Label

Selasa, 20 Oktober 2015

Kedatangan Haid Sebelum Sholat




Hukum Wanita Didatangi Oleh Haid
Sebelum Sempat Sholat


Ditulis Oleh Al Faqir Ilalloh
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo
Al Indonesiy Al Jawiy
Waffaqokalloh



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم، أما بعد:
Telah datang surat dari salah seorang ikhwah di tanah air yang menanyakan: seorang wanita masuk dalam waktu sholat dalam kondisi dia suci, tapi dia tidak segera bersholat karena waktunya masih lapang. Kemudian mendadak dia didatangi oleh haid sebelum dia sempat sholat. Maka apa kewajiban dirinya?
            Saya menjawab dengan pertolongan Alloh: tiada keraguan bahwasanya para ulama berselisih pendapat tentang perkara tadi.
            Al Imam Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata: “Para ulama berselisih pendapat tentang wanita yang haid setelah masuk waktu sholat sebelum dirinya sempat mengerjakan sholat. Sekelompok ulama berkata: “Dia wajib membayar sholat tadi.” Dan yang demikian itu adalah ucapan Asy Sya’biy, An Nakho’iy, dan Qotadah. Dan Ahmad berkata: “Aku senang jika dia mengulang sholat.” Ishaq berkata: “Dia harus mengulang sholat.” Asy Syafi’iy berkata: “Dia harus membayar sholatnya jika di waktu sucinya tadi dia sebenarnya bisa untuk sholat di awal waktunya. Tapi jika tidak bisa, maka tidak wajib membayar.” Sekelompok ulama berkata: “Dia tidak wajib membayar, kecuali jika dia itu menyia-nyiakan sholat dan meninggalkan sholat hingga keluar waktu.” Ini adalah ucapan Muhammad bin Sirin, Hammad bin Abi Sulaiman, dan diriwayatkan yang demikian itu dari Sa’id bin Jubair.
(insya Alloh dilanjutkan nanti).
            Malik berkata: “Jika dia telah sholat satu rekaat zhuhur atau sebagian dari zhuhur, lalu kedatangan haidh, dia tak usah membayar sholat ini yang dia terkena haidh di situ.” Al Auza’iy berkata: “Jika dia haidh di dalam waktu sholat, dia tidak wajib mengulang jika telah suci. Jika dia mengakhirkan sholat sampai dia keluar waktu, lalu dia haidh, dia wajib mengulang sholat tadi.”
            Para pengikut rasio berkata: “Dia tidak wajib membayar kecuali jika dia menunda sholat sampai keluar waktu dalam keadaan dia suci dan belum sholat. Jika kondisinya demikian, maka dia wajib membayarnya jika telah suci.”
(selesai dari “Al Ausath Fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf”/2/hal. 246-247).
            Yang benar adalah: bahwasanya waktu sholat ini jika cukup lapang, tidaklah wajib bagi seseorang untuk menunaikannya di awal waktu, sekalipun yang demikian itu memang lebih utama baginya dan lebih banyak pahalanya. Maka barangsiapa mengakhirkan sholat dalam keadaan masih di waktunya, luputlah darinya perkara yang lebih utama, dan dia tidak terkena dosa.
            Demikian pula wanita ini, tidaklah dia itu durhaka pada Alloh karena dia menunda sholatnya selama waktu sholat itu masih lapang, dan selama dia tidak melakukan suatu tipu daya untuk menggugurkan kewajiban sholat. Jika dia didatangi oleh haidh sebelum mengerjakan sholat, luputlah darinya kebaikan, dan dia tidak berdosa dan tidak wajib membayar sholat, menurut pendapat yang terkuat.
            Ibnu Hazm Al Andalusiy rohimahulloh berkata: “Dan jika seorang wanita itu haid di awal waktu sholat atau di akhir waktu sholat dan dia belum mengerjakan sholat itu, gugurlah kewajiban sholat darinya. Dan dia tidak wajib mengulanginya. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al Auza’iy dan para sahabat kami. Dan itu juga pendapat Muhammad bin Sirin dan Hammad bin Abi Sulaiman.
An Nakho’iy, Asy Sya’biy, Qotadah dan Ishaq berkata: “Dia wajib membayar sholat.”
            Asy Syafi’iy berkata: “Jika memungkinkan baginya untuk mengerjakan sholat tadi, dia wajib membayar.”
            Ali –yaitu Ibnu Hazm- berkata: Bukti dari pendapat kami adalah: bahwasanya Alloh ta’ala menjadikan untuk sholat itu waktu yang dibatasi: awalnya dan akhirnya. Dan telah shohih bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat di awal waktu dan di akhir waktu. Maka menjadi shohihlah bahwasanya orang yang mengakhirkan sholat sampai akhir waktunya itu tidak durhaka pada Alloh, karena Nabi ‘alaihis salam tidak mengerjakan kemaksiatan. Maka jika wanita tadi bukan pelaku kedurhakaan (dengan menunda sholat hingga di akhir waktu), tidaklah dia wajib sholat di saat itu jika dia memang ingin sholat di akhir waktu. Jika dia tidak wajib sholat di saat itu hingga tiba haidh, gugurlah kewajiban sholat darinya. Andaikata sholat itu wajib dikerjakan di awal waktu, niscaya orang yang mengerjakan sholat setelah berjalannya waktu selama kadar penunaiannya sejak dari awal waktunya, berarti dia itu sebagai qodhi (orang yang membayar sholat) dan bukan Musholli (orang yang menunaikan sholat), dan berarti dia itu fasiq dengan sebab dia mengakhirkan sholat dari waktunya. Dan ini adalah pendapat yang batil, tiada seorangpun yang berselisih akan batilnya pendapat tadi.”
(selesai dari “Al Muhalla Bil Atsar”/1/hal. 394-394).
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh setelah menyebutkan perselisihan ulama tentang masalah tadi, beliau berkata: “… yang paling kuat secara dalil adalah madzhab Abu Hanifah dan Malik, bahwasanya wanita tadi tak punya kewajiban apa-apa, karena qodho (pembayaran) itu hanyalah wajib dengan perintah yang baru, dan di sini tak ada perintah yang mengharuskan dirinya membayar. Dan juga wanita tadi mengakhirkan sholat dengan penundaan yang diperbolehkan, maka wanita tadi bukan orang yang menyia-nyiakan sholat.” (“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 334-335).
            Adapun Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh, maka beliau mewajibkan wanita tadi untuk membayar sholat. Beliau berkata: “Maka sesungguhnya wanita tadi setelah suci dari haid dia harus membayar sholat yang dia tadi masuk ke waktu sholat itu dalam keadaan dirinya suci.” (“Majmu’ Fatawa Wa Rosailil ‘Utsaimin”/11/hal. 276).
            Akan tetapi yang benar adalah apa yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahumalloh.
            Dan itu juga yang dikuatkan oleh Syaikhunal ‘Allamah Muhammad bin Hizam Al Fadhliy hafizhohulloh. Beliau berkata: “Inilah yang rojih –wallohu a’lam-, dan ini dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh dan dinisbatnya ke Malik juga.” (“Fathul ‘Allam”/1/hal. 409/cet. Maktabah Ibni Taimiyyah).
            Jika ada pertanyaan: bukankah orang yang lupa atau tidur itu juga belum mengerjakan sholat? Kenapa keduanya diwajibkan untuk membayar pada saat ingat atau bangun tidur? Apa bedanya dengan wanita yang belum sholat karena haid tadi? Kenapa dia tidak diwajibkan membayar?
            Kita menjawab dengan memohon pertolongan pada Alloh: sesungguhnya orang yang lupa atau tidur jika dia sholat setelah itu, bukanlah sholat mereka itu QODHO (pembayaran dari apa yang telah luput), bahkan sholatnya itu adalah ADA’ (penunaian di waktunya), karena keduanya tadi sholat di waktunya yang disebutkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam.
            Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anh: dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang bersabda:
«من نسي صلاة، أو نام عنها، فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها».
 “Barangsiapa lupa sholat atau tertidur darinya, maka penutup kesalahannya tadi adalah dia sholat apabila telah mengingatnya.” (HR. Al Bukhoriy (597) dan Muslim (684)).
            Dan dari Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu: Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersanda:
«أما إنه ليس في النوم تفريط، إنما التفريط على من لم يصل الصلاة حتى يجيء وقت الصلاة الأخرى، فمن فعل ذلك فليصلها حين ينتبه لها».
“Sesungguhnya tidak ada penyia-nyiaan dalam tidur itu, hanyalah yang namanya penyia-nyiaan adalah terhadap orang yang tidak sholat sampai datang waktu sholat yang lain. Maka barangsiapa melakukan itu (tertidur), hendaknya dia sholat ketika terbangun untuk sholat.” (HR. Muslim (681)).
            Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: “Adapun orang yang tidur atau lupa, sekalipun dia itu bukan orang yang menyia-nyiakan sholat juga (seperti wanita haidh tadi), maka sesungguhnya sholat yang dikerjakannya itu bukanlah QODHO, bahkan itu adalah waktu sholat untuk dia ketika dia bangun dan ingat, sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang bersabda:
«من نسي صلاة، أو نام عنها، فليصلها إذا ذكرها فإن ذلك وقتها».
 “Barangsiapa lupa sholat atau tertidur darinya, maka hendaknya dia sholat apabila telah mengingatnya, karena waktu itulah waktu sholat dia.”
(“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 334-335).
            Adapun hadits yang disebutkan oleh Syaikhul Islam rohimahulloh dengan lafazh tadi, maka saya tidak mendapatkannya. Barangkali beliau meriwayatkannya dengan makna.
            Dan yang paling dekat dengan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al Mu’jamul Ausath” (8840), dan Ad Daruquthniy dalam “As Sunan” (1165) dan Al Baihaqiy dalam “Al Kubro” (3183) dari jalur Hafsh bin Umar bin Abil ‘Aththof, dari Abuz Zinad dari Al A’roj dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anh, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
«من نسي صلاة، فوقتها إذا ذكرها».
“Barangsiapa lupa sholat, maka waktunya adalah jika dia mengingatnya.”
            Hadits ini lemah sekali. Al Baihaqiy berkata: “Dan Hafsh ibnu Abil ‘Aththof itu munkarul hadits, kata Al Bukhoriy dan ahlul hadits yang lain. Dan yang shohih dari Abu Huroiroh dan lainnya adalah yang telah kami sebutkan, tidak ada di situ lafazh: “maka waktunya adalah jika dia mengingatnya.” (“Ma’rifatus Sunan Wal Atsar”/3/hal. 137).
            Dan Hafsh bin Umar ini menyendiri dengan riwayat tadi. Ath Thobroniy setelah menyebutkan hadits tadi beliau berkata: “Tiada yang meriwayatkan hadits ini dari Abuz Zinad selain Hafsh bin Umar.” Selesai.
            Maka sanad ini lemah sekali.
            Dan yang shohih dari Abu Huroiroh adalah: hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Ibnu Syihab, dari Sa’id ibnil Musayyab, dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anh:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين قفل من غزوة خيبر، ... «من نسي الصلاة فليصلها إذا ذكرها» ، فإن الله قال: {أقم الصلاة لذكري} [طه: 14].
“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam ketika pulang dari perang Khoibar, … “Barangsiapa lupa sholat, maka hendaknya dia mengerjakan sholat tadi apabila telah mengingatnya, karena sesungguhnya Alloh berfirman: “Tegakkanlah sholat untuk mengingatku.” [Thoha: 14]. (HR. Muslim (680)).
            Dan cukuplah bagi kita hadits-hadits shohih ini.
            Al Imam Asy Syaukaniy rohimahulloh berkata: “Dan ketahuilah bahwasanya sholat yang ditinggalkan pada waktunya karena suatu udzur tidur atau lupa itu, bukanlah pengerjaannya setelah keluar dari waktu yang ditentukan karena udzur tadi itu dinamakan sebagai QODHO, sekalipun hal itu diharuskan dengan istilah ushul fiqh. Akan tetapi yang nampak dari dalil-dalil adalah bahwasanya sholat tadi adalah ADA’, bukan QODHO. Maka yang wajib adalah kita itu berhenti pada tuntutan dalil-dalil sampai ada dalil yang tegak yang menunjukkan adanya QODHO. Dan dua hadits di atas itu menunjukkan wajibnya dikerjakannya sholat jika terluputkan karena tidur atau lupa. Dan itu adalah ijma’.” (“Nailul Author”/2/hal. 33).
            Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata: “QODHO adalah apa yang dikerjakan setelah selesai waktunya. Dan ini dibangun di atas pendapat yang terkenal di kalangan kebanyakan ulama, bahwasanya apa yang dikerjakan setelah selesai waktunya itu dinamakan QODHO. Akan tetapi ada pendapat kedua, dan itulah yang lebih benar: bahwasanya apa yang dikerjakan setelah selesai waktunya: jika hal itu bukan dikarenakan suatu udzur, maka dia itu tidak diterima. Adapun jika dikarenakan suatu udzur, maka hal itu adalah ADA’ dan bukan QODHO. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa tertidur dari sholat atau lupa tentangnya, maka hendaknya dia mengerjakan sholat tadi apabila telah mengingatnya.” Maka beliau menjadikan waktunya adalah ketika dia mengingatnya. Demikian pula dalam masalah tidur, apabila dia terbangun darinya.” (“Asy Syarhul Mumti’”/2/hal. 80).
            Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan agar orang yang lupa dan orang yang tidur itu sholat jika telah ingat dan bangun. Maka waktu ingat dan bangun itu adalah waktu untuk sholat bagi mereka tadi. Dan alu hadits tadi adalah pola SYARAT. Dan POLA SYARAT itu punya makna kebalikan.
            Al Qorofiy rohimahulloh berkata: “Dan pemahaman dari SYARAT itu adalah seperti: “Barangsiapa bersuci, menjadi shohihlah sholatnya.” Maka pemahamannya adalah: “Barangsiapa tidak bersuci, sholatnyapun tidak sah.” (“Al Furuq”/ karya Al Qorofiy/2/hal. 51).
            Al Imam Asy Syinqithiy rohimahulloh berkata: “Adapun pemahaman kebalikan itu adalah bahwasanya hukum MASKUT (perkara yang tidak dibicarakan) itu menyelisihi hukum MANTHUQ (perkara yang dibicarakan), seperti sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
«في الغنم السائمة الزكاة».
“Pada kambing yang digembalakan di padang rumput itu ada zakatnya.”
            Yang dibicarakan adalah kambing yang digembalakan di padang rumput. Dan yang didiamkan adalah kambing yang dipiara di dalam kandang. Dipahami dari ikatan sifat “penggembalaan di padang rumput” bahwasanya kambing yang dipiara di dalam kandang itu tidak ada zakatnya. Dan pemahaman ini dinamakamn sebagai DALIL KHITHOB. Dan DALIL KHITHOB itu ada delapan jenis: … dan MAFHUMUSY SYARTH, seperti:
﴿وإن كن أولات حمل﴾ الآية.
“Dan jika mereka itu adalah wanita yang hamil, maka berilah infaq pada mereka.”
            Dipahami darinya bahwasanya wanita (yang ditholaq) yang bukan hamil itu tak punya hak nafkah.”
(selesai dari “Mudzkkiroh Fi Ushulil Fiqh”/hal. 285).
            Demikian pula di sini: “Barangsiapa tertidur dari sholat atau lupa tentangnya, maka hendaknya dia mengerjakan sholat tadi apabila telah mengingatnya.” Maka dipahami darinya: bahwasanya barangsiapa meninggalkan sholat bukan karena tidur dan bukan pula karena lupa, tiada sholat untuknya. Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja sampai keluar waktu, tidak disyariatkan padanya QODHO karena tak ada dalil yang memerintahkan demikian, dan karena dosanya terlalu besar untuk ditopang dengan QODHO. Dia hanya wajib tobat yang murni dan memperbanyak sholat sunnah. Demikian pula tidak ada kewajiban bagi wanita haid ini untuk QODHO karena tiada dalil yang memerintahkan demikian, dan juga karena dia mendapatkan udzur sehingga tidak berdosa.
            Al Hafizh ‘Abdurrohim Al ‘Iroqiy rohimahulloh berkata: “Ibnu Hazm berpendapat bahwasanya tidak wajib sholat itu dibayar karena pembayaran itu wajib jika ada perintah yang baru (dalil lain). Dan sang pembuat syariat telah mengikat orang yang diperintah untuk QODHO tadi dengan “orang tidur” dan “orang lupa” dalam sabda beliau dalam hadits shohih: “Barangsiapa tertidur dari sholat atau lupa tentangnya, maka hendaknya dia mengerjakan sholat tadi apabila telah mengingatnya.” Dan ini adalah MAFHUM SYARTH, dan itu adalah hujjah menurut pendapat yang benar menurut para ahli ushul. Dan Asy Syaikh ‘Izzuddin Ibnu Abdissalam dari kalangan Syafi’iyyah bahwasanya dia tidak wajib QODHO, sebagaimana ucapan Ibnu Hazm.” (“Thorhut Tatsrib”/2/hal. 149).
            Maka wanita haidh itu tidak masuk dalam pembicaraan hadits di atas, maka dia tidak wajib QODHO, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam telah menggugurkan kewajiban sholat padanya, dan tidak memerintahkannya untuk membayar yang telah lewat.
            Dari Mu’adzah yang berkata:
سألت عائشة فقلت: ما بال الحائض تقضي الصوم، ولا تقضي الصلاة. فقالت: أحرورية أنت؟ قلت: لست بحرورية، ولكني أسأل. قالت: «كان يصيبنا ذلك، فنؤمر بقضاء الصوم، ولا نؤمر بقضاء الصلاة».
“Aku bertanya kepada Aisyah: “Kenapa wanita yang haidh diperintahkan untuk membayar puasa dan tidak membayar sholat?” Maka beliau berkata: “Apakah engkau haruriyyah (pengikut khowarij yang memang dikenal mengingkari sunnah)?” Aku menjawab: “Saya bukan haruriyyah, tapi saya sekedar bertanya.” Beliau berkata: “Dulu kami terkena haidh, maka kami diperintahkan untuk membayar puasa dan kami tidak diperintahkan untuk membayar sholat.” (HR. Muslim (335)).
            Dan hadits ini umum, wanita haidh tidak diperintahkan untuk membayar sholat, sama saja dia itu haidh di luar waktu sholat ataukah di dalam waktu sholat.
            Dan saya menasihati diri saya sendiri dan seluruh muslimin dan muslimat untuk memanfaat kesempatan ibadah sebelum luput dari kita kebaikan yang banyak, karena hari ini adalah amalan dan bukan hisab, sementara di hari Kiamat adalah hisab dan bukan saat beramal.
            Alloh ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ الله وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ * وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ * وَلَنْ يُؤَخِّرَ الله نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَالله خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan sampai harta kalian dan anak-anak kalian itu melalaikan kalian dari mengingat Alloh. Dan barangsiapa melakukan yang demikian itu maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang Kami izqikan pada kalian sebelum datang kematian pada salah seorang dari kalian lalu dia berkata: “Robbku, andaikata Engkau mengakhirkan saya ke penundaan yang dekat sehingga saya bisa bershodaqoh dan menjadi termasuk dari orang yang sholih.” Dan Alloh tidak akan mengakhirkan suatu juwa jika telah datang ajalnya. Dan Alloh Mahatahu terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al Munafiqun: 9-11).
والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.
Malaisia, 7 Rojab 1436H


Tidak ada komentar:

Posting Komentar