Hukum Wanita Didatangi Oleh Haid
Sebelum
Sempat Sholat
Ditulis Oleh Al Faqir Ilalloh
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo
Al Indonesiy Al Jawiy
Waffaqokalloh
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما
بعد:
Telah datang surat dari salah seorang ikhwah
di tanah air yang menanyakan: seorang wanita masuk dalam waktu
sholat dalam kondisi dia suci, tapi dia tidak segera bersholat karena waktunya
masih lapang. Kemudian mendadak dia didatangi oleh haid sebelum dia sempat
sholat. Maka apa kewajiban dirinya?
Saya menjawab dengan pertolongan Alloh: tiada keraguan
bahwasanya para ulama berselisih pendapat tentang perkara tadi.
Al Imam Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata: “Para ulama
berselisih pendapat tentang wanita yang haid setelah masuk waktu sholat sebelum
dirinya sempat mengerjakan sholat. Sekelompok ulama berkata: “Dia wajib
membayar sholat tadi.” Dan yang demikian itu adalah ucapan Asy Sya’biy, An
Nakho’iy, dan Qotadah. Dan Ahmad berkata: “Aku senang jika dia mengulang
sholat.” Ishaq berkata: “Dia harus mengulang sholat.” Asy Syafi’iy berkata:
“Dia harus membayar sholatnya jika di waktu sucinya tadi dia sebenarnya bisa
untuk sholat di awal waktunya. Tapi jika tidak bisa, maka tidak wajib
membayar.” Sekelompok ulama berkata: “Dia tidak wajib membayar, kecuali jika
dia itu menyia-nyiakan sholat dan meninggalkan sholat hingga keluar waktu.” Ini
adalah ucapan Muhammad bin Sirin, Hammad bin Abi Sulaiman, dan diriwayatkan
yang demikian itu dari Sa’id bin Jubair.
(insya Alloh dilanjutkan nanti).
Malik berkata: “Jika dia telah sholat satu rekaat zhuhur
atau sebagian dari zhuhur, lalu kedatangan haidh, dia tak usah membayar sholat
ini yang dia terkena haidh di situ.” Al Auza’iy berkata: “Jika dia haidh di
dalam waktu sholat, dia tidak wajib mengulang jika telah suci. Jika dia
mengakhirkan sholat sampai dia keluar waktu, lalu dia haidh, dia wajib
mengulang sholat tadi.”
Para pengikut rasio berkata: “Dia tidak wajib membayar
kecuali jika dia menunda sholat sampai keluar waktu dalam keadaan dia suci dan
belum sholat. Jika kondisinya demikian, maka dia wajib membayarnya jika telah
suci.”
(selesai dari “Al
Ausath Fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf”/2/hal. 246-247).
Yang benar adalah: bahwasanya waktu sholat ini jika cukup
lapang, tidaklah wajib bagi seseorang untuk menunaikannya di awal waktu,
sekalipun yang demikian itu memang lebih utama baginya dan lebih banyak
pahalanya. Maka barangsiapa mengakhirkan sholat dalam keadaan masih di
waktunya, luputlah darinya perkara yang lebih utama, dan dia tidak terkena
dosa.
Demikian pula wanita ini, tidaklah dia itu durhaka pada
Alloh karena dia menunda sholatnya selama waktu sholat itu masih lapang, dan
selama dia tidak melakukan suatu tipu daya untuk menggugurkan kewajiban sholat.
Jika dia didatangi oleh haidh sebelum mengerjakan sholat, luputlah darinya
kebaikan, dan dia tidak berdosa dan tidak wajib membayar sholat, menurut
pendapat yang terkuat.
Ibnu Hazm Al Andalusiy rohimahulloh berkata: “Dan jika
seorang wanita itu haid di awal waktu sholat atau di akhir waktu sholat dan dia
belum mengerjakan sholat itu, gugurlah kewajiban sholat darinya. Dan dia tidak
wajib mengulanginya. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al Auza’iy dan para
sahabat kami. Dan itu juga pendapat Muhammad bin Sirin dan Hammad bin Abi
Sulaiman.
An
Nakho’iy, Asy Sya’biy, Qotadah dan Ishaq berkata: “Dia wajib membayar sholat.”
Asy Syafi’iy berkata: “Jika memungkinkan baginya untuk
mengerjakan sholat tadi, dia wajib membayar.”
Ali –yaitu Ibnu Hazm- berkata: Bukti dari pendapat kami
adalah: bahwasanya Alloh ta’ala menjadikan untuk sholat itu waktu yang
dibatasi: awalnya dan akhirnya. Dan telah shohih bahwasanya Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat di awal waktu dan di akhir
waktu. Maka menjadi shohihlah bahwasanya orang yang mengakhirkan sholat sampai
akhir waktunya itu tidak durhaka pada Alloh, karena Nabi ‘alaihis salam tidak
mengerjakan kemaksiatan. Maka jika wanita tadi bukan pelaku kedurhakaan (dengan
menunda sholat hingga di akhir waktu), tidaklah dia wajib sholat di saat itu
jika dia memang ingin sholat di akhir waktu. Jika dia tidak wajib sholat di
saat itu hingga tiba haidh, gugurlah kewajiban sholat darinya. Andaikata sholat
itu wajib dikerjakan di awal waktu, niscaya orang yang mengerjakan sholat
setelah berjalannya waktu selama kadar penunaiannya sejak dari awal waktunya,
berarti dia itu sebagai qodhi (orang yang membayar sholat) dan bukan Musholli
(orang yang menunaikan sholat), dan berarti dia itu fasiq dengan sebab dia
mengakhirkan sholat dari waktunya. Dan ini adalah pendapat yang batil, tiada
seorangpun yang berselisih akan batilnya pendapat tadi.”
(selesai dari “Al
Muhalla Bil Atsar”/1/hal. 394-394).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh setelah
menyebutkan perselisihan ulama tentang masalah tadi, beliau berkata: “… yang
paling kuat secara dalil adalah madzhab Abu Hanifah dan Malik, bahwasanya
wanita tadi tak punya kewajiban apa-apa, karena qodho (pembayaran) itu hanyalah
wajib dengan perintah yang baru, dan di sini tak ada perintah yang mengharuskan
dirinya membayar. Dan juga wanita tadi mengakhirkan sholat dengan penundaan
yang diperbolehkan, maka wanita tadi bukan orang yang menyia-nyiakan sholat.”
(“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 334-335).
Adapun Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh, maka beliau
mewajibkan wanita tadi untuk membayar sholat. Beliau berkata: “Maka
sesungguhnya wanita tadi setelah suci dari haid dia harus membayar sholat yang
dia tadi masuk ke waktu sholat itu dalam keadaan dirinya suci.” (“Majmu’ Fatawa
Wa Rosailil ‘Utsaimin”/11/hal. 276).
Akan tetapi yang benar adalah apa yang dikuatkan oleh
Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahumalloh.
Dan itu juga yang dikuatkan oleh Syaikhunal ‘Allamah
Muhammad bin Hizam Al Fadhliy hafizhohulloh. Beliau berkata: “Inilah yang rojih
–wallohu a’lam-, dan ini dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rohimahulloh dan dinisbatnya ke Malik juga.” (“Fathul ‘Allam”/1/hal. 409/cet.
Maktabah Ibni Taimiyyah).
Jika ada pertanyaan: bukankah orang yang lupa atau tidur
itu juga belum mengerjakan sholat? Kenapa keduanya diwajibkan untuk membayar
pada saat ingat atau bangun tidur? Apa bedanya dengan wanita yang belum sholat
karena haid tadi? Kenapa dia tidak diwajibkan membayar?
Kita menjawab dengan memohon pertolongan pada Alloh:
sesungguhnya orang yang lupa atau tidur jika dia sholat setelah itu, bukanlah
sholat mereka itu QODHO (pembayaran dari apa yang telah luput), bahkan
sholatnya itu adalah ADA’ (penunaian di waktunya), karena keduanya tadi sholat
di waktunya yang disebutkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam.
Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anh: dari Nabi shollallohu
‘alaihi wasallam yang bersabda:
«من نسي صلاة، أو نام عنها، فكفارتها أن يصليها
إذا ذكرها».
“Barangsiapa lupa sholat atau tertidur
darinya, maka penutup kesalahannya tadi adalah dia sholat apabila telah
mengingatnya.” (HR. Al Bukhoriy (597) dan Muslim (684)).
Dan dari Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu: Bahwasanya
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersanda:
«أما إنه ليس في النوم تفريط، إنما التفريط على
من لم يصل الصلاة حتى يجيء وقت الصلاة الأخرى، فمن فعل ذلك فليصلها حين ينتبه لها».
“Sesungguhnya tidak ada
penyia-nyiaan dalam tidur itu, hanyalah yang namanya penyia-nyiaan adalah terhadap
orang yang tidak sholat sampai datang waktu sholat yang lain. Maka barangsiapa
melakukan itu (tertidur), hendaknya dia sholat ketika terbangun untuk sholat.”
(HR. Muslim (681)).
Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: “Adapun orang yang
tidur atau lupa, sekalipun dia itu bukan orang yang menyia-nyiakan sholat juga
(seperti wanita haidh tadi), maka sesungguhnya sholat yang dikerjakannya itu
bukanlah QODHO, bahkan itu adalah waktu sholat untuk dia ketika dia bangun dan
ingat, sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang bersabda:
«من نسي صلاة، أو نام عنها، فليصلها إذا ذكرها
فإن ذلك وقتها».
“Barangsiapa lupa sholat atau tertidur
darinya, maka hendaknya dia sholat apabila telah mengingatnya, karena waktu
itulah waktu sholat dia.”
(“Majmu’ul
Fatawa”/23/hal. 334-335).
Adapun hadits yang disebutkan oleh Syaikhul Islam
rohimahulloh dengan lafazh tadi, maka saya tidak mendapatkannya. Barangkali
beliau meriwayatkannya dengan makna.
Dan yang paling dekat dengan itu adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al Mu’jamul Ausath” (8840), dan Ad
Daruquthniy dalam “As Sunan” (1165) dan Al Baihaqiy dalam “Al Kubro” (3183)
dari jalur Hafsh bin Umar bin Abil ‘Aththof, dari Abuz Zinad dari Al A’roj dari
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anh, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wasallam bersabda:
«من نسي صلاة، فوقتها إذا ذكرها».
“Barangsiapa lupa
sholat, maka waktunya adalah jika dia mengingatnya.”
Hadits ini lemah sekali. Al Baihaqiy berkata: “Dan Hafsh
ibnu Abil ‘Aththof itu munkarul hadits, kata Al Bukhoriy dan ahlul hadits yang
lain. Dan yang shohih dari Abu Huroiroh dan lainnya adalah yang telah kami
sebutkan, tidak ada di situ lafazh: “maka waktunya adalah jika dia mengingatnya.”
(“Ma’rifatus Sunan Wal Atsar”/3/hal. 137).
Dan Hafsh bin Umar ini menyendiri dengan riwayat tadi.
Ath Thobroniy setelah menyebutkan hadits tadi beliau berkata: “Tiada yang
meriwayatkan hadits ini dari Abuz Zinad selain Hafsh bin Umar.” Selesai.
Maka sanad ini lemah sekali.
Dan yang shohih dari Abu Huroiroh adalah: hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Ibnu Syihab, dari Sa’id ibnil Musayyab,
dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anh:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين قفل من غزوة خيبر، ... «من
نسي الصلاة فليصلها إذا ذكرها» ، فإن الله قال: {أقم الصلاة لذكري} [طه: 14].
“Bahwasanya Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam ketika pulang dari perang Khoibar, … “Barangsiapa
lupa sholat, maka hendaknya dia mengerjakan sholat tadi apabila telah mengingatnya,
karena sesungguhnya Alloh berfirman: “Tegakkanlah sholat untuk mengingatku.”
[Thoha: 14]. (HR. Muslim (680)).
Dan cukuplah bagi kita hadits-hadits shohih ini.
Al Imam Asy Syaukaniy rohimahulloh berkata: “Dan
ketahuilah bahwasanya sholat yang ditinggalkan pada waktunya karena suatu udzur
tidur atau lupa itu, bukanlah pengerjaannya setelah keluar dari waktu yang
ditentukan karena udzur tadi itu dinamakan sebagai QODHO, sekalipun hal itu
diharuskan dengan istilah ushul fiqh. Akan tetapi yang nampak dari dalil-dalil
adalah bahwasanya sholat tadi adalah ADA’, bukan QODHO. Maka yang wajib adalah
kita itu berhenti pada tuntutan dalil-dalil sampai ada dalil yang tegak yang
menunjukkan adanya QODHO. Dan dua hadits di atas itu menunjukkan wajibnya dikerjakannya
sholat jika terluputkan karena tidur atau lupa. Dan itu adalah ijma’.” (“Nailul
Author”/2/hal. 33).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata: “QODHO
adalah apa yang dikerjakan setelah selesai waktunya. Dan ini dibangun di atas
pendapat yang terkenal di kalangan kebanyakan ulama, bahwasanya apa yang
dikerjakan setelah selesai waktunya itu dinamakan QODHO. Akan tetapi ada
pendapat kedua, dan itulah yang lebih benar: bahwasanya apa yang dikerjakan
setelah selesai waktunya: jika hal itu bukan dikarenakan suatu udzur, maka dia
itu tidak diterima. Adapun jika dikarenakan suatu udzur, maka hal itu adalah
ADA’ dan bukan QODHO. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa
tertidur dari sholat atau lupa tentangnya, maka hendaknya dia mengerjakan
sholat tadi apabila telah mengingatnya.” Maka beliau menjadikan waktunya
adalah ketika dia mengingatnya. Demikian pula dalam masalah tidur, apabila dia
terbangun darinya.” (“Asy Syarhul Mumti’”/2/hal. 80).
Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan agar
orang yang lupa dan orang yang tidur itu sholat jika telah ingat dan bangun.
Maka waktu ingat dan bangun itu adalah waktu untuk sholat bagi mereka tadi. Dan
alu hadits tadi adalah pola SYARAT. Dan POLA SYARAT itu punya makna kebalikan.
Al Qorofiy rohimahulloh berkata: “Dan pemahaman dari
SYARAT itu adalah seperti: “Barangsiapa bersuci, menjadi shohihlah sholatnya.”
Maka pemahamannya adalah: “Barangsiapa tidak bersuci, sholatnyapun tidak sah.”
(“Al Furuq”/ karya Al Qorofiy/2/hal. 51).
Al Imam Asy Syinqithiy rohimahulloh berkata: “Adapun
pemahaman kebalikan itu adalah bahwasanya hukum MASKUT (perkara yang tidak
dibicarakan) itu menyelisihi hukum MANTHUQ (perkara yang dibicarakan), seperti
sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
«في الغنم السائمة الزكاة».
“Pada kambing yang
digembalakan di padang rumput itu ada zakatnya.”
Yang dibicarakan adalah kambing yang digembalakan di
padang rumput. Dan yang didiamkan adalah kambing yang dipiara di dalam kandang.
Dipahami dari ikatan sifat “penggembalaan di padang rumput” bahwasanya kambing
yang dipiara di dalam kandang itu tidak ada zakatnya. Dan pemahaman ini
dinamakamn sebagai DALIL KHITHOB. Dan DALIL KHITHOB itu ada delapan jenis: …
dan MAFHUMUSY SYARTH, seperti:
﴿وإن كن أولات حمل﴾ الآية.
“Dan jika mereka itu
adalah wanita yang hamil, maka berilah infaq pada mereka.”
Dipahami darinya bahwasanya wanita (yang ditholaq) yang
bukan hamil itu tak punya hak nafkah.”
(selesai dari
“Mudzkkiroh Fi Ushulil Fiqh”/hal. 285).
Demikian pula di sini: “Barangsiapa tertidur dari
sholat atau lupa tentangnya, maka hendaknya dia mengerjakan sholat tadi apabila
telah mengingatnya.” Maka dipahami darinya: bahwasanya barangsiapa
meninggalkan sholat bukan karena tidur dan bukan pula karena lupa, tiada sholat
untuknya. Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja sampai keluar waktu,
tidak disyariatkan padanya QODHO karena tak ada dalil yang memerintahkan
demikian, dan karena dosanya terlalu besar untuk ditopang dengan QODHO. Dia
hanya wajib tobat yang murni dan memperbanyak sholat sunnah. Demikian pula
tidak ada kewajiban bagi wanita haid ini untuk QODHO karena tiada dalil yang
memerintahkan demikian, dan juga karena dia mendapatkan udzur sehingga tidak
berdosa.
Al Hafizh ‘Abdurrohim Al ‘Iroqiy rohimahulloh berkata:
“Ibnu Hazm berpendapat bahwasanya tidak wajib sholat itu dibayar karena
pembayaran itu wajib jika ada perintah yang baru (dalil lain). Dan sang pembuat
syariat telah mengikat orang yang diperintah untuk QODHO tadi dengan “orang
tidur” dan “orang lupa” dalam sabda beliau dalam hadits shohih: “Barangsiapa
tertidur dari sholat atau lupa tentangnya, maka hendaknya dia mengerjakan
sholat tadi apabila telah mengingatnya.” Dan ini adalah MAFHUM SYARTH, dan
itu adalah hujjah menurut pendapat yang benar menurut para ahli ushul. Dan Asy
Syaikh ‘Izzuddin Ibnu Abdissalam dari kalangan Syafi’iyyah bahwasanya dia tidak
wajib QODHO, sebagaimana ucapan Ibnu Hazm.” (“Thorhut Tatsrib”/2/hal. 149).
Maka wanita haidh itu tidak masuk dalam pembicaraan
hadits di atas, maka dia tidak wajib QODHO, karena Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam telah menggugurkan kewajiban sholat padanya, dan tidak
memerintahkannya untuk membayar yang telah lewat.
Dari Mu’adzah yang berkata:
سألت عائشة فقلت: ما بال الحائض تقضي الصوم، ولا تقضي الصلاة. فقالت:
أحرورية أنت؟ قلت: لست بحرورية، ولكني أسأل. قالت: «كان يصيبنا ذلك، فنؤمر بقضاء
الصوم، ولا نؤمر بقضاء الصلاة».
“Aku bertanya kepada
Aisyah: “Kenapa wanita yang haidh diperintahkan untuk membayar puasa dan tidak
membayar sholat?” Maka beliau berkata: “Apakah engkau haruriyyah (pengikut
khowarij yang memang dikenal mengingkari sunnah)?” Aku menjawab: “Saya bukan
haruriyyah, tapi saya sekedar bertanya.” Beliau berkata: “Dulu kami terkena
haidh, maka kami diperintahkan untuk membayar puasa dan kami tidak
diperintahkan untuk membayar sholat.” (HR. Muslim (335)).
Dan hadits ini umum, wanita haidh tidak diperintahkan
untuk membayar sholat, sama saja dia itu haidh di luar waktu sholat ataukah di
dalam waktu sholat.
Dan saya menasihati diri saya sendiri dan seluruh
muslimin dan muslimat untuk memanfaat kesempatan ibadah sebelum luput dari kita
kebaikan yang banyak, karena hari ini adalah amalan dan bukan hisab, sementara
di hari Kiamat adalah hisab dan bukan saat beramal.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ الله وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ * وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ
أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ
وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ * وَلَنْ يُؤَخِّرَ الله نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
وَالله خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾
“Wahai orang-orang yang
beriman, jangan sampai harta kalian dan anak-anak kalian itu melalaikan kalian
dari mengingat Alloh. Dan barangsiapa melakukan yang demikian itu maka mereka
itulah orang-orang yang merugi. Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang Kami
izqikan pada kalian sebelum datang kematian pada salah seorang dari kalian lalu
dia berkata: “Robbku, andaikata Engkau mengakhirkan saya ke penundaan yang
dekat sehingga saya bisa bershodaqoh dan menjadi termasuk dari orang yang
sholih.” Dan Alloh tidak akan mengakhirkan suatu juwa jika telah datang
ajalnya. Dan Alloh Mahatahu terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al
Munafiqun: 9-11).
والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.
Malaisia, 7 Rojab 1436H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar