Kemilau Tokoh Salafiy
Al Muhaddits Muqbil Al Wadi’iy
Dan Al Muhaddits Yahya Al Hajuriy
Dengan
Pengantar:
Fadhilatusy
Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhliy Al Ba’daniy –semoga
Alloh menjaganya-
Penulis dan
penerjemah:
Abu Fairuz
Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Qudsiy Ath Thuriy –semoga Alloh
memaafkannya
Judul Asli:
“Tadzkirul ‘Ibad
‘Ala Ahliyyatil ‘Alamain Al Wadi’iy Wal Hajuriy Lil Ijtihad
Wa Baroatuhuma
Min Juhaiman Wa Jama’atil Fasad”
Terjemah Bebas:
“Kemilau Tokoh
Salafiy: Al Muhaddits Muqbil Al Wadi’iy, dan Al Muhaddits Yahya Al Hajuriy”
Diidzinkan
Penyebarannya Oleh:
Fadhilatusy
Syaikh ‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy –semoga Alloh
menjaganya-
Dengan Pengantar:
Fadhilatusy Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali
bin Hizam
Al Fadhliy Al Ba’daniy –semoga Alloh
menjaganya-
Penulis dan
penerjemah:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al
Indonesiy
بسم
الله الرحمن الرحيم
Pengantar Fadhilatusy
Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Ba’daniy –semoga Alloh
menjaganya-
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله
وصحبه ومن والاه، وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد:
Saya telah melihat kitab saudara kita yang mulia, penyeru ke jalan Alloh
–‘Azza Wajalla-: Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy yang dinamai
dengan: “Tadzkirul ‘Ibad ‘Ala Ahliyyatil ‘Alamain([1]) Al Wadi’iy Wal Hajuriy
Lil Ijtihad Wa Baroatuhuma Min Juhaiman Wa Jama’atil Fasad” maka saya melihat
bahwasanya kitab ini adalah kitab yang memberikan faidah, di dalamnya ada
pembelaan untuk para pembawa kebenaran dan pemikul sunnah, yaitu: Al Imam Al
‘Allamah Syaikhuna Muqbil Al Wadi’iy, dan Al Imam Al ‘Allamah Syaikhuna Yahya
Al Hajuriy.
Dan ini adalah kewajiban kita di hadapan para ulama kita untuk kita
membela mereka dengan benar, karena sungguh para pelaku kebatilan itu jika
ingin menjatuhkan kebenaran, mereka berupaya untuk menjatuhkan para pemikul
kebenaran tersebut agar menjadi mudahlah bagi mereka untuk mewujudkan cita-cita
mereka tadi. Akan tetapi Alloh tidak mau kecuali menyempurnakan cahaya-Nya
meskipun orang-orang kafir membenci.
Maka semoga Alloh membalas saudara kita Abu Fairuz dengan kebaikan,
dan memberikan manfaat dengannya Islam dan Muslimin.
Ditulis oleh:
Abu Abdillah Muhammad bin
Ali bin Hizam Al Fadhli Al Ba’daniy
Pada hari Kamis, tanggal
17 Rojab 1433 H
Pengantar Penulis
الحمد لله وأشهد أن لا إله
إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وآله أجمعين أما بعد:
Maka sesungguhnya
kedudukan seorang ulama di tengah umat ini adalah seperti kedudukan
bintang-bintang di langit yang dengannya mereka mengambil petunjuk dalam
kegelapan daratan dan lautan. Alloh عز وجل mempergunakan para ulama untuk menunjuki para hamba dari
kesesatan, menyinari mereka, mengajari mereka dari kebodohan, dan menghidupkan
hati-hati mereka setelah kematian hati, dengan seidzin Robb mereka تبارك وتعالى. Dan dengan perantara ulama itulah Alloh
menyelamatkan umat dari tipu daya setan dari kalangan manusia dan jin.
Robb kita berfirman:
﴿وَبِالنَّجْمِ
هُمْ يَهْتَدُون﴾ [النحل: 16].
“Dan dengan bintang-bintang
itu mereka mendapatkan petunjuk.”
Maka para ulama mengingatkan manusia agar tidak tertipu dengan
syubuhat para ahli batil dan syahwat dunia:
﴿وَقَالَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ الله خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُون﴾
[القصص/80]
“Dan
orang-orang yang diberi ilmu berkata (kepada orang-orang yang terpedaya oleh
Qorun): Celaka kalian, pahala Alloh itu lebih baik bagi orang yang beriman dan
beramal sholih, dan tidak ada yang mendapatkannya kecuali orang-orang yang
sabar.”
Al Imam Al Ajurriy رحمه الله berkata tentang keadaan ulama: “Maka mereka adalah pelita para
hamba, mercusuar negri, dan mata air hikmah. Mereka adalah penyebab marahnya
setan. Dengan sebab mereka hidupnya hati-hati ahlul haq, dan matinya hati-hati
para penyeleweng. Permisalan mereka di bumi seperti permisalan bintang di
langit, diambil
petunjuknya dalam kegelapan daratan dan lautan. Jika bintang-bintang tadi
terhapus, mereka jadi kebingungan, dan jika kegelapan telah pergi darinya,
merekapun bisa melihat.” (“Akhlaqul ‘Ulama”/karya Al Ajurriy/hal. 10/Darul
Atsar).
Maka dengan sebab inilah para musuh
menggencarkan serangan kepada mereka siang dan malam, mencurahkan kerja keras
mereka untuk membuat kedustaan atas nama ulama, dan menanamkan kebencian di
hati-hati manusia agar mereka lari dari sekeliling ulama. Alloh تعالى berfirman tentang Fir’aun:
﴿إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي
الْأَرْضِ الْفَسَادَ﴾ [غافر/26]
“Sungguh
aku takut dia (Musa) akan mengganti agama kalian atau menampakkan kerusakan di
bumi.”
Juga berfirman
tentang para pembesar Fir’aun:
﴿قَالُوا إِنْ هَذَانِ لَسَاحِرَانِ يُرِيدَانِ أَنْ يُخْرِجَاكُمْ
مِنْ أَرْضِكُمْ بِسِحْرِهِمَا وَيَذْهَبَا بِطَرِيقَتِكُمُ الْمُثْلَى﴾ [طه/63]
“Mereka
berkata: sungguh dua orang ini (Musa dan Harun) benar-benar dua tukang sihir
yang ingin mengeluarkan kalian dari tanah kalian dengan sihir keduanya, dan
menghilangkan jalan agama kalian yang bagus.”
Dan Alloh berfirman pada Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم :
﴿وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا
يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ
عَرَبِيٌّ مُبِين﴾ [النحل: 103].
“Dan
sungguh Kami mengetahui bahwasanya mereka itu berkata: “Yang mengajarinya itu
hanyalah seorang manusia.” Padahal lidah orang yang mereka itu menyeleweng
kepadanya itu adalah a’jamiy (bukan lidah arob), sementara Muhammad (atau Al
Qur’an) ini adalah lidah arob yang jelas.”
Dan ini adalah termasuk metode para
mubtadi’ah untuk menghantam para Salafiyyin dan imam-imam mereka. Sholih bin
Imam Ahmad telah menyebutkan sebagian perkara yang berlangsung di zaman Al
Mutawakkil ‘Alalloh: “… kemudian ada seseorang yang menyampaikan berita para Al
Mutawakkil: “Bahwasanya Ahmad sedang menyimpan seorang keturunan Ali di
rumahnya, dia ingin mengeluarkannya dan membai’atnya.”
Sholih berkata: “Dan kami tidak tahu
apa-apa. Pada suatu malam ketika kami sedang tidur di musim panas, kami
mendengar kegaduhan, kami melihat banyak api di rumah Abu Abdillah, maka kami
bergegas datang. Ternyata beliau sedang duduk dengan memakai sarung, dengan si
Muzhoffar ibnul Kalbiy –sang reserse- dan sekelompok orang bersama mereka. Maka
sang reserse membaca surat Al Mutawakkil: “Telah datang pada Amirul Mukminin
berita bahwasanya di sisi kalian ada seorang keturunan Ali yang engkau
sembunyikan untuk engkau bai’at dan engkau munculkan –dalam pembicaraan yang
panjang-.“
Lalu Muzhoffar berkata pada beliau: “Apa jawabmu?” Al Imam Ahmad
menjawab: “Saya tidak tahu sedikitpun tentang hal ini. Dan sungguh saya
benar-benar berpendapat untuk mendengar dan taat pada Amirul Mukminin, dalam
suasana sulit dan mudah, juga dalam keadaan semangat ataupun tidak suka, dan
dalam kondisi dizholimi. Dan sungguh saya itu benar-benar berdoa di siang dan
malam pada Alloh agar memberikan kelurusan dan taufiq pada beliau.” Beliau
berbicara panjang.
Maka Muzhoffar berkata: “Amirul Mukminin memerintahkan padaku
untuk menyumpahmu.” Maka Al Imam Ahmad bersumpah dengan talaq tiga, bahwasanya
tidak ada di sisi beliau buronan Amirul Mukminin. Kemudian mereka memeriksa
tempat tinggal Abu Abdillah, gang-gang, kamar-kamar, atap-atap, dan memeriksa
peti-peti kitab, juga memeriksa para wanita dan tempat tinggal, tapi mereka
tidak melihat sesuatu apapun, dan tidak merasakan keganjilan sedikitpun. –sampai
pada ucapan beliau:- dan berita itu disampaikan pada Al Mutawakkil, sehingga
Abu Abdillah mendapatkan posisi bagus di hati Al Mutawakkil dan tahulah dia bahwasanya
ada yang berdusta terhadap Abu Abdillah. Yang menyusupkan berita terhadap beliau
adalah seseorang dari ahli bida’. Dan tidaklah orang itu mati sampai Alloh
menjelaskan urusannya kepada muslimin, dan dia itu adalah Ibnuts Tsaljiy.”
(“Siyar A’lamin Nubala”/11/hal. 266-267/Ar Risalah).
Di dalam kitab “Mihnatul Imam Ahmad” karya Al Imam Al Maqdasiy رحمه الله (hal. 107/Maktabatul Hadyil Muhammadiy): “Setelah dua hari
berlalu, datanglah surat dari Ali ibnul Jahm: Sesungguhnya Amirul Mukminin
telah shohih di sisi beliau bersihnya dirimu dari tuduhan dusta. Selama ini
ahlul bida’ telah menjulurkan leher-leher mereka. Maka alhamdulillah yang tidak
membuat mereka senang dengan musibah dirimu…”
Demikian pula para ahli batil
merendahkan kedudukan ulama sunnah agar manusia tidak mengambil faidah dari
ilmu-ilmu dan mereka dan nasihat-nasihat mereka. Alloh تعالى berfirman tentang kisah kaum ‘Ad:
﴿قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ
الْكَاذِبِينَ﴾ [الأعراف: 66]
“Para
pembesar yang kafir dari kaumnya: sesungguhnya kami benar-benar melihatmu dalam
ketololan, dan sungguh kami benar-benar menyangka dirimu termasuk dari para
pendusta.”
Alloh berfirman menukilkan ucapan Fir’aun:
﴿أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَذَا
الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِين﴾ [الزخرف: 52].
“Ataukah
diriku lebih baik daripada orang yang hina dan hampir-hampir tak bisa
memberikan penjelasan ini?”
Dan di antara tuduhan sebagian ahli
batil terhadap Al Imam Abu Abdirrohman Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله adalah bahwasanya beliau punya pemikiran khowarij, dan beliau
punya hubungan dengan gerakan Juhaiman Al Khorijiy([2]). Sebagian ikhwah
telah menanyai saya tentang hubungan Al Imam As Salafiy رحمه الله ini dengan gerakan Juhaiman Al Khorijiy.
Sebagian orang juga merendahkan kedudukan beliau bahwasanya beliau
belum mencapai derajat fuqoha mujtahidin.
Kemudian pengganti beliau: syaikh kami Al ‘Allamah Al Muhaddits
Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله juga tidak selamat dari tuduhan memiliki pemikiran khowarij.
Beliau juga diremehkan dan dianggap belum mencapai tingkatan fuqoha
mujtahidin. Dan sebagian mereka berusaha membuat orang merasa tidak perlu pada
beliau dengan berdalilkan hadits:
«البركة مع أكابركم».
“Keberkahan itu bersama orang-orang
besar kalian.”
Untuk orang yang belum mengenal
nilai kedua imam ini, dia perlu diajari dan diperlakukan dengan sabar([3]), karena kebodohan
terhadap suatu perkara itu terkadang menjadi sebab dibencinya perkara tadi,
sebagaimana ilmu tentang kebagusan suatu perkara menjadi sebab dicintainya
perkara tadi. Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan rasa cinta
itu mengikuti kadar pengetahuan.” (“Majmu’ul Fatawa”/10/hal. 56).
Adapun orang dari kalangan pengekor
hawa nafsu, maka sifat mereka adalah sifat mu’anidin (para pembangkang),
maka kita berpaling saja dari mereka. Alloh تعالى berfirman:
﴿فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى﴾ [النجم: 29،
30].
“Maka berpalinglah engkau dari orang yang
berpaling dari peringatan Kami dan tidak menginginkan kecuali kehidupan dunia.
Demikian itu adalah puncak dari ilmu mereka. Sesingguhnya Robbmu itulah yang
lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia juga lebih
mengetahui tentang orang yang mengikuti petunjuk.”
Tidaklah perkataan yang batil
terhadap kedua imam tadi itu membahayakan keduanya, akan tetapi sudah menjadi
kewajiban bagi orang yang tahu kebenaran untuk membela kebenaran dan membela
para pembawanya, sesanggupnya. Dan saya ingin untuk menjelaskan buat umat Islam
dengan penjelasan ringkas tentang keimaman kedua syaikh tadi Muqbil bin Hadi Al
Wadi’iy رحمه الله dan Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله, dalam bidang ilmu dan sunnah, kedudukan keduanya di sisi ulama
Salafiyyin, bagusnya jejak keduanya di umat ini, dan berlepasdirinya keduanya
dari gerakan Juhaiman secara khusus, dan seluruh khowarij secara umum.
Dan akan saya akan
menyebutkan penjelasan yang memuaskan –dengan seidzin Alloh- tentang hadits:
“Keberkahan ini bersama orang-orang besar kalian.”.
Dan saya bersyukur
kepada Fadhilatusy Syaikhina Al ‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al
Hajuriy حفظه الله ورعاه atas pemeriksaan beliau terhadap risalah
ini dan pelurusan ungkapan-ungkapannya.
Dan saya juga bersyukur
kepada Fadhilatusy Syaikhina Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhliy
Al Ba’daniy حفظه الله ورعاه atas perhatian beliau dan bantuan beliau
untuk memperbagus risalah ini.
Sekarang kita masuk
ke pembahasan:
Bab
Satu: Biografi Singkat Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله
Sesungguhnya penelusuran jalan hidup
seseorang itu penting sekali dalam menyingkap hakikat keadaan dan aqidah
dirinya. Maka berikut ini biografi ringkas yang indah dari Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله yang menunjukkan keimaman beliau dalam kebaikan.
Nasab beliau:
Beliau adalah Al
Imam Al ‘Allamah Al Muhaddits Abu Abdirrohman Muqbil bin Hadi bin Qoyidah Al
Hamdaniy Al Wadi’iy Al Yamaniy.
Tahapan beliau dalam
menuntut ilmu:
Al Imam رحمه الله memulai menuntut ilmu di Al Maktab hingga menyelesaikan masa
belajar di situ, kemudian beliau pergi ke masjid Al Hadi, tapi beliau tidak
terbantu untuk menuntut ilmu. Sekian lama setelah itu beliau pergi ke Tanah
Suci dan Najd, lalu minta nasihat pada sebagian pemberi nasihat tentang apa
sajakah kitab-kitab yang berfaidah untuk beliau beli? Maka sang penasihat
membimbing beliau untuk membeli “Shohihul Bukhori”, “Bulughul Marom”,
“Riyadhush Sholihih” dan “Fathul Majid”. Ketika itu beliau رحمه الله bekerja sebagai penjaga gedung di Hajun. Lalu beliau tekun
membaca kitab-kitab tadi. Dan kitab-kitab tadi menempel di benak beliau karena
praktek amalan di negrinya berlainan dengan apa yang ada di dalam kitab itu,
terutama “Fathul Majid”.
Selang waktu
kemudian beliau pulang ke negrinya, dan mulai mengingkari perkara-perkara yang
beliau dapati ada di masyarakat seperti penyembelihan untuk selain Alloh,
pembangunan kubah di atas kuburan, seruan kepada orang mati, dan minta bantuan
pada orang mati. Maka berita itu sampai kepada orang syi’ah sehingga membuat
mereka marah. Di antara mereka ada yang berkata: “Barangsiapa menukar agamanya,
maka bunuhlah dia.” Dan di antara mereka ada yang mengirim utusan pada
kerabatnya dan berkata: “Jika kalian tidak menghalanginya maka kami akan
memenjarakannya.” Setelah terjadi berbagai tekanan, mereka membuat ketetapan
yang tidak bisa dielakkan oleh beliau yaitu: mereka menetapkan untuk
memasukkannya ke “Jami’ul Hadi.”
Manakala beliau
mendapati bahwasanya kitab-kitab yang diajarkan itu tidak berfaidah selain
“Nahwu”, dan beliau melihat bahwasanya kitab-kitab yang ditetapkan itu
beraliran syi’ah mu’tazilah, beliau رحمه الله berkonsentrasi pada ilmu “Nahwu”. Beliau sering menasihati
seorang pengajar mereka yang bernama Muhammad bin Hauriyyah untuk meninggalkan
ramalan bintang, tapi orang ini menolak dan bahkan dia menasihati para
pengelola universitas ini untuk mengusir Asy Syaikh Muqbil رحمه الله, tapi orang-orang memberikan syafa’at untuk beliau.
Ketika terjadi
pemberontakan kaum republik, beliau رحمه الله dan keluarganya meninggalkan negrinya dan tinggal di Najron.
Beliau tekun menyertai syaikh beliau Abul Husain Majduddin Al Muayyad hingga
beliau mengambil faidah darinya terutama ilmu bahasa Arob. Beliau tinggal di
situ sekitar dua tahun, kemudian pergi ke Tanah Suci dan Najd. Beliau tinggal
di Najd sekitar satu setengah bulan di Madrosah Tahfizhil Qur’an dibawah
pengelolaan Asy Syaikh Muhammad bin Sinan Al Hadaiy رحمه الله. Syaikh ini sangat memuliakan beliau dikarenakan melihat beliau
sangat bisa mengambil faidah ilmu.
Kemudian beliau
berangkat ke Mekkah. Jika mendapatkan pekerjaan, beliau bekerja, dan menuntut
ilmu di malam hari, hadir di majelis ta’lim Asy Syaikh Yahya bin Utsman Al
Bakistaniy pada pelajaran “Tafsir Ibnu Katsir”, “Shohihul Bukhoriy” dan “Shohih
Muslim”. Beliau juga belajar syaikh yang mulia dan tinggi ilmunya: Hakim Yahya
Al Asywal Al Yamaniy di pelajaran “Subulussalam” dan yang lainnya. Beliau juga
belajar syaikh yang mulia dan tinggi ilmunya: Abdurrozzaq Asy Syahidziy Al
Mahwitiy, di sebagian kitab-kitab yang beliau minta untuk diajarkan.
Ketika Ma’hadul
Haromil Makkiy dibuka, beliau masuk ke situ dan belajar di sebagian masyayikh
yang terkemuka seperti: Asy Syaikh Abdulloh bin Muhammad bin Humaid, dan
demikian pula Asy Syaikh Muhammad As Subayyil.
Setelah beliau
menetap di ma’had itu, berangkatlah beliau ke Najron untuk mengambil
keluarganya, kemudian beliau tinggal di Makkah sepanjang masa belajar di Ma’had
itu selama enam tahun. Beliau belajar di antara waktu maghrib dan ‘Isya kepada
Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Rosyid An Najdiy. Dan belajar ke Asy Syaikh Muhammad
bin Abdillah Ash Shoumaliy sekitar enam bulan, syaikh ini merupakan ayat Alloh
dalam mengenal para rowi “Shohihain”. Beliau mengambil faidah yang banyak dari syaikh
tadi dalam ilmu hadits.
Kemudian beliau
pindah ke Madinah ke Al Jami’atul Islamiyyah di kuliah Da’wah Wal Ushuluddin.
Dan termasuk syaikh beliau yang paling menonjol adalah Asy Syaikh As Sayyid
Muhammad Al Hakim Al Mishriy, Asy Syaikh Mahmud Abdul Wahhab Faid Al Mishriy.
Dan pada musim liburan beliau masuk ke kuliah syari’ah, sehingga beliau رحمه الله menyelesaikan dua kuliah dan diberi dua ijazah. Beliau رحمه الله berkata: “Dan aku dengan pujian kepada Alloh tidaklah diriku
peduli dengan dua ijazah itu. Yang terpandang di sisiku adalah ilmu.”
Dan pada tahun itu
dibukalah di universitas itu pendidikan tinggi yang dinamakan dengan Majister.
Maka beliau masuk ke pendidikan itu, yang mengkhususkan pada bagian ilmu
hadits. Dan Asy Syaikh Muhammad Al Amin Al Mishriy, Asy Syaikh As Sayyid
Muhammad Al Hakim Al Mishriy, Asy Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshoriy. Dan
di sebagian malam beliau menghadiri pelajaran Al Imam Abdul ‘Aziz ibnu Baz di
Al Haromul Madaniy dalam “Shohih Muslim”, juga pelajaran Al Imam Al Albaniy
dalam majelis-majelis beliau yang khusus untuk para pelajar untuk mengambil
faidah.
Dakwah Beliau di Saudi:
Sejak beliau tinggal
di Al Haromil Makkiy beliau senantiasa mengajari sebagian penuntut ilmu kitab
“Qothrun Nada”, dan “At Tuhfatus Saniyyah”. Di Madinah beliau mengajari para
penuntut ilmu kitab “At Tuhfatus Saniyyah”, dan di rumahnya beliau mengajarkan
“Jami’ut Tirmidziy”, “Qothrun Nada” dan “Ba’itsul Hatsits”. Maka tersebarlah
dakwah yang besar di Madinah sepanjang enam tahun itu, yang dilaksanakan oleh
beliau dan sebagian rekan beliau. Dan berlangsunglah safari dakwah di seluruh
penjuru kerajaan Saudi, sehingga masyarakat bisa mengambil faidah dan mencintai
dakwah.
Ketika fitnah
Juhaiman dan gerombolannya menyala, pemerintah Saudi memerintahkan untuk
memulangkan seluruh orang asing.
Ketika tiba di
Yaman, pulanglah Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله ke desa beliau dan tinggal di sana sambil mengajarkan Al Qur’an
pada anak-anak, dan menegakkan dakwah. Maka syi’ah dan para musuh Islam mulai
menyerang beliau.
Pada suatu hari
salah seorang pejabat memanggil beliau, maka masuklah beliau menemuinya
disertai dengan Husain bin Qoid Majalli, lalu mulailah beliau bicara tentang
syi’ah, dan menerangkan bahwasanya syaikh dan orang-orang yang bersama beliau
itu mengajak orang kepada Al Kitab dan As Sunnah, dan bahwasanya Syi’ah merasa
dengki pada mereka dengan dakwah tadi, syi’ah takut akan munculnya kebenaran.
Maka sang pejabat berkata: “Sesungguhnya syi’ah telah membuat hitam sejarah
Yaman. Selama dakwah Anda adalah demikian tadi, maka teruslah berdakwah, kami
bersama Anda.”
Setelah itu beliau رحمه الله tinggal di perpustakaan beliau. Dalam waktu sebentar tiba-tiba
saja datang beberapa orang Mesir, maka beliau رحمه الله membuka pelajaran dari kitab-kitab hadits dan bahasa untuk
mereka. Dan terus-menerus para pelajar berkunjung dari Mesir, Kuwait, Tanah
Suci dan Najd, Aljazair, Libia, Somalia, Belgia, dan dari banyak negri Islam
dan yang selainnya.
Semangat beliau untuk mengajari para muridnya dan
keluarganya sendiri:
Al Imam رحمه الله terus bersemangat dalam ilmu. Beliau sangat memperhatikan
pendidikan. Beliau punya sejumlah pelajaran. Dulu beliau mengajarkan satu jam
sebelum zhuhur kitab beliau “Ash Shohihul Musnad Mimma Laisa Fish Shohihain.”
Seusai itu beliau mulai mengajarkan “Al Jami’ush Shohih Mimma Laisa Fish
Shohihain.” Setelah sholat zhuhur beliau mengajarkan sehari “Tafsir Ibnu
Katsir”, sehari kitab beliau “Ash Shohihul Musnad Min Asbabin Nuzul.” Seusai
itu beliau menjadikan posisi kitab tadi dengan kitab “Al Jami’ush Shohih Mimma
Laisa Fish Shohihain,” maka jadilah sehari “Tafsir Ibnu Katsir”, sehari “Al
Jami’ush Shohih Mimma Laisa Fish Shohihain.”
Setelah ashr beliau mengajarkan
“Shohihul Bukhoriy”, setelah maghrib mengajarkan “Shohih Muslim” dan kitab
beliau “Ahadits Mu’allah Zhohiruhash Shihhah”. Setelah selesai dari kitab itu,
beliau mengajarkan kitab beliau “Ghorotul Fishol ‘Alal Mu’tadina ‘Ala Kutubil
‘Ilal”. Setelah selesai dari kitab itu, beliau mengajarkan kitab beliau
“Dzammul Mas’alah” hanya saja beliau sering tidak hadir manakala penyakit
beliau mulai parah. Kitab beliau semuanya beliau ajarkan bersama dengan “Shohih
Muslim”. Setelah selesai dari kitab “Dzammil Mas’alah”, beliau mengajarkan
kitab beliau “Ash Shohihul Musnad Min Dalailun Nubuwwah”, beliau jadikan sehari
kitab itu dan sehari “Shohih Muslim”. Bersamaan dengan dua kitab ini beliau
juga mengajarkan kitab “Al Mustadrok” dan kitab beliau “Ash Shohihul Musnad Fil
Qodar”. Inilah dars Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله yang khusus di Darul Hadits.
Jika beliau pindah ke rumah, beliau
mengajari putri beliau Ummu Abdillah kitab “Qothrun Nada”, kemudian para
istrinya membaca di hadapan beliau satu hadits dari kitab beliau “Dalailun
Nubuwwah”. Beliau juga mengajari mereka imla (dikte). Beliau juga mengajari
istri beliau Ummu Syu’aib “Al Mutammimah” sebelum tidur.
Tingginya kecerdasan, luasnya ilmu, dan kuatnya pemahaman:
Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله jika berbicara dalam ilmu rowi seakan-akan beliau adalah
pakarnya, sering mendatangkan faidah yang mengagumkan, dan terkadang ada di
sebagian rantai sanad tercantum nama fulan bin fulan, maka beliau berkata: “Aku
khawatir terjadi salah penulisan,” lalu dilakukan penelitian dan memang terjadi
salah penulisan sebagaimana yang beliau katakan. Jika beliau diskusi dengan
para murid tentang nahwu seakan-akan tidak ada orang lain yang ahli dalam
bidang ini selain beliau dikarenakan banyaknya faidah yang beliau lontarkan
dalam darsnya. Jika beliau berbicara tentang ‘ilal hadits, orang-orang yang di
sekelilingnya tergoncang dengan kedalaman ilmunya. Jika datang pertanyaan,
beliau menjawabnya, dan beliau itu cepat dalam mendatangkan dalil-dalil hingga
orang-orang tergoncang akan kekuatan hapalan beliau. Beliau mendatangkan
dalil-dalil dari Kitabulloh, dan dari Sunnah Rosul-Nya, menyusunnya dengan rapi,
dan mengambil darinya faidah dan pelajaran yang mengagumkan padahal beliau itu
tidak hapal Al Qur’an secara sempurna. Dan barangsiapa membaca buku beliau “Al
Jami’ush Shohih” dia akan mengetahui fiqh beliau dari sela-sela judul bab yang
dicantumkan, dan sebagaimana dikatakan: “Fiqh Al Bukhoriy ada pada judul
bab-bab yang dicantumkan.”
Semangat berdakwah:
Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله sangat bersemangat untuk berdakwah ke jalan Alloh, bersamaan
dengan banyaknya kesibukan beliau untuk menulis dan mengajar. Beliau dulu
mengarahkan para murid dan berkata pada mereka: “Janganlah kalian
berkonsentrasi total pada ilmu sambil meninggalkan dakwah. Kalian harus
berdakwah ke jalan Alloh dengan apa yang telah kalian pelajari.”
Beliau beberapa kali keluar dakwah
berkali-kali. Di sebagian tahun beliau keluar dan berpindah-pindah di banyak
kota dan desa di Yaman, naik gunung-gunung dan turun ke lembah-lembah dan
dataran rendah. Beliau sering disakiti oleh para musuh beliau dari
jama’ah-jama’ah seperti Ikhwanul Muslimin, Jam’iyyatul Hikmah dan Jam’iyyatul
Ihsan, ‘Ilmaniyyun (sekuler), shufiyyah dan yang lain. Tapi beliau tidak
terputus dari dakwah beliau kepada Al Kitab dan As Sunnah. Seringkali
sekumpulan besar orang menghadiri ceramah beliau hingga di sebagian acara
ceramah masjid-masjid tidak mencukupi hadirin sehingga mereka menjadikan
ceramah itu di lapangan sholat ‘Id.
Beliau memperingatkan umat dari
seluruh kemungkaran, baik itu syirik, kebid’ahan, hizbiyyah yang memecah-belah
umat, dan yang lainnya. Beliau juga memberikan nasihat kepada para petani,
pengajar, pejabat, para orang tua, anak-anak, para dokter, para pedagang, para
wartawan dan pekerja. Be’iau sangat
bersemangat agar orang-orang itu mendapatkan hidayah, baik perorangan ataupun
kelompok. Datang kepada beliau koresponden dari kantor berita London dan
meminta beliau untuk berbincang-bincang dengannya, maka beliau berkata:
“Bagaimana pendapatmu jika engkau masuk Islam dan aku akan berbincang-bincang
denganmu?” beliau menasihatinya dan memintanya untuk masuk Islam, tapi orang
itu tak mau. Maka beliaupun menolak berbincang-bincang dengannya. Orang itu
tinggal beberapa hari menghadiri dars-dars dan ingin bisa berbincang-bincang
dengan syaikh, sementara syaikh memintanya untuk masuk Islam. Beliau ingin
sekali orang itu mendapatkan hidayah. Orang itu tinggal beberapa hari lalu
pergi.
Beliau jika selesai
dari ceramahnya berpindah ke rumah salah seorang ikhwah, maka orang-orang
berkumpul di situ dan menyampaikan soal-soal pada beliau, lalu beliau menjawab
soal mereka. Jika mereka telah pergi meninggalkan beliau, beliau membaca Al
Qur’an jika masih ada semangat dan giat, tapi jika tidak (karena capek dengan
rangkaian acara tadi) beliaupun tidur.
Semangat beliau pada para pelajar
Beliau sangat bersemangat akan
tercurahnya kebaikan pada para pelajar, dan bersedih dan merasa sakit jika
beliau mengetahui bahwasanya para muridnya memperlukan sesuatu tapi mereka tak sanggup
mendapatkannya. Beliau رحمه الله pernah berkata di
sebagian darsnya: “Kesulitan terbesar yang menimpa diriku, lebih besar daripada
menghadapi mubtadi’ah, dan lebih besar daripada karya tulis, adalah keperluan-keperluan
para pelajar.”
Beliau رحمه الله tak pernah bersikap pelit terhadap para murid dengan sesuatu
apapun. Pernah beliau seusai dars zhuhur keluar dari rumah dengan membawa sepiring
nasi dan bejana berisi susu, lalu beliau memberikannya kepada sebagian murid.
Jika beliau telah keluar dari dars setelah zhuhur dan didatangi seorang murid
untuk menanyakan sesuatu, beliau menjawab: “Masuklah, kita makan siang bersama
lalu kita akan berbicara.”
Pernah pada suatu hari ada seorang
murid yang mengajukan sepucuk kertas di tengah jam dars, tertulis di dalamnya:
“Saya adalah seorang pelajar, dan saya cinta pada ilmu. Tapi saya terlilit
utang dan saya takut utang itu akan memalingkan saya dari belajar.” Setelah
membaca itu, syaikh mulai masuk ke pelajaran, dan sebelum pelajaran usai beliau
berkata dengan pengeras suara: “Saudara kita yang mengajukan kertas ini
hendaknya pergi ke akh Fulan dan berkata padanya berapa utangnya, dan kita akan
lihat apakah kita bisa membantunya.”
Kedermawanan jiwa beliau:
Asy Syaikh Muqbil رحمه الله adalah orang yang dermawan. Beliau biasa menjemput para
delegasi. Jika para pengunjung datang, beliau mengundang mereka kerumah beliau
untuk makan siang. Jika ada tamu yang datang di akhir waktu, para muridlah yang
menyambutnya ke kamar tamu, lalu dirinya berjumpa dengan syaikh. Beliau
seringkali turun tangan langsung menyediakan makan siang. Sering kali para
pengunjung duduk bersama beliau seusai sholat shubuh, lalu beliau menyediakan
untuk mereka zabib (kismis/anggur kering) dan memuliakan mereka dengan amat
sangat. Beliau sangat dermawan dengan apa yang beliau miliki.
Beliau tak pernah menyembunyikan
dari para murid suatu harta sedikitpun. Beliau menganggap mereka adalah
anak-anaknya. Beliau رحمه الله sangat menjaga perasaan
para murid. Karena itulah termasuk dari penghalang beliau membeli baju untuk
‘id adalah agar tiada sesuatu di hati para murid yang tak punya baju baru untuk
‘id, dan beliau berkata: “Bawalah sini apa yang ada.”
Ketika beliau keluar
dari Yaman di tahun terakhir, beliau merasa sangat rindu pada markiz dan para
murid. Terkadang beliau mengingat mereka dan menangis seraya berkata: “Mereka
adalah anak-anakku.”
Tawadhu’ beliau:
Beliau رحمه الله memiliki akhlaq yang tinggi, tidak menghina orang miskin dan
lemah, menyayangi anak kecil, menolong orang tua, mengasihani perempuan yang
sholihat, dan menolong mereka dengan semua kemampuan beliau.
Termasuk dari tawadhu beliau adalah:
jika beliau dipanggil oleh anak kecil dalam keadaan beliau berjalan, beliau
berhenti untuknya, mengajaknya bicara dan melihat apa yang diinginkannya. Ada
pula anak kecil yang mendatangi beliau dalam keadaan beliau di kursi sedang
mengajar, maka beliau berhenti mengajar. Anak itu berkata: “Saya ingin membaca
satu hadits dengan pengeras suara.” Maka Al Imam Al Wadi’iy mengangkatnya atau
memerintahkan seorang murid untuk mengangkatnya, mendudukkannya di hadapan
beliau, lalu si kecil itu membaca hadits, dan beliau tersenyum, tidak merasa
jengkel. Beliau bersikap lunak dan mudah bersama para murid.
Dan termasuk sikap tawadhu’ beliau
adalah: jika ada orang awam mendatangi beliau, beliau mau duduk bersama mereka
dalam waktu yang panjang, padahal beliau itu sangat memperhatikan waktu, hingga
beliau berkata di sebagian dars beliau: “Ada orang-orang awam yang
mendatangiku, lalu aku duduk bersama mereka, dan aku mengharapkan pahala pada
Alloh atas waktu yang termakan tadi, karena mereka tidak mengetahui besarnya
nilai waktu, dan mereka akan berkata bahwasanya aku itu orang yang sombong.
Adapun para penuntut ilmu, aku menyikapi mereka berbeda dengan orang awam,
karena mereka itu mengetahui besarnya nilai waktu. Ibnul Jauziy رحمه الله dulu sering mengumpulkan pena. Jika para pengunjung
mendatanginya, beliau duduk bersama mereka sambil meraut pena-pena tadi.”
Penjagaan kehormatan beliau dan ketinggian harga dirinya
Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله itu seorang yang menjaga kehormatan. Beliau punya ketinggian
harga diri, sampai-sampai beliau merasa keberatan untuk menulis surat ke para
dermawan dengan permintaan yang dikhususkan demi para murid beliau. Lalu hal
itu diketahui oleh Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz رحمه الله maka beliau menulis
surat kepada Asy Syaikh Muqbil: “Wahai Abu Abdirrohman, tulislah, dan Anda akan
mendapatkan pahala.” Jika datang pada beliau dana untuk para pelajar, beliau
bersegera untuk mengalihkannya kepada pengelola urusan para murid. Demikianlah
beliau رحمه الله berada di atas karakter yang bagus tadi
sejak awal dakwah beliau.
Beliau mengajarkan
kitab beliau “Dzammul Mas’alah” kepada para murid. Beliau selalu mencela orang
yang pergi mengemis dengan nama dakwah, dan beliau memperingatkan muridnya dari
perbuatan tadi. Beliau berkata di pengantar kitab beliau tersebut: “Kemudian daripada
itu, maka sesungguhnya aku melihat sekelompok orang yang menyatakan bahwasanya
diri mereka itu adalah para dai ke jalan Alloh, tapi mereka mengkhususkan diri
untuk mengemis dan meninggalkan kerja. Bisa jadi seorang petani itu memakan
makanan yang halal dari hasil kerja tangannya, dan justru amalannya itu
termasuk pendekatan diri pada Alloh yang paling utama. Al Bukhoriy dan Muslim
telah meriwayatkan dari Anas dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
ما من مسلم يغرس غرساً أو يزرع زرعاً فيأكل منه طير
أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة
“Tiada seorang
muslimpun yang menanam suatu tanaman atau tumbuhan, lalu dimakan oleh burung
atau manusia atau binatang yang lain, kecuali dia itu mendapatkan pahala
sodaqoh dengan itu.”
Dan bisa jadi seseorang
itu bekerja di suatu perdagangan, dan itu juga termasuk pendekatan diri pada
Alloh yang paling utama. Telah tetap dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasnya beliau ditanya: “Pekerjaan apa yang paling baik?”
beliau menjawab:
عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور.
Bahkan bisa jadi
seseorang itu adalah badui, dia memakan dari apa yang dihasilkan oleh kambing
dan ontanya, lalu dia melihat para pengemis tadi membuka ruang-ruang pameran
dan membangun gedung-gedung, maka orang badui ini mulai memelihara jenggotnya
dan menyerupakan diri dengan para dai ke jalan Alloh, lalu bekerja sebagai
pengemis. Alangkah memuakkan pekerjaan yang jelek dan buruk ini.
Sikap zuhud beliau:
Beliau menyebutkan bahwasanya
manakala beliau belajar di universitas Al Hadi, pernah beliau punya sisa
sedikit roti, lalu beliau meletakkannya di suatu lobang di dinding yang
dinamakan sebagai Khizanah. Kemudian pada suatu hari beliau tidak
mendapatkan makanan, lalu beliau mendatangi khizanah tadi. Beliau berkata: “Aku
masukkan tanganku dan kepalaku untuk mencari roti tadi, lalu aku
mengeluarkannya. Ternyata laba-laba telah menganyam sarang di atasnya. Maka
kubuang debu darinya. Kudapati roti itu telah kering, maka kubasahi dengan air.
Jika kudapatkan sebutir tomat, maka itu bagus, tapi jika tidak, kumakan begitu
saja roti tadi.”
Pada suatu hari beberapa orang
dermawan datang mengunjungi Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله , mereka ingin membangun rumah untuk beliau. Maka beliau
berkata pada mereka: “Kemarikan dana itu.” Beliau mengambil dana tadi dari
mereka, dan membangun masjid serta sebuah kamar yang kecil di atas masjid. Ketika
mereka datang mereka bertanya pada beliau: “Di manakah rumah itu?” beliau
menjawab: “Inilah rumahku,” beliau memperlihatkan masjid itu dan mengisyaratkan
ke kamar yang di atas masjid tadi.
Dan termasuk zuhud([5]) beliau terhadap
dunia adalah beliau mewaqofkan sebidang tanah yang luas yang menjadi milik
beliau untuk para pelajar, agar mereka membangun tempat tinggal untuk mereka di
situ.
Beliau berkata: “Dan
terakhir, sungguh aku nasihatkan pada Ahlussunnah untuk bersabar terhadap
kemiskinan. Inilah keadaan yang dipilihkan Alloh untuk Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم.
Waro’ beliau:
Beliau adalah
seorang yang waro’([6]), sehingga di sisi
beliau harta dakwah, bahkan beliau mengalihkannya pada pengurus kas dakwah.
Bahkan terkadang beliau diberi suatu hadiah dari orang yang tidak beliau kenal,
maka beliau tidak mau mempergunakannya, dan beliau memberikannya pada istrinya
yang berhak mendapatkannya.
Upaya musuh untuk membunuh beliau:
Sesungguhnya ahli batil
berusaha untuk membunuh sang imam yang mulia serta mujahid yang cerdas ini.
Ketika beliau bersama beberapa masyayikh sunnah ada di kota ‘Aden, di masjid Ar
Rohman, datanglah dua orang yang hendak meletakkan bom di jalan yang syaikh
akan keluar dari situ. Tapi sebagaimana firman Alloh:
﴿وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِه﴾ [فاطر: 43]
“Dan tidaklah
menimpa makar yang buruk itu kecuali kepada pelakunya.”
Bom tadi meledak
duluan dan mengoyak-koyak badan kedua pelaku dosa tadi.
Demikian pula mereka
berusaha membunuh beliau dan salafiyyun di masjid Jami’ul Khoir di Son’a.
beberapa orang yang tak bersalah terbunuh, sebagian yang lain luka-luka, dan
syaikh selamat. Semoga Alloh merohmati beliau dan mereka semua.
Kesabaran beliau terhadap sakit:
Pada suatu hari
salah seorang yang mulia masuk menemui Al Imam رحمه الله dalam keadaan beliau sedang sakit keras. Ternyata beliau ingin
keluar untuk melangsungkan dars-dars beliau. Maka orang tadi berkata pada
beliau: “Wahai Syaikh, Anda sedang sakit, biarlah yang lain yang menggantikan
Anda untuk mengajar.” Beliau menjawab: “Enggak, demi Alloh aku tak mau
meninggalkan wajah-wajah yang baik itu.”
Pernah pada suatu
hari beliau keluar untuk untuk melangsungkan dars-dars beliau dalam keadaan
tangan beliau diperban dan diikatkan ke leher beliau. Maka seorang murid
bertanya pada temannya tentang apa yang terjadi pada beliau? Mereka menjawab:
“Beliau jatuh ke tanah di dalam rumahnya.” Dan beliau tidak meninggalkan
dars-dars sampai sembuh.
Istri beliau –Ummu
Syu’aib حفظها الله- bercerita: “Beliau itu selalu sabar terhadap penyakit, tak mau
mengeluh pada seorangpun tentang sakitnya, sampai pada sakit beliau yang
terakhir, aku merasa sedih dengan keadaan beliau, tapi beliau tertawa dan
menanyai kami. Aku berkata: “Wahai Syaikh, kasihanilah diri Anda.” Beliau
menjawab: “Aku merasa tentram.”
Wafat beliau:
Dikarenakan kerasnya sakit beliau, berangkatlah beliau رحمه الله pada tanggal 16 Robi’uts
Tsani 1421 H ke Riyadh, lalu disambut oleh pemerintah Saudi bagaikan
penyambutan mereka terhadap para penguasa, dan memuliakan beliau dengan puncak
pemuliaan (terhadap seorang tamu). Dan di Makkah, Amir yang salafiy: Nayif bin
Abdil ‘Aziz رحمه الله telah
menyiapkan untuk beliau tempat tinggal yang berjarak sekitar 50 meter dari
Masjidil Harom.
Lalu pada akhir-akhir Jumadats Tsaniyah 1431 H beliau رحمه الله berangkat berobat ke Amerika
dengan biaya dari pemerintah Saudi. Ketika beliau sampai di sana, para pecinta
dakwah salafiyyah menyambutnya dengan penyambutan agung, dan mereka mencurahkan
harta dan jiwa dalam melayani beliau, dan memuliakan beliau dengan puncak
pemuliaan (terhadap seorang tamu).
Pada akhir-akhir bulan Syawwal 1431 H beliau sampai lagi ke Jeddah dalam
keadaan muhrim dengan umroh tamattu’ sampai haji, di bawah pemuliaan dan
pelayanan pemerintah Saudi, hingga beliau menyempurnakan amalan haji pada
tanggal 13 Dzil Hijjah 1421 H.
Lalu pada tanggal 7 Robi’uts Tsani 1422 H beliau berangkat berobat ke
Jerman dengan biaya dari pemerintah Saudi. Lalu pada hari Sabtu tanggal 30
Robi’uts Tsani 1422 H beliau pulang ke Shon’a. pada malam Ahad antara maghrib
dan ‘Isya wafatlah beliau رحمه الله
dengan senyum yang memenuhi wajahnya. Beliau telah berwasiat untuk dikuburkan
di pekuburan Al ‘Adl di Jeddah. Maka kementrian dalam negri Saudi mengirimkan
tiga orang jendral untuk mengiringi jenazah Al Imam رحمه الله sampai tiba di Makkah.
Jenazah beliau رحمه الله
dimandikan di Jeddah dalam keadaan senyum beliau tidak berpisah dari wajah saat
dimandikan ataupun setelah itu. Kemudian beliau disholatkan di Masjidil Harom
seusai sholat shubuh, lalu dikuburkan di pekuburan Al ‘Adl di Jeddah setelah
kerasnya usaha mengeluarkan jenazah beliau dari masjid karena banyaknya orang
yang sholat dan hadirin.
Literatur biografi:
-
“Tarjumah Abi
Abdirrohman Muqbil Bin Hadi Al Wadi’iy” ditulis sendiri oleh Al Imam Muqbil Bin
Hadi Al Wadi’iy رحمه الله.
-
“Ar Rihlatul
Akhiroh Li Imamil Jaziroh” ditulis oleh Ummu Salamah As Salafiyyah.
-
“Nubdzatun Yasiroh Min Hayati Ahad A’lamil
Jaziroh Al ‘Allamah Al Wadi’iy” ditulis oleh Muhammad bin Ali Ash shouma’iy
-
“Al Ba’its ‘Ala
Syarhil Hawadits” ditulis sendiri oleh Al Imam Muqbil Bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله.
Pasal satu: Karya
tulis Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله
Imam yang agung ini telah meninggalkan
warisan yang besar di medan-medan ilmu syar’iyyah yang menunjukkan pada luasnya ilmu beliau, kekokohan beliau di atas kebenaran, dan
banyaknya nasihat beliau untuk umat ini. Yahya bin Kholid -rohimahullohu- berkata: “Ada
tiga perkara yang menunjukkan akal pemiliknya: Kitab menunjukkan akal
penulisnya. Utusan menunjukkan akal sang pengutus. Hadiah menunjukkan akal sang pemberi.” (“Al ‘Aqdul
Farid”/1/hal. 170/karya Ibnu Abdi Robbihi Al Andalusiy).
Di antara karya tulis beliau adalah:
1-
Ash Shohihul
Musnad Mimma Laisa Fish Shohihain
2-
Al Jami’ush
Shohih Mimma Laisa Fish Shohihain
3-
Tarojim Rijalil
Hakim Fil Mustadrok
4-
Tatabbu’ Auhamil
Hakim Allati Sakata ‘Alaihadz Dzahabiy (telah dicetak bersama “Al Mustadrok”)
5-
Tarojim Rijalid
Daroquthniy Fi Sunanih
6-
Ash Shohihul
Musnad Min Dalailin Nubuwwah
7-
Ash Shohihul
Musnad Fi Asbabin Nuzul
8-
Ghorotul Fishol
‘Alal Mu’tadin ‘Ala Kutubil ‘Ilal
9-
Al Jami’ush
Shohih Fil Qodar
10- Sho’qotuz Zilzal Li Nasfi Abathilir Rofdh Wal I‘tizal
11- Ijabatus Sail ‘An Ahammil Masail
12- Asy Syafa’ah
13- Riyadhul jannah Fir Rodd ‘Ala A’dais Sunnah
14- Ath Tholi’ah Fir Rodd ‘Ala Ghulatish Shufiyyah, Wa
Hukmul Qubbatil Mabniyyah ‘Ala Qobrir Rosul صلى الله عليه وسلم.
15- Tuhfatul Mujib ‘Ala Asilatil Hadhir Wal ghorib
16- Al Makhroj Minal Fitnah
17- Rudud Ahlil ‘Ilmi ‘Alath Tho’inin Fi Haditsis Sihr
18- Al Mushoro’ah
19- Ilhadul Khumainiy Fi Ardhil Haromain
20- Al Ba’its ‘Ala Syarhil Hawadits
21- Irsyadu Dzawil Fithon Li Ib’adi Ghulatir Rowafidh
Minal Yaman
22- Ghorotul Asyrithoh ‘Ala Ahlil Jahl Was Safsathoh
23- Al Fawakihul Janiyyah Fil Khuthob Wal Muhadhorotis
Saniyyah
24- Qom’ul Mu’anid Wa Zajrul Hasid
25- Syar’iyyatush Sholah Fin Ni’al
26- Tahrimul Khidhob Bis Sawad
27- Al Jam’u Bainash Sholatain Fis Safar
28- Idhohul Maqol Fi Asbabiz Zilzal War Rodd ‘Alal
Malahidatil Dhullal
29- Dzammul Mas’alah
30- Tuhfatusy Syabbir Robbaniy Fir Rodd ‘Alal imam
Muhammad Bin Alisy Syaukaniy
31- Fatwa Fi Wihdatil Muslimin Ma’al Kuffar
32- Iqomatul Burhan ‘Ala Dholal Abdirrohim Ath Thohhan
33- Ad Dibaj Fi Marotsi Syaikhil Islam Asy Syaikh Abdil
Aziz ibni Baz
34- Hukmi Tashwir Dzawatil Arwah
35- Al Muqtaroh Fi Ajwibati As’ilatil Mushtholah
36- Fadhoih Wa Nashoih
37- Maqtalusy Syaikh Jamilir Rohman Al Afghoniy Wa Ma’ahu
Bahtsun Haula Kalimah Wahhabiy
38- Iskatul Kalbil ‘Awi
39- Tahqiq Tafsir Ibni Katsir (mentahqiq satu jilid,
adapun sisanya dilanjutkan oleh sebagian murid)
40- Ash Shohihul Musnad Minat Tafsir Bil Ma’tsur (belum
diselesaikan, dan masih disempurnakan oleh salah seorang istrinya)
41- Tahqiq Wa Dirosah Kitab Al Ilzamat Wat Tatabbu’ Lil
Imam Ad Daroquthniy
42- Al Burkan Li Nasfi Jami’atil Iman
43- As Sairul Hatsits Fi Syarhi ‘Ulumil Hadits.
44- Majlisusy Syaikhot Fil Yaman
Pasal Dua:
Pembaharuan Agama Oleh Al Imam Muqbil رحمه الله
di Yaman
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang
bersabda:
«إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها». (أخرجه أبو
داود (4291) وغيره).
“Sesungguhnya
Alloh membangkitkan untuk umat ini di setiap ujung seratus tahun orang yang
memperbaharui untuk mereka agama mereka. ([7])” (HR. Abu Dawud (4291) dan yang lainnya).
Bukanlah makna dari hadits ini bahwasanya para mujaddidun (pembaharu)
itu mendatangkan agama baru yang menyelisihi agama Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Tapi
mereka itu memperbarui untuk umat ini syari’ah dan sunnah beliau yang telah
luntur.
Al Munawiy رحمه الله
berkata: “Yaitu: memperbarui hukum-hukum syari’ah yang telah luntur, dan
menara-menara sunnah yang telah hilang dan yang ilmu-ilmu agama yang zhohir dan
bathin tersembunyi, sebagaimana yang disebutkan oleh berita yang akan datang,
yaitu: “Sesungguhnya Alloh membangkitkan” hingga akhir hadits.
Yang demikian itu adalah bahwasanya Alloh Yang Mahasuci manakala menjadikan Al
Mushthofa sebagai penutup para Nabi dan Rosul, dan kejadian-kejadian setiap
hari itu tidak terhitung, sementara pengetahuan terhadap hukum-hukum agama itu
wajib sampai hari Tanad (hari Kiamat di mana orang saling memanggil), sementara
lahiriyyah dari nash-nash itu tidaklah cukup menjelaskannya([8]), bahkan harus ada jalan yang mencukupi perkara tadi, maka hikmah Al
Malik (Sang Raja) Al ‘Allam (Yang Maha Mengetahui) mengharuskan munculnya suatu
kaum dari para tokoh di awal setiap seratus tahun untuk memikul beban
kejadian-kejadian, untuk melangsungkan pada umat ini bersama ulama mereka
sebagaimana yang terjadi antara Bani Isroil dengan para Nabi mereka.” (“Faidhul
Qodir”/1/hal. 10).
Dan bukanlah suatu keharusan
bahwasanya mujaddid di setiap zaman itu cuma satu tak boleh lebih. Bahkan bisa
saja lebih dari itu. Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “… tidak lazim
bahwasanya di setiap penghujung seratus tahun itu hanya ada satu mujaddid saja.
Bahkan masalah ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam masalah thoifah
manshuroh. Dan ini adalah pendapat yang kuat, karena terkumpulnya sifat-sifat
yang perlu untuk diperbaharui itu tidak terbatas pada satu jenis kebaikan saja.
Dan tidaklah diharuskan seluruh karakter kebaikan itu ada pada satu individu,
kecuali jika hal itu dikatakan ada pada Umar bin Abdil Aziz, karena beliau dulu
menjadi penegak urusan umat ini di ujung seratus tahun yang pertama, dengan
terkumpulnya pada diri beliau seluruh sifat-sifat kebaikan, dan beliau maju
dengan sifat-sifat tadi. Dari situlah Ahmad menyatakan bahwasanya mereka
membawa penunjukan hadits tadi kepada beliau (Umar bin Abdil Aziz). Adapun yang
datang setelah beliau, maka orangnya adalah Asy Syafi’iy, sekalipun beliau
memiliki sifat-sifat yang indah, akan tetapi beliau bukanlah pemegang urusan
jihad dan hukum dengan keadilan. Maka berdasarkan ini, setiap orang yang
memiliki suatu sifat kebaikan di ujung seratus tahun, maka dia itulah yang
diinginkan, sama saja satu orang atau lebih.” (“Fathul Bari”/13/hal. 295).
Dan barangsiapa memperhatikan sejarah Al Imam Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy
رحمه الله dengan adil, dia akan
mendapati beliau termasuk dari mujaddid sejati, terutama di negri Yaman yang
penuh dengan aliran Tasyayyu’ dan bid’ah-bid’ah yang gelap yang lain sepanjang
seribu tahun.
Di antara sunnah-sunnah Muhammadiyyah yang beliau رحمه الله perbarui adalah sebagai
berikut:
& Dalam ibadah wudhu:
1-
mengusap sorban
2-
mengusap khuff
(sepatu yang sampai menutupi mata kaki).
3-
Tata cara
mengusap kepala saat wudhu
4-
Wudhu setelah
makan daging onta
5-
Dan beberapa
perkara yang lain
& Dalam ibadah sholat:
1-
sholat pada
waktunya
2-
meluruskan
barisan
3-
mendekatkan jarak
antara shoff
4-
tidak sholat di
antara dua tiang, dalam sholat jama’ah
5-
tidak melafazhkan
niat
6-
sholat di
belakang sutroh (tabir)
7-
sholat dengan
memakai sandal
8-
membaca basmalah
dengan pelan-pelan
9-
membaca amin
seusai bacaan Al Fatihah
10- meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam
sholat.
11- Membaca surat “As Sajdah” dan “Al Insan” di sholat
subuh pada hari Jum’ah
& Dalam ibadah adzan:
1-
Adzan pertama
sebelum fajar
2-
Pada hari Jum’ah
cukup satu adzan di waktu zhuhur saat khothib duduk di atas mimbar
3-
Ucapan muadzdzin
saat hujan: Shollu fi buyutikum! (sholatlah di rumah-rumah kalian!)
& Dalam masalah kuburan:
1-
Haromnya membuat
kubah ataupun bangunan yang lain di atas kuburan
2-
Haromnya berjalan
di antara kuburan dengan memakai sandal
& Dalam ibadah puasa:
1-
Menyegerakan
berbuka puasa saat matahari terbenam, dan mengakhirkan sahur sampai mendekati
waktu subuh
& Dalam masalah masjid:
1-
Mimbar punya tiga
tingkatan saja
2-
I’tikaf di masjid
di dalam kemah
& Dalam hubungan sehari-hari:
1-
Haromnya jabat
tangan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahrom
2-
Anjuran untuk
menebarkan salam di antara muslimin
Yang tersebut ini tadi hanyalah sedikit contoh dari pembaharuan yang
dilakukan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله di negri Yaman. Barangsiapa
ingin melengkapi pembacaan masalah ini silakan rujuk ke kitab: “Al Bayanul Hasan
Bitarjumatil Imam Al Wadi’iy Wama Ahyahu Minas Sunan” karya Asy Syaikh Abu
Muhammad Abdul Hamid Al Hajuriy حفظه الله.
Pasal Tiga: Pujian
Para Ulama Terhadap Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله
dan Kedudukan Beliau Di Sisi Mereka
Al Imam Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albaniy رحمه الله ketika ditanya tentang orang-orang yang mencerca Asy Syaikh
Robi’ حفظه الله dan Asy Syaikh Muqbil رحمه الله beliau berkata: “Kita tanpa
keraguan memuji Alloh عز وجل Yang menundukkan untuk dakwah yang baik
dan tegak di atas Al Kitab dan As Sunnah di atas manhaj As Salafush Sholih ini
para dai yang banyak di berbagai negri Islam. Mereka menjalankan fardhu kifaiy
yang pada hari ini sedikit sekali orang yang menegakkannya di dunia Islam. Maka
upaya untuk menjatuhkan dua syaikh ini: Asy Syaikh Robi’ dan Asy Syaikh Muqbil,
dua penyeru ke jalan Al Kitab dan As Sunnah dan perkara yang dulu As Salafush
Sholih ada di atasnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihi manhaj yang
shohih ini, hal ini sebagaimana tidak tersamarkan bagi kita semua hanyalah
berasal dari salah satu dari dua jenis orang: bisa jadi dia itu adalah orang
bodoh, atau pengekor hawa nafsu.
Orang bodoh
mungkin untuk mendapatkan bimbingan, karena dia mengira berada di atas sedikit
ilmu, maka jika menjadi jelaslah ilmu yang benar baginya, dia akan mengikuti
petunjuk. Adapun pengekor hawa nafsu, maka kita tak punya jalan kepadanya,
kecuali jika Alloh تبارك وتعالى memberinya petunjuk. Maka orang-orang yang
mengkritik kedua syaikh tadi –sebagaimana telah kami sebutkan- mungkin saja dia
itu orang bodoh sehingga perlu diajari, dan bisa jadi dia adalah pengekor hawa
nafsu, maka kita mohon pada Alloh dari kejelekannya. Dan kita mohon pada Alloh عز وجل untuk
memberinya petunjuk, atau mematahkan belakangnya.” (diambil dari pembukaan “An
Nashrul ‘Aziz ‘Alar Roddil Wajiz” karya Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy hal 6-7
yang menukil dari kaset “Silsilatul Huda Wan Nur” no. 1/851).
Al Imam Al
Albaniy رحمه الله juga berkata: “Adapun orang-orang yang mengetahui bidang ini
mereka tidak ragu akan lemahnya semisal hadits ini. Ini dia Asy Syaikh yang
mulia Muqbil bin Hadi Al Yamaniy berkata dalam takhrijnya terhadap “Tafsir Ibnu
Katsir“ (1/hal. 513) setelah berbicara tentang para rowi sanadnya satu persatu
dengan ringkas dan berfaidah: “Dan hadits ini lemah karena adanya inqitho’
(putusnya sanad), dan lemahnya Ubaidulloh ibnul Walid Al Wushofiy.” (“As
Silsilatudh Dho’ifah”/5/hal. 75).
Beliau رحمه الله juga berkata: “Adapun tentang Asy Syaikh Muqbil, maka “penduduk
Mekkah lebih tahu tentang anggota masyarakatnya” ([9]) dan berdasarkan berita-berita
yang datang kepada kami dari kalian, merupakan persaksian yang terbesar
bahwasanya Alloh عز وجل telah memberikan taufiq pada beliau dengan
taufiq yang bisa jadi kami tak mendapatkan yang semisal dengan itu jika
dibandingkan dengan sebagian dai yang nampak di muka bumi pada hari ini.”
(“Silsilatul Huda Wan Nur” (no. 851), dinukil oleh Ma’mar Al Qodasiy هداه الله dalam kitabnya “Asy Syaikh Muqbil” (hal. 80/cet. Darul Atsar)).
Disebutkan
kepada Al Imam Ibnu Baz رحمه الله tentang tersebarnya dakwah Asy Syaikh
Muqbil di Yaman dan lainnya, maka beliau berkata: “Ini adalah buah dari
keikhlasan, ini adalah buah dari keikhlasan.” (disebutkan oleh Asy Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab Al Wushobiy هداه الله, sebagaimana dinukilkan oleh Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy حفظه الله dalam kitab “Al Bayanul
Hasan” hal. 33 cet. Darul Imam Ahmad).
Dan di antara data yang menunjukkan ketinggian posisi Al Imam Al Wadi’iy
di sisi Al Imam Ibnu Baz, apa yang diceritakan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمهما الله sendiri: “Pada suatu ketika
ada di Shon’a ada orang yang lari menyusup ke Riyadh dan berkata pada beliau
–yaitu Al Imam Ibnu Baz رحمه الله
-: “Wahai Syaikh, saya itu dari ahlussunnah, tapi saya tak punya surat apapun.”
Maka beliau berkata padanya: “Berikanlah ketetapan padaku bahwasanya engkau
uadalah dari ahlussunnah.” Maka dia mengeluarkan selembar kertas dariku yang
berisi pengenalanku tentang orang ini. Maka Asy Syaikh Ibnu Baz menuliskan
untuknya selembar kertas tentang bolehnya berjalan ke manapun yang
diinginkannya.” (“Rotsausy Syaikh Muqbil Lil Imam Ibni Baz” hal. 16,
sebagaimana dalam kitab “I’lamul Ajyal” karya Salil Al Khoukhiy وفقه الله hal. 26-27, cet. Darul
Atsar).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله
berkata: “Asy Syaikh Muqbil Imam” maka beberapa orang membantah beliau dengan
perkataan yang berisi cercaan pada Asy Syaikh Muqbil, maka Al Imam Ibnu
‘Utsaimin رحمه الله berkata:
“Asy Syaikh Muqbil Imam, Asy Syaikh Muqbil Imam.” (diceritakan oleh Asy Syaikh
Abdulloh bin ‘Utsman Adz Dzammariy وفقه الله sebagaimana dinukilkan oleh Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy حفظه الله dalam kitab “Al Bayanul
Hasan” hal. 33 cet. Darul Imam Ahmad).
Abul Hasan Al Mishriy al hizbiy pernah bertanya pada Al Imam Ibnu
‘Utsaimin رحمه الله tentang Asy
Syaikh Muqbil, maka beliau menjawab: “Beliaulah yang perlu ditanya tentang
diriku.” (kitab “I’lamul Ajyal” karya Salil Al Khoukhiy وفقه الله hal. 27, cet. Darul Atsar).
Abul Hasan Al Mishriy al hizbiy pernah bertanya pada Al Imam Ibnu
‘Utsaimin رحمه الله saat di
Mina tentang Asy Syaikh Muqbil: “Di sana ada orang yang mengabari Asy Syaikh
bahwasanya Anda berbicara tentang beliau. Apakah ini benar?” maka beliau menjawab:
“Ini tidak benar. Demi Alloh! Sungguh aku berkeyakinan bahwasanya Asy Syaikh
Muqbil itu adalah imam dari kalangan para imam Muslimin.” (“Al Qoulul Amin Fi
Rotsai Ibni ‘Utsaimin”/ “I’lamul Ajyal” hal. 27, cet. Darul Atsar).
Fadhilatusy
Syaikh Sholih Fauzan حفظه الله تعالى berkata: “Segala puji bagi Alloh. Kemudian
setelah itu: saya telah melihat ceramah yang disampaikan oleh Asy Syaikh Muqbil
bin Hadi Al Wadi’iy, yang beliau sampai di akhir hayat beliau رحمه الله di dalamnya ada penjelasan terhadap kebenaran, dan bantahan
terhadap kebatilan, serta pengakuan atas kebaikan pemerintah Saudi atas
pelayanan mereka untuk Islam dan Muslimin. Dan ini adalah persaksian yang benar
dari seorang alim yang agung. Maka semoga Alloh membalas beliau dengan balasan
terbaik atas dakwah ke jalan Alloh yang beliau tegakkan di Yaman dan lainnya,
penyebaran ilmu yang bermanfaat, perbaikan aqidah, dan anjuran untuk berpegang
teguh dengan sunnah. Semoga Alloh memberikan manfaat dengan kerja keras beliau
dan kitab-kitab beliau dengan pahala dan ganjaran yang agung…” (selebaran
Fadhilatusy Syaikh Sholih Fauzan حفظه الله تعالى ).
Kholid bin Dhohwi وفقه الله berkata:
“Dan di antara bentuk pemuliaan Asy Syaikh Robi’ kepada Asy Syaikh Muqbil
adalah: bahwasanya saya dulu pernah menyertai Asy Syaikh Robi’ untuk
mengunjungi Asy Syaikh Muqbil di rumah sakit khusus yang ada di Jedah setelah
Asy Syaikh Muqbil tiba dari Jerman, dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ketika
kami tiba di kamar beliau, beliau ada di atas tempat tidurnya, majulah Asy
Syaikh Robi’ dan mencium kepalanya kemudian menangis dengan keras. Semoga Alloh
merohmatinya dengan rohmat yang luas, dan mengumpulkan kita dengan beliau dan
para masyayikh kita di Jannah-jannah yang penuh kenikmatan.” (“Ats Tsanaul
Badi’ ‘Alasy Syaikh Robi’”/hal. 38-39/karya kholid bin Dhohwi Azh
Dhufairiy/cet. Darul Minhaj).
Fadhilatusy Syaikh Robi’ bin Hadi Al
Madkholiy حفظه الله berkata: “…
Ini adalah ucapan bela sungkawa kami untuk kalian atas meninggalnya pembawa
bendera sunnah dan tauhid, sang penyeru ke jalan Alloh, sang pembaharu dengan
benar di negri Yaman, yang pengaruh dakwah beliau memanjang di berbagai penjuru
dunia. Dan kukatakan pada kalian dari yang kuyakini: sesungguhnya negri kalian
setelah tiga kurun yang utama itu telah mengenal sunnah dan manhaj As Salafush
Sholih, walau dengan perbedaan kenampakan dan kekuatan. Sekalipun demikian saya
tidak mengetahui adanya tandingan untuk ma’had ini, yang Alloh karuniakan
kepada kalian dan kepada masyarakat Yaman, melalui tangan orang sholih ini:
muhaddits, zahid, wari’, yang menginjak dunia dan perhiasannya di bawah kedua
kakinya.” (tanggal 1Jumadal Ula 1422 H, sebagaimana dalam “I’lamul Ajyal” karya
Salil Al Khoukhiy وفقه الله
hal. 27, cet. Darul Atsar. Sebagiannya disebutkan oleh Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy حفظه الله dalam kitab “Al Bayanul
Hasan” hal. 33 cet. Darul Imam Ahmad).
Fadhilatusy Syaikh Robi’ bin Hadi Al Madkholiy
حفظه الله juga
berkata: “Pria yang zuhud dan waro’ ini, yang kuanggap –dengan sekehendak
Alloh- termasuk dari para pembaharu untuk Islam di masa ini, maka semoga Alloh
merohmati beliau, …” (“I’lamul Ajyal” karya Salil Al Khoukhiy وفقه الله hal. 28).
Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya An
Najmiy رحمه الله dalam
kunjungan beliau ke Darul Hadits di Dammaj tanggal 3 Jumadal Akhiroh 1423 H
setelah wafatnya Al Imam Al Wadi’iy berkata: “Segala puji bagi Alloh atas
ketetapan dan keputusannya, dan harus ada kesabaran. Manusia itu semuanya
menuju kepada kematian, akan tetapi orang yang meninggalkan seperti markiz ini
tidaklah teranggap sebagai orang yang wafat, karena beliau telah membuat
pondasi, memperbaikinya, juga telah berdakwah dan mencurahkan kerja keras yang
membuat kami iri dengan itu, dan kami menganggap beliau itu di sisi Alloh
termasuk dalam tokoh utama dari orang-orang yang bertaqwa, dan termasuk dari
para wali yang tinggi. Kami menyangka beliau demikian dan Allohlah yang
menghisab kita semua. Akan tetapi kita melihat dengan mata kepala kami, dan
menyentuh dengan indra kami, dan kami tahu –segala pujian bagi Alloh-
bahwasanya beliau telah beramal kebaikan yang banyak, yang jarang ada orang
yang bisa mencapai ke situ, -sampai pada ucapan beliau:- dan tidaklah kumpulan
besar yang kami lihat ini kecuali bagian dari kebaikan syaikh yang agung itu,
yang telah berdakwah ke Alloh, bersabar dan mushobaroh([10]), dan mencurahkan segala benda yang mahal dan berharga
untuk mengumpulkan jama’ah besar ini, mendorongnya untuk menuntut ilmu, dan
meletakkannya di atas jalur yang benar,…” (“I’lamul Ajyal” karya Salil Al Khoukhiy وفقه الله hal. 28-28).
Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Hammad Al
Anshoriy رحمه الله berkata:
“Sesungguhnya Muqbil Al Wadi’iy adalah muridku, dan akulah yang memilihkan
untuknya judul pembahasan untuk gelar Majister, dan dulu dia selalu membacakan
untukku pada hari-hari hurroh syarqiyyah. Dan dulu kukatakan padanya: “Aku
berharap engkau di Yaman di masa ini seperti Asy Syaukaniy di masa beliau.” Dan
Muqbil itu, belum pernah aku melihat ada seorang murid yang sepertinya dalam
kerajinannya dalam menuntut ilmu.” (“Al Majmu’ Fi Tarjumatil ‘Allamatil
Muhadditsisy Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshoriy”/2/hal. 606-607/karya anak
beliau Abdul Awwal bin Hammad).
Fadhilatusy Syaikhina Al ‘Allamah Yahya
bin Ali Al Hajuriy حفظه الله berkata: “Adapun syaikh kami Al ‘Allamah Al Wadi’iy رحمه الله , maka
beliau itu adalah seorang alim salafiy yang disaksikan untuknya dengan
kebaikan, sunnah, manhaj salafiy yang benar, sangat berhati-hati dan
memperingatkan dari kesyirikan, kebid’ahan, khurofat dan seluruh jenis fitnah.
Kaset-kaset beliau, manhaj beliau, jejak-jejak beliau, dakwah beliau, para
murid beliau yang sholih dan jujur, serta lisan-lisan ahlul ‘ilmi wal khoir
menjadi saksi untuk yang demikian itu.” (“Al Hijaj Li Abdil Karim Al
Iryaniy”/karya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy حفظه الله/hal. 6-7/cet. Maktabatul Falah).
Pasal Keempat: Keahlian Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله Untuk Berijtihad dan Berfatwa
Al
Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله menyebutkan jenis pertama dari ahli fatwa: “Seorang yang alim
dengan Kitabulloh, sunnah Rosul-Nya, dan ucapan-ucapan shohabat. Maka dia itu
adalah seorang mujtahid dalam hukum-hukum kasus yang terjadi, menginginkan di
dalamnya kesesuaian dengan dalil-dalil syar’iyyah di manapun berada.” (“I’lamul
Muwaqqi’in”/4/hal. 454/cet. Darul Hadits).
Dan
termasuk dari syarat seorang mufti adalah apa yang disebutkan oleh Al Imam Abu
Ishaq Asy Syairoziy رحمه الله: “Seorang mufti wajib untuk mengetahui jalan-jalan hukum yaitu:
Al Kitab. Dan yang wajib untuk diketahui darinya adalah apa yang terkait dengan
penyebutan hukum-hukum, halal, harom, bukan yang selain itu yang berupa
kisah-kisah, permisalan-permisalan, nasihat-nasihat, dan berita-berita.
Dia
juga harus mengetahui sunnah-sunnah yang diriwayatkan dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم tentang
penjelasan hukum. Dia juga harus mengetahi jalan-jalan yang dengannya bisa
diketahui perkara yang diperlukan di dalam Al Kitab dan sunnah, yang berupa
hukum-hukum pembicaraan, tempat-tempat kedatangan ucapan dan sumber-sumbernya
yang berupa hakikat dan majaz([11]), umum dan khusus, global dan terperinci, mutlak dan
terikat, manthuq dan mafhum. Dan dia harus mengetahui dari bahasa Arob dan
nahwu yang dengannya bisa diketahui kehendak Alloh ta’ala, dan kehendak
Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم dalam ucapannya. Dan dia harus mengetahui hukum-hukum perbuatan
Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan apa yang dituntut dari itu. Dia juga harus mengetahui
nasikh dan mansukh dari Al Kitab dan As Sunnah, hukum-hukum naskh dan apa yang
terkait dengan itu. Di juga harus tahu ijma’ salaf dan perselisihan mereka,
tahu tentang perkara yang teranggap dan yang tidak teranggap dalam kasus-kasus
ijma’. Tahu qiyas, ijtihad dan objek-objek yang yang telah ada hukumnya yang
boleh untuk ditetapkan illah dengannya dan apa yang tidak boleh, dan tahu
sifat-sifat yang boleh dijadikan sebagai ‘illah dan yang tidak boleh, juga
harus tahu bagaimana mengambil suatu ‘illah. Harus tahu urutan dalil-dalil,
mendahulukan yang memang haknya harus didahulukan, tahu segi-segi tarjih. Dan
dia wajib untuk menjadi orang yang terpercaya dan tidak bermudah-mudah dalam
urusan agama.” (“Al Luma’ Fi ushulill Fiqh”/hal. 252-253/Al Maktabatut Taufiqiyyah).
Yang
disebutkan oleh Al Imam Abu Ishaq Asy Syairoziy رحمه الله ini merupakan syarat ijtihad. Maka
tidaklah seorang mufti kecuali dia itu adalah seorang alim. Dan tidaklah
seorang alim kecuali dia itu adalah seorang mujtahid. Dan tidaklah seorang
mujtahid kecuali dia itu adalah seorang faqih. Yang demikian itu adalah
dikarenakan bahwasanya fiqh itu adalah apa yang dikatakan oleh Al Khothib Al
Baghdadiy رحمه الله: “Fiqh itu
adalah: mengetahui hukum-hukum syar’iyyah yang jalannya adalah ijtihad([12]).” (“Al Faqih Wal Mutafaqqih”/1/hal. 191/cet.
Maktabatut Tau’iyatil Islamiyyah).
Maka
seorang faqih adalah orang yang mapan kemampuannya untuk mengetahui hukum-hukum
syar’iyyah yang jalannya adalah ijtihadiyyah. Dan ijtihad itu adalah:
mencurahkan kerja keras untuk mengeluarkan hukum-hukum dari dalil pendukungnya
yang menunjukkan kepada hukum tadi dengan penelitian yang membuahkan hukum
tadi. (“Qowathi’ul Adillah Fil Ushul”/karya As Sam’aniy/2/hal. 302).
Maka
jika kita merenungkan penjelasan ini dan kita perhatikan biografi Al Imam Al
Wadi’iy tahulah kita bahwasanya beliau itu berhak untuk menjadi seorang alim
faqih mufti mujtahid, berbeda dengan orang yang meniadakan hal itu.
Kemudian
ketahuilah bahwasanya ulama yang hakiki adalah orang-orang yang mengenal Alloh
dengan ilmu mereka, lalu mereka merasa takut kepada-Nya sekalipun mereka tidak
melihat-Nya([13]), maka merekapun menaati perintah-Nya dan tidak
mengerjakan keharomannya, dengan tuntutan dari ilmu mereka. Al Imam Asy
Syathibiy رحمه الله berkata: “Maka
sesungguhnya ulama yang jelek mereka itulah yang tidak beramal dengan apa yang
mereka ketahui. Dan jika mereka tidak demikian (tidak beramal dengan ilmu
mereka), maka mereka itu secara hakiki bukanlah termasuk orang-orang yang
mendalam ilmunya. Mereka itu hanyalah para periwayat –sementara fiqh terhadap
apa yang mereka riwayatkan itu adalah perkara yang lain-. Atau mereka itu
adalah orang-orang yang dikalahkan oleh hawa nafsu yang telah menutupi hati.
Kita berlindung pada Alloh.” (“Al Muwafaqot”/1/hal. 46/Al Maktabatul
‘Ashriyyah).
Maka
barangsiapa merenungkan kehidupan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dan bagaimana beliau mengumpulkan antara
luasnya ilmu dan kuatnya amal, tidaklah dia ragu bahwasanya beliau adalah
seorang alim dan faqih sejati.
Seagung
apapun kedudukan seseorang, dan sedalam apapun ilmunya, maka dia itu masih
manusia yang tidak selamat dari kesalahan, sebagaimana dirinya tak selamat dari
lupa. Maka tidaklah ditaati dengan ketaatan yang mutlak kecuali Alloh ta’ala
dan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم. Al Imam Abu syamah رحمه الله berkata: “Bahkan seorang pelajar itu harus
selamanya mencari pertambahan ilmu yang tidak diketahuinya dari siapapun juga.
Hikmah itu adalah barang seorang mukmin yang hilang, di manapun dia
mendapatkannya dia mengambilnya. Dan dia harus adil, meninggalkan taqlid([14]), dan mengikuti dalil. Setiap orang itu bisa salah dan
benar, kecuali orang yang disaksikan oleh syari’ah sebagai orang yang terjaga,
yaitu Nabi صلى الله عليه وسلم.” (ringkasan
kitab “Al Muammal Fir Rodd Ilal Amril Awwal”/ Abu Syamah/hal. 34/Al Maktabatul
Islamiyyah).
Maka dari itu Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله melarang dari taqlid di dalam
agama ini, dan mendorong manusia untuk beribadah pada Alloh dengan dalil, dan
tunduk patuh pada kebenaran dari manapun datangnya.
Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله telah menulis dalam kitab
beliau “Al
Jami’ush Shohih Mimma Laisa Fish Shohihain” dalam Kitabul ‘Ilm bab: “Dzammut
Taqlid” (tercelanya taqlid), kemudian beliau menuliskan riwayat Al Imam Abu
Dawud (13/hal. 89) dari hadits Al Baro bin ‘Azib رضي الله عنهما tentang dicabutnya nyawa, lalu riwayat Al Imam Ahmad (6/hal. 139) dari
hadits ‘Aisyah رضي الله عنها tentang fitnah kubur, di
dalamnya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«... فيقال له: من هذا الرجل الذي كان فيكم؟ فيقول: سمعت الناس
يقولون قولا فقلته كما قالوا. فتفرج له فرجة قبل الجنة، فينظر إلى زهرتها وما فيها،
فيقال له: انظر إلى ما صرف الله عز وجل عنك. ثم يفرج له فرجة قبل النار، فينظر إليها
يحطم بعضها بعضا، ويقال له: هذا مقعدك منها. كنت على الشك، وعليه متّ، وعليه تبعث إن
شاء الله. ثم يعذب».
“… lalu dikatakan
kepadanya: siapakah orang yang ada di antara kalian ini? Dia menjawab: saya
mendengar orang-orang mengucapkan suatu ucapan lalu saya mengucapkannya. Maka
dibukakanlah satu lubang dari arah Jannah, lalu dia melihat bunganya dan apa
yang ada di dalamnya. Lalu dikatakan padanya: lihatlah apa yang Alloh عز وجل palingkan darimu. Lalu dibukakanlah
untuknya satu lubang dari arah neraka, maka dia melihat neraka itu sebagian
apinya menghantam sebagian yang lain. Dikatakan padanya: inilah tempat dudukmu
dari neraka. Dulu engkau ada di atas keraguan, dan engkau mati di atasnya, dan
di atas itu pula engkau akan dibangkitkan insya Alloh. Lalu dia disiksa.”
Lalu beliau
menyebutkan sebagian hadits.
Dan di antara
ucapan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله adalah: "Dengarkanlah, dengarkanlah! Fatwa orang yang
paling besar di sisiku tapi menyelisihi dalil tak ada harganya. Dan fatwa
orang yang paling kecil dari kalian dan ada dalil bersamanya maka dia itu
terhormat dan ditaati, sampai kalian tidak menakuti-takuti aku dengan fatwa
fulan ataupun fulan. Bahkan aku adalah lawan debat si fulan. Selama yang keluar
adalah fatwa-fatwa yang menyimpang, maka aku adalah lawan debatnya."
("Ghorotul Asyrithoh"/Imam Al Wadi'i /hal. 46/Maktabah Shon’a Al
Atsariyyah).
Al Imam Al Wadi’iy رحمه
الله berkata tentang kisah adzan Jum’at di Az Zauro: “Bahkan Utsman
itu berijtihad. Dan orang setelah Utsman jika telah nampak baginya dalil-dalil
tapi dia taqlid (membebek) pada Utsman atas perbuatan tadi, maka dia itu
termasuk mubtadi’ karena taqlid itu sendiri adalah bid’ah.” (“Ghorotul
Asyrithoh”/2/hal. 99/Maktabah Shon’a Al Atsariyyah).
Beliau
رحمه الله juga
berkata: “Kita mengambil faidah dari kitab-kitab ulama kita dari kalangan
muhadditsin, mufassirin, dan fuqoha tanpa melakukan taqlid. Dan jarang sekali
ada masalah menghadang kecuali aku merujuk kepada “Al Mughni” dan “Al Majmu’”
untuk aku melihat apa ucapan para ulama رحمهم الله. Akan tetapi jika aku melihat dalam
masalah itu ada ayat Qur’an atau hadits Nabi, aku merasa cukup dengan keduanya
tanpa ucapan fulan dan fulan. Dan jika aku tidak mendapatkannya, maka aku tidak
diharuskan untuk menukil ucapan fuqoha رحمهم الله. Akan tetapi kita memohon pertolongan pada
Alloh, kemudian meminta bantuan dengan pemahaman mereka untuk memahami sebagian
dalil, tanpa taqlid pada mereka, karena kami meyakini bahwasanya taqlid itu
harom. Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا
مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ﴾ [الأعراف: 3].
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Robb
kalian dan janganlah kalian mengikuti para wali selain-Nya. Sedikit sekali
kalian mengingat.”
(selesai dari “Majmu’ah Rosail ‘Ilmiyyah”/hal. 78).
Saya
hanyalah mencantumkan bab ini agar jangan ada orang yang menyangka bahwasanya
bab terdahulu itu mengisyaratkan anjuran untuk taqlid pada imam ini dan
bersikap berlebihan pada beliau رحمه الله.
Tidak boleh memberontak kepada
pemerintah muslimin. 'Ubadah Ibnush Shomit rodhiyallohu 'anhu berkata:
دَعَانَا رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم-
فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ
عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ: « إِلاَّ أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ الله فِيهِ بُرْهَانٌ ».
Rosululloh
-shalallohu 'alaihi wa sallam- menyeru kami maka kami membai'at beliau. Maka di
antara perkara yang beliau ambil terhadap kami adalah: Kami membai'at beliau
untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami rajin dan malas, dalam keadaan kami
merasa sulit dan mudah, dan dalam keadaan kami tertimpa kezholiman, dan agar
kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Lalu beliau bersabda,"Kecuali
jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian punya bukti dari Alloh
tentangnya." (HSR. Al Bukhory (7056) dan Muslim (4877)).
Sa’id
bin Jumhan berkata:
أتيت عبد الله بن أبي أوفى وهو محجوب البصر، فسلمت عليه،
قال لي: من أنت؟ فقلت: أنا سعيد بن جمهان، قال: فما فعل والدك؟ قال: قلت: قتلته الأزارقة،
قال: لعن الله الأزارقة، لعن الله الأزارقة، حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم «أنهم
كلاب النار»، قال: قلت: الأزارقة وحدهم أم الخوارج كلها؟ قال: بل الخوارج كلها.
قال: قلت: فإن السلطان يظلم الناس، ويفعل بهم. قال: فتناول يدي فغمزها بيده غمزة شديدة
، ثم قال: ويحك يا ابن جمهان عليك بالسواد الأعظم، عليك بالسواد الأعظم. إن كان السلطان
يسمع منك، فأته في بيته، فأخبره بما تعلم، فإن قبل منك، وإلا فدعه، فإنك لست بأعلم
منه.
Aku mendatangi Abdulloh bin Abi Aufa dalam keadaan
beliau telah buta. Lalu kuucapkan salam pada beliau, maka beliau bertanya:
“Siapakah engkau?” kujawab: “Saya Sa’id bin Jumhan.” Beliau berkata: “Apa yang
dikerjakan oleh ayahmu?” kujawab: “Beliau dibunuh oleh Azariqoh.” Maka beliau
menjawab: “Semoga Alloh melaknat Azariqoh, semoga Alloh melaknat Azariqoh.”
Rosululloh صلى الله عليه وسلم menceritakan pada kami: “Bahwasanya mereka adalah
anjing-anjing neraka.” Aku bertanya: “Azariqoh saja ataukah seluruh
khowarij?” beliau menjawab: “Bahkan seluruh khowarij.” Aku berkata: “Sesungguhnya
sang penguasa telah menzholimi manusia dan bersikap keras pada mereka.” Maka
beliau mengambil tanganku dan menggenggamnya dengan keras, lalu berkata:
“Kasihan kamu wahai Ibnu Jumhan, engkau harus setia dengan As Sawadul A’zhom([15]), engkau harus setia dengan As Sawadul A’zhom. Jika
sang penguasa mendengar ucapanmu, maka datangilah di rumahnya, lalu kabarilah
dia dengan apa yang engkau ketahui. Jika dia menerima darimu, maka itu yang
diharapkan, jika tidak, maka biarkan dia, karena engkau tidaklah lebih tahu
daripada dirinya.” (HR. Ahmad (19415) dan dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” no. (545)/Darul Atsar).
Dan
sesungguhnya aqidah Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله adalah aqidah salafiyyah, di
antaranya adalah: beliau berpendapat haromnya pemberontakan terhadap pemerintah
muslimin. Telah banyak ucapan beliau tentang hal itu, di antaranya adalah:
“Kita berada di bangsa muslimin, dan di negri muslimin. Maka tidak boleh bagi
kita untuk menumpahkan darah kaum muslimin.” (“Al Ba’its ‘Ala
Syarhil Hawadits”/hal. 38/Maktabah Shon’a Al Atsariyyah).
Beliau رحمه الله juga berkata di hal. 53-54:
“Kita berlindung pada Alloh dari fitnah-fitnah. Kita bukanlah dai fitnah,
ataupun pemberontakan, ataupun revolusi. Ahlussunnah telah mengetahui, dan
saudara-saudara kita para pejabat telah mengetahui bahwasanya dakwah
Ahlussunnah bukanlah dakwah pemberontakan ataupun revolusi. Sesungguhnya ini
adalah aqidah Ahlissunnah, bukan aqidah para ahli bid’ah. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من أتاكم وأمركم جامع يريد أن يفرق بينكم فاضربوا عنقه كائنا من
كان»
“Barangsiapa
datang pada kalian dalam keadaan urusan kalian itu satu, dia ingin
memecah-belah di antara kalian, maka penggallah lehernya siapapun dia.”
Diriwayatkan oleh Muslim.
Beliau صلى الله عليه وسلم
juga bersabda:
«إذا بويع لخليفتين فاضربوا عنق الآخر منهما».
“Jika ada dua kholifah dibai’at, maka penggallah leher
orang yang terakhir dari keduanya.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Maka kita memuji Alloh bisa bersenang-senang di Yaman dengan dakwah. Dan
siapakah yang bisa berkata: “sesungguhnya di negri manapun engkau bisa
bersenang-senang dengan dakwah sebagaimana engkau bersenang-senang dengan
dakwah di negri Yaman”? Maka semoga Alloh membalas saudara kita para pejabat
dengan balasan yang baik. Kita berkata: “Sungguh mereka itu bukanlah
orang-orang ma’shum.” Mereka bisa benar dan bisa salah. Dan kita
mengingkari kesalahan mereka, seperti bank-bank riba, campur baur
laki-perempuan di sekolah dan kampus, dan kepartaian, dan seperti parlemen. Kita
mengingkari segala sesuatu yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, akan tetapi
kita melihat bahwasanya wajib bagi kita untuk saling membantu dengan mereka
untuk memelihara negri ini.” Selesai.
Beliau رحمه الله
juga berkata: “Dan dakwah Ahlussunnah dengan karunia Alloh, Alloh memberikan
berkah padanya. Dakwah mereka ada di kitab-kitab mereka dan kaset-kaset mereka.
Pemerintah mau bersabar terhadap mereka karena pemerintah tahu bahwasanya
mereka itu tidak menyaingi mereka untuk merebut kursi mereka. Kursi-kursi itu
di sisi Ahlussunnah tidak menyamai kotoran onta. Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ﴾ [المجادلة/11].
“Alloh akan mengangkat orang-orang yang beriman di
antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al
Mujadilah: 11).
(“Fathul Mujib”/hal. 95-96/Darul Atsar).
Sesungguhnya
di antara yang disebarluaskan oleh ahli batil adalah bahwasanya Al Imam Al
Wadi’iy رحمه الله itu
mendukung gerakan pemberontakan Juhaiman, dan bahwasanya beliau adalah bapak
spiritual mereka. Ini adalah berita dusta atas nama beliau.
Al
Imam Al Wadi’iy رحمه الله berkata dalam tarjumah beliau: “Dulu
pernah terjadi ketergelinciran dari sebagian saudara kita yang pemula, karena
kebanyakan karakter pemula adalah sikap keras yang berlebihan. Saya saat itu
sedang menghadirkan risalah Majister. Pada suatu malam tidak kami tahu kecuali
adanya penangkapan terhadap kami. Mereka menangkap sekitar seratus limapuluh
orang. Ada juga yang lari. Dunia goncang antara orang yang mengingkari dan
orang yang mendukung. Kami tinggal di penjara selama sebulan atau sebulan
setengah. Dan setelah itu Alhamdulillah kami keluar dengan bersih.
Kemudian setelah itu keluarlah beberapa risalah Juhaiman.
Maka sekelompok orang dari kami ditangkap. Di waktu penyidikan, mereka berkata
pada kami: “Engkaulah yang menulisnya, Juhaiman tak bisa menulis.” Maka aku
menyangkalnya, dan Alloh tahu bahwasanya diriku tidak menulisnya dan tidak itu
bersekutu dalam penulisan itu. Setelah tiga bulan datanglah perintah untuk
mendeportasi orang-orang asing.” (“Tarjumah Abi Abdirrohman Muqbil Bin Hadi
Al Wadi’iy”/ditulis oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله/hal. 26-27/Darul Atsar).
Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله
pernah ditanya: “Di sana ada orang yang menyebarluaskan bahwasanya Anda dulu
adalah bapak spiritual bagi Juhaiman, dan bahwasanya dulu Anda termasuk orang
yang mendorongnya untuk membuat fitnah di Tanah Suci. Bersediakah Anda
menjelaskan kekeliruan ucapan ini?
Maka beliau رحمه الله menjawab: “Wahai
saudara-saudaraku, apakah kita ingin beramal untuk Islam dan dakwah memenuhi
negri dan tersebar di seluruh ufuk, lalu orang-orang yang dengki tidak
berbicara? Ini tak mungkin terjadi. Masalah ini (fitnah Juhaiman) tilah kami
bicarakan di kitab “Al Makhroj Minal Fitnah”, dan kami juga membicarakannya
–semoga Alloh memberkahi kalian- di kaset-kaset yang lain bahwasanya kami
dalam kasus Tanah Suci tersebut, saya telah keluar setahun sebelumnya,
barangkali belum genap setahun. Jika tidak demikian, sekalipun saya tidak
bersama mereka. Iya, mereka itu dulu belajar di tempatku, dan aku berteman
dengan mereka. Mereka menganggapku sebagai mufti mereka. Kami keluar untuk
safari dakwah. Alhamdulillah, di antara mereka ada mustafidun. Akan tetapi tidaklah
datang kejadian tanah suci itu kecuali aku telah pergi. Walhamdulillah.
Kemudian setelah itu
mereka iya, para pendengki. Juhaiman itu aku telah mengingkarinya dan
mengingkari teman-temannya sejak aku mengetahui arah tujuannya. Aku telah
memutuskan hubungan dengannya sejak keluarnya risalah-risalahnya. Sejak
keluarnya risalah-risalahnya aku telah memutuskan hubungan dengannya,
walhamdulillah. Dan aku telah menyebutkan di “Al Makhroj” bahwasanya mereka itu
adalah bughoh (pemberontak) karena mereka memberontak terhadap
pemerintah muslim, wallohul musta’an.” (rekaman ini ditulis oleh
Abur Robi’ Sa’id bin Kholifah Wahhabiy di selebarannya “I’lamul Insi Wal
Jann”).
Syaikh kami Al ‘Allamah
Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله berkata: “Dulu syaikh رحمه الله
ketika belajar di sana, karena kecintaan beliau untuk menyebarkan ilmu, beliau
mengajari orang yang senang mengambil faidah dari beliau, sementara seorang
pengajar itu terkadang yang hadir di majelisnya adalah orang-orang yang telah
beliau kenal dan yang belum beliau kenal. Tidaklah majelis-majelis di sana
dilarang hadir di dalamnya kecuali orang-orang khusus. Beliau memiliki
nasihat-nasihat seperti mutiara, sama saja dakwah beliau di sana ataupun dakwah
beliau di sini. Beliau adalah seorang penasihat yang telah diketahui
–insyaAlloh- nasihat beliau di sisi setiap penasihat dan orang yang jujur,
serta para dai kepada Alloh dan kepada kebenaran.
Juhaiman itu adalah
seorang pemberontak dan revolusioner, yang fitnahnya tidak diridhoi oleh oleh
setiap penasihat. Dia menulis risalah-risalah dan menyebarkannya di hadapan
orang-orang yang sholat. Risalah-risalahnya itu diingkari oleh para ulama. Dan
syaikh رحمه الله
termasuk orang yang mengingkari risalah-risalah tadi, sebagaimana hal itu kami
dengar dari syaikh رحمه الله.
Dan ini telah disebutkan di sebagian kaset beliau. Dan manakala dalam majelis beliau hadir orang-orang yang tercampuri
dengan orang-orang tadi, beliau itu memberikan nasihat sebagaimana
nasihat-nasihat beliau yang berharga. Bisa jadi terjadi kesamaran di sisi
sebagian pejabat, atau dengan laporan sebagian orang yang dengki dengan beliau
di sana, mereka mengira bahwasanya beliau menyetujui mereka, sehingga beliau
termasuk dalam orang-orang yang keadaannya tersamarkan. Seandainya beliau
termasuk orang yang keadaannya cocok dengan keadaan para pelaku pergerakan dan
pemberontakan itu, atau beliau punya andil dalam menggerakkan mereka untuk
bergolak dan memberontak, mungkin beliau dihukum dengan hukum orang-orang tipe
tadi.
Akan tetapi sifat
pemerintah itu jika tersamarkan bagi mereka keadaan seseorang, atau ada laporan
dusta ke mereka, terkadang mereka menangkap orang tadi dan melakukan penyidikan
terhadapnya di waktu singkat jika dia punya pengikut, atau selama waktu yang
panjang jika dia tak punya pengikut, kemudian setelah itu diapun keluar dari
kantor penyidikan insya Alloh. Itu tadi cuma sekedar tuduhan yang tidak pasti.
Dan yang semisal ini adalah orang yang terzholimi. Saat mau keluar, dikatakan
padanya: “Kami menyesal telah keliru terhadap Anda.”
Tidak boleh yang
seperti ini, sekedar dia itu disidik atau dizholimi dengan keliru, dipakai
sebagai dalil bahwasanya beliau melakukan kejahatan tadi. Bahkan beliau itu
berarti mendapatkan pahala atas kesabaran beliau menghadapi gangguan yang
terjadi yang tidak ada sebab yang mengharuskan untuk disakiti seperti itu.” (“Al Hijaj Li Abdil Karim Al Iryaniy”/karya Asy Syaikh
Yahya Al Hajuriy حفظه الله/hal. 10-12/cet. Maktabatul Falah).
Asy Syaikh Al ‘Allamah
Zaid bin Muhammad Al Madkholiy حفظه الله تعالى berkata: “Di antara berita
tentang gerombolan ini adalah: bahwasanya mereka masuk ke Baitil Harom pada
hari Selasa di awal hari dari bulan Alloh Muharrom tahun 1400 H. Mereka
disertai oleh imam mahdi versi mereka yang dipanggil dengan Muhammad bin
Abdillah Al Qohthoniy. Dia disertai dan disemangati oleh juru bicaranya
yaitu Juhaiman bin Saif Al ‘Utaibiy. Mereka masuk dengan membawa
persenjataan dan amunisi, lalu mereka menuntut dari Muslimin untuk membai’at
Mahdi tersebut di bawah pijakan tekanan, pembunuhan dan teror terhadap muslimin
secara umum, dan terhadap penduduk tanah suci secara khusus. Ya Alloh, berapa
banyaknya darah yang mereka tumpahkan secara zholim dan permusuhan. Dan para
ulama telah menyeru mereka untuk turun berdasarkan hukum syari’ah Alloh yang
berlaku terhadap mereka, tapi mereka menolak dan memilih melanjutkan jalur
kejahatan, kerusakan, kefasiqan, kedurhakaan dan pembangkangan. Maka para
tentara Alloh yang pemberani, ahli tauhid dan keberanian dari tentara Saudi
bangkit melawan mereka hingga memaksa mereka untuk menyerah. Seratus tujuh
puluh dari pemberontak tadi ditangkap hidup-hidup karena mau memenuhi seruan
untuk menyerah. Kemudian dilangsungkanlah syari’at Alloh terhadap mereka. Enam
puluh tiga orang dihukum mati, dan sisanya berhak untuk diberi hukuman dengan
penjara dan cambuk. Dan Alloh mensucikan Tanah Suci yang mulia dari gerombolan
pemberontak dan teroris tadi. Tapi yang sangat disayangkan adalah bahwasanya
mereka menamakan diri mereka sebagai Jama’atul Hadits. Aku katakan: Sekalipun
mereka menghapalkan beberapa lafazh-lafazh hadits, hanya saja mereka diharomkan
dari mengetahui makna-maknanya. Dan terhadap orang yang zholimlah beredarnya
kecelakaan.” (“Al Irhab”/karya Asy Syaikh Zaid bin Muhammad Al Madkholiy/cet.
Darus Salafiyyah).
Maka jama’ah Juhaiman tidaklah di
atas kebenaran, dan tidaklah Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله termasuk dari mereka, dan tidaklah beliau itu menyetujui
kebatilan mereka. Beliau رحمه الله berkata: “Mereka berkata
pada kita: Juhaimaniyyun, sementara Juhaiman belajar kepadaku dalam jangka
waktu yang tidak seberapa.” (“Nubdzatun Yasiroh”/karya Muhammad bin Ali Ash
Shouma’iy/hal. 81).
Beliau رحمه الله juga berkata: “Aku dikabari tentang Ahmad Al Mu’allim di
Hadromaut bahwasanya dirinya berkata: “Sesungguhnya saudara kita Salafiyyun
tidak sholat di antara tiang-tiang.” Dia berkata: “Ini merupakan penampilan
seperti penampilan Juhaiman, diawali dengan sholat memakai sandal, lalu tidak
sholat di antara tiang-tiang, lalu mengkafirkan pemerintah.” Padahal si
Mu’allim ini dulu adalah salah satu pembantu Juhaiman, sampai aku pergi dari
Mekkah ke Madinah, lalu kudapati Ahmad Al Mu’allim, lalu dia berkata: “Marilah
kita pergi mengunjungi Juhaiman, dia ada di rumah salah seorang ikhwah.” Maka
kujawab: “Aku tidak akan pergi mengunjunginya.” Dia berkata: “Juhaiman
telah membaik.” (“Nubdzatun Yasiroh”/karya Muhammad bin Ali Ash Shouma’iy/hal.
81).
Al
Imam Al Wadi’iy رحمه الله ditanya tentang jama’ah ashabil harom (Juhaiman), maka beliau
menjawab: “Jama’ah ashabil harom adalah para pelajar yang ingin kebenaran, akan
tetapi mereka tidak mendapatkan taufiq untuk itu –sampai pada ucapan beliau:-
mereka tidak kokoh di atas kesabaran sehingga tergelincirlah kaki-kaki mereka,
dan jadilah mereka sebab tertumpahnya darah di Tanah Suci Mekkah, padahal
Robbul ‘Izzah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
﴿وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيم﴾
[الحج/25].
“Dan barangsiapa ingin ilhad di situ([16]) dengan kezholiman, Kami akan menjadikannya merasakan
sebagian dari siksaan yang pedih.”
Dan di dalam “Ash Shohih” dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«أبغض الناس إلى الله ثلاثة: ملحد في الحرم، ومبتغ في الإسلام سنة
جاهلية، ومطلب دم امرئ بغير حق ليريق دمه».
"Tiga jenis manusia yang paling
dibenci oleh Alloh: mulhid (pembuat penyelewengan syariat) di tanah harom,
orang yang mencari sunnah jahiliyyah dalam berislam, orang yang menuntut darah
seseorang untuk ditumpahkan tanpa haq." (HR. Bukhori (no. 6882,
bab Man Tholaba Dam Imriin, cet. Darul Kitab Al-Arobi) Dari Ibnu 'Abbas
–rodhiyallohu 'anhuma-).
Maka Jama’atul Harom itu termasuk
pemberontak yang memberontak terhadap pemerintah muslim…” (“Ijabatus sail”/hal.
481/Darul Atsar).
Penjelasan
ini cukup dalam memusnahkan tuduhan orang-orang yang zholim terhadap Al Imam Al
Wadi’iy رحمه الله bahwasanya
beliau punya pemikiran khowarij dan Juhaimaniyyah.
Al
Imam Al Wadi’iy رحمه الله sang pembaharu agama di Yaman telah wafat, dan beliau
meninggalkan warisan yang agung, yaitu dakwah yang besar, maka peninggalan ini
harus dipelihara, karena tangan-tangan setan terjulur kepadanya untuk
merusaknya, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: “Masa ketakutan telah
berlalu,” dan dia melihat bahwasanya jalan terbuka baginya untuk mengambil
kepemimpinan dakwah yang bersih, menuju ke arah bibir jurang.
Akan tetapi Alloh menjaga agama-Nya,
maka Dia memberikan taufiq kepada sang Imam sebelum wafatnya untuk memilih
penggantinya yang berbakti dan terpercaya, yaitu syaikhuna Al ‘Allamah Al
Muhaddits Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله untuk melanjutkan dakwah salafiyyah yang
telah memenuhi ufuk-ufuk dunia dan menghantam benteng-benteng ahli batil dengan
berbagai jenisnya. Maka Alloh menjaga dengan beliau dan orang-orang yang
bersama beliau agama umat ini, dan Alloh menguji sang Kholifah ini dengan ujian
yang datang silih berganti demi hikmah yang diinginkan oleh Sang Pelindung.
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang
berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إن الرجل ليكون له عند الله المنزلة، فما يبلغها بعمل فما يزال
الله يبتليه بما يكره، حتى يبلغه إياها».
“Sesungguhnya ada seseorang yang dia itu punya kedudukan di sisi
Alloh tapi dia tidak mencapainya dengan amalannya, maka Alloh terus-menerus
mengujinya dengan apa yang dibencinya hingga Dia menyampaikannya ke kedudukan
tadi.” (HR. Abu Ya’la (no.
6095)/Darul Ma’mun Lit turots dan yang lainnya. Sanadnya hasan. Dan dihasankan
oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله di “Ash Shohihah” (no. 1599)/Maktabatul Ma’arif).
Syaikhul
Islam رحمه الله berkata:
“Dan jika ujian itu membesar, maka yang demikian itu bagi seorang mukmin yang
sholih merupakan sebab untuk mencapai ketinggian derajat dan agungnya pahala,…”
(“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 152-153/cet. Maktabah Ibni Taimiyyah).
Dan
berikut ini adalah sekelumit dari biografi beliau رعاه الله: Syaikhuna Yahya setelah dibujuk-bujuk dan
dituntut oleh orang banyak untuk menyebutkan sedikit dari perjalanan beliau
dalam menuntut ilmu, dan menceritakan kenikmatan yang Alloh berikan pada
beliau, sementara menceritakan nikmat adalah bagian dari syukur, maka beliau
berkata:
الحمد لله حمداّ كثيراً طيباً
مباركاً فيه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن
محمداً
عبده ورسوله، أما بعد:
Saya
telah diminta untuk menulis sekelumit dari kelahiranku, namaku, negriku,
pertumbuhanku, dan sebagian perkara yang terkait dengannya. Dan setelah
permintaan yang berulang-ulang dari orang-orang yang saya cintai –semoga Alloh
memuliakan mereka-, saya berpandangan untuk memenuhi tuntutan mereka dengan
menulis baris-baris berikut ini. Maka saya katakan dengan taufiq dari Alloh:
Adapun nama saya: saya adalah Yahya bin
Ali bin Ahmad bin Ali bin Ya’qub Al Hajuriy, dan kabilah bani Wahan, dari desa
Hanjaroh di kaki gunung Ku’aidanah –saya mohon pada Alloh agar memuliakan
mereka dengan mencari limu kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya-.
Kemudian kakekku Ahmad bin Ali bin
Ya’qub pindah ke suatu desa yang agak jauh yang dinamakan sebagai desa Jabar
kabilah Zaghobiyyah. Beliau menikah dengan wanita mereka. Maka mereka adalah
paman-paman ayahku. Ayahku tumbuh di antara mereka di sebagian kerabatnya, dan
menikah dengan wanita mereka juga, dengan ibuku, dari keluarga ‘Iqol, desa
Zaghobiyyah –semoga Alloh merohmati orang yang meninggal dari mereka, dan
memperbaiki orang-orang yang masih hidup dari mereka-. Di sanalah kelahiranku
sebelum sekitar empat puluh tahun yang lalu, di hari-hari yang dinamakan dengan
“Pemberontakan Republik Yaman.”
Ayahku
–semoga Alloh menjaganya dan memanjangkan umurnya dalam ketaatan pada-Nya-
sangat senang bercocok tanam. Beliau biasa menanam di area pertanian yang luas
yang darinya beliau mendapatkan harta yang banyak berupa dzurroh (sejenis
jagung), simsim (sejenis wijen) dan yang lainnya, hingga sebagian orang
sering mengutang pada beliau dzurroh dan qoshob (bambu) ketika
terjadi kemarau. Beliau juga dikaruniai Alloh binatang-binatang ternak seperti
kambing dan sapi. Maka sebagai puji hanya milik Alloh, dari sisi penghidupan
beliau pada keadaan terbaik.
Beliau
juga mendidikku dan saudara-saudaraku dengan pendidikan yang baik, jauh dari qot
(sejenis ganja), rokok, syammah (semacam narkotika yang lebih keras
daripada kot) yang berbagai penyebab bencana yang lain. Dan termasuk perkara
yang paling berat bagi beliau adalah jika beliau melihat salah seorang dari
kami kurang dalam menunaikan ibadah sholat jama’ah atau rowatib. Dan perkara
yang paling beliau sukai adalah jika sebagian dari kami menjadi seorang alim,
sementara di sana tidak ada kecuali ta’lim di para penulis. Maka beliau
menaruhku di suatu tempat yang namanya: Mi’lamatusy Syaikh, orang kepercayaan
desa itu, orang faqih dan khothib mereka yang bernama Yahya Al ‘Utabiy رحمه الله . Dan
pengajaran di Mi’lamah tersebut adalah sebagaimana system pendidikan zaman
dulu, pengajaran bacaan Al Qur’an dengan melihat ke mushhaf, pengajaran khothth
(menulis bentuk huruf dan susunan kata). Dan orang yang lulus darinya biasanya
menjadi orang faqih bagi desa tersebut sebagai imam dan khothib dengan membaca
buku-buku khothbah, juga menjadi pencatat transaksi dan yang lainnya. Dulu Al
Faqih Al ‘Utabiy رحمه الله lebih menyukaiku daripada mayoritas murid-muridnya.
Ketika saya telah lulus dari Mi’lamah
tersebut dengan membaca Al Qur’an sambil melihat ke mushhaf, pengetahuan
tentang khothth, ayahku bertekad untuk membawaku pergi ke kota Zaidiyyah karena
tersebar di kalangan masyarakat di sana bahwasanya Zaidiyyah tersebut adalah
kota ilmu, dan bahwasanya mereka itulah ahli fatwa tentang tholaq, warisan dan
sebagainya.
Ayahku
حفظه الله itu senang
pada ilmu dan agama, banyak berpuasa dan sholat. Dan saya tidak mengetahui bahwasanya
beliau pernah memakan makanan yang harom senilai satu dirhampun. Akan tetapi
beliau ketika itu tidak mengetahui tentang Shufiyyah, Syi’ah ataupun
sekte-sekte sesat yang lain sedikitpun. Beliau memuliakan mereka, dan mereka
sering mengunjungi beliau. Barangsiapa dari mereka mengunjungi beliau,
beliaupun memuliakannya dengan pemuliaan yang besar. Maka Alloh عز وجل
menyelamatkan diriku dari belajar di kalangan para Shufiyyah itu dengan ibuku
-semoga Alloh menjaganya dan memperbagus penutup hayatnya- yang mana ibuku mulai
menangisiku agar saya tidak pergi dan tinggal di selain negriku sendirian tanpa
pengiring dari negriku padahal saya masih kecil. Maka ayahku membiarkan saya
menggembala kambing. Beliau حفظه الله adalah orang yang pertama membangun masjid
dari kayu dan jerami di desa kami yang mana mereka ada di sana sekarang ini.
Itu adalah masjid kecil yang bisa menampung sekitar empat puluh orang yang
sholat saat itu, menjadi masjid jami’ untuk sejumlah desa di sekitarnya. Ketika
masjid itu runtuh, beliau membangunnya dari batu dan memperluasnya, dan saya
sebagai imamnya. Pada hari Jum’at ayah mencarikan orang untuk menggantikanku
menggembala kambing, sementara saya berkhothbah untuk mereka dengan buku
khothbah. Yang sering kali saya pakai sebagai pegangan saat itu adalah “Al
Futuhatur Robbaniyyah” karya Al Baihaniy رحمه الله hingga saya hampir-hampir menghapalnya
karena seringnya saya mengulangnya.
Kemudian
setelah itu saya berangkat ke Saudi. Saya hadir di majelis pembacaan Al Qur’an
usai sholat Fajr di hadapan Fadhilatusy Syaikh Al Muqri yang terkenal
Ubaidulloh Al Afghoniy حفظه الله di kota Abha, dan kami mendengarkan dari beliau sedikit
pelajaran Shohih Muslim yang beliau mulai sebelum membacakan Al Qur’an untuk
kami. Kemudian beliau safar, saya pindah ke Asy Syaikh Al Muqri Muhammad A’zhom
yang mengajarkan Al Qur’an di masjid Alu Yahya. Saya membaca Al Qur’an kepada
keduanya sampai ke surat Al A’rof. Lalu syaikh tersebut berangkat safar juga.
Dan saya menyempurnakan bacaan dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim di hadapan Al
Muqri Muhammad Basyir. Segala pujian hanya bagi Alloh.
Dan
bersamaan dengan kecintaanku yang besar terhadap ilmu di sana, saya tidak
mendapatkan orang yang membimbingku untuk bergabung dengan majelis Asy Syaikh
Al Imam ibnu Baz dan yang lainnya dari kalangan ulama kerajaan Saudi, yang
menyelenggarakan ta’lim رحمهم الله. kemudian saya mendengar tentang Asy Syaikh Al ‘Allamah Muqbil
bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله dan bahwasanya beliau itu adalah seorang alim salafiy, yang
mengajarkan ilmu-ilmu Kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya صلى الله عليه
وسلم di Dammaj –semoga Alloh
menjaganya dan memberikan taufiq pada penduduknya untuk segala kebaikan- salah
satu desa di wilayah So’dah. Maka saya bergabung dengan beliau di markiz beliau
yang diberkahi pada tahun 1405 Hijriyyah Nabawiyyah, semoga sholawat dan salam
tercurah pada Nabi yang hijroh tersebut.
Ayahku
datang bersamaku dan mewasiatkan diriku pada syaikh رحمه الله dengan kebaikan. Lalu beliau pulang.
Syaikh terus-menerus membantuku untuk menuntut ilmu dengan bantuan harta dari
waktu ke waktu. Saya terus-menerus tinggal di markiz sejak tanggal tersebut
untuk belajar, saya tidak senang memperbanyak bepergian, dan tidak senang
hilangnya sedikit saja dari waktu yang ada, sampai Alloh عز وجل dengan
karunia-Nya melalui tangan syaikh kami Al Allamah Al Muhaddits As Salafiy yang
diberkahi Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله memudahkan
diriku dengan kebaikan yang banyak, yang berupa pengambilan faidah pada
beraneka ragam ilmu.
Dan
sebagaimana yang terjadi di markiz yang diberkahi ini, saya menggabungkan
kepada ilmu yang kami terima dari syaikh kami –syaikh bagi masyayikh dakwah
salafiyyah di Yaman, Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy رحمه الله- sebagian dars tentang nahwu, aqidah dan fiqh,…yang
kami terima dari sebagian masyayikh yang mulia yang termasuk dari murid syaikh
kami Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله yang senior di markiz
ini. Semoga Alloh mensyukuri mereka semua.
Dan setelah itu, syaikh kami Muqbil
–semoga Alloh menempatkan beliau di Firdaus yang tertinggi- memerintahkan
diriku untuk menggantikan beliau dalam mengajar jika beliau sakit atau
bepergian. Dan manakala ajal beliau رحمه الله telah dekat beliau mewasiatkan untuk
menggantikan beliau sepeninggal beliau nanti.
Saat itu para musuh markiz ini mengira
dengan dugaan yang buruk bahwasanya dakwah ini akan hilang dengan wafatnya
syaikh رحمه الله , dan
bangunan markiz ini akan menjadi kandang dan majelis menghisap kot, sebagaimana
kami dengar dan didengar oleh yang lain, pada masa sakitnya syaikh dan sebelum
itu.
Manakala Alloh menghadapkan hati para
hamba kepada kebaikan ini setelah wafatnya syaikh رحمه الله , dan dakwah meluas lebih banyak lagi, dan jadilah
jumlah para penuntut ilmu berlipat-lipat lebih banyak daripada yang di masa
hidup pendiri markiz ini syaikhunal Imam Al Wadi’iy رحمه الله. Hal itu menyebabkan jengkelnya sebagian
orang yang tertimpa penyakit dengki dari kalangan orang yang dulunya adalah
murid syaikh رحمه الله dan yang lainnya dari kalangan pemilik hasrat-hasrat keduniaan
dan fitnah hizbiyyah. Maka Alloh menolak kejelekan mereka dan menghancurkan
makar mereka.
Dakwah ini senantiasa maju ke depan di
seluruh kebaikan, dan karunia itu adalah milik Alloh sebelumnya dan sesudahnya.
Dialah yang berfirman:
﴿وما بكم من نعمة فمن الله﴾
“Nikmat apapun yang ada pada kalian, maka itu adalah dari
Alloh.”
Maka kita mohon pada Alloh عز وجل untuk
menjaga agama kita dan dakwah kita, dan menolak dari kita dan dari negri kita
serta seluruh negri muslimin fitnah yang nampak ataupun yang tersembunyi. Dan
segala puji bagi Alloh Robbul ‘Alamin.
Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Yahya bin Ali bin Ahmad bin
Ali bin Ya’qub Al Hajuriy
Pada tanggal 19 bulan Jumadil Awwal 1428 H.
(selesai penukilan dari program “Fitnatul ‘Adniy” yang
disusun oleh Husain bin Sholih At Tarimiy dan Faroj bin Mubarok Al Hadriy حفظهما الله).
Pendidikan Yang
Diselenggarakan Syaikh Yahya حفظه الله
di Darul Hadits
Saudara
kita yang mulia Abu Basyir Muhammad Al Hajuriy([17]) رحمه الله berkata: Maka sesungguhnya Alloh telah
memberikan kita kenikmatan dengan nikmat yang banyak yang tak bisa dihitung.
Alloh ta'ala berfirman:
﴿وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ
كَفَّارٌ﴾ [إبراهيم:34].
"Dan jika kalian menghitung nikmat Alloh niscaya kalian tak
bisa menghinggakannya Sesungguhnya manusia itu, sangat zholim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah)." (QS Ibrohim 34)
Maka bagi-Nya sajalah pujian atas setiap kenikmatan yang
dikaruniakannya, setiap karunia yang diberikannya pada kita. Dan di antara
kenikmatan yang paling agung adalah nikmat Islam, nikmat Sunnah. Nikmat
menuntut ilmu syar'y, ilmu kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi
wa alihi wasallam dengan pemahaman salafush sholih, pada zaman di mana
kebodohan, kebid'ahan dan aqidah yang menyimpang telah merajalela.
Maka milik Alloh sajalah pujian dan karunia atas petunjuk-Nya untuk
menuntut ilmu syar'y di markiz yang penuh berkah ini, di hadapan Syaikh kami Al
Imam Al Mujaddid Muqbil bin Hadi Al Wadi'y –semoga Alloh merahmati beliau dan
menempatkan beliau di Jannah-jannah-Nya yang luas rohimahulloh.
Kemudian, segala pujian bagi Alloh yang mengokohkan kami untuk
melanjutkan menuntut ilmu di hadapan pengganti beliau dalam dakwah Al Allamah
An Nashihul Amin Syaikh kami Yahya bin Ali Al Hajury -hafizhohulloh- yang
menjadi sebab kokohnya kebaikan ini di markiz yang mubarok ini (Darul Hadits di
Dammaj) sepeninggal pendirinya Syaikh kami Imam Al Wadi'y rohimahulloh. Para
penuntut ilmu masih terus-menerus mengambil manfaat dari salah satu sumber
kebaikan ini, dan mengambil faidah dari syaikh ini –semoga Alloh memberi beliau
taufiq-, dan mereka berdatangan dari berbagai negri ke tempat beliau ini.
Pelajaran-pelajaran beliau terus berlangsung. Beliau pada saat awal
shubuh mengimami kami sholat shubuh di Darul Hadits Dammaj. Alloh telah
mengaruniai beliau suara yang baik saat membaca Al Qur'an. Lalu seusai sholat
dan berdzikir, pelajar atau para tamu dan pengunjung yang ingin berangkat safar
berdiri meminta idzin kepada beliau.
Ada juga sebagian pelajar atau pengunjung yang punya pertanyaan yang
mesti disegerakan mengajukannya kepada beliau. Setelah itu beliau membacakan Al
Qur'an -ke salah seorang pengawal- sesuai dengan yang dimudahkan oleh Alloh,
beberapa juz, atau lebih atau kurang. Beliau telah hapal Al Qur'an dan punya
perhatian yang baik dalam muroja'ah Al Qur'an dan mengambil pendalilan darinya
dan hukum-hukumnya. Karena itulah beliau tidak keluar dari masjid untuk pulang
ke rumah pada jam ini, kecuali jika sakit, atau karena urusan yang tak bisa
tidak, lalu beliau sholat dhuha setelah terbitnya matahari.
Setelah itu beliau berangkat untuk mengisi beberapa pelajaran. Pada
tahun ini 1430 H beliau mengajarkan "Subulus Salam" karya Imam Ash
Shon'any rohimahulloh, dan "I'lamul Muwaqqi'in" karya Imam Ibnul
Qoyyim rohimahulloh. Sebelumnya pada jam seperti ini beberapa kitab telah
selesai dibaca, diberi catatan kaki dengan penjelasan yang baik, dihadiri oleh
sejumlah besar para pelajar. Kitab bermanfaat yang terpenting yang telah dibaca
pada jam ini adalah "Zadul Ma'ad" karya Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh,
"Al Iman Al Ausath" karya Syaikhul Islam rohimahulloh,
"Muqoddimah Ushulut Tafsir" karya Syaikhul Islam rohimahulloh juga,
dan telah dicetak dengan syaroh beliau. Juga "Ar Risalah" karya Imam
Asy Syafi'y rohimahulloh, "Syarhu 'Ilalit Tirmidzy" karya Imam Ibnu
Rojab rohimahumalloh, sekarang sedang dirapikan untuk dicetak dengan catatan
kaki beliau, "Al Adzkar" karya Imam An Nawawy rohimahulloh,
"Hadil Arwah" karya Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh, "Tathhirul
'I'tiqod" karya Imam Ash Shon'any rohimahulloh, dan "Al Mauqizhoh"
karya Imam Adz Dzahaby rohimahulloh.
Setelah pelajaran tadi, beliau masuk rumah untuk melanjutkan pembahasan
yang sampai sekarang telah mendekati seratus pembahasan. Sebagiannya telah
dicetak, sebagiannya dalam proses, sebagian masih berupa makhthuthoh
(tulisan tangan). Beliau melakukan pembahasan semampunya, lalu istirahat siang.
Terkadang datanglah para tamu yang perlu dilayani segera, sehingga para pengawal mengetuk pintu kamarnya untuk
membangunkannya, lalu beliau duduk-duduk dengan tamu tadi. Di antara yang
datang pada jam-jam tadi adalah para masyayikh kabilah, atau para pejabat yang
datang berkunjung, atau sebagian mereka punya kesulitan dan kasus-kasus yang
harus segera dipecahkan.
Lalu beliau keluar untuk sholat zhuhur. Setelah sholat dan dzikirnya,
beliau mendirikan sholat ba'diyyah zhuhur, lalu mengajar "Tafsir Ibnu
Katsir" atau "Al Jami'ush Shohih" karya syaikh kami Imam Muqbil
bin Hadi Al Wadi'y rohimahulloh, secara berselang seling tiap harinya, kecuali
hari Jum'at, tiada pelajaran sebelum sholat Jum'at (juga setelah sholat
Jum'at).
Dalam setahun jarang sekali hari-hari berlalu tanpa adanya tamu-tamu.
Dan yang demikian itu karena banyaknya pelajar dan pengunjung. Terkadang tempat
tinggal beliau tidak cukup menampung tamu, sehingga mereka ditempatkan di ruang
"Dewan Tamu" yang menempel berdampingan dengan rumah beliau.
Terus-menerus beliau menyemangati para ikhwan untuk memuliakan para
tamu, atau beliau sendiri memuliakan para tamu dan mendekatkan makanan kepada
mereka dengan tangan beliau sendiri. Setelah itu beliau kembali melanjutkan
pembahasan beliau dan menjawab soal-soal dengan tulisan tangan dan lain-lain
hingga waktu 'Ashr. Lalu beliau keluar untuk sholat 'Ashr, dan selanjutnya
mengajarkan "Shohih Imam Al Bukhory".
Setelah para pelajar membacakan hadits hari kemarin secara
berkelompok-kelompok –karena mereka banyak-, beliau mengeluarkan faidah-faidah
dari hadits-hadits dengan istimbath yang bagus dan mengagumkan, serta mendapat
taufiq. Mereka menghapalkan "Shohih Al Bukhory" bersamaan dengan
kebanyakan dari mereka itu menghapal Al Qur'an, kecuali sebagian orang yang
bersikap kurang. Padahal Syaikh telah menyemangati mereka untuk menghapal
Kitabulloh dan menghapal sebagian dari sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
alihi wasallam. Sebagiannya menghapal "Bulughul Marom", yang lain
menghapal "Shohih Muslim", yang lain menghapal "Riyadhush
Sholihin", "Alfiyah Ibnu Malik", "Kitabut Tauhid"
karya Asy Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab An Najdy rohimahulloh,
"Lum'atul I'tiqod", "Al Washithiyyah", "Ath
Thohawiyyah", "Al Waroqot", "Mulhatul I'rob", "Al
Baiquniyyah", "Qoshobus Sukkar", "As Saffariniyyah",
"Al Muqizhoh", dan hapalan yang lainnya banyak sekali, sama saja
dalam bidang tauhid, aqidah, nahwu, mushtholah dan yang lain.
Dan setelah itu beliau pergi menemui para tamu beliau di "Majelis
tamu", menyampaikan nasihat, menjawab soal-soal mereka, jika ada kesulitan
yang perlu diuraikan di antara pelajar, beliau menghukumi dengan Al Kitab dan
As Sunnah dengan pemahan Salaf.
Sebagian pelajar –semoga Alloh membalas mereka dengan kebaikan dan
memberikan manfaat dengan mereka- tidak pernah berselisih dengan yang lainnya
sama sekali, selama bertahun-tahun di markiz ini. Ada sebagian mereka yang
punya faidah ilmu yang dengannya bisa mendirikan markiz di negri manapun. Jika
ada seseorang yang ingin mendirikan dakwah di negrinya, Syaikh memberinya
pengarahan untuk itu. Jika beliau melihat mereka itu di atas As Sunnah, dan
masyarakatnya menerima As Sunnah, sama saja di Yaman ataupun di luar Yaman.
Lalu beliau memberikan nasihat singkat pada para tamu, terkadang
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. terkadang menjadikan jawaban itu terbuka
dalam pelajaran umum antara maghrib dan 'Isya. Seringkali para tamu tadi
berasal dari berbagai wilayah Yaman dan luar Yaman.
Lalu beliau masuk rumah, makan ifthor jika hari itu berpuasa Senin
Kamis, atau Ayyamul Bidh (tanggal 13,14,15), lalu keluar sholat Maghrib. Seusai
sholat Maghrib dan dzikirnya serta sholat ba'diyyah beliau mengajar
"Shohih Muslim", lalu "Sunan Shughro lil Baihaqy", setelah
itu "Iqtidho'ush Shirothil Mustaqim", karya Syaikhul Islam.
Pada awal jam pelajaran –antara maghrib dan Isya- ada banyak pelajaran
singkat disampaikan, dibacakan secara hapalan oleh sebagian pelajar yang
mayoritasnya anak-anak yang disemangati untuk berani menghapal, lalu Syaikh
menjelaskannya secara bagus. Telah terbit syaroh dari pelajaran ringkas sebelum
jam "Shohih Muslim" tadi: "Syarhu Lamiyah Ibnul Wardy",
"Syarhul Wasithiyyah", "Syarhus Saffariniyyah",
"Syarhul Baiquniyyah", "Syarhu Qoshidah Ghoromi Shohih",
"Syarhu Manzhumatu Ibni Taimiyyah fi Rodd 'alal Qodariyyah" yang
berbentuk argumentasi Yahudi dan jawaban Syaikhul Islam terhadapnya,
"Syarhu Lamiyyatu Syaikhil Islam" sedang dicek dan dirapikan, dan
yang lainnya.
Setelah beliau memberikan catatan terhadap pelajaran singkat tadi,
beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan para pengunjung. Jika tiada pengunjung,
beliau menjawab problematika para pelajar, memberikan nasihat, dan pengarahan.
Dengan jawaban dari soal-soal tadi telah keluar lima jilid kitab yang berjudul:
"Al Kanzuts Tsamin fil Ijabah 'an Asilati Tholabatil 'Ilmi waz
Zairin". Dan satu jilid lain yang berjudul "Ithafil Kirom Bil Ijabati
'an Asilatiz Zakah wal Hajj Wash Shiyam", serta satu jilid lain yang berjudul
"Al Ifta 'alal Asilatil Waridah Min Duwalin Syatta" dan yang lain
masih banyak yang belum tercetak. Dan karunia hanyalah milik Alloh semata.
Di sebagian malam beliau mengadakan ceramah lewat telpon yang disalurkan
ke berbagai masjid di dalam Yaman dan luar Yaman. Jika para pelajar tahu
bahwasanya beliau akan mengadakan ceramah lewat telpon pada malam itu banyak
dari mereka meletakkan telpon-telpon genggam, semuanya menyalurkan ceramah
telpon tadi ke kampung masing-masing, dan dihasilkan dengannya manfaat yang
besar.
Telah dicetak dua jilid dari khuthbah dan ceramah tadi, dan masih ada
yang tersisa dan dipersiapkan untuk dicetak dalam jilid berseri dengan judul
"Ishlahul Ummah Bil Khuthob Wal Mawa'izh Minal Qur'an Was Sunnah."
Seusai sholat 'Isya terkadang beberapa pelajar masuk bersama beliau
untuk menguraikan sebagian problematika, dan musyawaroh yang memang harus
diselesaikan.
Kemudian setelah itu beliau terkadang menjawab soal-soal lewat telpon
dari berbagai negara atau dari dalam Yaman. Terkadang mereka meminta nasihat
pada beliau, lalu beliau memberikannya pada mereka dan menjawab soal-soal
mereka sekitar satu jam. Lalu beliau kembali mengurusi pembahasan sebagian
ikhwan para pelajar, memberikan muqoddimah, lalu tidur.
Beliau memiliki bagian untuk sholat malam. Bersamaan dengan semua
kesibukan itu beliau juga memiliki keluarga yang besar, beliau mengurusinya
sesuai dengan yang diwajibkan oleh Alloh sesuai dengan kadar kemampuan. Maka
semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan, dan semoga Alloh memberikan
dengannya manfaat buat Islam dan muslimin.
Karena perkara ini semua, dan juga kecemburuannya terhadap sunnah,
pembelaannya terhadap sunnah dan ahlussunnah, dan kekokohan beliau di depan
kebatilan dengan menggenggam kebenaran dan menyampaikan nasihat, dan keteguhan
beliau di atas Al Kitab dan As Sunnah, para pelajar dan saudara yang sholih dan
para penasihat mencintai beliau, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh kami Imam
Al Wadi'y rohimahulloh, dalam muqoddimah "Dhiya'us Salikin", dan
banyaklah musuh-musuh beliau yang hasad dan dendam. Tapi mereka tak bisa
memperoleh kemenangan apapun selain sekedar gangguan. Hal ini dikarenakan
beliau itu –sebagaimana diketahui dari sifat beliau- sangat membenci fitnah,
membenci kezholiman dan permusuhan. Jika ada orang yang berbuat jahat padanya
atau pada dakwah yang mubarokah ini, berdirilah beliau dengan kesungguhan untuk
menolak kejahatan tadi, dengan saling bantu bersama ikhwan yang baik dari
kalangan pelajar, masyarakat, yang banyak yang lain. Lalu Alloh menolak
kejahatan tadi terhadap beliau dan terhadap dakwah ini, dan Alloh 'Azza Wajalla
menolongnya.
Inilah petikan singkat tentang Darul hadits di Dammaj dan jadwal acara
Syaikhnya sepeninggal Syaikh kami Imam Al Wadi'y rohimahulloh, dan inilah
kegiatan harian beliau yang telah diketahui bersama oleh para pelajar Darul
Hadits ini. Kutulis perkara ini sebagai penjelasan atas kezholiman orang yang
menghinakan kerja keras yang bermanfaat untuk Islam dan muslimin tadi, baik
kezholiman itu berasal dari orang yang hidup di markiz ini dan dibimbing di
hadapan Syaikh Yahya hafizhohulloh, lalu menguraikan kembali benang yang telah
dipintal dan bergabung dalam rombongan hizbiyyin yang dendam kepada beliau dan
berbalik arah bersikap buruk terhadap kerja keras yang bermanfaat ini.
فقطع دابر القوم الذين ظلموا والحمد
لله رب العالمين.
"Maka
dimusnahkanlah kaum yang zholim tadi hingga ke akar-akarnya, dan segala pujian
kesempurnaan hanyalah bagi Alloh Robb semesta alam."
Ditulis Oleh:
Abu Basyir Muhammad bin Ali Az Za'kary Al
Hajuriy
Kesabaran beliau menghadapi penyakit
Berkali-kali syaikhuna Yahya حفظه الله
didera oleh penyakit badan, terkadang sampai diinfus, terkadang sampai
melipatgandakan kadar obat yang harus dikonsumsi. Sekalipun demikian belum
pernah saya melihat beliau membolos dari jam mengajar karena sakit. Terkadang
sakit tersebut bisa beliau sembunyikan selama jam pelajaran berlangsung, terkadang
tampak dari roman wajahnya. Tapi tidak pernah beliau mengeluh di hadapan kami.
Bahkan pada bulan-bulan ini, saat risalah ini saya susun, beliau berkali-kali
diserang sakit kepala, tipus dan lain-lain, sementara di luar markiz ancaman
serangan Rofidhoh belumlah sirna. Semoga Alloh menjaganya, menyembuhkannya, dan
menolongnya.
Ujian yang menimpa Syaikhuna Yahya dan para murid beliau
Terus-menerus
ujian demi ujian turun menimpa syaikh kami yang mulia dan para murid beliau حفظهم الله sejak
wafatnya sang pendiri markiz Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله sampai hari ini (bulan Rojab 1433 H). Dan
tidaklah turun satu ujianpun kecuali Alloh menyusulinya dengan solusi,
pertolongan dan ketinggian kedudukan. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ * إِنَّهُمْ
لَهُمُ الْمَنْصُورُونَ * وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُون﴾ [الصافات/171-173].
“Dan sungguh telah lewat kalimat Kami untuk para hamba
Kami dari kalangan para Rosul, sesungguhnya mereka itulah yang tertolong, dan
sesungguhnya tentara Kami itulah yang akan menang.”
Syaikhul
Islam رحمه الله berkata: "Dan barangsiapa diketahui
oleh Alloh kejujurannya,Alloh ta'ala akan menolongnya." ("Majmu'ul
Fatawa"/1/hal. 373).
Al
Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap
orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkanya itu
adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada
sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta
gunung-gunung itu membuat tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi keperluannya
dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul
Muwaqqi’in”/2/hal. 430/cet. Darul Hadits).
Abul
Hasan Mushthofa bin Isma’il Al Mishriy Al Ma’ribiy bangkit dengan fitnah yang
besar sepeninggal Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله (tahun 1433 H). maka terjadilah
kegoncangan di Darul Hadits di Dammaj, dan meluaslah fitnahnya di banyak negri.
Dulu Syaikhuna Yahya Al Hajuriy حفظه الله mengetahui sebagian kebatilannya itu, lalu
beliau membantahnya dan menyingkapkannya untuk manusia. Tapi justru banyak
masyayikh dan pelajar yang mengingkari Asy Syaikh Yahya حفظه الله . Maka
beliau bersabar, beliau dan para muridnya yang berbakti bersabar sambil
menyodorkan penjelasan dan penerangan, hingga Alloh ta’ala menerangi mata hati
manusia, lalu mereka mengakui kebenaran nasihat beliau tentang Abul Hasan.
Kemudian
datanglah fitnah Sholih Al Bakriy, dia membuat kegoncangan di dakwah
Salafiyyah, dan mengadu domba antar ulama, serta memperingatkan manusia dari
markiz Dammaj. Maka Asy Syaikh Yahya حفظه الله bersabar menghadapi mereka dan menjelaskan
keadaan Al Bakriy hingga Alloh ta’ala membuka mata-mata manusia, sehingga
mereka kemudian mengingkari Sholih Al Bakriy dengan sekeras-keras pengingkaran.
Dan saat ini –akhir dari bulan Jumadats Tsaniyah 1433 H- Sholih Al Bakriy
meminta maaf pada Asy Syaikh Yahya dan pada para salafiyyin atas apa yang telah
lalu dari perbuatannya. Maka Asy Syaikh حفظه الله memaafkannya.
Kemudian
datanglah kegoncangan yang dibuat oleh Abu Malik Ahmad bin Ali Ar Riyasyi, dan
tampak jelas pengkhianatannya, dan keinginannya agar syaikh turun dari kursi
beliau. Maka diapun diusir dari markiz, lalu pupuslah dengan cepat.
Kemudian datanglah fitnah Abdurrohman Al
‘Adniy Al Mar’iy pada tahun 1427 H, membuat kegoncangan besar dan
mencerai-beraikan dengannya salafiyyun di kebanyakan negri. Telah nampak dari
ucapan-ucapan dia dan kawanannya dan upaya mereka bahwasanya mereka ingin
seluruh pelajar Dammaj pindah ke Fuyusy. Dan mereka giat untuk mengadu domba
antar ulama. Maka fitnah mereka lebih besar daripada fitnah-fitnah yang
sebelumnya. Orang ini termasuk perusak terbesar dalam dakwah salafiyyah. Dan
fitnahnya belum berakhir sampai hari ini (awal bulan Rojab 1433 H), hanya saja
Alloh عز وجل
menghinakannya disebabkan oleh kriminalitasnya.
Kemudian datanglah fitnah Rofidhoh
Hutsiyyun zanadiqoh, orang-orang kafir. Mereka berusaha untuk memusnahkan
Syaikhuna Yahya Al Hajuriy dan seluruh pelajar Darul Hadits di Dammaj حفظهم الله dalam
pemberontakan mereka yang keenam pada tanggal 3 Romadhon 1430 H sampai dengan
tanggal 28 Shofar 1431 H. serangan mereka itu gagal total.
Kemudian mereka melakukan upaya pada
kali berikutnya dengan melakukan pengepungan dan blokade terhadap Dammaj,
sebelum bulan Romadhon 1432 H setahap demi setahap hingga mereka mulai
melontarkan peluru pada tanggal 7 Dzul Hijjah 1432 H, lalu terus bertambah
sengit sampai berakhir pada tanggal 1 Shofar 1433 H. perang yang ketujuh ini
lebih dahsyat dan lebih banyak korban daripada perang keenam.
Sungguh Alloh telah menyabarkan Syaikhuna
Yahya Al Hajuriy dan para muridnya yang berbakti حفظهم الله untuk menjalani ujian-ujian ini semua, dan
semoga Alloh menjadikan mereka termasuk dalam rombongan orang-orang yang
beruntung:
﴿مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ
قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا *
لِيَجْزِيَ الله الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ
شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴾.[الأحزاب/23،
24]
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang
yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Alloh; Maka di antara
mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu
dan mereka tidak merobah (janjinya), Supaya Alloh memberikan balasan kepada
orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika
dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Alloh adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dan beliau itulah yang berkata: “Penjagaan
agama kami lebih kami cintai daripada penjagaan jiwa-jiwa kami.” (dicatat
tanggal 11 Muharrom 1432 H).
Dan
beliau juga yang berkata: "Kami telah menghibahkan jiwa kami untuk dakwah
salafiyyah dan kami tidak mencari dengannya pengganti.
﴿فَمَاذَا
بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ﴾ [يونس:32].
"Maka
tidak ada setelah kebenaran selain kesesatan. Maka ke manakah kalian
dipalingkan?"" (kitab
"Adhrorul Hizbiyyah"/Syaikh Yahya -hafidhahulloh-/hal. 37-38)
Pasal Satu: Karya Tulis Beliau
Termasuk
yang menunjukkan luasnya ilmu Syaikhuna Yahya Al Hajuriy حفظه الله dan kuatnya
beliau dalam membahas suatu masalah adalah: banyaknya karya tulis ilmiyyah
beliau. Abu Manshur
Ats Tsa’alabiy رحمه الله berkata: “Kitab
seseorang merupakan alamat dari akalnya. Bahkan dia merupakan timbangan
kadar dirinya dan lisan keutamaannya.” (“Yatimatud Dahr”/3/hal. 282).
Di antara karya tulis Syaikhuna حفظه الله adalah sebagai berikut:
1- Ahkamul
Jum’ah Wa Bida’uha
2-
Dhiyaus Salikin Fi Ahkam Wa Adabil Musafirin
3-
Ahkamut Tayammum
4-
Kasyful Wi’tsa Fi Zajril Khubatsaid Da’ina Ila Musawatin Nisa Bir Rijal
Wa Ilgho Fawariqil Untsa
5-
Ar Riyadhul Mustathobah Fi Mafaridish Shohabah
6-
Jami’ul Adillah Wat Tarjihat Fi Ahkamil Amwat
7-
At Tabyyin Fir Rodd ‘Ala Ahmad Nashrillah
8-
Talkhishul ‘Ilal Lid Daruquthniy Ma’al Fahrosah
9-
Ats Tsamrud Dani Bitatabbu’ Ma U’illa Fis Sunanil Kubro Lil Baihaqiy
10- Ikhtashorul Bidayah Wan Nihayah
11- Ta’aqqubatun ‘Alas Suyuthiy Fi
Kitabihil Hawi
12- Tahqiq Mushonnaf Abdirrozzaq
(bersama beberapa murid beliau)
13- Tahqiq Fathul Bari (bersama
beberapa murid beliau)
14- Al ‘Urful Wardiy Fi Tahqiq
Muqoddimah Sunanid Darimiy
15- Al Luma’ ‘Ala Ishlahil Mujtama’
16- Syarh Mulhatil I‘rob
17- Al Arba’unal Hisan Fi Fadhlil
Ijtima’ ‘Alath Tho’am
18- Syarh Kitabil Muntaqo Libni Jarud
19- Tahqiq Kitab Akhlaqil ‘Ulama Lil
Ajurriy
20- Syarh Muqoddimah Ushulit Tafsir
Libni Taimiyyah
21- Jalsah Sa’ah Fir Rodd ‘Alal
Muftin Fil Idza’ah
22- As Sailul ‘Aridh Al Jarif Li
Ba’dhi Dholalatish Shufiy Umar bin Hafizh
23- Asilah Abi Rowahatil Haditsiyyah
Wasy Syi’riyyah
24- An Nashihatul Mahtumah Liqudhotis
Su’ Wa ‘Ulamail Hukumah
25- Tadwinil Faidah Fi Tafsir Ayatil
Wudhu Min Surotil Maidah
26- Ath Thobaqot Lima Hashola Ba’da
Mauti Syaikhinal Imam Al Wadi’iy رحمه الله Fid Da’watis Salafiyyah Bil Yaman Minal
Halat
27- Tahqiq Wa Ta’liq Wushulil Amani
Bi Ushulit Tihani Lis Suyuthiy
28- At Tabyiin Li Wujub Tarbiyatil
Banin
29- At Tajliyah Li Ahkamil Hadyi Wal
Udhhiyah
30- Ash Shubhusy Syariq ‘Ala Dholalat
Abdil Majid Az Zindaniy Fi Kitabihi Tauhidil Kholiq
31- Syar’iyyatud Du’a ‘Alal Kafirin
Wa Dzikru Ahammil Fawariq Bainahum Wa Bainal Muslimin Roddan ‘Alal Qordhowiyz
Zaighil Mahin
32- Al ‘Uzlatusy Syar’iyyah
33- Ats Tsawabitul Manhajiyyah
34- Al Adillatuz Zakiyyah Fi Bayan
Aqwalil Jafriy Asy Syirkiyyah
35- Tasliyatu Sholihil Fuqoro Lima
Lahum Minal Fadhl ‘Ala Ashhabits Tsaro
36- Syarh Manzhumatil Ihsaiy ‘Ala
Muqoddimati Ibni Abi Zaid Al Qoirowaniy
37- Al MAfhumush Shohih Lit taisir Fi
Hadyil Basyirin Nazhir
38- Al Ajwibatur Rodhiyyah ‘Alal
Asilatith Thibbiyyah
39- Al Mabadiul Mufidah Fi Tauhid Wal
Fiqh Wal ‘Aqidah
40- Dirosah Wa Tahqiq Risalah Fi
Bayani Ma Lam Yatsbut Fihi Hadits Minal Abwab
41- Al Hatstsu Wat Tahridh ‘Ala
Ta’allum Ahkamil Maridh
42- I’lamun Nakir ‘Ala Ashhabil
Inqilabat Wat Tafjir
43- Al Ba’its ‘Ala Inkari Ummil
Khobaits
44- Taudhihul Isykal Fi Ahkamil
Luqothoh Wadh Dhiwal
45- Syarh Lamiyyah Ibnil Wardiy
46- Syarhul Wasithiyyah
47- Al Minnatul Ilahiyyah Bi Syarhis
Safariniyyah
48- Syarhul Baiquniyyah
49- Syarhu Qoshidah Ghoromiy Shohih
Lil Isybiliy Fi ‘Ilmil Mushtholah
50- Syarh Manzhomah Ibni Taimiyyah
Fir Rodd ‘Alal Qodariyyah
51- Al Khuthobul Minbariyyah (4
jilid)
52- Syarhuth Thohawiyyah
53- Syarhul Arba’inun Nawawiyyah
54- Syarh Kitabit Tauhid
55- Al Kanzuts Tsamin Fil Ijabah ‘Ala
Asilati Tholabatil ‘Ilmi Waz Zairin (5 jilid pertama)
56- Ithaful Kirom Bil Ijabah ‘An
Asilatiz Zakah Wal Hajj Wash Shiyam
57- Al Ifta ‘Alal Asilatil Waridah
Min Duwal Syatta (juz 1)
58- Al Hijaj Li Abdil Karim Al
Iryaniy
59- At Tabyiin Li Ba’dhil Khoir Fi
Jihadil Kafirin Waz Zanadiqotil Mu’tadin
60- At Tahdzir Min Ahammi Showarifil
Khoir
61- Adhrorul Hizbiyyah ‘Alal Ummatil
Islamiyyah
62- Al Hujajul Qothi’ah ‘Ala Annar
Rowafidh Dhiddul Islam ‘Ala Mamarrit Tarikh Bila Mudafa’ah
63- Syar’iyyun Nushh Waz Zajr
64- Hasydul Adillah ‘Ala An Ikhtilathin
Nisa Bir Rijal Wa Tajnidihinn Minal Fitanil Mudhillah
65- Al Hullatul Bahiyyah Bil Ijabah
‘An Asilatil Jazairiyyah
66- Fathul Wahhab Fi Nahyil Musholli
An Yabshuqo Ilal Qiblah, Wa Hukmul Bushoq Fi Masjid, Wa Hukmul Mihrob
67- Rof’u Manarid Din Wa Hadmi Afkar
Du’atit Tasamuh Ma’al Kafirin
68- Tahqiq Wa Ta’liq ‘Ala Kitabil
Hiththoh Fi Dzikrish Shihahis Sittah
Dan beliau juga punya syarh terhadap
dars-dars umum, sebagiannya telah ditulis, sebagiannya masih dirapikan. Beliau
juga punya rekaman-rekaman khuthbah, ceramah, dan nasihat-nasihat lebih dari
seribu kaset. Dan masih banyak kerja keras ilmiyyah milik beliau yang lain,
kita mohon pada Alloh untuk memberinya taufiq dan barokah.
Pasal Dua: Pujian Ulama Terhadap Beliau, dan Kedudukan
Beliau Di Sisi Orang-Orang Yang Adil
Syaikhuna
Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله punya kedudukan yang tinggi di sisi ulama
sunnah.
Al Imam Al Wadi'i -rahimahulloh- berkata di
muqoddimah kitab " Ahkamul Jum'ah": "Dan Syaikh Yahya
-hafidhahulloh- berada pada puncak kehati-hatian dalam menentukan pilihan,
taqwa, zuhud, wara', dan takut pada Alloh. Dan beliau adalah orang yang sangat
berani dalam mengemukakan kebenaran, tidak takut -karena Alloh- akan celaan orang
yang mencela." (muqoddimah kitab "Al Jum'ah wa Bida'uha"/ karya
Syaikhuna Yahya hafidhahulloh-).
Al Imam Muqbil Al Wadi’y -rohimahulloh- berkata:
".. Saudara kita fillah Asy Syaikh Al Faadhil At Taqy (yang bertakwa)
az zaahid (yang zuhud) al Muhaddits, al faqih Abu Abdurrohman Yahya bin 'Ali Al
Hajury -hafidhahulloh- beliau adalah
pria yang dicintai di kalangan saudara-saudaranya karena mereka melihat padanya
bagusnya aqidahnya, kecintaan pada sunnah dan kebencian pada hizbiyyah yang
merusak.” (muqoddimah "Dhiyaus Saalikiin." karya Syaikhuna Yahya
hafidhahulloh-).
Beliau rahimahulloh juga berkata,”Benarlah
Robb kita manakala berfirman:
﴿يأيها
الذين آمنوا إن تتّقوا الله يجعل لكم فرقانا ويكفر عنكم سيئاتكم ويغفر لكم والله
ذو الفضل العظيم﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa pada Alloh
Dia akan menjadikan untuk kalian pembeda, dan menghapus dosa-dosa kalian serta
mengampuni kalian, dan Alloh itu maha memiliki karunia yang agung.”
Maka syaikh Yahya dengan sebab berpegang
teguhnya dia dengan Al Kitab dan As Sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi
wasallam- Alloh membukakan untuknya ilmu.” (Muqoddimah “Ash Shubhusy Syariq”
karya Syaikh Yahya -hafizhohulloh-)
Akhuna Abdulloh Mathir -waffaqohulloh-
berkata: "Aku telah bertanya kepada Syaikh –yaitu Imam Al Wadi'i- dan demi
Alloh, saat itu tiada antara aku dan beliau kecuali Alloh –azza wajalla-.
Ketika aku berada di kamarnya di atas ranjang beliau (ketika beliau sakit).
Kukatakan,"Wahai Syaikh, kepada siapa para Ikhwah akan merujuk (kembali)
di Yaman ini ?, dan siapakah orang yang paling berilmu di Yaman?"
beliau diam sejenak, lalu berkata,"Asy Syaikh Yahya." Inilah
yang kudengar dari Syaikh Muqbil, dan ini tidaklah maknanya kita merendahkan
ulama Yaman yang lain. Sungguh kita benar-benar memuliakan dan mencintai mereka
karena Alloh.. dst." ("Muammarotul Kubro"/hal. 24)
Al Akh Samir Al Hudaidy -hafidhahulloh-
berkata pada Syaikh Robi’ -hafidhahulloh-,”Sesungguhnya para pengikut Abul
Hasan berkata,”Tiada ulama di Yaman.” Maka Syaikh Robi’ -hafidhahulloh-
berkata,”Syaikh Muhammad itu apa? Dan Syaikh Yahya itu apa? Juga
saudara-saudara mereka yang lain.” (“Inba’ul Fudhala” hal. 22 karya Akhuna
Sa’id Da’ash -hafidhahulloh-)
Dan Syaikh Robi’ -hafidhahulloh- berkata:
"Dan keyakinan yang dengannya aku menghambakan diri kepada Alloh
bahwasanya Syaikh Al Hajuri itu adalah orang yang bertaqwa, waro', zuhud,
- kemudian beliau mulai memuji Syaikh
Yahya- dan beliau telah memegang dakwah Salafiyyah dengan tangan dari besi. Dan
tidaklah pantas untuk memegang dakwah tersebut kecuali beliau dan yang
semisalnya" ("Tsana' Imamil Jarh Wat Ta'dil ala Syaikh Yahya Al
Hajuri"/Abu Hammam Al Baidhoni/1426 H).
Fadhilatusy
Syaikh Ahmad An Najmiy رحمه الله berkata: “Asy Syaikh yang agung, saudara kita di jalan Alloh
Yahya bin Ali Al Hajuriy telah mengirimkan kepadaku kitabnya yang bersemangat
tinggi untuk membantah Abdul Majid Az Zindaniy, yang dengannya beliau bermaksud
untuk membantah igauan-igauannya yang ditulisnya –sampai pada ucapan beliau:-
Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan telah
membantahnya di baris-baris ini dan yang lainnya dengan bantahan yang
membungkam, dengan dalil-dalil yang bercahaya dari Al Kitab dan sunnah yang
shohih. Maka semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan dan memberkahinya, dan
semoga Alloh memperbanyak orang-orang semisalnya para pembela kebenaran, para
penolong tauhid, para penjaga wilayahnya,… dan Allohlah yang memberikan
taufiq.” (Muqoddimah “Ash Shubhusy Syariq”
karya Syaikh Yahya -hafizhohulloh-/hal. 7-10/Darul Atsar).
Asy Syaikh Muhammad Al Imam هداه الله berkata,"Tidak pantas untuk jarh
wat ta'dil pada zaman ini selain Syaikh Robi' dan Syaikh Yahya." ("Al
Barohinul Jaliyyah"/Mu'afa bin Ali Al Mighlafi/hal. 6).
Asy Syaikh Muhammad Al Imam هداه الله berkata,"Tidaklah mencela Asy Syaikh
Al Allamah Yahya Al Hajuri kecuali orang bodoh atau pengekor hawa nafsu." ("Al
Muamarotul Kubro"/Abdul Ghoni Al Qo’syamiy/hal. 23).
Abdulloh Al Duba'i -hafidhahulloh-
pernah mendengar Syaikh Muhammad Al Imam berbicara tentang keluar untuk dakwah.
Maka salah seorang hadirin berkata,"Wahai Syaikh, Syaikh Yahya nggak
keluar dakwah?". Maka Syaikh Muhammad Al Imam berkata: "Tunggu dulu, Al
Hajuri imam." ("Muammarotul Kubro"/Abdul Ghoni Al
qo'syami/hal. 24).
Asy Syaikh Abdul 'Aziz Al Buro'i هداه الله berkata: "Kami mengetahui bahwa
Syaikh Yahya itu ada di atas ketaqwaan dan muroqobah (senantiasa merasa
diawasi Alloh ta’ala), dan beliau adalah saudara kami di dalam agama Alloh, dan kami mencintainya karena
Alloh. Dan beliau adalah seorang alim dari kalangan ulama sunnah. Alloh
memberikan manfaat dengannya. Beliau adalah seorang singa dari singa-singa
sunnah, serta mahkota di atas kepala-kepala Ahlussunnah. kami mencintainya karena Alloh." (dari
kaset "Asilah Ashabi Qushoi'ar" tanggal 28/7/1428)
Beliau juga
berkata,"Maka Syaikh Yahya adalah ciri
khas di wajah ahlussunnah dan
mahkota di atas kepala mereka." ("Muammarotul Kubro"/Abdul Ghoni
Al qosy'ami/hal. 24).
Asy Syaikh Jamil Ash Shilwi -hafidhahulloh-
berkata: "Orang yang mencerca Syaikh Yahya dia itulah yang pantas untuk
dicerca. Hal itu dikarenakan Syaikh Yahya itu berbicara karena Alloh
dan Agama Alloh. Sementara salah seorang
dari kita terkadang tidak berani untuk berbicara tentang sebagian perkara. Dan
beliau itu telah Alloh persiapkan untuk mengurusi perkara ini, mengajar, menulis
dan menyelesaikan problem-problem ummat yang sangat banyak." ("Muammarotul
Kubro"/hal. 24).
Asy Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qosim Ar Raimi -hafidhahulloh-
ketika berbicara tentang makar Ibnai Mar'i dan pengikutnya terhadap Syaikh
Yahya -hafizhahulloh-, beliau berkata: ".. maka mereka menggunakan seluruh
yang mereka miliki yang berupa perlengkapan, kekuatan, pengkaburan, penipuan dan, pemutarbalikan
fakta. Mereka dengan itu semua
menginginkan untuk menjatuhkan “Al Jabalul Asyam” (gunung yang menjadi
simbol) tersebut, dan baju besi yang aman –dengan seidzin Alloh- bagi dakwah
ini yang ada di Dammaj Al Khoir, beliau dan para masyayikh utama yang
bersamanya.” ("Al Haqo’iq
Waqi’iyyah" hal. 20)
Fadhilatu
Syaikhina Al Walid Abu Ibrohim Muhammad bin Muhammad bin Mani' Al 'Ansi
-hafidhahulloh- (Salah satu pendiri dakwah di Ibukota Son'a) berkata,"Dan
saya menasihatkan kepada saudara-saudara kami untuk menempuh perjalanan menuju
ke ulama sunnah dan ke Darul Hadits di Dammaj harosahalloh, yang tempat ini
dibangun sejak awalnya di atas sunnah, dan tidak ada yang semisalnya di zaman
ini, dari segi tamayyuz ("pemisahan diri dari ahlul bathil") dan
penetapan aqidah salafiyyah, dan bantahan terhadap ahlul bid'ah, orang yang
sesat dan menyimpang. Tempat tersebut yang membangunnya adalah syaikh kami
Al Mujaddid (pembaharu), penolong sunnah, dan penumpas bid'ah Abu Abdirrohman
Muqbil bin Hadi Al Wadi'i –semoga Alloh merohmatinya dan memuliakan tempat
tinggalnya-.
Dan tidak asing lagi bahwa tempat tersebut
Alloh telah memberikan manfaat hidayah dengannya kebanyakan manusia, dan
mengeluarkan darinya para masyayikh dan penuntut ilmu yang bertebaran di
penjuru seluruh dunia sebagai da'i yang menyeru kepada tauhid dan sunnah dan
manhaj salaf. Dan terus-menerus –dengan segala pujian untuk Alloh- tempat
tersebut hidup dengan ilmu dan sunnah.
Dan setelah Asy Syaikh Muqbil digantikan
dengan wasiatnya oleh Asy Syaikh Al Muhaddits Abu Abdirrohman Yahya
bin Ali Al Hajuri –semoga Alloh menjaganya- beliau mengurusi dakwah ini
dengan sebaik-baik pengurusan. Sangat lantang dalam mengemukakan kebenaran,
menolong sunnah, memberantas kebid'ahan dan ahlul bid'ah. Semoga Alloh
membalas beliau dengan kebaikan." ("Nashihatun Mukhtashoroh Lil
Indonesiyyiin" /hal. 1).
Pasal Tiga: Hakikat Ilmu dan Ulama, Fiqh dan Fuqoha
Definisi ilmu:
Al Munawiy رحمه الله berkata: “Ilmu adalah
keyakinan yang pasti dan kokoh, yang mencocoki kenyataan.” (“At Ta’arif”/hal.
523-524).
Dan tidaklah ilmu itu kecuali dibangun di atas
dalil. kata
Al Imam Abdul Lathif bin Abdirrohman Alusy Syaikh رحمه الله : “Dan ilmu adalah
mengetahui petunjuk dengan dalilnya, dan mengetahui hukum sesuai dengan
kenyataannya pada hakikatnya. Tiada yang lain.” (“’Uyunur Rosail”/karya
beliau/2/hal. 525-526/Maktabatur Rusyd).
Dan
ilmu syar’iy itu tidak ada kecuali dengan dalil dari Al Kitab dan As Sunnah. Al
Imam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata:
“Dan ilmu itu adalah apa yang dengannya Alloh mengutus Rosul-Nya yaitu sulthon
(hujjah) sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿إن الذين يجادلون فى آيات الله
بغير سلطان أتاهم﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang berdebat tentang ayat-ayat Alloh
tanpa hujjah yang datang pada mereka.”
Maka barangsiapa berbicara tentang agama
tanpa apa yang dengannya Alloh mengutus Rosul-Nya, berarti dia telah berbicara
tanpa ilmu.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 39).
Definisi Fiqh:
Makna
“Fiqh” yang benar secara bahasa adalah seperti kata Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله : “Dan fiqh
itu lebih khusus daripada fahm, dan fiqh itu adalah: pemahaman
terhadap keinginan dari sang pembicara dari perkataannya.” (“I’lamul
Muwaqqi’in”/1/hal. 176/Darul Hadits).
Dan definisi “Fiqh” yang benar secara istilah
adalah apa yang dikatakan Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله : “Ma’rifah (pengetahuan) terhadap hukum-hukum syar’iyyah yang
bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci. Maka yang kami
inginkan dengan perkataan kami: “ma’rifah” adalah ilmu dan zhonn (dugaan),
karena pengetahuan hukum-hukum fiqhiyyah itu bisa bersifat yaqiniy (mencapai
derajat yakin), dan bias berupa dugaan, sebagaimana dalam kebanyakan masalah
fiqh.” (“Syarhul Ushul Min ‘Ilmil Ushul”/hal. 17/Dar ibnil Haitsam).
Dan sebelum beliau, Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله telah berkata tentang fiqh: “Dan secara
istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah, berdasarkan dalil-dalilnya
yang terperinci dengan pendalilan –kemudian beliau menyebutkan sebagian
perkataan, sampai pada ucapan beliau:- masing-masing definisi ini telah
dibantah dengan beberapa bantahan. Maka definisi yang pertama adalah yang
paling utama, jika ilmu tadi dibawa ke makna yang mencakup zhonn (dugaan),
karena kebanyakan ilmu fiqh adalah dugaan.” (“Irsyadul Fuhul”/1/hal. 58/cet. Ar
Royyan).
Antara Ulama, Fuqoha dan Mujtahidin:
Sesungguhnya ulama itulah fuqoha.
Ibnul Anbariy رحمه الله berkata: “Ucapan mereka:
pria yang faqih, maknanya adalah alim. Dan setiap orang alim terhadap suatu
perkara maka dia itu faqih dalam perkara tadi.” (“Al Faqih Wal Mutafaqqih”/Al
Khothib Al Baghdadiy/1/hal. Hal. 209/Maktabatut Tau’iyatil Islamiyyah).
Dan seorang mujtahid dia itulah
faqih yang mencurahkan kemampuannya untuk mengetahui suatu hukum dari
hukum-hukum syar’iyyah. Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “Maka mujtahid itu adalah faqih yang mencurahkan
kemampuannya untuk menghasilkan suatu dugaan terhadap suatu hukum syar’iy. Dan
dia itu haruslah seorang yang baligh dan berakal, dan telah menetap untuknya
kemampuan yang dengannya dia mampu untuk mengeluarkan hukum-hukum dari
tempat-tempat pengambilannya.” (“Irsyadul Fuhul”/2/hal. 1027/cet. Ar Royyan).
Dan amal yang agung ini tidaklah
mampu dilakukan kecuali oleh para ulama. Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “Dan hanyalah dirinya mampu untuk
melakukan yang demikian itu dengan syarat-syarat: Yang pertama: Dia
haruslah alim terhadap Al Kitab dan As Sunnah. Jika kurang pada salah satunya
maka dia itu bukanlah seorang mujtahid, dan tak boleh untuk berijtihad. Tapi
tidaklah disyaratkan dirinya itu mengetahui seluruh Al Kitab dan As Sunnah.
Hanya saja dia disyaratkan tahu ayat-ayat dan sunnah yang terkait dengan
hukum-hukum. –sampai pada ucapan beliau:-
Syarat yang kedua: dia harus
mengetahui perkara-perkara ijma’ sehingga tidak berfatwa dengan sesuatu yang
menyelisihi perkara yang telah disepakati, jika termasuk orang yang berpendapat
bahwasanya ijma’ itu hujjah, dan berpandangan bahwasanya itu adalah dalil
syar’iy. Dan jarang sekali perkara yang telah disepakati itu tersamarkan bagi
orang yang telah mencapai derajat ijtihad.
Syarat yang ketiga: dia harus
alim terhadap lidah Arob, yang mana memungkinkan dirinya untuk menafsirkan
kata-kata asing dan sebagainya yang datang dalam Al Kitab dan As Sunnah.
–sampai pada ucapan beliau:-
Kesimpulannya adalah: bahwasanya
kemampuan yang kuat dalam ilmu-ilmu ini harus mantap di dalam dirinya. Dan
kemampuan ini hanya bisa menetap dengan mantap dengan lamanya latihan([18]), dan seringnya menyertai
dengan para ulama dalam bidang ini. Al Imam Asy Syafi’iy berkata: Wajib bagi
setiap muslim untuk mempelajari sebagian dari lidah Arob yang bisa dicapai oleh
kerja kerasnya dalam menunaikan kewajibannya. Al Mawardiy berkata: Dan
mengetahui lidah Arob itu wajib bagi setiap muslim, baik dia itu mujtahid
ataupun yang lainnya.
Syarat keempat: dia harus
alim dengan ilmu ushul fiqh karena ilmu itu mencakup perkara yang diperlukan.
Dan dia harus memiliki kemampuan yang luas, dan mengetahui kitab-kitab yang
ringkas dan panjang dalam bidang ini, yang bisa dicapai oleh kemampuannya,
karena sesungguhnya ilmu ini dia itulah pondasi tiang utama ijtihad, dan
sebagai asas yang tiang-tiang utama bangunannya berdiri di atasnya. –sampai
pada ucapan beliau:-
Syarat yang kelima: dia harus mengetahui
nasikh dan mansukh, yang mana tidak tersamarkan untuknya sedikitpun dari
perkara tersebut, karena dikhawatirkan dirinya memberikan suatu hukum dengan
dalil yang telah mansukh. (“Irsyadul Fuhul”/2/hal. 1027-1032/cet. Ar Royyan).
Al Imam Abul Muzhoffar As Sam’aniy رحمه الله berkata: “Kemudian ketahuilah bahwasanya
yang diajak bicara dengan ijtihad adalah ahli ijtihad itu sendiri, dan mereka
itu adalah ulama, bukan orang awam.” (“Qowathi’ul Adillah Fil Ushul”/2/hal.
302).
Al Imam Abul Walid Al Bajiy رحمه الله berkata: “Seorang alim adalah orang yang
sempurna alat-alat ijtihadnya.” (“Ihkamul Fushul Fi Ahkamil Fushul”/sebagaimana
dinukilkan oleh Rofiq Al ‘Ajam dalam “Silsilah Mausu’ah Mushtholahat Ushul Fiqh
‘Indal Muslimin”/1/hal. 892/Maktabah Libnan Nasyirun).
Dan barangsiapa melihat dengan adil
terhadap karya tulis-karya tulis syaikhuna Al ‘Allamah Yahya bin Ali Al Hajuriy
حفظه الله, jawaban-jawaban beliau terhadap
soal-soal, dars-dars beliau tiap hari, tahulah dia bahwasanya beliau itu adalah
seorang alim dari ulama sunnah, dan mujtahid dari kalangan mujtahidin umat.
Hakikat ulama dan Fuqoha:
Kemudian ketahuilah bahwasanya hakikat ilmu dan
fiqh itu bukanlah sekedar hapalan ilmu, mengetahui dalil-dalil, dan memahami
nash-nash semata. Bahkan seorang yang alim dan faqih itu harus menggabungkan
perkara-perkara itu tadi dengan pengamalan tuntutannya. Inilah dia orang alim
dan faiqh yang sejati. Alloh ta’ala berfirman:
﴿إِنَّمَا
يَخْشَى الله مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء﴾ [فاطر/28]
“Yang takut kepada Alloh dari kalangan hamba-Nya hanyalah para
ulama.”
Al Imam Ath Thobariy رحمه الله berkata: “Alloh Yang Mahatinggi
penyebutannya berfirman: Hanyalah yang takut kepada Alloh sehingga berusaha
melindungi diri dari hukuman-Nya dengan taat kepada-Nya adalah orang-orang yang
tahu akan kemampuan Alloh terhadap apapun yang dikehendakinya, dan bahwasanya
Alloh itu mengerjakan apapun yang diinginkannya, karena orang yang tahu perkara
yang demikian itu dia akan merasa yakin akan hukuman-Nya atas kedurhakaannya,
maka dirinya merasa takut dan gentar kepada-Nya bahwasanya Dia akan
menghukumnya.” (“Jami’ul Bayan”/20/hal. 462).
Al Imam Al Hasan Al Bashriy رحمه الله berkata: “Hanyalah orang faqih itu adalah
orang yang zuhud terhadap dunia, yang berharap besar terhadap akhirat, yang
berpandangan tajam dalam urusan agamanya, yang terus-menerus untuk beribadah
pada Alloh عز وجل.” (“Akhlaqul ‘Ulama”/karya
Al Imam Al Ajurriy/no. (47)/dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy حفظه الله/cet. Darul Atsar).
Al Imam Sufyan bin ‘Uyainah رحمه الله berkata: “Orang yang paling bodoh adalah
orang yang meninggalkan apa yang telah diketahuinya. Dan orang yang paling
berilmu adalah orang yang mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Dan orang
yang paling utama adalah orang yang paling khusyu’ pada Alloh.” (Diriwayatkan
oleh Ad Darimiy/no. (343)/dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy حفظه الله dalam “Al ‘Urful Wardiy”/hal. 159/cet. Darul Atsar).
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Bahwasanya ilmu yang hakiki yang
merasuk ke dalam hati itu menghalangi untuk muncul darinya perkara yang
menyelisihinya, baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Maka kapan saja muncul
darinya perkara yang menyelisihi ilmu itu tadi, pastilah dia itu dikarenakan
kelalaian hati tadi darinya, atau karena kelemahan ilmu itu di dalam hati untuk
menghadapi perkara yang menentangnya. Dan itu merupakan kondisi-kondisi yang
bertentangan dengan hakkikat ilmu, maka jadilah itu sebagai kebodohan dengan
sudut pandang ini.” (“Iqtdhoush Shirotil Mustaqim”/1/hal. 257).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: Tidaklah salaf dulunya memberikan
nama fiqh kecuali terhadap ilmu yang disertai oleh amalan.” (“Miftah Daris
Sa’adah”/1/hal. 115/Al Maktabatul Mishriyyah).
Dan barangsiapa menelusuri dengan
adil keadaan syaikhuna Al Hajuriy حفظه الله dalam masalah ilmu dan amal, dia akan mendapati bahwasanya
beliau telah mengumpulkan antara keduanya dengan taufiq dari Alloh, maka beliau
berhak untuk disebut sebagai alim faqih.
Pasal Empat: Imamah Dalam Agama
Sesungguhnya imamah (menjadi imam)
dalam suatu perkara adalah keteladanan dalam perkara itu, orangnya diteladani
dalam perkara tadi. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَإِذِ
ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِين﴾ [البقرة/124].
“Dan ingatlah ketika Ibrohim diuji oleh Robbnya dengan beberapa
kalimat, lalu dia menunaikannya dengan sempurna. Alloh berfirman: “Sesungguhnya
Aku akan menjadikan engkau sebagai imam bagi manusia. Dia menjawab: Dan juga
dari keturunan saya. Alloh berfirman: perjanjian-Ku ini tidak mengenai
orang-orang yang zholim.”
Al Imam Ath Thobariy رحمه الله berkata dalam tafsir ayat ini: “Maka Alloh
berfirman: Wahai Ibrohim, sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau sebagai imam
bagi manusia, diikuti dan diteladani.” (“Jami’ul Bayan”/2/hal. 18).
Al Imam Al Baghowiy berkata: Alloh ta’ala berfirman: “Alloh
berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau sebagai imam bagi manusia”
yaitu engkau diteladani dalam kebaikan.” (“Ma’alimut Tanzil”/1/hal. 162).
Kemudian ketahuilah bahwasanya
imamah dalam agama itu dicapai dengan perkara berikut ini –hanya Alloh yang
paling tahu-:
Pertama: keadilan dan tidak berlaku zholim, yaitu
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Alloh ta’ala telah berfirman dalam
ayat di atas: “Alloh berfirman: perjanjian-Ku ini tidak mengenai
orang-orang yang zholim.”
Al Imam Al Baghowiy رحمه الله berkata: “Makna dari ayat ini adalah: kenabian dan keimaman
yang Ku-janjikan padamu itu tidak akan didapatkan oleh orang yang zholim dari
kalangan keturunanmu.” (“Ma’alimut Tanzil”/1/hal. 162).
Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Adapun ahli kefasiqan, kecurangan dan kezholiman,
maka mereka itu tidaklah pantas mendapatkan janji tadi, berdasarkan firman
Alloh ta’ala: “Alloh berfirman: perjanjian-Ku ini tidak mengenai
orang-orang yang zholim”. (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/2/hal.
108-109).
Kedua: taqwa, dengan melaksanakan perintah-perintah dan
menjauhi larangan-larangan. Alloh telah menguji Ibrohim dengan beberapa
syari’ah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya. Lalu Ibrohim
melaksanakannya, maka Alloh membalasnya dengan keimaman dalam agama. Al Imam
Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Alloh
berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau sebagai imam bagi manusia”
yaitu: sebagai balasan terhadap apa yang telah dikerjakannya. Sebagaimana
beliau telah melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan,
Alloh menjadikannya sebagai teladan dan imam yang diteladani bagi manusia,
diikuti jejaknya.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/1/hal. 405).
Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Firman Alloh ta’ala:
﴿وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا﴾ [الفرقان: 74]
“Dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang
bertaqwa.”
Yaitu sebagai teladan yang orang-orang mengikuti
kami dalam kebaikan. Dan ini tidak terjadi kecuali orang yang berdoa tadi
adalah orang yang bertaqwa dan menjadi teladan, dan ini adalah maksud orang
yang berdoa tadi.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/13/hal. 83).
Ketiga: kekuatan dalam
menegakkan agama. Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Sekelompok ulama berdalilkan dengan ayat ini –suroh
Al Baqoroh: 124- bahwasanya seorang imam itu adalah dari orang yang adil,
ihsan, dan pemilik keutamaan, disertai dengan kekuatan untuk menegakkan perkara
yang demikian itu.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/2/hal. 108).
Keempat: dengan berdoa pada Alloh. Alloh subhanahu
berfirman:
﴿وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا﴾ [الفرقان/74].
“Dan orang-orang yang berkata: Wahai Robb kami, berilah kami
dari istri-istri kami dan keturunan kami penyejuk hati, dan jadikanlah kami
sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Al Imam Makhul Asy Syamiy رحمه الله berkata dalam tafsir ayat ini: “Para imam
dalam ketaqwaan, yang mana orang-orang yang bertaqwa itu meneladani kami.” (“Jami’
Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal. 564/Dar Ibnil Jauziy/sanadnya shohih).
Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “yaitu: dengan taufiq dari Alloh dan pemudahan
dari-Nya serta karunia-Nya, bukan dengan pengaku-akuan setiap orang untuk
dirinya sendiri.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/13/hal. 83).
Kelima: dengan kekuatan keyakinan akan pertolongan Alloh
saat datangnya ujian. Definisi dari keyakinan secara bahasa adalah: ilmu yang
tiada keraguan di dalamnya. Dan secara istilah adalah: aqidah (keyakinan) terhadap
suatu perkara bahwasanya dia itu demikian dan demikian, disertai dengan aqidah
bahwasanya hal itu tidaklah mungkin kecuali demikian tadi, sesuai dengan
kenyataan, tidak mungkin untuk hilang([19]). (“At Tauqif ‘Ala
Muhimmatit Ta’arif”/karya Al Munawiy/hal. 750).
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Maka Ahlul yaqin itu jika diuji, mereka akan kokoh,
berbeda dengan yang selain mereka, karena sungguh ujian itu terkadang bisa
menghilangkan keimanannya atau menguranginya. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَجَعَلْنَا
مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ﴾ [السجدة/24].
“Dan Kami jadikan dari mereka para imam yang membimbing dengan
perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka senantiasa yakin dengan
ayat-ayat Kami.”
(“Majmu’ul
Fatawa”/3/hal. 330).
Beliau رحمه الله juga berkata: “Adapun bagaimana keyakinan itu dihasilkan? Maka
dengan tiga perkara: Yang pertama: dengan memperdalam perenungan terhadap Al
Qur’an. Yang kedua: dengan memperdalam perenungan terhadap ayat-ayat yang
adakan dalam jiwa dan ufuk yang menjelaskan bahwasanya Al Qur’an itu benar.
Yang ketiga: dengan mengamalkan tuntutan dari ilmu.” (“Majmu’ul Fatawa”/3/hal.
330-331).
Yang keenam: bersabar menghadapi ujian. Dan dalilnya
apa yang telah lewat. Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Maka kesabaran dan keyakinan itu, dengan dua perkara
itu keimaman dalam agama bisa dicapai.” (“Majmu’ul Fatawa”/3/hal. 358).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata tentang tafsir ayat itu: “Maka Alloh ta’ala mengabarkan
bahwasanya Dia menjadikan mereka sebagai imam yang diikuti sepeninggal mereka
disebabkan oleh kesabaran dan keyakinan mereka, karena dengan kesabaran dan
keyakinan didapatkanlah keimaman dalam agama. Karena sesungguhnya seorang dai
ke jalan Alloh ta’ala itu tidak sempurna untuknya urusannya kecuali dengan
keyakinannya terhadap kebenaran yang dia menyeru kepadanya, dan dengan ilmunya
akan kebenaran tadi, serta dengan kesabarannya untuk melancarkan dakwah ke
jalan Alloh dengan memikul beratnya dakwah, dan menahan diri dari perkara yang
bisa melemahkan tekadnya dan melembekkan keinginannya. Maka barangsiapa berada
pada posisi ini, maka dia itu termasuk dari para imam yang membimbing (manusia)
dengan dengan perintah Alloh ta’ala.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/4/hal. 103).
Ketujuh: dengan kedalaman ilmu. Yang demikian itu
dikarenakan jalan-jalan keimaman yang yang terdahulu adalah termasuk amalan
sholih. Dan amalan itu tidak menjadi baik kecuali dengan ilmu. Al Imam Ibnul
Qoyyim رحمه الله berkata: “… bahwasanya ilmu
adalah pemimpin amalan dan pembimbingnya. Sementara amalan adalah pengikut bagi
ilmu dan makmum baginya. Maka setiap amalan yang tidak ada di belakang ilmu dan
tidak meneladani ilmu, maka amalan itu tidak bermanfaat bagi pelakunya bahkan
menjadi bahaya baginya.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 82).
Dan demikian pula keyakinan tidaklah terwujud
tanpa ilmu. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “… bahwasanya ilmu
itu adalah awal dari keyakinan.” (“Badai’ul Fawaid”/4/hal. 879/Darul Hadits).
Maka orang yang paling beruntung dengan keimaman
dalam agama adalah para ulama. Al Imam Al Ajurriy رحمه الله berkata: “Dan sifat ini dan semisalnya di dalam Al Qur’an
menunjukkan kepada keutamaan para ulama, dan bahwasanya Alloh عز وجل menjadikan mereka sebagai imam bagi para
makhluk yang mana mereka itu meneladani para ulama tadi.” (“Akhlaqul
Ulama”/karya Al Ajurriy/hal. 11/cet. Darul Atsar).
Dan barangsiapa melihat –dengan jujur dan adil- kepada
kehidupan ilmiyyah dan amaliyyah syaikhuna Al ‘Allamah Yahya bin Ali Al Hajuriy
حفظه الله , juga kesabaran beliau dalam jihad fi
sabilillah, serta besarnya keyakinan beliau kepada Robbnya عز وجل ketika beliau
ditelantarkan oleh banyak manusia di awal fitnah, dia tidak ragu bahwasanya
Alloh telah menjadikan beliau sebagai imam bagi manusia, sebagaimana dulu
syaikh beliau Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله.
Demikian pula kenyataan di lapangan menampilkan
pada kita bahwasanya para salafiyyin mengikuti bimbingan beliau setelah taufiq
dari Alloh, mereka bersabar bersama beliau pada hari-hari fitnah, sehingga
jadilah beliau pada yang demikian itu kebaikan dan keberkahan yang agung untuk
mereka. Dan yang demikian itu adalah karunia Alloh yang diberikannya kepada orang
yang Dia kehendaki, dan Alloh itu Maha memiliki karunia yang agung.
Sebagian ahli batil meremehkan nilai
syaikhuna Al ‘Allamah YAhya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله karena beliau belum mencapai umur enam puluh tahun atau tujuh
puluh tahun. Sebagian dari mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu Abbas رضي الله عنهما bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«البركة
مع أكابركم».
Maka
kami menjawab –dengan taufiq dari Alloh-:
Jawaban
pertama: Telah lewat bahwasanya seorang mufti yang teranggap adalah seorang
muslim yang baligh dan berakal, yang memenuhi syarat-syarat ijtihad dan fatwa.
Dan tuanya umur bukanlah syarat untuk sohihnya fatwa.
Jawaban kedua: tidak disyaratkan bahwasanya tidak ada yang berbicara dalam bidang
ini kecuali mujtahid yang mutlak. Bahkan barangsiapa punya ilmu yang mendalam
dalam suatu masalah tertentu, maka dia itu adalah mujtahid di dalam bidang itu,
dan dia boleh berbicara dalam bidang itu. Dan penyelisihan dirinya di dalamnya
itu terpandang sebagaimana persetujuannya di dalamnya juga terpandang.
As Sarkhosiy rohimahulloh berkata: “Dan ketahuilah bahwasanya
terkumpulnya ilmu-ilmu ini pada seseorang itu hanyalah syarat untuk seorang
mujtahid mutlak yang berfatwa di seluruh hukum-hukum syariat. Dan bukan ijtihad
menurut kebanyakan ulama itu suatu posisi yang tidak terbagi-bagi. Bahkan
seorang alim itu boleh mendapatkan posisi ijtihad di sebagian hukum saja. Maka
barangsiapa mengetahui ujung penelitian dalam qiyas, dia boleh untuk berfatwa
dalam masalah qiyas, sekalipun dia tidak mahir dalam ilmu hadits.”
(“Ushul Fakhril Islam”/11/hal. 440).
Dan Az Zarkasyiy rohimahulloh berkata: “Yang
benar adalah: bolehnya ijtihad itu terbagi-bagi, dengan arti: seseorang menjadi
mujtahid dalam suatu bab tanpa bab yang lain. Dan ini dinisbatkan oleh Al
Hindiy kepada pendapat kebanyakan ulama.” (“Al Bahrul Muhith”/8/hal. 96).
Dan Ibnun Najjar Al Futuhiy rohimahulloh
berkata: “Ijtihad itu terbagi-bagi menurut para sahabat kami (Hanabillah) dan
kebanyakan ulama, karena andaikata ijtihad itu tidak terbagi-bagi, hal itu
mengharuskan seorang mujtahid itu mengetahui seluruh perkara cabang-cabang, dan
ini adalah mustahil karena semuanya itu tidak mampu diketahui secara menyeluruh
oleh manusia. Dan tidak diharuskan mengetahui seluruh dalil itu berarti
mengetahui seluruh hukum-hukum, karena sebagian hukum itu terkadang tidak
diketahui karena dalil-dalilnya (nampak) bertentangan, atau dia tidak mampu
meneliti lebih mendalam lagi, mungkin karena pemikirannya sedang tersibukkan.”
(“Al Kaukabul Munir”/3/hal. 26).
Maka
penukilan-penukilan ini dan yang semisalnya membantah orang yang mengingkari
pelajar yang ilmunya mantap untuk berbicara dalam suatu masalah yang dia mampui
dengan baik dengan alasan para ulama besar itu diam, padahal pelajar tadi telah
mencapai derajat ijtihad di dalamnya. Dan dalam pembahasan tadi juga ada
bantahan pada orang yang menjadikan tuanya umur itulah yang terpandang,
bukannya kedalaman ilmu dalam masalah tadi.
Jawaban ketiga: Mungkin saja yang
dikehendaki di sini adalah tuanya usia, dan mungkin saja yang dimaukan adalah
besarnya ilmu. Dan berdasarkan dua kemungkinan ini, maka hadits tadi tidak
berbicara tentang syarat-syarat fatwa.
Al Hafizh Muhammad bin
Ishaq Al Kalabadziy رحمه الله dalam syarh hadits ini
–dan yang semakna dengannya- menyebutkan bahwasanya bisa jadi yang diinginkan
dengannya adalah: orang yang sudah berumur dan orang-orang tua yang telah
berpengalaman, akal mereka telah sempurna, kekerasan mereka telah tenang, adab
mereka telah sempurna, telah hilang dari mereka kenakalan anak-anak dan
kekerasan anak muda, dan mereka telah memantapkan pengalaman. Maka barangsiapa
duduk-duduk bersama mereka, dia akan beradab dengan adab-adab mereka, dan
mengambil manfaat dari pengalaman mereka. Maka ketenangan dan kewibawaan mereka
menjadi penghalang bagi orang yang duduk-duduk dengan mereka, dan pencegah
untuk mereka dari apa yang dilahirkan dari tabiat mereka, dan mencari barokah
dari mereka([21]). Dan bisa jadi yang
diinginkan dengan hadits ini adalah: orang-orang besar keadaannya, dan orang
yang punya derajat dalam agama dan kedudukan tinggi di sisi Alloh, sekalipun
tidak tua umurnya.” (“Ma’anil Akhbar”/ karya Al Kalabadziy/hal. 100).
Al Munawiy رحمه الله berkata: “Keberkahan
itu bersama orang-orang besar kalian” orang-orang yang berpengalaman dalam
berbagai perkara, yang terus-menerus memperbanyak pahala, maka mereka
duduk-duduk dengan mereka untuk meneladani pendapat mereka, mengikuti petunjuk
mereka. Atau yang dikehendaki adalah orang yang punya kedudukan ilmu sekalipun
berusia muda, wajib untuk mengagungkan mereka untuk menjaga kehormatan yang
dikaruniakan oleh Al Haq Yang Mahasuci dan Mahatinggi.” (“Faidhul Qodir Syarhul
Jami’ish Shoghir”/no. (3205)).
Seandainya kemungkinan
yang benar adalah adalah kemungkinan kedua: bahwasanya barokah itu bersama para
ulama, bukan sekedar orang-orang yang tua umurnya, maka jadilah hadits tadi
argumentasi untuk membantah para ahlul batil tadi. Dan sebagian imam telah
menguatkan bahwasanya yang terpandang dalam hadits ini adalah kebesaran dalam
ilmu, bukan kebesaran dalam usia. Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Sebagian ulama berkata: sesungguhnya orang kecil yang
tersebut dalam atsar Umar dan atsar-atsar yang semisalnya, yang dimaksudkan
hanyalah: orang yang dimintai fatwa padahal dia tak punya ilmu, karena sesungguhnya
orang yang besar itu adalah orang alim, dalam usia berapapun dia. Mereka
berkata: orang bodoh itu kecil, sekalipun sudah tua umurnya. Dan orang alim itu
besar sekalipun masih muda usia.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal.
499-500/Dar Ibnil Jauziy).
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله juga berkata: “Dan termasuk yang menunjukkan bahwasanya
ashoghir (orang-orang kecil) itu adalah orang yang tak punya ilmu: apa yang
disebutkan oleh Abdurrozzaq dan yang lainnya, dari Ma’mar, dari Az Zuhriy yang
berkata: “Dulu majelis Umar penuh dengan para ahli Qur’an, yang muda dan yang
tua. Terkadang beliau mengajak mereka bermusyawarah dan berkata: janganlah
menghalangi satu orang kalian kemudaan usianya untuk menyampaikan pendapatnya,
karena sesungguhnya ilmu itu bukan berdasarkan kemudaan usia atau ketuaannya,
akan tetapi Alloh meletakkan ilmu di manapun yang diinginkan-Nya.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa
Fadhlih”/1/hal. 501/Dar Ibnil Jauziy).
Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma berkata:
"Dulu aku membacakan Al Qur'an kepada para tokoh dari Muhajirin, di antara
mereka adalah Abdurrohman bin 'Auf" (HSR Al Bukhory (6830))
Ibnul Jauzy -rahimahulloh- berkata: "Maka
di dalam atsar tadi ada peringatan untuk mau mengambil ilmu dari ahlinya
meskipun umur mereka masih muda, atau derajat mereka rebih rendah. Dulu
Hakim bin Hizam -rodhiyallohu 'anhu- belajar Al Qur'an pada Mu'adz bin Jabal
-rodhiyallohu 'anhu-. Maka dikatakan pada beliau,"Anda belajar Al Qur'an
pada bocah Khozrojy itu?" Maka beliau berkata,"Hanyalah yang
membinasakan kita itu kesombongan." ("Kasyful Musykil"
1/hal. 41)
Ibnul Madiny -rahimahulloh- berkata:
"Sesungguhnya ilmu itu bukan berdasarkan umur." ("Al
Adabusy Syar'iyyah"/Imam Ibnu Muflih -rahimahulloh-/2/192)
Sufyan bin 'Uyainah -rahimahulloh- berkata:
"Anak kecil adalah ustadz jika dia tsiqoh" ("Al Adabusy
Syar'iyyah"/Imam Ibnu Muflih -rahimahulloh-/2/192)
Jawaban keempat: seandainya ditetapkan bahwasanya yang dimaukan adalah tuanya usia,
maka tidak ada dalam hadits tadi yang menunjukkan bahwasanya itu adalah
termasuk syarat sahnya fatwa. Hanyanya hadits ini masuk dalam bab dorongan
untuk duduk-duduk dengan orang tua, memuliakan mereka, dan keutamaan perbuatan
tersebut. Ibnu Hibban رحمه الله meriwayatkannya dalam
shohihnya (559) dalam bab: Penyebutan disukainya seseorang mencari berkah
dengan bergaul dengan masyayikh pemilik agama dan akal.
Dan hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqiy رحمه الله dalam “Syu’abul Iman” (10493) dalam bab: Merohmati anak kecil
dan menghormati orang besar.
Al Khoroithiy رحمه الله juga meriwayatkannya
dalam “Makarimul Akhlaq” (355) dalam bab: Pemuliaan dan pengagungan pada orang-orang
tua.
Al Hafizh Muhammad bin Ishaq Al Kalabadziy رحمه الله setelah menyebutkan hadits ini berkata: Beliau telah
memerintahkan untuk memuliakan mereka dengan sabda beliau صلى الله عليه وسلم : “Barangsiapa tidak memuliakan
orang besar di antara kita, maka dia bukanlah dari golongan kita.”
(“Ma’anil Akhbar”/ karya Al Kalabadziy/hal. 100).
Jawaban kelima:
bisa jadi yang dimaksudkan dengan orang-orang besar adalah para shohabat رضي الله عنهم , para sholihin, dan orang-orang mulia,
bukan sekedar tuanya usia. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Abdil Barr
رحمه الله dalam “Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih” no. (1053) di bawah bab: Keadaan ilmu
jika ada di sisi orang-orang fasiq dan orang-orang yang hina.
Beliau رحمه الله berkata: “Abu Ubaid menyebutkan dalam ta’wil berita ini dari
Ibnul Mubarok bahwasanya beliau berpendapat bahwasanya ashoghir adalah ahlil
bida’, dan tidak berpendapat tuanya usia. Abu Ubaid berkata: Ini adalah satu
sisi. Beliau juga berkata: saya berpendapat bahwasanya ashoghir adalah manakala
ilmu itu diambil dari orang yang datang setelah para shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan lebih diutamakan daripada pendapat
para shohabat Rosululloh صلى الله عليه
وسلم
dan ilmu mereka. Maka itulah yang dinamakan sebagai: mengambil ilmu dari
ashoghir.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal. 496/Dar Ibnil Jauziy).
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan mungkin saja hadits ini bermakna bahwasanya orang
yang paling berhak dengan ilmu dan belajar fiqh adalah orang-orang mulia, ahli
agama dan pemilik kebesaran, karena ilmu itu jika ada di sisi mereka, maka
jiwa-jiwa tidak merasa angkuh untuk duduk-duduk di majelis mereka. Tapi jika
ilmu itu dimiliki oleh selain mereka, maka setan mendapatkan jalan untuk
menghinakan mereka, dan mencampakkan ke dalam jiwa-jiwa sikap lebih mengutamakan
keridhoan dengan kebodohan karena merasa angkuh untuk bolak-balik pergi ke
orang yang tak punya martabat tinggi dan agama. Dan hal itu dijadikan sebagai
alamat dan tanda hari Kiamat, dan sebagai sebab dihilangkannya ilmu.” (“Jami’
Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal. 500-501/Dar Ibnil Jauziy).
Jawaban keenam: Tidak ada pada susunan kalimat dalam
hadits tadi yang menunjukkan pembatasan berkah pada orang yang tua usianya
saja. Ini berbeda jika khobar kalam didahulukan sebelum mubtada’nya, atau yang
terkait dengan khobar yang terhapus didahulukan sebelum mubtada’nya. Maka pola
mendahulukan kata yang harusnya diakhirkan itu memang memberikan faidah
pembatasan dan pengkhususan. Dan tidak ada dalam hadits ini apa yang
menunjukkan ada yang demikian itu.
Jawaban ketujuh: Sesungguhnya Alloh
ta’ala telah mengisyaratkan dalam Al Qur’an kepada keutamaan para pemuda yang
menegakkan agama Alloh. Alloh ta’ala berfirman:
﴿نَحْنُ
نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ
هُدًى * وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا﴾ [الكهف/13،
14].
“Kami akan menceritakan padamu berita mereka dengan benar.
Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman pada Robb mereka dan Kami
tambahkan pada mereka hidayah dan Kami kokohkan tekad dan kesabaran hati mereka
ketika mereka bangkit lalu mereka berkata: Robb Kami adalah Robb langit dan
bumi, kami tak akan berdoa pada sesembahan selain-Nya. Sungguh jika demikian
tadi kami telah mengatakan suatu kecurangan dan kemustahilan.”
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Maka Alloh ta’ala menyebutkan bahwasanya mereka
adalah para pemuda –yaitu syabab (anak-anak muda)- dan mereka itu lebih
menghadapkan diri kepada kebenaran, dan lebih mendapatkan petunjuk kepada jalan
yang lurus daripada orang-orang tua yang telah berlarut-larut hidup dalam agama
yang batil. Oleh karena itulah maka kebanyakan orang-orang yang menyambut
seruan Alloh dan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم adalah para pemuda. Adapun orang-orang tua dari Quroisy maka kebanyakan dari mereka
telah lama tinggal di atas agama mereka, dan tidak masuk Islam dari mereka
kecuali sedikit. Dan demikianlah Alloh ta’ala mengabarkan tentang ashhabul Kahf
bahwasanya mereka itu adalah anak-anak muda.” (“Tafsirul Qur’anil
‘Azhim”/5/hal. 140).
Maka barokah dari Alloh tabaroka wata’ala itu bersama orang-orang
yang Alloh kehendaki, yang tua ataupun yang muda.
Jawaban kedelapan: kenyataan para salaf رضي الله عنهم menunjukkan bahwasanya fatwa itu tidak tergantung pada tuanya
usia, tapi tergantung pada kemampuan. Berapa banyaknyakah ahli fatwa pada masa
salaf dalam keadaan mereka belum mencapai usia tua. Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Para ulama berdalilkan dengan keadaan Abdulloh bin
Abbas yang dulu berfatwa dalam keadaan beliau itu masih muda, dan bahwasanya
Mu’adz bin Jabal dan ‘Attab bin Usaid dulu berfatwa untuk manusia dalam keadaan
keduanya masih usia muda, dan Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengutus keduanya untuk memimpin di beberapa wilayah bersamaan
dengan usia keduanya yang masih muda. Dan yang seperti ini di kalangan ulama
banyak.” (“Jami’
Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal. 500/Dar Ibnil Jauziy).
Beliau رحمه الله juga berkata: “Pada masa lalu telah ada orang tua dan muda yang
memimpin dengan ilmunya. Dan Alloh itu mengangkat derajat-derajat orang yang
disukai-Nya.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal. 501/Dar Ibnil Jauziy).
Jawaban kesembilan: sesungguhnya kenyataan
pada zaman ini menunjukkan bahwasanya kebanyakan orang-orang yang
mendengung-dengungkan seputar hadits ini untuk menghalangi manusia dari ulama
sunnah adalah para pengekor hawa nafsu yang ingin menghalangi manusia dari
menerima kebenaran di balik tabir: “Mereka itu masih usia muda!” para pengekor
hawa nafsu itu telah tertimpa oleh penyakit jahiliyyah. Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “Dan termasuk penyakit-penyakit
yang menghalangi untuk kembali kepada kebenaran adalah: bahwasanya orang yang
berbicara dengan kebenaran itu masih muda usia –ditinjau dari orang yang
mendebatnya- atau lebih rendah ilmunya atau kurang terkenal di mata manusia,
sementara lawan bicaranya adalah sebaliknya. Maka sungguh orang yang kena
penyakit ini telah dibawa oleh kemarahan jahiliyyah dan fanatisme syaithoniyyah
untuk tetap berpegang dengan kebatilan Karena keangkuhan darinya untuk rujuk
kepada ucapan orang yang lebih muda usia darinya atau lebih rendah ilmunya,
atau lebih kurang terkenal, karena dia mengira bahwasanya sikap rujuk tadi bisa
menjatuhkan derajatnya atau mengurangi apa yang telah ada padanya. Dan ini
adalah dugaan yang rusak karena sesungguhnya kejatuhan dan kekurangan itu
hanyalah ada pada sikap bersikukuh di atas kebatilan, sementara ketinggian dan
kemuliaan itu ada pada sikap rujuk kepada kebenaran, di tangan siapapun dia,
dan dari sisi manapun dihasilkan.” (“Adabuth Tholib”/hal. 57/cet. Darul Kutubil
Ilmiyyah).
Dan mereka itu dengan perbuatan ini menjadi
termasuk bagian dari tentara iblis. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan tidak ada yang melarang dari
ilmu kecuali para perampok dari mereka, para wakil iblis dan polisi-polisinya.”
(“Madarijus Salikin”/2/hal. 434).
Jawaban kesepuluh: sesungguhnya Syaikh kami
Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله telah mencapai lebih dari
empat puluh lima tahun, dan ini tidaklah
dikatakan muda usia. Alloh ta’ala berfirman:
﴿حَتَّى
إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ
أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ
صَالِحًا تَرْضَاهُ﴾ الآية. [الأحقاف/15].
“Sampai apabila dia telah mencapai puncak kekuatan dan pengetahuan
dan mencapai empat puluh tahun, dia berkata: Wahai Robbku, karuniailah aku
taufiq untuk mensyukuri nikmat-Ku yang Engkau berikan padaku, dan kepada kedua
orang tuaku, dan agar saya beramal sholih yang Engkau ridhoi…”
Al Imam Ibnu
Katsir berkata dalam tafsir: “dan
mencapai empat puluh tahun”: yaitu: mencapai puncak akalnya dan
sempurnalah pemahamannya dan kesabarannya. Dikatakan: Sesungguhnya orang
berusia empat puluh tahun itu biasanya tidak berubah dari apa yang dia ada di
atasnya.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/7/hal. 280).
Jawaban
kesebelas: termasuk yang memperkuat pendapat bahwasanya akabir di
sini adalah para ulama adalah: bahwasanya berkah itu adalah tetapnya kebaikan,
pertumbuhan dan pertambahannya. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Adapun keberkahan maka sesungguhnya dia itu manakala
yang dinamai dengannya adalah banyaknya kebaikan dan terus-menerusnya dia
sedikit demi sedikit, setiap kali ada bagian yang habis digantikan oleh bagian
yang lain, maka dia itu adalah kebaikan yang lestari, yang individu-individunya
itu susul-menyusul secara lestari sedikit demi sedikit.” (“Badai’ul
Fawaid”/2/hal. 675/cet. Dar ‘Alamil Fawaid).
Dan Rosululloh صلى الله عليه وسلم telah menetapkan bahwasanya kebaikan itu
bersama ilmu yang bermanfaat. Dari Mu’awiyah رضي الله عنه yang berkata: Saya mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من يرد الله به خيرا يفقهه فى الدين ».
“Barangsiapa diinginkan oleh Alloh kebaikan maka Alloh akan
memahamkannya dalam agama.” (HR. Al Bukhoriy (71) dan Muslim (1037)).
Dan dari Utsman رضي الله
عنه
dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«خيركم من تعلم القرآن وعلمه ».
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya.” (HR. Al Bukhoriy (5027)).
Dan orang yang paling besar berkahnya adalah orang yang paling
banyak manfaatnya untuk masyarakat, bukan sekedar tuanya umur. Al Imam
Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka
sesungguhnya orang yang bermanfaat adalah orang yang diberkahi. Dan perkara
yang paling bermanfaat adalah perkara yang paling berbarokah. Dan orang yang
diberkahi di manapun dia berada adalah orang yang bisa diambil manfaatnya di
manapun dia turun.” (“Zadul Ma’ad”/4/hal. 141).
Ucapan ini cukup dalam menjelaskan lebih beratnya timbangan ilmu
daripada sekedar timbangan tuanya usia, dan bahwasanya orang yang besar ilmunya
itu lebih banyak berkahnya dan lebih banyak manfaat daripada sekedar orang yang
lebih tua umurnya. Dan ini juga cukup untuk menyirnakan syubhat
orang yang menolak kebenaran dengan sekedar mudanya umur para pembawanya. Dan
hanya milik Alloh saja segala pujian.
Bab Sembilan: Peringatan Syaikhuna Yahya Al
Hajuriy حفظه الله Dari
Pemberontakan Terhadap Pemerintah Muslimin
Tidak
boleh memberontak kepada pemerintah muslimin selama mereka masih muslimin. Jika
mereka adalah kafirin dengan kekufuran yang jelas, sementara Muslimin tidak
memiliki kemampuan untuk mengganti mereka tanpa bahaya yang lebih besar, maka
tidaklah disyariatkan untuk menggulingkan mereka, demi menjaga darah-darah
muslimin. Dari ‘Auf bin Malik رضي الله
عنه:
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «خيار
أئمتكم الذين تحبونهم، ويحبونكم، ويصلون عليكم، وتصلون عليهم. وشرار أئمتكم الذين
تبغضونهم، ويبغضونكم، وتلعنونهم، ويلعنونكم» قيل: يا رسول الله أفلا ننابذهم
بالسيف؟ فقال: «لا ما أقاموا فيكم الصلاة. وإذا رأيتم مِن وُلاتكم شيئاً
تكرهونه، فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة». (أخرجه مسلم (1855)).
Dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian sukai, dan mereka menyukai
kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian mendoakan untuk mereka. Dan
Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci, dan mereka
membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka melaknat kalian.”
Dikatakan: “Wahai Rosululloh, tidakkah sebaiknya kami memerangi mereka dengan
pedang?” maka beliau menjawab: “Jangan, selama mereka menegakkan sholat
di antara kalian. Jika kalian melihat suatu perkara yang tidak kalian sukai
dari pemimpin kalian, maka bencilah amalannya, dan janganlah kalian mencabut
tangan dari ketaatan padanya.” (HR. Muslim (1855)).
Dan
jadilah ini termasuk dari aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Al Imam Al Hafizh
Ibnul Qoththon Al Fasiy رحمه الله
berkata: “Dan mereka (ahlussunnah) bersepakat bahwasanya mendengar dan taat itu
wajib diberikan pada pemimpin muslimin.” (“Al Iqna’”/1/no. (27/3)/Darul Kutubil
Ilmiyyah).
Telah
banyak peringatan Syaikhuna Al ‘Allamah Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله dari seluruh khowarij dan
pemikiran pemberontakan terhadap pemerintah muslimin. Di antaranya adalah
beliau berkata tentang Juhaiman: “Orang ini adalah pemberontak, revolusioner,
membuat fitnah di Saudi yang tidak diridhoi oleh para penasihat.” Beliau juga
berkata tentang Juhaiman: “Pemberontak yang sesat.” (Ditulis oleh Abur Robi’
Sa’id bin Kholifah Wahhabiy di selebarannya “I’lamul Insi Wal Jann”).
Beliau حفظه الله juga berkata dalam
bantahannya pada Abdul Karim Al Iryaniy: “Tunjukkan kemari satu fitnah yang
timbul dari sisiku, dan dari sisi syaikh kami رحمه الله sebelum ini. Dan dengan seizin
Alloh, dan Alloh menjadi saksi atas apa yang aku ucapkan: Insya Alloh tak akan
timbul fitnah dari sisi kami sampai kami berjumpa dengan Alloh عز وجل. Kecuali jika ada orang yang
berontak dalam keadaan didorong dan dia itu disusupkan kepada kami, atau
dirusak oleh setan, maka aku akan menjelaskan keadaannya dan bersihlah
tanggunganku karena Alloh عز وجل
berfirman:
﴿وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ﴾ [الأنعام/164].
“Dan tidaklah setiap jiwa berbuat kecuali
terhadap dirinya sendiri, dan tidaklah orang yang berbuat dosa itu memikul dosa
orang lain. Kemudian kepada Robb kalian kembalinya kalian, lalu Dia akan
mengabarkan pada kalian dengan apa yang dulu kalian perselisihkan.”
(“Al Hijaj Li Abdil Karim
Al Iryaniy”/karya Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy حفظه الله/hal. 28/cet. Maktabatul Falah).
Syaikhuna حفظه الله juga punya kitab “I’lanun Nakir ‘Ala
Ashhabil Inqilab Wat Tafjir” (pengumuman pengingkaran terhadap para pelaku
penggulingan dan pengeboman).
Manakala
banyak gerakan para hizbiyyun yang menentang presiden Yaman, bangkitlah syaikh
kami dan para muridnya حفظهم الله untuk memperingatkan dari penggulingan kekuasaan dan
pemberontakan terhadap pemerintah muslimin, dalam khuthbah-khuthbah dan karya
tulis.
Kaum
muslimin telah mengetahui bahwasanya manusia selain para Nabi itu akan tertimpa
kesalahan. Dari Abu Dzarr رضي الله
عنه dari Nabi صلى الله
عليه وسلم di dalam apa yang beliau
riwayatkan dari Alloh Yang Maha penuh berkah dan Mahatinggi bahwasanya Dia
berfirman –dan menyebutkan hadits-:
«يا عبادي
إنكم تخطئون بالليل والنهار وأنا أغفر الذنوب جميعا فاستغفروني أغفر لكم». الحديث
(أخرجه مسلم (2577)).
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian
itu melakukan kesalahan di waktu malam dan siang, dan Aku mengampuni dosa-dosa
seluruhnya, maka mohonlah ampunan kepada-Ku, Aku akan mengampuni untuk kalian.” (HR. Muslim (2577)).
Syaikhul
Islam رحمه الله berkata: “Akan tetapi para
Nabi –semoga ridho Alloh ta’ala tercurah untuk mereka- itu, mereka itulah yang
para ulama berkata: sesungguhnya mereka itu terjaga dari terus-menerus dalam
dosa. Adapun para shiddiqun, syuhada dan sholihun, maka mereka itu tidak dijaga
dari dosa. Ini tentang dosa-dosa yang pasti. Adapun dalam perkara yang mereka
berijtihad di situ: maka terkadang benar, dan terkadang keliru. Maka jika
mereka berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka mereka mendapatkan pahala. Dan
jika mereka berijtihad dan keliru, maka mereka akan mendapatkan pahala atas
ijtihad mereka, sementara kekeliruan mereka akan diampuni.” (“Majmu’ul
Fatawa”/35/hal. 69).
Al
Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله
berkata: “Para penulis tentang sunnah telah mengumpulkan antara rusaknya taqlid
dan pembatalannya, serta menjelaskan ketergelinciran seorang alim, yang
dengannya mereka menjelaskan rusaknya taqlid, dan bahwasanya seorang alim itu
terkadang bisa tergelincir, dan itu pasti, karena dia bukanlah orang yang
ma’shum. Maka tidak boleh menerima seluruh apa yang diucapkannya dan
memposisikan ucapannya tadi pada posisi perkataan seorang yang ma’shum. Maka
inilah yang dicela dan diharomkan oleh seluruh ulama di muka bumi, dan mereka
mencela para ahli taqlid. Dan ini adalah asal bencana ahli taqlid dan fitnah
mereka, karena mereka itu membebek orang alim terhadap perkara yang si alim ini
tergelincir di situ dan pada perkara yang dirinya tidak tercela di situ,
sementara mereka tak punya timbangan pembeda antara perkara-perkara tersebut,
sehingga mereka mengambil agama dengan kesalahan, dan itu pasti. Lalu mereka
menghalalkan apa yang Alloh haromkan, dan mengharomkan apa yang Alloh halalkan,
serta mensyariatkan perkara yang tidak disyariatkan. Dan pasti mereka akan
berbuat itu, karena ‘ishmah (keterjagaan dari kesalahan) itu tidak ada pada
orang yang mereka taqlidi. Maka kesalahan itu pasti terjadi pada si alim tadi.”
(“I’lamul Muwaqqi’in”/2/hal. 441/cet. Darul Hadits).
Oleh karena itulah maka Syaikhuna Yahya Al Hajuriy حفظه الله memperingatkan dari taqlid
dalam agama, dan mendorong orang-orang untuk mengambil agama dengan dalil.
Di antara
ucapan beliau حفظه الله adalah: “Tidaklah setiap
ucapan itu bisa diambil, karena tiada jalan untuk yang demikian itu. Maka harus
melihat kepada dalil-dalil.” (dicatat pada tanggal 16 Rojab 1430 H).
Beliau حفظه الله juga berkata: “Di antara
kami dan kalian ada Al Kitab dan As Sunnah. Maka barangsiapa mencocoki
kebenaran, ucapannya diambil dan tidak ditinggalkan. Maka kebenaran itu yang
diagungkan. Maka yang wajib adalah mengambil kebenaran.” (dicatat tanggal 16
Rojab 1430 H).
Ucapan
beliau حفظه الله juga adalah: “Barangsiapa
menyelisihi kebenaran, aku akan membantahnya. Dan jika aku menyelisihi
kebenaran, maka bantahlah diriku. Inilah yang kami dididik di atasnya.”
(dicatat tanggal 16 Rojab 1430 H).
Beliau حفظه الله juga berkata: “Yang menjadi
timbangan adalah kebenaran, bukan manusia. Diterima oleh orang yang menerima, ataupun
ditolak oleh orang yang menolak, kebenaran tetap berjalan.” (dicatat tanggal 17
Sya’ban 1430 H).
Beliau حفظه الله juga berkata: “Tidaklah
manusia itu meliputi segala sesuatu dengan dengan ilmunya. Setinggi apapun ilmu
yang dicapainya, luput darinya sebagian ilmu. Maka hujjah itu didahulukan di
atas individu.” (dicatat tanggal 1 Romadhon 1430 H).
Beliau حفظه الله juga berkata: “Hindarilah
taqlid, hindarilah taqlid, karena sesungguhnya taqlid itu buta mata hatinya.”
(dicatat tanggal 17 Dzul Hijjah 1430 H).
Beliau رعاه الله juga berkata: “Orang yang
membebek para tokoh dan mengikuti jumlah yang banyak semata-mata, maka
sesungguhnya dia itu akan menjadi mangsa bagi kesesatan.” (dicatat tanggal 20
Jumadats Tsaniyah 1430 H).
Jika kalian telah
mengetahui bahwasanya kedua imam ini –Al Wadi’iy رحمه الله dan Al Hajuriy حفظه الله – adalah termasuk fuqoha
Islam, mujtahidi sunnah dan mufti umat, maka keduanya adalah termasuk
orang-orang yang nilainya diagungkan oleh Alloh dengan dalil-dalil yang telah
dikenal, karena besarnya keperluan umat kepada mereka.
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: Fuqoha Islam, dan
orang yang fatwa itu beredar pada perkataan mereka di tengah-tengah manusia,
adalah orang-orang yang dikhususkan oleh Alloh dengan pengambilan hukum, dan
ditunjuk untuk menentukan qoidah-qoidah halal dan harom. Maka mereka di bumi
adalah bagaikan bintang-bintang dilangit. Dengan mereka orang yang kebingungan
dalam kegelapan itu mengambil petunjuk. Dan keperluan manusia kepada mereka
lebih besar daripada keperluan mereka pada makan dan minum. Ketaatan pada
mereka itu lebih wajib daripada ketaatan pada bapak dan ibu, dengan ketetapan
Al Qur’an. Alloh ta’ala berfirman:
﴿يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك
خير وأحسن تأويلا﴾ [النساء: 59]
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rosul dan
para pemegang urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih pendapat dalam
suatu perkara maka kembalikanlah pada Alloh dan Rosul jika kalian memang
beriman pada Alloh dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih bagus
kesudahannya.”
(Kemudian beliau menyebutkan tafsir-tafsir tentang ulil amri, lalu
berkata:) yang benar adalah bahwasanya umaro itu hanyalah ditaati jika
memerintahkan dengan tuntutan ilmu. Maka ketaatan pada mereka itu mengikuti
ketaatan pada ulama, karena ketaatan itu hanyalah pada perkara yang ma’ruf dan
apa yang diharuskan oleh ilmu. Maka sebagaimana ketaatan pada ulama itu
mengikuti ketaatan pada Rosul, maka ketaatan pada para umaro itu mengikuti
ketaatan pada ulama. Dan manakala tegaknya Islam itu adalah dengandua kelompok:
ulama dan umaro, dan manusia itu mengikuti keduanya, maka jadilah kebaikan alam
itu dengan kebaikan kedua kelompok ini. Dan kerusakan alam adalah dengan
kerusakan keduanya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/1/hal. 16/Darul hadits).
Maka
jika berbicara tentang seorang mukmin tanpa kebenaran itu adalah berbahaya, sebagaimana
firman Alloh ta’ala:
﴿إِنَّمَا
يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ الله وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ﴾ [النحل: 105]
“Hanyalah yang membuat kedustaan itu adalah orang-orang yang
tidak beriman dengan ayat-ayat Alloh, dan mereka itulah orang-orang pendusta.”
Dan sebagaimana dalam hadits Abdulloh bin Umar
-semoga Alloh meridhoi keduanya- berkata: Aku mendengar Rosululloh -shollallohu
'alaihi wasallam- bersabda:
« ...
وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ الله رَدْغَةَ الْخَبَالِ
حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ».
"… dan barangsiapa berkata tentang
seorang mukmin dengan suatu perkara yang tidak ada pada dirinya, maka Alloh
akan menjadikan dia tinggal di dalam rodghotul khobal (perasan penduduk neraka)
sampai dia keluar dari apa yang diucapkannya." (HR. Abu
Dawud (3592) dan dishohihkan Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam
"Ash Shohihul Musnad" (755)).
Maka perkataan tanpa kebenaran terhadap
para bintang petunjuk itu lebih besar bahayanya. Al Hafizh Ibnu 'Asakir رحمه الله berkata: "Dan ketahuilah wahai
saudaraku –semoga Alloh memberi kami dan engkau taufiq kepada perkara yang diridhai-Nya,
dan menjadikan kita termasuk orang yang takut kepada-Nya dan bertaqwa
kepada-Nya dengan sebenar-benar taqwa- bahwasanya daging ulama itu beracun.
Dan sudah diketahui bersama tentang kebiasaan Alloh untuk merobek tabir penutup
orang-orang yang merendahkan mereka. Hal itu dikarenakan celaan terhadap para
ulama dengan suatu hal yang mereka itu berlepas diri darinya itu perkaranya
besar sekali. Dan mengusik kehormatan mereka dengan kedustaan dan berita
bohong itu adalah padang yang membahayakan. Dan menyelisihi orang yang
telah dipilih oleh Alloh untuk mengangkat ilmu adalah merupakan akhlaq yang
tercela…dst ("Tabyiin Kadzibil Muftari"/ Ibnu 'Asakir /hal. 29).
Sebagian ahli
batil menyatakan bahwasanya menolong ahli haq, membela kehormatannya dan
menjelaskan kebenaran berarti dia itu ahli taqlid (pembebek) dan muta’ashshib
(fanatik), padahal hal itu tidak benar. Karena sesungguhnya taqlid itu adalah:
mengikuti orang yang bukan hujjah tanpa hujjah. Al-Imam Ibnun Najjar Al Hanbaliy رحمه الله berkata: “Dan Taqlid itu
secara kebiasaan –yaitu kebiasaan para ahli Ushul- adalah mengambil madzhab
orang lain –yaitu: meyakini kebenarannya dan mengikutinya atas keyakinan tadi-
tanpa –yaitu: tanpa disertai- pengetahuan tentang dalilnya –yaitu: dalil
madzhab orang lain tadi yang menuntutnya dan mengharuskan untuk berpendapat
dengan itu-.” (“Syarhul Kaukabil Munir”/4/hal. 459-460/cet. Maktabatul
‘Ubaikan).
Kami telah
menyodorkan hujjah-hujjah tentang benarnya apa yang kami katakan, maka usaha
kami ini bukanlah taqlid.
Adapun ashobiyyah adalah menolong kerabat dekat
–atau orang yang ada di barisannya- secara buta, sama saja apakah dirinya di
atas kebenaran ataukah kebatilan. ‘Ashobiy adalah orang yang marah demi
kerabatnya dan melindungi mereka. Dan 'Ashobiyyah adalah: menyeru seseorang
untuk menolong kerabatnya, dan berhimpun bersama mereka untuk menghadapi orang
yang menyerang mereka, baik mereka itu yang zholim atau yang terzholimi."
(lihat “Lisanul Arob”/6/hal. 275 dan hal. 276, dan “An Nihayah Fi Ghoribil
Atsar”/3/hal. 204).
Maka barangsiapa
bangkit untuk membela ahlul haq dengan jujur, adil dan berdasarkan ilmu, serta
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, maka sungguh dia telah menunaikan
kewajibannya. Syaikhul Islam رحمه الله berkata: "Maka
apabila terjadi persengketaan dan perselisihan antar pengajar, atau antar
murid, atau antara pengajar dan murid, tidak boleh bagi seorangpun untuk
menolong satu pihak sampai dia tahu yang benar. Maka tak boleh baginya
untuk saling menolong dengan kebodohan dan hawa nafsu. Akan tetapi dia harus
memperhatikan perkara tersebut. Apabila jelas baginya kebenaran, dia harus
menolong pihak yang benar untuk menghadapi pihak yang berbuat batil, sama saja
apakah pihak yang benar itu dari temannya ataukah bukan. Dan sama saja apakah
pihak yang batil itu dari temannya ataukah bukan. Maka jadilah tujuannya
itu ibadah kepada Alloh semata dan ketaatan kepada Rosul-Nya, dan mengikuti
kebenaran serta menegakkan keadilan.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 16).
Dengan penjelasan
ini tahulah orang-orang yang berakal bahwasanya kami ada di atas bayyinah dari
Robb kami, bukan di atas taqlid ataupun fanatisme dan yang demikian itu
termasuk karunia Alloh pada kami dan pada orang-orang yang berakal, akan tetapi
kebanyakan ahli batil tidak mengetahui.
والحمد لله رب العالمين.
Darul Hadits di Dammaj
10 Rojab 1433 H
Table of
Contents
([3]) Al
Khothib رحمه الله telah meriwayatkan atsar
yang indah dari Abdulloh ibnul Mu’taz: “Orang alim itu tahu orang jahil, karena
dirinya dulu pernah menjadi orang jahil. Sementara orang jahil itu tidak tahu
orang alim karena dirinya belum pernah menjadi orang alim.” (“Al Faqih Wal
Mutafaqqih”/2/hal. 365).
Namun sanadnya lemah, karena Ali bin Abdillah ibnul Mughiroh majhul
hal.
([4]) Al
Munawiy رحمه الله berkata: “dan setiap jual beli yang mabrur”
yaitu: jual beli yang diterima oleh Alloh dengan diberi pahala dengan sebab
itu, atau secara syari’ah, jual beli tadi tidak rusak, tiada penipuan ataupun
pengkhianatan di dalamnya, karena di situ ada upaya penyampaian manfaat kepada
manusia dengan mempersiapkan apa yang mereka perlukan. (“Faidhul Qodir”/no.
(1122)).
Namun sanadnya lemah, karena Ali bin Abdillah ibnul Mughiroh majhul
hal.
([6]) Syaikhul
Islam رحمه الله berkata:
"Waro’ yang disyariatkan adalah: meninggalkan perkara yang bisa jadi
membahayakan akhiratnya, yang berupa perkara-perkara yang diharomkan dan
kesamaran-kesamaran, yang mana jika hal itu ditinggalkan tidak mengharuskan
ditinggalkannya perkara yang lebih penting untuk dikerjakan, seperti
kewajiban-kewajiban. Adapun perkara yang bermanfaat bagi negri akhirat, atau
bisa membantu mendatangkan manfaat bagi akhiratnya, maka sikap meninggalkannya
itu bukanlah bagian dari agama ini." ("Majmu’ul Fatawa"/10/hal.
21).
([7]) Shohih. Abu Dawud
رحمه الله berkata:
Haddatsana Sulaiman bin Dawud Al Mahriy, akhbarona Ibnu Wahb, akhbaroni Sa’id
bin Abi Ayyub, ‘an Syarohil bin Yazid Al Mu’afiriy, ‘an Abi ‘Alqomah ‘an Abi
Huroiroh, fima a’lam.
Sulaiman bin Dawud Al Mahriy adalah Sulaiman bin Dawud
bin Hammad, tsiqoh, faqih, sebagaimana di "Tahdzibut Tahdzib"
Ibnu Wahb, tsiqoh, imam.
Sa’id bin Abi Ayyub tsiqoh faqih sebagaimana di
"Tahdzibut Tahdzib"
Syarohil bin Yazid Al Mu’afiriy ditsiqohkan oleh Adz
Dzahabiy dalam "Al Kasyif"
Abu ‘Alqomah adalah Mishriy, tsiqoh faqih sebagaimana di
"Tahdzibut Tahdzib"
([8]) Bukanlah
maknanya bahwasanya agama ini
tidak sempurna. Bahkan agama ini telah sempurna, hanya saja nash-nash tadi
terkadang menunjukkan kepada makna dengan penunjukan yang jelas, dan terkadang
menunjukkan dengan penunjukan yang samar, maka manusia memperlukan para ulama
yang bisa mengambilkan faidah hukum-hukum untuk mereka dari nash-nash ini.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ
وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ﴾ [العنكبوت:
43].
"Dan
permisalan itu Kami buatkan untuk manusia, dan tidak ada yang memahaminya
kecuali orang-orang alim."
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه
الله berkata: "Alloh Yang Mahasuci telah menjelaskan melalui
lisan Rosul-Nya, dengan perkataan-Nya dan perkataan Rosul-Nya, segala perkara
yang diperintahkan-Nya, segala perkara yang dilarang-Nya, segala perkara yang
dihalalkan-Nya, segala perkara yang diharomkan-Nya, segala perkara yang
dimaafkan-Nya. Dan dengan ini jadi sempurnalah agama-Nya, sebagaimana
firman-Nya ta’ala:
﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي﴾ [المائدة: 3]
"Pada hari
ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Kucukupkan untuk
kalian nikmat-Ku."
Akan tetapi
terkadang pemahaman mayoritas manusia kurang dalam memahami apa yang
ditunjukkan oleh nash-nash, dan kurang memahami segi penunjukan dan
posisinya." ("I’lamul Muwaqqi’in"/1/hal. 332).
([10]) Beliau رحمه الله membedakan antara shobr dan mushobaroh,
sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا
وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا الله لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون﴾ [آل عمران: 200].
“Wahai orang-orang yang beriman, lakukanlah shobr dan
mushobaroh, dan berjagalah ditapal batas, dan bertaqwalah kalian pada Alloh
agar kalian beruntung.”
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka Alloh memerintahkan mereka
itu shobr, yaitu keadaan orang yang bersabar bersama dirinya sendiri, dan
mushobaroh, yaitu keadaan dia bersama lawannya.” (“’Idatush Shobirin”/hal. 21).
([14]) Al
Imam Asy Syaukaniy –semoga Alloh merohmatinya- berkata: “Dan Ibnul Hammam
berkata dalam “At Tahrir”: “Taqlid adalah beramal dengan ucapan orang yang
perkataannya itu bukanlah salah satu dari jenis-jenis hujjah, tanpa memakai
hujjah.” Dan definisi ini lebih baik daripada definisi-definisi yang
sebelumnya.” (“Irsyadul Fuhul”/2/hal. 1082/cet. Darul Fadhilah).
([18]) Dan dengan latihan ini,
jadilah fiqh itu sebagai karakter dirinya, dan dengannya dia berhak untuk
dinamakan sebagai faqih. Al Imam Abu Zur’ah Al ‘Iroqiy رحمه الله berkata: “… Dikarenakan faqih adalah isim
fa’il dari fiqh, yaitu: jadilah fiqh itu karakter bagi dirinya, dan sifat ini
tidak dihasilkan bagi orang yang hanya memiliki sedikit fiqh.” (“Al Ghoitsul
Hami’”/3/hal. 870/cet. Al Faruq).
([19]) Saya berkata
–dengan taufiq dari Alloh-: yaitu: pemilik keyakinan tadi telah memastikan
bahwasanya perkara yang diyakininya tadi itulah yang mencocoki kenyataan,
sehingga tak mungkin hilang dari hatinya. Adapun jika dia mendapati setelah itu
bahwasanya kenyataannya berbeda dengan itu, maka hilang dan berubahlah apa yang
diyakininya tadi. Wallohu a’lam.
([20]) Sanad ini tidak
shohih dari Nabi صلى الله عليه وسلم . Diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban (559), Al Khoroithiy dalam “Makarimul Akhlaq” (355), dan Ath Thobroniy
dalam “Al Ausath” (8991), semuanya dari jalur Abdulloh ibnul Mubarok, dari
Kholid Al Hadzdza, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما .
Zhohir sanadnya shohih, akan tetapi para huffazh mengkritiknya.
Ibnu hibban رحمه الله berkata: “Ibnul Mubarok
tidak meriwayatkan hadits ini di Khurosan. Beliau hanya meriwayatkannya di
Darbirrum, maka penduduk Syam mendengar hadits tadi dari beliau. Dan tidaklah
hadits ini di dalam kitab-kitab Ibnul Mubarok itu marfu’ (sampai ke Nabi صلى الله عليه وسلم ).” (“Shohih Ibni
Hibban”/2/hal. 320).
Az Zarkasyiy رحمه الله berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban, dan Al Hakim dan beliau menshohihkannya dari hadits Ibnu Abbas
secara marfu’. Al Hakim berkata: “Ini sesuai syarat Al Bukhoriy.” Tetang
keshohihannya perlu diteliti lagi, dan dia itu punya ‘illah (penyakit
tersembunyi) yaitu: Bahwasanya Al Walid bin Muslim meriwayatkan dari hadits
Ibnu Abbas dan Anas.
Adapun hadits Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ibnul
Mubarok dari Kholid al Hadzdza dan Ikrimah dari Ibnu Abbas. Dalam keadaan Ibnul
Mubarok menceritakan hadits ini pada Al Walid di Darbirrum, dan kitab-kitab
beliau saat itu tidak bersama beliau, sementara hadits tadi di dalam
kitab-kitab Ibnul Mubarok tidaklah marfu’, dan beliau tidak menceritakan hadits
(marfu’) ini di Khurosan.
Ash Shoirofiy berkata: Sekelompok ahli hadits
meriwayatkan dari Al Walid, dan dari Nu’aim juga, dari Al Walid. Dikatakan:
dari Nu’aim dari Ibnul Mubarok. Dan mereka mentaswiyyahnya (menghapus Al Walid)
karena Nu’aim telah mendengar hadits dari Ibnul Mubarok juga. Hanya saja hadits
ini didengar Nu’aim dari Al Walid dari Ibnul Mubarok. Ini dikatakan oleh Al
Hafizh Abu Musa Al Madiniy.
Ibnu Abis Sari berkata: dari Al Walid yang
berkata: “Kami pernah bersama Ibnul Mubarok di negri Rum, lalu kami saling
mengingatkan dengan Ummul Kitab. Lalu Ibnul Mubarok menceritakan pada kami
hadits tadi.” Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Kholid Al Hadzdza selain
Ibnul Mubarok. Ibnu Hisyam ibnu ‘Imad telah meriwayatkan dari Al Walid dari
Nabi صلى الله عليه وسلم secara mursal. Dan
dikatakan: sesungguhnya riwayat (mursalah) inilah yang benar.” (selesai
dari “Al Laalil Mantsuroh Fil Ahaditsil Masyhuroh”/karya Az Zarkasyiy/hal. 80).
Muhammad bin Thohir Al Maqdasiy رحمه الله berkata: “Pada asalnya hadits ini
mursal.” (“Dzakhirotul Huffazh”/2/hal. 1126).
adapun jika digabungkan dengan beberapa hadits lain, maka makna hadits ini terangkat menjadi hasan lighoirih.
adapun jika digabungkan dengan beberapa hadits lain, maka makna hadits ini terangkat menjadi hasan lighoirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar