah air yang menanyakan: kondisi
hadits larangan ‘urbun (uang muka), karena para ulama berselisih tentangnya.
Maka
dengan memohon pertolongan pada Alloh saya menjawab:
Ibnul Atsir rohimahulloh
berkata tentang makna ‘URBAN dan ‘URBUN: “Dikatakan bahwasanya dia dinamakan
dengan ‘Urbun karena di dalamnya ada I’rob untuk akad jual beli, yaitu
perbaikan dan penghilangan kerusakan, agar orang lain tidak memiliki barang
tadi dengan membelinya.” (“An Nihayah Fi Ghoribil Hadits Wal Atsar”/3/hal.
202).
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum
jual beli dengan system ‘URBUN atau ‘URBAN, sesuai dengan perselisihan mereka
tentang dalil yang melarangnya.
Datang dalam “Muwaththo
Malik” (27757) dan dari jalur beliaulah Al Imam Ahmad meriwayatkan dalam
Musnadnya (6723): ‘anits tsiqoh, ‘an Amr bin Syu’aib ‘an Abihi ‘an Jaddihi
أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم، نهى عن بيع العربان.
“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam
melarang jual beli dengan ‘Urban (uang muka).”
Malik berkata: “Bentuknya
menurut kami adalah –Alloh Yang paling tahu- bahwasanya seseorang membeli hamba
sahaya pria atau hamba sahaya wanita, atau menyewa binatang, lalu dia berkata
pada si penjual atau yang menyewakan: “Aku beri engkau satu dinar, atau lebih ,
atau kurang, dengan perjanjian: jika aku membeli barang tadi, atau aku telah
menunggangi apa yang aku sewa darimu, maka uang yang telah aku berikan padamu
itu adalah bagian dari harga barang dagangan tadi, atau bagian dari harga sewa binatang
tadi. Tapi jika aku tidak jadi membeli barang tadi, atau tidak jadi menyewa
binatang tadi, uang yang telah kuberikan padamu itu menjadi milikmu dan hilang
dariku tanpa ganti apapun.”
Sanad hadits tadi lemah
karena syaikh dari Malik tidak disebutkan namanya.
Hadits tadi juga
diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (3502) dan Ibnu Majah dalam Sunannya
(2192) dari jalur Malik secara balagh (sampai berita padaku). Maka hadits tadi
tidak sah.
Dan hadits tadi telah
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (2193) dengan nama rowi yang jelas,
beliau berkata: haddatsana Al Fadhl bin Ya’qub Ar Rokhkhomiy: haddatsana Habib
bin Abi Habib Abu Muhammad sekretaris Malik bin Anas: haddatsana Abdulloh bin
Amir Al Aslamiy: ‘an Amr bin Syu’aib ‘an Abihi ‘an Jaddihi:
«أن النبي صلى الله عليه وسلم، نهى عن بيع العربان»
.
“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam
melarang jual beli dengan ‘Urban (uang muka).”
Al Fadhl bin Ya’qub Ar Rokhkhomiy adalah Abul ‘Abbas Al Fadhl
bin Ya’qub bin Ibrohim bin Musa, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib”/8/hal. 288).
Habib bin Abi Habib Abu Muhammad sekretaris Malik bin Anas,
dia itu adalah seperti kata Al Imam Ahmad: “Laisa bitsiqoh (amat lemah).”
Beliau berkata: “Dia sering berdusta.” Abu Dawud berkata: “Dia termasuk orang
yang paling banyak dusta.” Abu Hatim, An Nasaiy dan Al Azdiy berkata: “Dia itu
matrukul hadits.” (“Tahdzibut Tahdzib”/2/hal. 181).
Abdulloh bin Amir Al Aslamiy adalah Abu Amir Al Madaniy. Abu
Hatim berkata: “Dia itu matrukul hadits.” Yahya bin Ma’in berkata: “Dia itu
taka da apa-apanya, lemah.” (“Tahdzibut Tahdzib”/5/hal. 275).
Maka sanad tadi amat lemah
sekali.
Dan telah datang penghalalan
system uang muka tadi dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushonnaf beliau (23195) dengan sanad yang shohih kepada Zaid bin
Aslam:
أن النبي صلى الله عليه
وسلم أحل العربان في البيع.
“Bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam menghalalkan uang
muka dalam jual beli.”
Tapi dia itu adalah mursal (Zaid tidak bertemu Nabi), maka
hadits tadi lemah.
Dan datang
dari Umar rodhiyallohu ‘anh bahwasanya beliau membolehkan hal itu, sebagaimana
diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau (23201) dan
Al Baihaqiy dalam As Sunanul Kubro (11180) dari jalur Ibnu ‘Uyainah: ‘an Amr:
‘an Abdurrohman bin Farrukh:
أن نافع بن عبد الحارث،
اشترى دارا للسجن من صفوان بن أمية بأربعة آلاف درهم، فإن رضي عمر فالبيع له، وإن عمر
لم يرض فأربعمائة لصفوان.
“Bahwasanya Nafi’ bin Abdil Harits membeli rumah untuk dipakai
sebagai penjara, dari Shofwan bin Umayyah seharga empat ribu dirham. Jika Umar
setuju dengan rumah tadi, maka jual belinya adalah untuk beliau. Tapi jika Umar
tidak setuju, maka empat ratus dirham menjadi milik Shofwan.
Abdurrozzaq dalam Mushonnaf beliau (9213) menambahkan:
فأخذها عمر.
“Lalu Umar mengambil rumah tadi.”
Di dalam
sanadnya ada Abdurrohman bin Farrukh, maula Umar, tapi taka da ulama terpandang
yang mentsiqohkan dirinya.
Maka atsar tadi lemah.
Dan Urbun
itu sebagaimana ucapan Al Imam Malik rohimahulloh.
Al Imam Al
Baghowiy rohimahulloh setelah menyebutkan makna ‘Urbun dari ucapan Malik,
beliau berkata: “Maka ini adalah tafsir ‘Urban. Dan di dalamnya da dua
penyebutan: ‘Urban dan ‘Urbun. Dan dikatakan juga: ‘Irbun dan Arbun. Dan ini
adalah batil menurut kebanyakan ulama. Dan itu adalah pendapat Malik, Asy
Syafi’iy dan para pengikut ro’yu. Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya
beliau membolehkannya. Dan diriwayatkan dari Umar juga. Ahmad condong kepada
pendapat yang membolehkannya, dan beliau melemahkan hadits tentang itu karena
hadits tadi munqothi’ (putus). Beliau berkata: “Hadits tadi diriwayatkan oleh
Malik secara BALAGH.” (“Syarhus Sunnah”/Al Baghowiy/8/hal. 136).
Iya, para
ulama berselisih pendapat tentang hukum jual beli dengan sistem uang muka. Al
Imam Muhammad bin Sirin membolehkannya. Diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushonnaf beliau (232035) dengan sanad yang shohih kepada
Muhammad bin Sirin bahwasanya beliau biasa berkata tentang orang yang menyewa
rumah atau kapal lalu dia berkata (pada pemiliknya): “Kalau aku datang pada
hari demikian dan demikian, (maka akad kita berlanjut), jika tidak, maka uang
ini adalah untukmu,” Beliau berkata: “Kalau orang tadi (penyewa) tidak datang
kepadanya pada waktunya, maka uang tadi menjadi miliknya (milik pemilik rumah
atau kapal).”
Diriwayatkan
oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau (23199) dengan sanad yang
shohih kepada Hamzah bin Abdillah bin Umar ibnil Khoththob yang berkata: “Dulu
kami biasa berjualan baju di hadapan Abdulloh bin Umar: Barangsiapa memberikan
uang muka, hendaknya dia memberikan uang muka satu dirham. Maka beliau (Ibnu
Umar) tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami.
Diriwayatkan
oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau (23197) dengan sanad yang
shohih kepada Mujahid bahwasanya tidak mengapa memakai sistem uang muka.
Sebagian
ulama yang lain melarangnya.
Diriwayatkan
oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau (23203) dengan sanad yang
shohih kepada Ibnu Juraij dari ‘Atho, dan dari Ibnu Thowus dan ayahnya,
bahwasanya mereka berdua membenci uang muka dalam uang muka.
Dan Al Imam
Asy Syinqithiy rohimahulloh berkata: “Itu tidak boleh. Dan ini adalah madzhab
sekelompok dari Salaf rohimahumulloh, karena sistem tadi termasuk memakan harta
secara batil.” (“Syarh Zadil Mustaqni’”/Asy syinqithiy/5/hal. 151).
Yang benar
adalah bahwasanya hal itu boleh.
Al Imam Ibnu
Baz rohimahulloh ditanya: Saya menjual mobilku pada seseorang, dan telah
sempurna kesepakatan akan harganya. Akan tetapi dia memberiku uang enam ratus
reyal dengan catatan mobil itu tetap disimpan di tempatku sampai dia
menyerahkan sisa harga. Setelah sekitar setengah bulan dia datang kepada saya
yang meminta dibatalkannya akad jual beli dan dia meminta uang yang dia berikan
lebih dulu tadi dikembalikan. Maka saya menolak permintaannya tadi. Maka apakah
dia berhak mendapatkan apa yang dimintanya tadi? Dan apa keharusan saya
sekarang?
Maka beliau
rohimahulloh menjawab: “Jika engkau memenuhi permintaannya tadi dan engkau
kembalikan uangnya itu, maka itu lebih utama. Dan engkau akan mendapatkan
pahala besar di sisi Alloh, berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam:
«من أقال مسلما بيعته أقال الله عثرته »
“Barangsiapa membebaskan seorang muslim dari transaksinya
(yang disesalinya), Alloh akan membebaskan ketergelincirannya.”
Adapun
masalah kewajiban, maka hal itu tidak wajib bagimu jika jual beli tadi telah
terpenuhi syarat-syaratnya yang terpandang secara syar’iy. Dan Alloh sajalah
Yang mengurusi taufiq.
(selesai dari “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”/19/hal. 72-73).
Adapun
hadits yang disebutkan oleh Al Imam Ibnu Baz rohimahulloh, maka dia itu
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5029) dan Al Hakim (2291) dari Abu Huroiroh
rodhiyallohu ‘anh dengan sanad shohih.
(insya Alloh dilanjutkan nanti).
Al Imam Ibnu
Baz rohimahulloh juga ditanya: Apa hukum seorang penjual mengambil uang muka
jika transaksi jual belinya tidak jadi terlaksana? Dan gambarannya adalah: ada
dua orang yang bertransaksi jual beli. Jika transaksinya sempurna, dia
menunaikan harga tadi dengan sempurna. Tapi jika jual belinya tidak jadi
terlaksana, si penjual mengambil uang muka dan tidak mengembalikannya pada si
pembeli.
Maka beliau
rohimahulloh menjawab: “Tidak apa-apa si pembeli mengambil uang muka tadi,
menurut pendapat yang paling shohih dari dua pendapat ulama jika pembeli dan
penjual telah menyepakati hal itu lalu jual beli tersebut tidak jadi
dilaksanakan.
(selesai dari “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”/19/hal. 63).
Al Imam Ibnu
Qudamah berkata: “Urbun (uang muka) dalam jual beli adalah: seseorang membeli
barang, lalu dia menyerahkan pada si penjual satu dirham atau yang lainnya
dengan catatan bahwasanya jika dirinya jadi mengambil barang tadi, uang tadi dihitung
masuk ke dalam harga barang. Tapi jika di tidak jadi mengambil barang tadi,
maka uang tadi menjadi milik si penjual. Dikatakan ‘Urbun dan Arbun, dan ‘Urban
dan Arban. Ahmad berkata: “Itu tidak apa-apa. Itu telah dilakukan oleh Umar
rodhiyallohu ‘anh, dan diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya beliau
membolehkannya.” Ibnu Sirin berkata: “Uang muka itu tidak apa-apa.” Sa’id Ibnul
Musayyab dan Ibnu Sirin berkata: “Tidak apa apa jika dia tidak menyukai barang
tadi untuk mengembalikan barang itu dan mengembalikan bersamanya sebagian
uang.” Dan Ahmad berkata dalam makna yang demikian itu.
Abul
Khoththob memilih bahwasanya uang muka itu tidak sah. Dan itu adalah pendapat
Malik, Asy Syafi’iy dan para pengikut rasio. Dan diriwayatkan yang demikian itu
dari Ibnu Abbas dan Al Hasan, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarang
jual beli dengan sistem uang muka. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Dan juga
karena dia itu adalah suatu syarat yang menguntungkan si penjual tanpa adanya
ganti (untuk si pembeli), maka hal itu tidak sah, sebagaimana jika dia
memberikan syarat yang menguntungkan orang asing (orang yang tidak ikut dalam
transaksi). Dan juga karena perbuatan tadi bagaikan khiyar (pilihan) yang tidak
diketahui, karena si pembeli mensyaratkan bahwasanya dirinya berhak untuk
mengembalikan transaksi (tidak jadi dilanjutkan) tanpa menyebutkan jangka
waktu, sehingga hal itu tidak sah, sebagaimana jika dia berkata: “Dan aku punya
pilihan kapan saja aku menghendaki aku boleh mengembalikan barang itu disertai
dengan satu dirham. Dan ini adalah qiyas.
Dan hanyalah
Ahmad memilih apa yang diriwayatkan dari Nafi’ ibnil Harits bahwasanya dia
membelikan untuk Umar rumah untuk menjadi penjara dari Shofwan bin Umayyah,
jika Umar setuju maka akan dilanjutkan, tapi jika Umar tidak setuju maka
Shofwan akan mendapatkan uang sekian-sekian (dengan dikembalikannya rumah
tadi). Al Atsrom berkata: aku katakana pada Ahmad: “Apakah Anda berpendapat
demikian?” Beliau menjawab: “Aku harus berkata apa lagi? Ini adalah Umar
rodhiyallohu ‘anh.” Dan beliau melemahkan hadits yang diriwayatkan tentang
larangan uang muka. Kisah ini diriwayatkan oleh Al Atsrom dengan sanadnya.
Adapun jika
dia menyerahkan satu dirham kepada si penjual sebelum membeli, dengan berkata:
“Janganlah engkau jual barang-barang ini kepada yang lain. Jika nanti aku tidak
jadi membelinya darimu, dirham ini menjadi milikmu.” Kemudian dia membelinya
dari si penjual itu dengan akad yang dimulai dan dia menghitung dirham tadi
sebagai bagian dari harga barang itu, transaksi tadi sah, karena jual beli tadi
kosong dari syarat yang merusak. Dan bisa jadi pembelian yang dilakukan oleh
Umar tadi adalah berbentuk demikian, maka bisa diterima demi menggabungkan
Antara apa yang beliau lakukan dengan hadits yang melarang, dan dalam rangka
mencocoki qiyas dan para ulama yang berpendapat akan batilnya uang muka. Dan
jika dia tidak membeli dagangan dalam bentuk ini, si penjual tidak berhak
dengan dirham tersebut karena dia mengambil dirham tadi tanpa imbalan (untuk
pembeli). Dan pemilik dirham tadi berhak untuk meminta kembali dirham tadi. Dan
tidak sah untuk menjadikan dirham tadi sebagai ganti dari masa penantian dan
penjualnya mengambilnya dalam rangka itu, karena andaikata uang muka tadi
adalah sebagai ganti dari masa penantian niscaya tidak boleh dia dijadikan
sebagai bagian dari harga barang ketika proses pembelian. Dan juga karena
menanti penjualan itu tidak boleh diganti. Andaikata boleh niscaya dia
mengharuskan untuk batas waktunya itu diketahui sebagaimana dalam transaksi
persewaan.”
(selesai dari “Al Mughni”/Ibnu Qudamah/4/hal. 175-176).
Yang benar
adalah: bahwasanya hadits yang melarang ataupun yang membolehkan itu lemah.
Adapun uang
muka tadi, maka itu adalah imbalan dari kerugian si penjual sebagai akibat dari
dikembalikannya barang itu kepadanya, sebagaimana akan datang ucapan Al Imam
Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh tentang hal itu.
Al Imam Ibnu
‘Utsaimin rohimahulloh berkata tentang hukum jual beli yang tergantung: “Yang
benar adalah bahwasanya hal itu sah. Dan itu adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, karena perkara yang digantungkan tadi adalah perkara yang bersifat
mungkin dan diketahui. Ucapan kita “mungkin” yaitu secara syariat dan taqdir,
karena yang demikian itu ada maslahatnya di dalamnya. –sampai pada ucapan
beliau (tentang jual beli yang dibolehkan):- jual beli dengan sistem uang muka.
Dan itu terkenal di kalangan kita, dan dinamakan ‘Urbun, yaitu: sang pembeli
memberi si penjual sebagian dari harga barang, dan dia berkata: “Jika transaksi
sempurna, maka uang ini adalah pembayaran awal. Tapi jika tidak sempurna (tidak
jadi), maka uang muka ini untukmu,” jika ditanyakan: “Bagaimana Anda mensahkan
ini, sementara si penjual mengambil sesuatu tanpa ada imbalan?”
Maka jawab
kita adalah: yang pertama: kita katakan: bahwasanya dia mengambil itu dengan
pilihan si pembeli.
Yang kedua:
sesungguhnya di dalamnya ada imbalan, karena dagangan tadi jika dikembalikan
(pada si penjual), nilainya jadi turun di mata orang-orang. Misalkan: jika
dikatakan: Orang ini membeli mobil ini seharga lima puluh ribu. Dan dia memberi
si penjual uang sebanyak lima ratus reyal sebagai uang muka. Kemudian dia
datang lagi pada si penjual dan berkata padanya: “Aku tidak menginginkan mobil
tadi.” Niscaya orang-orang akan berkata: “Kalau bukan karena di dalamnya ada
aib, niscaya si pembeli tadi tidak mengembalikan mobil itu.” Maka berkuranglah
nilai mobil itu.”
(selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”/Ibnu ‘Utsaimin/8/hal.
254).
Dengan
penjelasan ini, menjadi teranglah bahwasanya jual beli dengan uang muka itu
bukanlah mengambil harta orang lain secara batil, karena kedua belah pihak
mengambil manfaat dari transaksi tersebut.
Adapun si
penjual, maka sebagaimana telah lewat, bahwasanya uang muka tadi sebagai ganti
dari kerugian dia jika penjualan tadi batal. Adapun si pembeli, maka dia
mengambil manfaat karena si penjual menjamin untuknya untuk tidak menjual
barang yang diinginkan tadi kepada orang lain.
Maka tiada
keraguan bahwasanya transaksi tadi disyaratkan bahwasanya si penjual tadi
memang memiliki barang itu, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarang
menjual barang yang bukan miliknya sendiri.
Dan telah
shohih:
عن حكيم بن حزام، قال: يا رسول
الله، يأتيني الرجل فيريد مني البيع ليس عندي أفأبتاعه له من السوق؟ فقال: «لا تبع
ما ليس عندك».
Dari Hakim bin Hizam rodhiyallohu ‘anh berkata: “Wahai
Rosululloh, telah datang kepadaku seorang lelaki, lalu dia ingin agar aku
menjual barang yang tidak aku miliki. Maka apakah boleh aku membelikan untuknya
barang dari pasar?” Maka beliau menjawab: “Janganlah engkau menjual apa yang
bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud (3503) dan At Tirmidziy (1232)).
Dan dari Amr bin Syu’aib ‘an
Abihi ‘an Jaddihi (Ibnu ‘Abbas): Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wasallam bersabda:
«ولا بيع ما ليس عندك».
“Dan tidak boleh engkau menjual barang yang bukan milikmu.”
(HR. An Nasaiy (4611), Ibnu Majah (2188) dan yang lainnya dengan sanad hasan).
Ulama Lajnah
Daimah berkata: “Dan jual beli dengan sistem uang muka itu boleh dan sah bagi
orang yang menjual barang yang dimilikinya, jika penjual dan pembeli telah
saling bersepakat untuk itu. Dan bentuknya adalah: sang pembeli menyerahkan
sejumlah uang pada penjual atau wakilnya, uabg tadi lebih kecil daripada harga
barang tadi, setelah selesai akad penjualan, sebagai jaminan agar barang tadi
tidak diambil orang lain, dengan perjanjian bahwasanya jika sang pembeli
mengambil barang tadi, uang muka tadi telah terhitung masuk dalam harga barang.
Tapi jika sang pembeli tidak jadi mengambil barang tadi, sang penjual berhak
mengambil uang muka tadi dan memilikinya.” (“Fatawal Lajnatid Daimah”/13/hal.
260).
Apakah
sistem uang muka itu mirip dengan ‘inah, karena sang penjual mendapatkan
kembali barang dagangannya sementara dirinya telah mendapatkan sejumlah uang
dari sang pembeli?
Tidak demikian,
karena sang penjual pada asalnya ingin agar dagangannya laris terjual, sehingga
dia mendapatkan keuntungan dari penjualan yang halal. Hanya saja terjadi
pembatalan karena permintaan si pembeli, sehingga si penjual memakai uang muka
tadi sebagai penutup kerugian.
Ini berbeda
dengan pelaku penjualan secara ‘inah, karena dirinya tidak ingin barangnya
terjual. Dia hanya ingin mendapatkan uang disertai oleh kembalinya barangnya
kepada dirinya. Maka pada hakikatnya akad yang dia lakukan adalah akad utang-piutang
disertai oleh niat mendapatkan keuntungan uang, hanya saja dia memasukkan
barang dagangan tadi ke dalam akad sebagai gambar untuk menutupi hakikat riba
yang dilakukannya.
Al Imam Ibnu
‘Utsaimin rohimahulloh: “Pendapat yang benar adalah bahwasanya uang muka itu
boleh; dengan sedikit uang atau banyak uang jika uang tadi satu jenis dengan
harga barangnya, karena larangan yang ada pada riba semisal ‘inah itu jauh dari
sistem uang muka. Karena ‘Inah itu dekat dengan riba yang terlarang. Sementara
hal itu jauh dari sistem uang muka. Ibnu Rojab rohimahulloh dalam “Qowa’id”
beliau berkata: “Sesungguhnya Al Imam Ahmad punya riwayat yang menunjukkan
bolehnya hal itu, yang mana beliau berdalilkan dengan jual beli dengan sistem
uang muka yang datang dari Umar rodhiyallohu ‘anh.” Dan beliau berkata:
“Memaafkan pembeli dan membatalkan transaksi dengan mendapatkan uang ganti itu
semisal dengan sistem ‘Urbun.” Dan berdasarkan itu, di sana ada riwayat yang Al
Imam Ahmad mengisyaratkan tentang bolehnya tambahan terhadap harga dan juga
pengurangan harga. Dan inilah pendapat yang benar. Dan inilah yang diamalkan
oleh manusia. Dan hal itu bagian dari kemaslahatan semua pihak. Yang demikian
itu dikarenakan si penjual jika memaafkan si pembeli dan membatalkan transaksi,
sesungguhnya orang-orang akan membicarakan dan berkata: “Andaikata bukan karena
dagangan tadi punya aib niscaya sang pembeli tak akan mengembalikannya.” Maka
si penjual mengambil ganti berupa uang tambahan dari harga barang dalam rangka
menopang kekurangan tadi.” (“Asy Syarhul Mumti’”/8/hal. 390).
Kemudian setelah
saya hamper menyelesaikan risalah ini, saya mendapatkan ucapan Fadhilatu
Syaikhina Muhammad bin Hizam Al Ba’daniy Al Yamaniy hafizhohulloh, yang mana
beliau berkata tentang bolehnya penjualan sistem uang muka: “Dan inilah yang
benar berdasarkan yang nampak padaku, wallohu a’lam.”
Kemudian
beliau hafizhohulloh berkata: “Perlu diingat, bahwasanya penjualan dengan
sistem uang muka itu tidak diperbolehkan pada tiga kondisi:
Yang
pertama: pada penjualan yang disyaratkan bahwasanya kedua belah pihak harus
sama-sama menggenggam barang gantinya (harus kontan di kedua belah pihak),
seperti jenis-jenis barang riba.
Yang kedua:
pada penjualan yang disyaratkan bahwasanya salah satu barang gantinya itu telah
digenggam, seperti penjualan dengan sistem SALAM, karena disyaratkan padanya
sang pembeli harus menyerahkan seluruh uang harga yang disepakati (tidak boleh
mencicil).
Yang ketiga:
sang penjual harus merupakan pemilik dari barang dagangan itu, karena menjual
barang yang tidak dimiliki itu tidak boleh.”
(selesai dari “Fathul ‘Allam”/3/hal. 341/cet. Maktabah Ibni
Taimiyyah).
والله تعالى أعلم بالصواب،
والحمد لله رب العالمين.
Malaisia,
2 Rojab 1436H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar